KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kerugian Terbesar menjadi Umat Agama Samawi Pecandu “PENGHAPUSAN DOSA”

Umat Agama Samawi Kudu Balas Dendam. Jika Tidak, Maka Merugi karena Percuma Lapor / Mengadu ke Allah jika Jadi korban dari Perbuatan Umat Agama Samawi Lainnya

Yang Hidup dari KORUPSI DOSA, akan Mati oleh KORUPTOR DOSA Lainnya

Question: Ada umat agama samawi, yang bilang bahwa kaum NON adalah kaum yang “merugi”, maksudnya itu apa?

Brief Answer: Bertolak-belakang dari klaim sepihak demikian, lewat akal sehat dan pikiran yang jernih (common sense), kita akan menyadari bahwa yang terjadi ialah sebaliknya. Sebagai contoh, sang umat agama samawi tersebut dijadikan korban oleh sesama umat agama samawi—baik disakiti, dilukai, maupun dirugikan—lalu sang pendosa / penjahat lewat ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA”, melakukan ritual permohonan “PENGHAPUSAN DOSA” semudah “lip service” tanpa perlu mempertanggung-jawabkan perbuatannya ataupun menerima konsekuensi dari perbuatan-perbuatan buruknya sendiri. Akibatnya, sang korban (sang umat agama samawi yang disakiti, dirugikan, ataupun dilukai), akan menemui nasibnya hanya dapat “gigit jari”, mengingat Allah lebih PRO terhadap pendosa, sehingga menjadi percuma saja mengadu / melapor kepada Allah.

Itulah sebabnya, ketika umat agama samawi disakiti, dilukai, ataupun dirugikan oleh sesama umat agama samawi, satu-satunya pilihan bagi mereka ialah mati-matian menggugat perdata meminta ganti-rugi, menuntut pidana agar pelakunya dihukum penjara, ataupun membalas-dendam “mata balas mata”, jika perlu “main hakim sendiri”. Jika gugatan perdata gagal, laporan pidana gagal, balas-dendam gagal, “main hakim sendiri” pun menemui kegagalan, maka sang umat agama samawi yang notabene “korban dari perbuatan sesama umat agama samawi” hanya bisa “gigit jari” dan “merugi sendiri”—mengingat dosa-dosa pelaku kejahatannya dihapuskan oleh Allah (abolition of sins). Kabar gembira bagi pendosa, sama artinya kabar buruk dan duka bagi korban.

Sebaliknya, bagi para penganut dogma egalitarian bernama “hukum sebab-akibat” atau “hukum tabur-tuai”, tidak menggugat, tidak melaporkan, bahkan tidak membalas perbuatan sang pelaku, keadilan tetap akan diperoleh sang korban, mengingat sang korban bukanlah seorang PECANDU IDEOLOGI KORUP BERNAMA “PENGHAPUSAN DOSA”. Singkat kata, ketika seseorang memakan dan termakan ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA”, maka ia menjelma “KORUPTOR DOSA”. Seorang “KORUPTOR DOSA”, konsekuensinya ialah ia kehilangan hak istimewa yang tercerabut darinya semenjak ia menikmati ideologi KORUP “PENGHAPUSAN DOSA” tersebut, sehingga ketika giliran ia dijadikan KORBAN dan menjadi KORBAN, maka pelaku kejahatannya pun akan dihapus dosa-dosa kejahatannya. Tidaklah dapat dibenarkan seseorang “berstandar ganda”, berdelusi bahwa dirinya berhak menikmati “PENGHAPUSAN DOSA” sementara sang pelaku yang menyakiti dirinya tidak berhak menikmati ideologi KORUP serupa ketika menyakiti, melukai, maupun merugikan sang pendosawan PECANDU “PENGHAPUSAN DOSA”.

PEMBAHASAN:

Pepatah sudah lama mengingatkan kita, “yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang”. Yang hidup dari dosa, akan mati karena dosa. Yang hidup dari “PENGHAPUSAN DOSA”, akan mati karena “PENGHAPUSAN DOSA”. Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik—“ADA PENGHAPUSAN DOSA, siapa takut berbuat DOSA?!” kata mereka—namun disaat bersamaan, terhadap yang berbeda keyakinan, mereka begitu intoleran. Bagai orang buta, neraka dipandang sebagai surga, yang tercela disebut sebagai terpuji, tidak terkecuali ketika mereka membuat klaim “kaum NON adalah kaum yang ‘merugi’”.

Tidak jarang penulis mengalami kondisi dimana penulis disakiti, dirugikan, maupun dilukai pihak lain. Namun, penulis tidak menuntut pembalasan, juga tidak menagih pertanggung-jawaban, terlebih mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang pelaku—mengingat penulis tahu betul watak Bangsa Indonesia, bermulut besar perihal kitab, agama, dan Tuhan, namun miskin dan “NOL besar” soal sikap bertanggung-jawab, bahkan seringkali lebih galak yang bersalah daripada sang korban. Adalah kepentingan pribadi sang pelaku untuk bertanggung-jawab atas perbuatan buruknya sendiri, agar tidak memetik buah Karma Buruk dikemudian hari sebagai konsekuensinya.

Lantas, apakah penulis menjadi “merugi” karena pelakunya tidak bertanggung-jawab, gagal meminta pertanggung-jawaban, tidak mengemis pertanggung-jawaban, serta tidak membalas dendam? Mengingat penulis bukanlah seorang pribadi yang memakan ataupun termakan ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA”, maka penulis memiliki hak prerogatif berupa hak istimewa mengakses keadilan dari para pelaku yang telah pernah menyakiti, merugikan, ataupun melukai penulis, yakni apa yang selama ini dikenal luas dengan istilah “HUKUM KARMA”. Untuk itulah, Sang Buddha bersabda:

DHAMMAPADA

123. Ibarat saudagar beharta banyak berpengawal sedikit menghindari jalan berbahaya, juga ibarat orang berharap hidup menghindari racun, demikianlah seseorang patut menghindari keburukan.

124. Jika tiada luka di tangan, seseorang dapat membawa racun dengan tangannya karena racun tidak meresap ke tangan tak berluka. Demikian pula, keburukan tidak ada pada bukan si pelaku.

125. Keburukan akan (balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.

127. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, seseorang dapat lolos dari (akibat) perbuatan buruknya.

128. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di atas angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, Sang raja kematian tak mampu mendapati si pelaku keburukan.

131. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri dengan mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan tidak mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

132. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri tanpa mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

136. Di kala melakukan keburukan-keburukan, si dungu tidak menyadari. Ia yang berkebijaksanaan dangkal itu akan menderita karena perbuatan sendiri, bak terbakar api.

137. Barangsiapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak mencelakai dan tidak mendera, ia akan segera menemui salah satu di antara sepuluh keadaan:

138. perasaan menyengat, keterpurukan, cacat tubuh, sakit keras, gangguan jiwa,

139. usikan raja, hasutan menyakitkan, kehilangan sanak keluarga, kemusnahan harta benda,

140. kebakaran rumah oleh api hutan, atau, setelah si dungu itu tiba ajal, masuk ke neraka.

143. Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.

158. Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.

159. Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.

160. Diri sendirilah pelindung diri. Sosok lain siapakah dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri terlatih baik, akan mendapat perlindungan nan sulit didapat.

161. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, lahir dari diri, berasal dari diri. Keburukan itu akan mencelakai si dungu, laksana berlian melukai intan.

162. Kedursilaan yang akut melilit si pelaku, layaknya ara pencekik melilit pohon sâla. Ia memperlakukan diri sendiri sebagaimana penjahat menghendaki.

163. Perbuatan buruk dan merugikan diri amat mudah dilakukan, sebaliknya perbuatan baik dan bermanfaat amat sulit dilakukan.

164. Karena pandangan nistanya, orang dungu menyangkal ajaran para suciwan nan mulia, hidup sesuai dhamma. Pandangan nistanya muncul demi membunuh diri, layaknya buah bambu muncul demi membunuh pohonnya.

165. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi kotor. Oleh diri sendiri keburukan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci tidak suci adalah perihal pribadi. Tiada sosok lain dapat menyucikan lainnya.

167. Tak sepantasnya seseorang bergelut dengan hal rendahan, tak sepatutnya bergumul dengan kelengahan, tak semestinya berpegang pada pandangan keliru, tak seyogianya menjadi pengeruh dunia.

172. Ia yang dulunya lengah menjadi tidak lengah di kemudian waktu dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

173. Ia yang membendung perbuatan buruk yang dilakukan dengan kebaikan dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

174. Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.

186. Kesenangan inderawi tidak pernah bisa kenyang oleh hujan kepingan emas. Kesenangan inderawi mengandung sekelumit suka, mendatangkan duka. Setelah memahami demikian,

207. Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya, bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan sanak keluarga.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

252. Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.

256. Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang menjadi perkara dan bukan perkara.

260. Bukan karena berkepala beruban seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.

261. Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.

264. Bukan sekadar karena berkepala gundul, seseorang yang tidak berdisiplin, bertutur dusta Aku sebut ‘petapa’. Mana mungkin orang yang berlumur ambisi dan keserakahan sebagai petapa.

265. Akan tetapi, ia yang meredam total keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’ karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.

269. menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia disebut ‘petapa bijaksana’. Seseorang disebut petapa bijaksana karena mengetahui kedua dunia.

270. Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak mencelakai segala jenis makhluk.

306. Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya menuju ke alam lain, akan bernasib sama.

307. Banyak mereka yang berlingkar jubah di leher memiliki hal-hal buruk dan tidak berpengendalian. Mereka yang buruk itu akan masuk ke neraka oleh perbuatan buruknya.

Lebih jauh lagi, bahaya dibalik perbuatan buruk dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

72 (8) Api

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Sagha para bhikkhu. Kemudian, selagi berjalan di sepanjang jalan raya, di suatu tempat Sang Bhagavā melihat api besar membakar, menyala, dan berkobar. Beliau meninggalkan jalan raya, duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk Beliau di bawah sebatang pohon, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat api besar yang membakar, menyala, dan berkobar itu?”

“Ya, Bhante.”

(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, merangkul api besar itu yang membakar, menyala, dan berkobar, dan duduk atau berbaring di dekatnya, atau merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang lembut – apakah dari kasta khattiya, brahmana, atau perumah tangga – dan duduk atau berbaring di dekatnya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang lembut – apakah dari kasta khattiya, brahmana, atau perumah tangga – dan duduk atau berbaring di dekatnya. Adalah sangat menyakitkan merangkul api besar itu yang membakar, menyala, dan berkobar, dan duduk atau berbaring di dekatnya.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral yang berkarakter buruk – seorang yang tidak murni dan berperilaku mencurigakan, tindakan-tindakannya penuh kerahasiaan, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai seorang petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku selibat, busuk di dalam, jahat, rusak – adalah jauh lebih baik merangkul api besar itu yang membakar, menyala, dan berkobar, dan duduk atau berbaring di dekatnya. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu [129] ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang lembut – apakah dari kasta khattiya, brahmana, atau perumah tangga – dan duduk atau berbaring di dekatnya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang mengikat seseorang dengan tali yang terbuat dari ekor kuda di sekeliling kakinya dan mengencangkannya sehingga mengiris kulit luarnya, kulit dalamnya, dagingnya, uratnya, dan tulangnya, hingga mengenai sumsumnya, atau seorang yang menerima penghormatan dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menerima penghormatan dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat mengikatnya dengan tali yang terbuat dari ekor kuda di sekeliling kakinya dan mengencangkannya sehingga mengiris kulit luarnya, kulit dalamnya, dagingnya, uratnya, dan tulangnya, hingga mengenai sumsumnya.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat mengikat dengan tali yang terbuat dari ekor kuda di sekeliling kakinya dan mengencangkannya sehingga mengiris kulit luarnya, kulit dalamnya, dagingnya, uratnya, dan tulangnya, hingga mengenai sumsumnya. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. [130] Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menerima penghormatan dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(3) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang menusuk seseorang di dadanya dengan tombak tajam yang dilumuri minyak, atau seorang yang menerima salam hormat dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menerima salam hormat dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat menusuknya di dadanya dengan tombak tajam yang dilumuri minyak.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat menusuknya di dadanya dengan tombak tajam yang dilumuri minyak. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menerima salam hormat dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(4) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang membungkus seseorang dengan selembar besi panas – yang membakar, [131] menyala, dan berkobar – di sekeliling tubuhnya, atau seorang yang menggunakan jubah yang diberikan karena keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan jubah yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat membungkusnya dengan selembar besi panas – yang membakar, menyala, dan berkobar – di sekeliling tubuhnya.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat membungkus seseorang dengan selembar besi panas – yang membakar, menyala, dan berkobar – di sekeliling tubuhnya. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menggunakan jubah yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(5) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang membuka paksa mulut seseorang dengan sebatang paku besi besar – yang membakar, menyala, dan berkobar – dan memasukkan bola tembaga panas - yang membakar, menyala, dan berkobar – yang membakar bibir, mulut, lidah, tenggorokan, dan perutnya, [132] dan keluar dari bawah membawa serta isi perutnya, atau seorang yang memakan dana makanan yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk memakan dana makanan yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat membuka paksa mulutnya dengan sebatang paku besi besar – yang membakar, menyala, dan berkobar – dan memasukkan bola tembaga panas … yang membakar bibir … dan keluar dari bawah membawa serta isi perutnya.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat membuka paksa mulutnya dengan sebatang paku besi besar – yang membakar, menyala, dan berkobar – dan memasukkan bola tembaga panas … yang membakar bibir … dan keluar dari bawah membawa serta isi perutnya. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … memakan dana makanan yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(6) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang mencengkeram seseorang pada kepala atau bahunya [133] dan memaksanya duduk atau berbaring di atas tempat tidur atau kursi yang terbuat dari besi panas – yang membakar, menyala, dan berkobar – atau seorang yang menggunakan tempat tidur atau kursi yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan tempat tidur atau kursi yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat mencengkeramnya pada kepala atau bahunya dan memaksanya duduk atau berbaring di atas tempat tidur atau kursi yang terbuat dari besi panas, yang membakar, menyala, dan berkobar.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat mencengkeramnya pada kepala atau bahunya dan memaksanya duduk atau berbaring di atas tempat tidur atau kursi yang terbuat dari besi panas, yang membakar, menyala, dan berkobar. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menggunakan tempat tidur atau kursi yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(7) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang mencengkeram seseorang, membalikkannya, dan melemparkannya ke dalam sebuah kuali tembaga panas - yang membakar, menyala, dan berkobar – dan sewaktu ia sedang direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terapung, kadang-kadang tenggelam, dan kadang-kadang terhanyutkan, atau seorang yang menggunakan tempat tinggal yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, [134] para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan tempat tinggal yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat mencengkeramnya, membalikkannya, dan melemparkannya ke dalam sebuah kuali tembaga panas - yang membakar, menyala, dan berkobar – dan sewaktu ia sedang direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terapung, kadang-kadang tenggelam, dan kadang-kadang terhanyutkan.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral yang berkarakter buruk – seorang yang tidak murni dan berperilaku mencurigakan, tindakan-tindakannya penuh kerahasiaan, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai seorang petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku selibat, busuk di dalam, jahat, rusak – adalah jauh lebih baik jika seorang kuat mencengkeramnya, membalikkannya, dan melemparkannya ke dalam sebuah kuali tembaga panas - yang membakar, menyala, dan berkobar – sehingga sewaktu ia sedang direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terapung, kadang-kadang tenggelam, dan kadang-kadang terhanyutkan. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menggunakan tempat tinggal yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Ketika kami menggunakan jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, pelayanan-pelayanan ini yang diberikan [oleh orang lain] untuk kami akan berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka, dan pelepasan keduniawian kami tidak akan mandul, melainkan berbuah dan subur.’ Demikianlah kalian harus berlatih. Dengan mempertimbangkan kebaikan kalian, para bhikkhu, cukuplah itu untuk berusaha mencapai tujuan dengan kewaspadaan; dengan mempertimbangkan kebaikan orang lain, [135] cukuplah itu untuk berusaha mencapai tujuan dengan kewaspadaan; dengan mempertimbangkan kebaikan keduanya, cukuplah itu untuk berusaha mencapai tujuan dengan kewaspadaan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Sekarang selagi pembabaran ini sedang disampaikan, enam puluh bhikkhu memuntahkan darah panas. Enam puluh bhikkhu menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah, dengan mengatakan: “Adalah sulit dilakukan, Bhagavā, sangat sulit dilakukan.” Dan pikiran enam puluh bhikkhu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

{Versi terjemahan lain membahas paragraf ini secara lebih lengkap sebagai berikut: “Para bhikkhu yang memuntahkan darah panas telah melakukan pelanggaran pārājika. Mereka yang kembali ke kehidupan awam telah di sana-sini melakukan pelanggaran-pelanggaran pada aturan-aturan latihan kecil dan minor. Dan mereka yang mencapai Kearahattaan telah memurnikan perilaku mereka. Khotbah Sang Guru berbuah untuk ketiga kelompok itu. [Pertanyaan:] Dapat diterima bahwa hal itu berbuah bagi mereka yang mencapai Kearahattaan, tetapi bagaimana hal itu berbuah bagi yang lainnya? [Jawab:] Karena jika mereka tidak mendengar khotbah ini, [kelompok pertama] akan menjadi lengah dan tidak mungkin meninggalkan kondisi mereka. Perilaku jahat mereka akan meningkat dan menarik mereka jatuh ke alam sengsara. Tetapi ketika mereka mendengar khotbah ini, mereka menjadi didorong oleh suatu keterdesakan. Setelah meninggalkan kondisi mereka, beberapa menjadi sāmaera, yang memenuhi sepuluh peraturan, menekuni pengamatan seksama, dan menjadi pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, atau yang-tidak-kembali, sementara beberapa lainnya terlahir kembali di alam deva. Demikianlah hal itu berbuah bahkan untuk mereka yang telah melakukan pārājika. Jika yang lainnya tidak mendengar khotbah ini, seiring berlalunya waktu, mereka (menjadi lengah dan) perlahan-lahan akan melakukan saghādisesa atau pārājika. Mereka akan dapat terlahir kembali di alam sengsara dan mengalami penderitaan hebat. Tetapi setelah mendengar khotbah ini, dengan berpikir bahwa mereka tidak dapat memenuhi praktik seumur hidup mereka, maka mereka meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan awam. Mereka menjadi kokoh dalam tiga perlindungan, menjalankan lima aturan, memenuhi tugas seorang umat awam, dan menjadi para pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, atau yang-tidak-kembali, sementara beberapa lainnya terlahir kembali di alam deva. Demikianlah khotbah ini berbuah untuk mereka juga.”]

Bung, hanya seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”. Untuk memuliakan Tuhan, ialah dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia, bukan dengan menjadi seorang PENDOSA. Babi, disebut “haram”. Namun, ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi “KORUPTOR DOSA”, tentunya), disebut “halal” serta dijadikan maskot “halal lifestyle”. Pendosa, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, jujur, benar, adil, mulia, baik, lurus, dan agung? Itu ibarat ORANG BUTA yang hendak menuntun para butawan lainnya, berbondong-bondong mereka melaju menuju lembah-jurang nista, “neraka” pun disebut sebagai “surga” akibat “rabun”—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Akibat delusi (kekotoran batin yang menutupi mata para PENDOSA PECANDU “PENGHAPUSAN DOSA”), mereka mengklaim kaum mereka sebagai kaum paling “superior”, sekalipun sejatinya merupakan kasta paling rendah, kotor, dangkal, tercela, hina, primitif, serta biadab (tidak beradab)—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]