Norma Hukum yang Memberi Harapan Palsu, Memberi Iming-Iming, namun Tidak dapat Dieksekusi
Question: Bukankah terhadap suatu aturan hukum, yang bila belum pernah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, artinya aturan tersebut masih berlaku dan mengikat secara umum (erga omnes)?
Brief Answer: Memang betul bahwa suatu norma hukum, pasal,
ayat, Undang-Undang, peraturan perundang-undangan, sepanjang belum dicabut,
diubah, diganti, dibatalkan oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi,
nilai ekstrinsiknya ialah “sah dan berlaku” sebagai peraturan
perundang-undangan—namun, belum tentu diberlakukan secara efektif. Adapun nilai
intrinsik dari suatu norma hukum, yakni sebuah pertanyaan yang relevan terhadap
kedekatan realitanya, antara lain bisa berupa pasal-pasal yang “dianak-emaskan”
alias efektif diberlakukan dan pasal-pasal lain manakah yang dalam praktiknya
“dianak-tirikan” alias tidak diberlakukan secara efektif (tidak benar-benar serius
di-implementasikan).
Sebagai contoh ialah ketentuan dalam norma hukum,
yang mewajibkan saksi yang dipanggil oleh pihak penyidik ataupun untuk
keperluan persidangan, bilamana saksi tidak hadir sekalipun telah dipanggil
secara patut dan sah, maka dapat “dijemput secara paksa”. Akan tetapi,
ketentuan hukum tersebut senyatanya selama ini tidak pernah diberlakukan secara
efektif alias “dianak-tirikan”. Begitupula amar putusan terkait “hak alimentasi”
dan “hak asuh” anak dalam kasus-kasus perkara perceraian, sekalipun amar
putusan menyatakan tegas “menghukum”, namun bila pihak yang terhukum tidak
bersedia melaksanakannya secara sukarela, pertanyaan yang selama ini mengemuka
ialah : bagaimana cara mengeksekusinya? Hukum internasional, sebagai ilustrasi
lainnya, lebih dikenal dengan julukan sebagai “hukum moral”—disebut demikian
semata karena tidak memiliki otoritas untuk memberlakukan “daya paksa”.
Terdapat pasal-pasal di dalam regulasi setingkat Undang-Undang
sekalipun, yang telah ternyata lebih menyerupai “pasal penggembira” (lautan
konten dalam Undang-Undang Cipta Kerja), “pasal iming-iming”, “pasal karet”
(multitafsir), “pasal akrobatik” (dibantah sendiri dalam peraturan yang sama
semisal terkait penggunaan lagu milik Hak Cipta orang lain, apakah harus terlebih
dahulu mengantongi izin pihak pencipta?), “pasal yang didiskriminasikan”, “pasal
macan ompong” (tidak dapat dihukum bagi pihak yang melanggarnya), “pasal banci”
(ambigu alias rancu pengaturannya), “pasal ambivalensi” (maju kena, mundur pun
kena), “pasal bumerang” (ditegakkan, namun akibatnya ‘langit runtuh’), hingga “pasal-pasal
yang diberlakukan secara separuh hati” (semisal ancaman hukumannya besar namun
dalam praktik rata-rata divonis relatif ringan oleh hakim).
Dalam derajat kedua, praktek “meng-anak-tiri-kan”
dilakukan oleh para pejabat pemerintahan atau Aparatur Sipil Negara, yang
biasanya terkait “ego sektoral”. Sebagai contoh, pernah terjadi perdebatan
antara penulis dan seorang Pejabat Lelang di Kantor Lelang Negara, dimana
penulis menyatakan bahwa aturan-aturan di dalam Peraturan Menteri Keuangan
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang bertentangan dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (setara Undang-Undang), sehingga yang berlaku ialah Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi, secara arogan sang Pejabat Lelang
yang bernaung dibawah Kementerian Keuangan, bersikukuh bahwa Peraturan Menteri
Keuangan adalah lebih tinggi dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata—seakan
hendak berkata bahwa konstitusi tertinggi mereka ialah Peraturan Menteri
Keuangan, sekalipun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945.
PEMBAHASAN:
Nilai ekstrinsik adalah nilai
tambahan yang bukan berasal dari dalam objek itu sendiri, melainkan dari
pengaruh eksternal seperti masyarakat, budaya, atau nilai-nilai yang berlaku.
Nilai ekstrinsik, tidak selalu sejalan linear dengan nilai intrinsik objek yang
sama. Nilai ekstrinsik sebuah uang, adalah nilai yang ditetapkan oleh
pemerintah, seperti nilai nominal yang tercetak di uang kertas. Nilai ini bisa
berbeda dengan nilai intrinsik, yaitu nilai bahan yang digunakan untuk membuat
uang.
Sebaliknya, Nilai intrinsik
adalah nilai sebenarnya atau nilai hakiki dari suatu objek yang ditentukan
berdasarkan analisis mendalam terhadap faktor-faktor fundamentalnya. Nilai
intrinsik menggunakan pendekatan penilaian yang real, yakni berusaha untuk
menilai nilai sebenarnya dari suatu objek, terlepas dari fluktuasi dalam
praktik. Penentuan nilai intrinsik melibatkan analisis mendalam terhadap
faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi aset tersebut, seperti kinerja
keuangan, prospek pertumbuhan, dan kondisi industri.
Disamping itu, nilai intrinsik
dapat berbeda dengan nilai pasar yang merupakan harga yang sebenarnya
dibayarkan di pasar. Jika nilai intrinsik lebih tinggi dari nilai pasar, maka
aset tersebut dianggap undervalued
(terlalu murah). Mengetahui nilai intrinsik dapat membantu investor dalam
membuat keputusan investasi yang lebih tepat, seperti menentukan perusahaan atau
entitas bisnis maupun asset yang layak diakuisisi atau dijual.
Begitupula dalam menyikapi
suatu norma-norma hukum, dapat dipilah secara kritis lewat analisa realistis
perihal implementasinya lengkap dengan berbagai faktor dominan maupun faktor
minor yang dapat menyertainya, agar tidak termakan dan memakan “pasal-pasal iming-iming”
yang hanya memberi “harapan palsu” ataupun sebaliknya “ancaman palsu”. Singkatnya,
nilai intrinsik adalah nilai yang melekat pada sesuatu yang dapat ditentukan
berdasarkan analisis mendalam dan berbeda dengan “norma hukum” yang dipengaruhi
oleh regulator maupun proses legislasi pembentuk peraturan perundang-undangan.
Salah satu contoh lainnya ialah
pengaturan hukum dalam Pasal 12 Ayat (1) Huruf (j) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 122 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang : “Penjual bertanggungjawab terhadap: penyerahan
Objek Lelang barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.” Aturan hukum di atas, sifatnya ialah “too good to be true”, sehingga tidak
sejalan dengan “akal sehat” dimana telah ternyata pula selama ini tidak pernah
dapat diberlakukan secara efektif—bahkan terkesan “menjebak” calon pembeli objek
lelang eksekusi, mengingat Peraturan Menteri Keuangan versi tahun sebelumnya
juga mengatur norma hukum serupa sekalipun selama ini tidak pernah dapat
diberlakukan secara efektif dalam tataran praktik.
Aturan hukum tersebut, hanya relevan
dalam “lelang sukarela” alias “non eksekusi” hak tanggungan maupun putusan pengadilan.
Pihak kreditor pemohon lelang eksekusi semudah berkelit dengan mendalilkan : “Kami menjual objek lelang eksekusi ini,
dalam kondisi ‘apa adanya’ (as it is). Beli, artinya resiko ditanggung sendiri
oleh pembeli lelang eksekusi.” Mungkin Anda terpancing untuk mendebat,
bahwa itu merupakan “hukum positif” alias norma hukum yang berlaku secara sah
karena belum pernah dibatalkan ataupun dihapus baik oleh peraturan terbaru
maupun oleh putusan terkait uji materiil. Namun pernahkah Anda mempertanyakan,
sekalipun Anda menggugat dengan memakai dasar hukum berupa “hukum positif” di atas,
maka siapakah yang akan Anda gugat dan jadikan pihak tereksekusinya, kreditor
pemohon lelang eksekusi ataukah debitor pemilik agunan?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.