KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Joint Venture Agreement Hanya Mengikat Pendiri Perseroan, Tidak Mengikat Pemegang Saham Baru yang Membeli Saham dari Pendiri Awal

Antisipasi dan Mitigasi Sengketa Hukum ketika Salah Satu Pemilik Mengalihkan / Menjual Kepemilikannya kepada Pihak Ketiga

Question: Saat pihak A dan pihak B akan menjalin kerjasama bisnis membangun sebuah perusahaan yang dikelola bersama (joint venture), pihak A selaku pendiri membuat perjanjian dengan pihak B selaku sesama pendiri, bahwa pihak A memiliki hak prerogatif mutlak untuk menunjuk dan mengangkat seluruh anggota direksi, sementara pihak B memiliki hak prerogatif mutlak untuk menunjuk dan mengangkat dewan komisaris. Pertanyaan kami ialah, bagaimana bila pihak A ataupun pihak B, atau pihak A dan B, selaku pendiri, dikemudian hari setelah perseroan berdiri dan beroperasi sekian waktu, mengalihkan, menjadikan sebagai agunan, maupun menjual saham miliknya tersebut kepada pihak lain yang menjadi pemegang saham baru, apakah perjanjian semula antar pendiri perseroan turut beralih dan mengikat pemegang saham yang baru?

Brief Answer: Pada prinsipnya, perjanjian maupun kesepakatan, hanya mengikat pihak-pihak yang saling bersepakat dan mengikatkan dirinya dalam perjanjian, alias tidak mengikat pihak ketiga. Hal tersebut diatur secara eksplisit dalam Pasal 1340 Ayat (1) KUHPerdata : “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Untuk membuat suatu perjanjian juga beralih kepada pihak ketiga, maka dapat merujuk konstruksi peristiwa “over kredit”, dimana pihak-pihak yang kemudian bersepakat ialah tripartit antara “debitor lama”, “debitor baru”, dan pihak kreditor. Bila peralihan saham hanya terjadi antara salah satu pendiri dan pihak pembeli saham, tanpa turut menyertakan pihak pendiri lainnya, maka perjanjian jual-beli / peralihan saham hanya bersifat bipartit.

Untuk itulah, untuk mengantisipasi potensi bibit-bibit sengketa yang telah ternyata dalam praktik semacam “joint venture agreement” antar pendiri badan hukum / usaha banyak menimbulkan sengketa hukum baik secara perdata maupun pidana, terutama ketika kepemilikan saham dialihkan oleh salah satu atau kedua pendiri kepada pihak ketiga, maka dalam perjanjian “Joint Venture” menjadi penting untuk turut disertakan klausul-klausul penting berikut sebagai langkah antisipasi dan mitigasi resiko dikemudian hari:

1. Ketika kepemilikan dialihkan oleh salah satu atau kedua belah pihak kepada pihak ketiga, maka pasal ... dalam perjanjian ini yang mengatur mengenai ... , menjadi batal secara sendirinya. [NOTE SHIETRA & PARTNERS : klausula semacam itu dikenal sebagai “syarat batal”.]

2. Pihak yang mengalihkan kepemilikannya kepada pihak ketiga, wajib memberitahu pihak ketiga tersebut mengenai eksistensi perjanjian ini serta meminta yang bersangkutan berkomitmen untuk tunduk dan patuh pada aturan-aturan sebagaimana diatur dalam perjanjian ini.

3. Pihak yang hendak mengalihkan kepemilikannya kepada pihak ketiga, pengalihan kepemilikan tersebut baru efektif dapat diberlakukan ketika pihak ketiga yang menerima pengalihan telah membuat kesepakatan dengan substansi yang pada pokoknya sama dengan perjanjian ini, yakni menggantikan posisi pihak yang mengalihkan kepemilikannya disertai segala hak dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam perjanjian ini. [NOTE SHIETRA & PARTNERS : Perikatan di atas dikenal sebagai “syarat tangguh” serta novasi.]

PEMBAHASAN:

Yurisprudensi Mahkamah Agung Ri sebagaimana putusan No. 4 K/Sip/1958 tanggal 13 Desember 1958 : “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan adalah adanya hubungan atau perselisihan hukum antara kedua belah pihak.” Bila pihak pemegang saham baru membeli saham dari “pendiri A”, maka artinya pemegang saham baru hanya memiliki hubungan hukum dengan pihak “pendiri A”, ia tidak memiliki hubungan hukum dengan pihak “pendiri B”. Pada titik itulah, kondisi dan posisi pihak-pihak menjadi riskan, dimana bibit sengketa hukum berpotensi timbul untuk “meledak” dikemudian hari. Perjanjian konvensional semacam demikian, ibarat cangkang telur, rentan untuk “pecah” alias “ringkih”.

Bila pihak “pendiri A” tidak memiliki itikad baik kepada “pendiri B” saat ia mengalihkan saham miliknya kepada pihak ketiga, yakni tidak memberitahu keberadaan perjanjian antar pendiri perseroan dan tidak meminta komitmen untuk ikut patuh dan tunduk, maka “pemegang saham baru” akan berkelit bahwa dirinya tidak pernah mengetahui dan baru mengetahui adanya perjanjian antar pendiri semacam itu, dimana perjanjian demikian tidaklah mengikat “pemegang saham baru” yang menerima pengalihan saham berdasarkan jual-beli saham dari salah satu pendiri perseroan.

Bisa juga terjadi, “pendiri A” memberitahu calon “pemegang saham baru” mengenai adanya “Joint Venture Agreement” yang semula dibentuk oleh para pendiri perseroan. Lalu “pemegang saham baru” menghormati dan patuh terhadap perjanjian antar para pendiri perseroan, dengan tetap menjalankan sebagaimana perjanjian antar para pendiri tersebut. Namun, siapa yang dapat menjamin, ketika “pemegang saham baru” dikemudian hari akan kembali mengalihkan kepada “pemegang saham baru kedua”, “ketiga”, dan seterusnya, apakah itikad baik untuk menyampaikan adanya perjanjian awal antar pendiri perseroan turut disampaikan saat menawarkan maupun saat menjual saham miliknya kepada pihak ketiga lainnya?

Konstruksi peristiwa berikut bukanlah wacana, namun relevan terjadi di lapangan. Banyak dijumpai dalam praktik, sekalipun keputusan-keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menyepakati sesuatu kesepakatan tertentu, namun hal tersebut sekalipun dituangkan ke dalam akta otentik notaris, substansi kesepakatan tidak dituang ke dalam Anggaran Dasar Perseroan, sehingga berpotensi tidak diketahui oleh calon pembeli saham ketika baru menjadi pemegang saham menggantikan posisi pemegang saham lama yang semula memegang saham. Seiring berjalannya waktu, puluhan tahun perseroan berdiri dan beroperasi, telah pernah diselenggarakan belasan hingga puluhan RUPS yang menyepakati kesepakatan-kesepakatan tertentu antar pemegang saham, yang sekalipun dituang ke dalam akta otentik notaris, bisa jadi akta-akta keputusan RUPS tersebut tercecer dari arsip atau bahkan tidak diinformasikan oleh pemegang saham kepada calon pembeli saham. Pembeli saham, selalu merasa dirinya tidak terikat oleh perjanjian-perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan pemegang saham lama, atau bahkan baru tahu dikemudian hari (membeli saham Perseroan Terbatas yang telah puluhan tahun berdiri, selalu ibarat “beli kucing dalam karung”), dan hanya perlu patuh serta tunduk sebatas pada Anggaran Dasar Perseroan Terbatas.

Model-model Joint Venture Agreement yang selama ini dibentuk dan disusun oleh para praktisi hukum, ibarat “bom waktu”, dimana sewaktu-waktu potensi sengketa antara “pemegang saham baru” dan salah satu pendiri awal yang masih menguasai saham, atau antara “pemegang saham baru” yang membeli saham dari “pendiri A” dan “pemegang saham baru” lainnya yang membeli saham dari “pendiri B”, merasa diri mereka perlu patuh dan tunduk pada perjanjian awal antar pendiri perseroan? Pada titik itulah, “benang kusut” terbentuk dan mengarahkan kepada sengketa hukum yang semestinya tidak perlu terjadi bila Joint Venture Agreement disusun dengan mengantisipasi peralihan saham oleh pendiri kepada pihak ketiga dikemudian hari. Singkat kata, yang efektif mengikat pemegang saham, entah pemegang saham baru yang akan akan muncul dikemudian hari, maupun pemegang saham baru lainnya, ialah Anggaran Dasar. Perjanjian-perjanjian di luar atau yang tidak tertuang ke dalam Angggaran Dasar, kerap menjadi bibit sengketa yang “mengerikan”.

Banyak juga terjadi kasus-kasus sengketa di masyarakat yang berujung gugatan perdata maupun tuntutan pidana di pengadilan di Tanah Air, A memiliki sebidang tanah yang untuk masuk ke dalam bidang tanahnya butuh melewati bidang tanah milik B, tetangganya. Maka, dibuatlah perjanjian hak pakai jalan antara A dan B, dimana B mengizinkan A untuk memakai tanah miliknya untuk keluar dan masuk ke bidang tanah milik A ke jalan umum, namun A wajib memberi kompensasi sejumlah nominal setiap bulannya kepada B selaku pemilik tanah yang akan dijadikan jalan masuk dan jalan keluar dari dan ke bidang tanah A. Masalahnya, baru timbul dikemudian hari, ketika A telah ternyata menjadikan agunan ataupun menjual tanahnya kepada pihak ketiga, sementara perjanjian hak pakai jalan tidak mengatur mitigasi kemungkinan A mengalihkan kepemilikan tanahnya kepada pihak lain.

Telah ternyata, A (maupun ahli warisnya bila A menjelma “almarhum”) benar-benar menjual tanahnya kepada pihak ketiga, dan pihak ketiga mengklaim tidak tahu-menahu adanya perjanjian antara A dan B saat jual-beli tanah. Berangkat dari kejadian tersebut, pembeli tanah alias pemilik tanah baru yang membeli tanah dari A, merasa tidak perlu patuh ataupun tunduk pada perjanjian hak pakai jalan antara A dan B. Singkat kata, A beritikad buruk dengan tidak menghormati kepentingan B, dengan mengalihkan tanak miliknya tanpa memberitahu ataupun meminta komitmen dari calon pembeli tanahnya agar turut menghormati perjanjian hak pakai jalan dengan pihak B (HIT and RUN).

Sengketa kemudian berujung pada aksi “main hakim sendiri” oleh B kepada pembeli tanah yang membeli tanah dari A. B merasa tidak dihargai dan telah dilecehkan oleh pembeli tanah yang tidak mau mengakui ataupun merasa perlu tunduk dan patuh terhadap perjanjian hak pakai jalan antara A dan B. Ujung kisahnya, justru B yang kemudian dipidana atas laporan polisi yang diadukan oleh pihak pembeli tanah yang membeli tanah dari A. Contoh kasus sebagaimana ilustrasi di atas, telah sejak lama terjadi dan masih terjadi hingga saat kini, serta masih akan terus muncul korban-korban serupa yang berjatuhan.

Perjanjian-perjanjian yang tidak mengantisipasi kejadian dimasa mendatang, adalah perjanjian yang dapat menyerupai bumerang dikemudian hari, terutama ketika salah satu pihak merasa tidak memiliki tanggung-jawab moral ataupun ketika pihak pembeli memiliki itikad tidak baik maupun bilamana tidak bersedia untuk patuh dan tunduk pada perjanjian antar pemilik semula dan pihak lainnya. Perjanjian yang mengandung bahaya laten dibaliknya seperti demikian, sudah saatnya dikoreksi dan diakhiri “warisan sejarahnya”, dengan cukup semudah memasukkan setidaknya tiga buah klausula sebagaimana telah penulis kemukakan di muka, menghindari potensi konflik hukum maupun sosial yang tidak perlu terjadi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.