NOTARIS adalah Agen MAFIA TANAH, Fakta Keberadaan Dibalik Berbagai AJB maupun Akta Pelepasan Hak Tanpa Adanya “Alas Hak” Sama Sekali
AJB Ditingkatkan menjadi SHM, OMONG KOSONG
Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi adalah “Alas
Hak”, OMONG KOSONG
Bila Anda ingin mengetahui praktik “mafia tanah” yang tumbuh subur secara masif, diperantarai oleh siapa, dan dibiarkan oleh siapakah, maka ulasan berikut akan membuat Anda tersadar betapa mengerikannya praktik dunia hukum di Indonesia, dimana kegiatan ilegal pun dibiarkan berpraktik sehingga menjelma “serupa legal secara terselubung” (akibat pembiaran). Faktanya, salah satu aktor yang menyediakan fasilitas praktik “mafia tanah”, memiliki kantor dan plang nama yang berada pada setiap ruas jalan perumahan di perkotaan maupun di setiap kabupaten di seluruh Indonesia, tidak lain tidak bukan ialah kalangan profesi Notaris selaku “Pejabat Umum” yang kerap menyalahgunakan logo Garuda pada akta yang dibuat olehnya.
Penulis mengungkap fakta
berikut, mengingat masifnya korban maupun sengketa hukum yang terjadi akibat
praktik kalangan profesi Notaris, sehingga selalu sampai pada kesimpulan bahwa
Notaris adalah bagian dari sindikat “Mafia Hukum”, dimana sang Notaris dan
Mafia Tanah saling bersimbiosis-mutualisme. Kerap penulis jumpai dalam fakta
empirik di lapangan, pihak-pihak menawarkan tanah untuk ia jual kepada
masyarakat luas, sama sekali tanpa “alas hak”. Yang disebut “alas hak” menurut
hukum agraria nasional di Indonesia, hanya terdiri dari “sertifikat hak atas
tanah” sebagaimana dikenal dalam Undang-Undang tentang Pokok Agraria—bisa
berupa Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Usaha, Sertifikat Hak Guna
Bangunan, dan Sertifikat Hak Pakai—serta tanah “hukum adat” yang bernama “girik”.
Namun, dalam realita yang ada,
sekalipun tanpa “alas hak”, sama sekali tiada “sertifikat hak atas tanah”
maupun “girik”, terdapat Akta Jual-Beli (AJB) yang dibuat oleh Notaris—akta
otentik, namun sejatinya ilegal, karena ibarat jual-beli objek yang “kosong”
dan tidak legal menurut hukum agraria. Bagi masyarakat, ingatlah selalu pesan
berikut : untuk jual-beli tanah girik (tanah hukum adat), TIDAK DIBUTUHKAN
Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi maupun Akta Jual Beli, namun cukup datang
ke hadapan Kepala Desa (asas terang) dan membayar sejumlah uang panjar tanda
jadi pembelian (asas tunai), maka tanah girik pun beralih kepemilikannya secara
sah dan resmi. Hukum adat hanya mensyaratkan “asas terang dan tunai”, tidak
butuh Akta Notaris sama sekali.
Lantas, apa yang menjadi modus
para “Mafia Tanah” di lapangan? Mereka, menawarkan tanah dengan iming-iming
“alas hak” berupa AJB, dimana nantinya akan dibuatkan “AJB terhadap AJB”. Fakta
hukum kedua berikut, pun harus Anda ketahui dan ingat betul sebagai anggota
masyarakat agar tidak termakan oleh modus “Mafia Tanah” yang berkomplot dengan
kalangan profesi Notaris : AJB maupun Akta Notaris apapun namanya, bukanlah
“alas hak”. Akta Notaris, hanya bersifat dan berfungsi sebagai tanda
bukti pengalihan hak, namun hak atas tanahnya itu sendiri harus berupa “alas
hak” yang sah berupa “girik” terbitan Kantor Desa ataupun “sertifikat hak atas
tanah” terbitan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan tercatat dalam buku
register tanah di Kantor Desa maupun di BPN. Sehingga, modus para “Mafia
Tanah” ialah membuat selubung, dengan membuat istilah “AJB terhadap AJB”.
Jual-beli terhadap sesuatu
kehampaan, sama artinya membeli kekosongan. Kesemua kalangan Notaris menyadari
dan mengetahui betul hal ini, salah satu contohnya ialah sertifikat tanah induk
kalangan Developer yang belum dipecah oleh pihak pengembang, Notaris/PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah) tidak dapat untuk membuat AJB dengan pihak
konsumen produk properti sang Developer, karena objeknya “belum ada”. Saat
sertifikat tanah induk telah dipecah, barulah ada “alas hak” yang dapat dialihkan,
berupa masing-masing “sertifikat hak atas tanah” sesuai luas persil
masing-masing unit properti, sehingga AJB dapat efektif dilakukan antara sang
konsumen dan pihak Developer. Sepanjang sertifikat induk belum pecah, maka
selama itu pula sifat hubungan hukum keperdataaan-kontraktual antara sang
Developer dan pihak konsumen ialah sebatas PPJB (perjanjian pengikatan
jual-beli). Contoh lain, bisakah seseorang membuat Akta Hibah-Wasiat yang
menghibahkan sebidang tanah, namun tanpa adanya bukti “alas hak”? Ingat,
siapapun bisa mengklaim memiliki sebidang tanah, termasuk mengklaim tanah milik
orang lain sebagai miliknya.
Sehingga, atas dasar delusi
apakah, bila tiada “alas hak”, kalangan profesi Notaris bisa membuatkan Akta
Notaris semacam AJB maupun Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi? Jelas itu
melanggar unsur objektif syarat sah perjanjian perihal “causa yang sahih”,
dengan konsekuensi “batal demi hukum” (null
and void). Dengan demikian, selama ini kalangan profesi Notaris melakukan praktik
yang nyata-nyata ilegal secara terang-terangan, dimana penulis menjumpai
praktik demikian mulai dari kalangan Profesi Notaris di Perkotaan besar hingga
di Kabupaten di daerah pelosok. Apakah efek berantai dan efek domino yang
kemudian bergulir? Sangat mengerikan, berbagai sengketa tanah secara perdata
hingga pidana, menjadi harga mahal yang harus dibayar oleh anggota masyarakat
akibat Notaris-Notaris yang berjejaring dengan kalangan “Mafia Tanah”.
Masifnya modus “Mafia Tanah”
yang menggunakan Akta-Akta Notaris, seolah-olah mereka memiliki “alas hak”,
lalu membuat AJB, Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi, maupun produk Notaris
lainnya semacam Waarmerking dan sejenisnya. Pada gilirannya, timbul blunder,
dimana masyarakat pun menjadi ter-“sesat”-kan, seolah AJB ataupun Akta
Notaris sejenisnya adalah “alas hak”, sekalipun sejatinya bukan. Bahkan,
ironisnya, akibat selubung bernama Akta Notaris, tidak jarang kalangan hakim di
pengadilan turut terkecoh, tidak menyadari bahwa Akta Notaris tersebut
sejatinya tidak memiliki “alas hak”, dan termakan oleh alibi sang “Mafia Tanah”
bahwa “alas hak” miliknya ialah AJB ataupun Akta Pelepasan Hak Dengan
Ganti-Rugi sehingga seolah memiliki “legal
standing” untuk melapor ataupun menggugat.
Faktanya, siapapun bisa
membuat Akta-Akta Notaris tersebut, mengklaim tanah seluas puluhan hingga
ratusan ribu meter persegi, atau sebuah gunung, sebuah kebun, sebuah bukit,
sebagai miliknya, lalu dijual kepada sekutu-persekongkolannya (kesemua yang
terlibat antara penjual dan pembeli adalah sesama sindikat Mafia Tanah) lewat
AJB maupun Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi. Berbekal Akta Notaris
tersebut, pihak tersebut melakukan aksi persekusi berupa penyerobotan,
perampasan, penguasaan secara main hakim sendiri, premanisme, hingga mengajukan
gugatan perdata maupun tuntutan pidana kepada pihak lain, dimana tidak jarang
aparatur penegak hukum menjadi terkecoh oleh selubung-selubung dibalik kemasan
istilah “alas hak”—tanpa menyadari bahwa sejatinya kesemua Akta Notaris
tersebut bukanlah “alas hak”, mengingat fakta yuridisnya Notaris
bukanlah lembaga yang berhak menerbitkan “alas hak” (juga bukan “lembaga”).
Agar tidak terkecoh oleh
berbagai selubung yang dibangun kalangan “Mafia Tanah” yang bersekongkol dengan
kalangan Notaris, perlu diingat dan dipahami dengan baik, bahwa : AKTA
NOTARIS BUKANLAH “ALAS HAK”, apapun itu produk dan nama istilah aktanya.
Mungkin diantara para pembaca memiliki pertanyaan, lantas, kapankah Akta
Notaris tersebut dibutuhkan? Seperti telah penulis uraikan di muka, untuk tanah
“hukum adat” berupa “girik”, tidak dibutuhkan Akta Notaris sama sekali, cukup
patuh terhadap “asas terang dan tunai”. Namun, ketika tanah “hukum adat” hendak
didaftarkan ke BPN agar terbit “sertifikat hak atas tanah” berupa SHM, SHGU,
ataupun SHGB, maka persyaratan yang diminta oleh pihak BPN setempat ialah
dokumen berikut:
1.) Surat Keterangan Riwayat
Tanah dari Kepala Desa;
2.) Surat Keterangan Bebas
Sengketa dari Kepala Desa;
3.) Akta Pelepasan Hak Dengan
atau Tanpa Ganti Rugi dari Notaris;
4.) Surat girik itu sendiri—“girik”
pun terkadang wujudnya menyerupai sertifikat tanah BPN, di sejumlah daerah
bahkan surat girik memiliki lembar semacam “surat ukur”.
Banyak kalangan agen properti,
yang secara tidak etis mengecoh dan memperdaya calon konsumennya, dengan
iming-iming bahwa “AJB terhadap AJB dapat ditingkatkan menjadi SHM, dengan semudah
membawa AJB tersebut ke BPN” atau “nanti kami bantu tingkatkan AJB menjadi SHM”.
AJB, sekali lagi, bukanlah “alas hak”, dan siapapun dapat membuatnya,
dimana seringkali disalahgunakan oleh kalangan “Mafia Tanah”. Mengapa agen-agen
properti jahat tersebut, dapat memakai modus jahat mengecoh demikian? Tanpa
adanya kesempatan, maka niat jahat tidak mungkin direalisasikan. Niat jahat
terjadi, bukan hanya karena ada niat jahat, namun juga karena ada kesempatan. Bangsa
Indonesia merupakan bangsa “agamais”—meski, ironisnya, ideologi yang mereka anut
dan peluk ialah dogma “penghapusan dosa”, dimana jelas-jelas hanya seorang
pendosa yang butuh “penghapusan dosa”. Semakin “agamais” mereka, semakin Anda
harus berhati-hati terhadap mereka.
Lantas, siapakah yang
menyediakan kesempatan untuk kejahatan tersebut berlangsung dan terjadi? Tidak
lain tidak bukan ialah kalangan profesi Notaris yang membuat AJB tersebut,
bahkan tega membuatkan “AJB terhadap AJB” sekalipun sama sekali tiada
“alas hak” apapun. Perlu masyarakat luas pahami, bagi masyarakat yang hendak
membeli tanah, tiada “alas hak” selain girik dan “sertifikat hak atas tanah
terbitan BPN”. Diluar itu, entah dikemas dengan istilah Akta Notaris,
AJB, Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi, bukanlah “alas hak”. Cukup kedua
prinsip itu saja yang Anda pegang ketika mencari tanah untuk Anda beli, ataupun
bagi kalangan aparatur penegak hukum yang dihadapkan pada sengketa hukum. Baik
Kantor Desa maupun BPN, tidak menerima Akta-Akta Notaris tersebut, alias “tidak
laku”, semua orang bisa membuatnya. Contoh, bila Anda hendak membeli
SHM dan “balik-nama”, tidak bisa Anda datang ke BPN hanya berbekal AJB, Anda
juga harus membawa serta SHM yang Anda beli tersebut.
Saking serakahnya kalangan
profesi Notaris di Indonesia, meskipun sudah begitu memonopoli akta-akta
pembuatan perusahaan, akta jaminan kebendaan, akta-akta otentik berlogo burung
Garuda, akta jual-beli tanah dengan menuntut tarif “persenan dari harga
jual-beli”, namun masih juga memakan “uang kotor” dari kalangan “Mafia Tanah”
dan memberikan fasilitas bagi modus-modus kejahatan pertanahan yang sudah
banyak memakan korban demikian. Sekalipun, “papan” merupakan satu dari tiga
kebutuhan pokok setiap anggota masyarakat, mencerminkan betapa jahatnya mental
kalangan sindikat “Mafia Tanah’. Bila ada diantara para pembaca yang menilai
bahwa profesi pengacara adalah profesi terkotor di dunia, maka Anda keliru,
tiada ada yang lebih kotor daripada profesi Notaris, Mafia Tanah yang tumbuh
subur dan dibiarkan oleh negara—meski mungkin masih ada segelintir kecil
kalangan Notaris yang menolak membuat AJB ataupun Akta Notaris sejenis lainnya
tanpa adanya bukti “alas hak”.
Uraian ini sekaligus
mencerminkan keprihatinan penulis terhadap dunia hukum maupun praktik
pertanahan di Indonesia, masyarakat maupun aparatur penegak hukum dikeruhkan
oleh “praktik sesat” kalangan Notaris, sehingga timbul kesan bahwa Akta Notaris
berupa AJB maupun Akta Pelepasan Hak Dengan (atau Tanpa) Ganti Rugi adalah
“alas hak” sehingga membuat pemegang akta berhak untuk menggugat, melaporkan,
melakukan persekusi, merampas, serta melakukan praktik-praktik jahat lainnya.
Fenomena pengecohan demikian, tidak akan terjadi bilamana kalangan Notaris
ditertibkan, atau setidaknya memiliki “etika bisnis” dengan menolak membuat
Akta Notaris terkait tanah tanpa adanya bukti “alas hak” yang dialihkan hak
kepemilikannya.
Siapapun bisa mengklaim, kebun anu, ladang anu, gunung
anu, seluas ribuan hingga ratusan ribu meter persegi, adalah milik kita yang
akan kita jual dan minta dibuatkan AJB ataupun Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti
Rugi. Hanya ada dua kemungkinan
ketika sang Notaris bersedia membuatkan Akta Notaris : Pertama, Notaris
tersebut “dungu” (namun mengapa juga diberi izin praktik dan dibiarkan
berkeliaran mencari mangsa lewat plang nama kantor mereka?). Kedua, Notaris
tersebut adalah “Mafia Tanah”. Itulah, akibat Kode Etik Notaris yang isinya
justru lebih menyerupai Anggaran Dasar dan Rumah Tangga sebuah perusahaan,
perihal etika berpraktik pun minim pengaturannya. Yang layak disebut Kode Etik,
sejauh pengetahuan penulis, hanyalah Kode Etik Jurnalistik, dimana bahkan Kode
Etik Kejaksaan yang isinya sedikit namun kaya akan pengaturan etika, singkat
namun padat etika.
Bagaimana perihal “aquisitive verjaring”, bukankah juga
merupakan “alas hak” yang diakui menurut hukum perdata di Indonesia? Bila itu
hanya untuk ditempati sendiri oleh sang penguasa / pengelola fisik tanah selama
dua puluh tahun atau lebih secara itikad baik tanpa gangguan dari pihak
manapun, maka itu sah-sah saja. Namun, tanah “aquisitive verjaring” tidak dapat dialihkan kepada pihak lain,
atas dasar alasan logis apakah? Jika Anda termakan oleh klaim penjual telah
menguasai fisik tanah selama 50 tahun, katakanlah sebagai contoh, lantas Anda
termakan kata-kata berisi klaim sepihak itu dan membelinya, bagaimanakah cara
Anda mendaftarkannya ke Kantor Desa maupun ke BPN? Bisa jadi “klaim” tersebut
adalah dusta alias kata-kata bodong belaka—sebagaimana kata pepatah, “lidah tidak
bertulang”. Anda tahu sendiri watak orang “Made in Indonesia” (Warga Konoha,
Warga IQ 78) yang gemar korupsi namun masih juga berdelusi yakin terjamin masuk
surga, dimana “Indonesia tidak pernah kekurangan kalangan penipu”.
“Aquisitive
verjaring”, barulah diakui secara hukum sebagai “alas hak”, ketika telah
dikukuhkan ke dalam gugatan perdata. Sebagai contoh, penghuni tanah yang telah
mengelola tanah selama 20 atau 30 tahun, mendapati tanahnya disertifikatkan
oleh pihak lain (sebagaimana kerap terjadi dalam praktik), maka ia dapat
menggugat secara perdata untuk membatalkan sertifika tanah terbitan BPN
tersebut. Selanjutnya, atas dasar putusan pengadilan perdata tersebut, ia dapat
menjualnya kepada pihak ketiga ataupun mendaftarkannya ke BPN untuk diterbitkan
“sertifikat hak atas tanah” ke atas nama dirinya selaku pemilik dan penghuni
selama ini. Putusan pengadilan perkara perdata, merupakan “alas hak” lain yang
diakui dalam hukum agraria di Indonesia. Sebaliknya, ketika pihak ketiga
menggugat sang penghuni ke pengadilan, sang penghuni dapat membuktikan bahwa ia
telah menghuni dan menguasai fisik tanah selama 20 tahun atau 30 tahun, maka
sang penghuni akan dinyatakan oleh pengadilan sebagai pemilik tanah berdasarkan
keberlakuan ketentuan “aquisitive
verjaring” berikut:
- Pasal 1951 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) :
“Dalam tiap tingkatan pemeriksaan perkara dapatlah seorang menunjuk pada
daluwarsa, bahkan dalam tingkatan banding.”
- Pasal 1946 KUHPerdata : “Daluwarsa adalah suatu alat untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.”
- Pasal 1954 KUHPerdata : “Pemerintah, selaku wakil Negara, Kepala
Pemerintahan Daerah, yang bertindak dalam jabatannya, dan lembaga-lembaga umum,
tunduk kepada daluwarsa-daluwarsa yang sama seperti orang-orang perseorangan,
dan mereka dapat menggunakannya dengan cara yang sama.”
- Pasal 1957 KUHPerdata : “Seorang yang sekarang menguasai suatu
kebendaan, yang membuktian bahwa ia menguasainya sejak dahulu kala, dianggap
juga telah menguasainya selama selang waktu antara dulu dan sekarang itu,
dengan tidak mengurangi pembuktian hal sebaliknya.”
- Pasal 1965 KUHPerdata : “Itikad baik selamanya harus dianggap ada,
sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk, diwajibkan
membuktikannya.”
- Pasal 1967 KUHPerdata : “Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat
perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan
lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya
daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah
dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang
buruk.”
- Pasal 1955 KUHPerdata : “Untuk memperoleh Hak Milik atas sesuatu
diperlukan bahwa seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak
terganggu, dimuka umum dan secara tegas sebagai pemilik.”
- Pasal 1963 KUHPerdata : “Siapa yang dengan itikad baik, dan
berdasarkan suatu alasan hak yang sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu
bunga, atau suatu pitang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh
hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama 20
tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh
hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alasan
haknya."
Ketika, tanah oleh pemegang “aquisitive verjaring” dijual kepada pihak
ketiga tanpa “alas hak” lainnya, maka ia (sang pembeli) harus bisa membuktikan
bahwa pihak penjualnya telah menguasai dan mengelola fisik tanah objek sengketa
tersebut selama 20 tahun atau 30 tahun lamanya, ketika ia digugat ataupun
menggugat pihak ketiga. Bila sang pembeli tidak mampu membuktikannya, maka ia
tidak mendapat perlindungan hukum. Itulah sebabnya, menjadi dapat kita maklumi
dan pahami, mengapa sebagian kalangan Sarjana Hukum menilai bahwa “aquisitive verjaring” sudah tidak
berlaku di Indonesia. Sebetulnya masih berlaku dalam praktik peradilan hingga
saat kini, namun sifatnya ialah “quasi
alas hak”, karena masih harus dikukuhkan lewat putusan pengadilan
perdata.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.