KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Contoh UJI MORAL dan UJI YURIDIS terhadap Putusan Hakim Perkara Perdata, dalam Rangka Eksaminasi Akuntabilitas Produk Peradilan

Se-KORUP Apapun Putusan Hakim di Pengadilan, Kita Bisa Apa?

Efek Berantai Dibalik Putusan KORUP dan Peradilan SESAT, Menyerupai Efek Domino yang Fatal : DITINGGAL PERGI INVESTOR ASING

Question: Tampaknya kalangan hakim belum mengenal apa yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai “perspektif korban”, yakni menyadari, memahami, serta mengakui trauma yang diderita korban bukanlah hanya saat kejadian jahat yang menimpa sang korban, namun bisa berupa trauma untuk seumur hidup korban. Alhasil, vonis hukuman bagi sang pelaku cenderung ringan saja karena meremehkan dampak yang diderita korban. Bagaimana juga dengan hakim-hakim nakal yang melakukan jual-beli putusan, apakah artinya hanya pihak yang dikalahkan dalam sengketa hukum itu saja, yang menjadi korbannya. Bahasa lainnya, dosa hakim korup demikian, apakah hanya sejauh dan sebatas kerugian yang diderita oleh pihak pencari keadilan yang dikalahkan akibat hakim yang menerima suap dari pihak lawan?

Brief Answer: Putusan yang mengandung anasir “korup”, akan menjelma “preseden buruk” yang dapat menghantui praktik peradilan di masa mendatang, mengingat dikemudian hari pihak-pihak lain yang beritikad buruk dapat mengutip / merujuk putusan “korup” tersebut sebagai “nroma preseden” alias yurisprudensi sebagai alibi untuk membela kepentingan hukumnya..

PEMBAHASAN:

Yang kerapkali terjaring OTT (operasi tangkap-tangan) oleh aparatur penegak hukum, ialah hakim-hakim dalam perkara pidana, itu pun hanya segelintir kecil yang “terjaring”. Dalam perkara perdata, hakim yang menyalah-gunakan wewenangnya jauh lebih masif sifatnya, namun jarang yang tersentuh oleh hukum. Salah satu contoh nyata “peradilan SESAT”, dapat SHIETRA & PARTNERS temukan pada putusan Mahkamah Agung RI (MA RI) tingkat kasasi yang pada tahun 2024 lampau, dalam sengketa “Debitor Vs. Kreditor-BANK” membuat putusan dengan kutipan pertimbangan hukum MA RI sebagai berikut:

“Bahwa gugatan Penggugat kurang pihak (plurium litis consortium) karena tidak melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pihak, padahal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai kepentingan untuk memperjelas alasan gugatan Penggugat yaitu apakah Tergugat I dalam menjalankan usaha / bisnisnya berada di bawah pengawasan atau tidak dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga tepat gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);”

Terdapat beberapa “moral hazard” atas putusan yang nyata-nyata dan jelas-jelas tidak akuntabel dari sikap Mahkamah Agung RI dalam putusannya tersebut di atas, antara lain:

a. apakah ada, BANK yang tidak diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan)? Bukankah sudah merupakan fakta notoir alias aksioma, bahwa semua Bank maupun Bank Perkreditan Rakyat diawasi oleh OJK? Penyataan Mahkamah Agung RI dalam putusannya tersebut, secara tersirat atau secara tidak langsung seolah hendak menyatakan:

i. ada BANK yang tidak perlu tunduk pada berbagai Peraturan OJK;

ii. ada BANK yang tidak perlu patuh terhadap berbagai Peraturan OJK;

iii. ada BANK yang sama sekali tidak diatur dan tidak diawasi oleh Peraturan OJK.

b. melahirkan “preseden buruk” yang diwariskan bagi praktik-praktik peradilan di masa yang akan datang. Apakah artinya, ribuan gugatan “Debitor Vs. Kreditor” baik itu lembaga keuangan perbankan, lembaga pembiayaan leasing, maupun perusahaan asuransi, harus turut mendudukkan OJK sebagai Tergugat ataupun sebagai Turut Tergugat? Apakah mungkin ataukah tidak realistis, OJK akan hadir dalam ribuan gugatan “Debitor Vs. Kreditor” tersebut setiap tahunnya?—itulah yang menjadi “DOSA TERBESAR” dibalik putusan yang “korup”;

c. apakah artinya, baik gugat-menggugat antara “Debitor Vs. Kreditor-Bank” maupun “Kreditor-Bank Vs. Debitor”, tidak dapat diajukan melalui mekanisme “small claim court” (prosedur gugatan sederhana) yang prosedurnya ialah tidak membolehkan adanya lebih dari satu pihak Tergugat?

d. Mahkamah Agung RI nyata-nyata melanggar peraturan yang telah diterbitkan oleh lembaga MA RI itu sendiri, sebagaimana secara analogi dapat merujuk kepada SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 10 Tahun 2020, tertanggal 18 Desember 2020, tentang “Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan”, yang ditujukan kepada seluruh pengadilan di Indonesia, dengan kutipan sebagai berikut:

RUMUSAN HUKUM

RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG

TAHUN 2020

B. RUMUSAN HUKUM KARMAR PERDATA.

1. Gugatan Kurang Pihak dalam Perkara Tanah:

d. Kriteria Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus ditarik sebagai pihak dalam hal terdapat sertifikat ganda atas sebagian atau keseluruhan dari luas tanah objek sengketa, antara lain:

1.) Jika ada petitum yang meminta pengadilan menjatuhkan putusan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat, maka BPN harus ditarik sebagai pihak; atau

2.) JIka dalam petitum tidak ada tuntutan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat yang diterbitkan oleh BPN, maka BPN tidak perlu ditarik sebagai pihak.”

e. dari berbagai raturan hingga ribuan preseden yang selama ini telah ada selama puluhan tahun lembaga Mahkamah Agung RI berdiri, tidak ada satu pun preseden yang mewajibkan sengketa gugat-menggugat antara “Debitor Vs. Kreditor-Bank” untuk turut menggugat pihak OJK, baik didudukkan sebagai Tergugat maupun Turut Tergugat;

f. Kreditor lembaga keuangan maupun pembiayaan dan asuransi, bukan hanya diawasi oleh OJK, namun juga diawasi oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) serta LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), maka apakah artinya kelak, untuk “berkelit” sebagai alibi, MA RI kemudian menyatakan “gugatan ‘kurang pihak’, sekalipun kini telah turut menggugat OJK, namun tidak turut menggugat PPATK”, “gugatan ‘kurang pihak’, sekalipun kini telah turut menggugat OJK dan PPATK, namun belum turut menarik pihak LPS sebagai Tergugat maupun Turut Tergugat”—modus “klasik” untuk mencari-cari dan mengada-ngada “alibi” agar gugatan “dimentahkan” alias dinyatakan “tidak dapat diterima”;

g. apakah artinya, ketika Kreditor lembaga pembiayaan maupun keuangan, hendak menggugat Debitor-nya, maka OJK pun harus turut digugat?—praktik berhukum yang akuntabel, tidak membolehkan ber-“standar ganda”;

h. untuk apa juga OJK digugat untuk hubungan hukum yang bersifat murni keperdataan? Nyata-nyata preseden yang ada menyatakan tidak relevan untuk menarik OJK sebagai Tergugat dalam sengketa “Debitor Vs. Kreditor-BANK”, antara lain:

a. Putusan MA RI Nomor 415 K/TUN/2011 : Pengadilan Tata Usaha Negara Medan secara absolut tidak berwenang mengadili perkara Risalah Lelang. OJK tidak ada sangkut-paut dengan Risalah Lelang, sehingga tidak ada relevansi untuk turut digugat bersama Bank. Menjadi ranah Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sengketa terkait Risalah Lelang.

b. tidak ada urusannya dengan OJK, sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.47/K/TUN/1997 tanggal 26 Januari 1998 disebutkan bahwa Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang bukan merupakan Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara karena di dalamnya tidak mengandung suatu penetapan maupun pernyataan kehendak (wilsorming). Mahkamah Agung dalam putusan tersebut dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:  “Bahwa Risalah Lelang adalah akta authentik seperti akta jual beli lainnya, yang bukan merupakan kompetensi Peradilan TUN, karena lebih bersifat keperdataan.”

c. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 127/ G/2011/PTUN.SBY tanggal 5 April 2012 menyatakan: “Surat Keputusan objek sengketa I dan II adalah Surat Keputusan yang diterbitkan berdasarkan tindakan dalam lapangan hukum perdata, belum bersifat final dan belum menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”;

d. Putusan MA RI Nomor 491 K/TUN/2012, terkandung pertimbangan hukum sebagai berikut: "Putusan Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya sudah benar dan tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa merupakan tindak lanjut dari penagihan piutang yang termasuk ranah hukum perdata, sehingga Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadilinya;…”

e. hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat I maupun Tergugat II, ialah dalam rangka perjanjian utang-piutang, sehingga tiada relevansi menarik pihak OJK sebagai Tergugat. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 245K/TUN/1999 tanggal 30 Agustus 2001 menyatakan bahwa Lelang dan Risalah Lelang bukan objek sengketa Tata Usaha Negara (TUN)—dengan demikian tidak ada korelasinya menarik OJK sebagai Tergugat.

f. Putusan Mahkamah Agung No. 47K/TUN/1997 tanggal 26 Januari 1998 disebutkan bahwa :  “Risalah Lelang bukan Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, tetapi merupakan Berita Acara hasil penjualan barang, sebab tidak ada unsur “beslissing”.”

g. Putusan Peninjauan Kembali No. 100 PK/TUN/2008 tanggal 1 Desember 2008 disebutkan bahwa “Perbuatan lelang merupakan suatu rangkaian perbuatan yang bersifat keperdataan yang bukan merupakan obyek sengketa Tata Usaha Negara….”, (vide Putusan Mahkamah Agung RI No. 245 K/TUN/1999 tanggal 30 Agustus 2001 dan No. 150 K/TUN/1994 tanggal 7 September 1991)

i. Jiwasraya maupun ASABRI juga diawasi oleh OJK, namun apa yang kemudian terjadi? Ribuan nasabah-nya di-KORUP oleh lembaga-lembaga yang diawasi oleh OJK tersebut, dimana kemudian OJK “lepas tangan” dan “lepas tanggung-jawab” atas pengawasannya yang hanya bersifat JARGON-seremonial-prosedural semata, dimana kerapkali berbagai perusahaan-perusahaan pembiayaan maupun keuangan sekadar membuat gimmick iklan promosi untuk menjual jasa layanan mereka : “Kami diawasi oleh OJK!”, menciptakan delusi “aman” yang ilusioner.

Sebagaimana dapat para pembaca saksikan di atas, betapa putusan-putusan Mahkamah Agung RI penuh nuansa “tidak akuntabel”, sehingga sekalipun asas transparansi putusan-putusannya dipenuhi dengan dipublikasikan luas dalam website Mahkamah Agung RI, namun Mahkamah Agung RI tetap saja “pasang badan” dengan menerbitkan berbagai putusan yang jelas-jelas dan nyata-nyata menyimpang dari norma hukum yang sudah sangat jelas mengatur, alias memutus secara tidak akuntabel, dengan secara arogan seolah hendak berkata kepada publik yang menjadi korbannya:

Kami memutus secara tidak akuntabel dan sekalipun putusan-putusan kami tidak lolos ‘uji moral’ maupun ‘uji yuridis’, tetap saja lembaga Mahkamah Agung RI tidak dapat dibubarkan dan kami dapat tetap ‘business as usual’. Tetap saja, kami memonopoli kewenangan mengadili dan memutus, se-KORUP apapun putusan-putusan kami. Warga pencari keadilan bisa apa? Dari dulu sampai sekarang, banyak hakim dan pejabat lembaga kami ditangkap aparatur penegak hukum, tetap saja kami bisa dengan bebas membuat putusan-putusan tidak akuntabel dengan mengatas-namakan ‘independensi hakim’. ini, masih akan kami terbitkan serentetan putusan-putusan menyimpang lainnya, seperti biasa.

Para pembaca tahu, apa yang kemudian terjadi? Klien SHIETRA & PARTNERS yang mendapati sikap “arogan dan menyimpang” dari lembaga peradilan di Indonesia, kebetulan berlatar-belakang berupa investor dari luar negeri, menjadi “kapok” alias “jera” berinvestasi di Indonesia. Telah ternyata, tidak ada kepastian hukum di Indonesia. Alih-alih mendapatkan insentif dengan berinvestasi di Indonesia, yang didapati justru ialah sebentuk dis-insentif berupa peradilan yang KORUP. Contoh relevan lainnya, sudah menjadi “rahasia umum”, betapa korup-nya para pegawai di Badan Pertanahan Nasional / Kantor Pertanahan, yang selalu memandang warga sebagai “sapi perahan”. Tetap saja, akibat monopolistik kewenangan terkait pertanahan, warga dipaksa dan terpaksa hanya bisa ke Kantor Pertanahan dimaksud, tanpa ada pilihan lain.

Baik masyarakat lokal maupun masyarakat global, bisa menilai sendiri kredibilitas pemerintahan—tidak terkecuali lembaga peradilan—kita di Indonesia. Ada preman pasar, ada preman berdasi, preman-preman berseragam dan bersenjata, serta preman-preman yang memakai toga dan memegang palu hakim, itulah yang selama ini dihadapi investor-investor asing, membuat reputasi Indonesia sungguh rusak di mata kalangan investor global. Tetap saja, Indonesia “sok jual mahal” dengan tidak adanya reformasi yang serius, silih-berganti generasi demi generasi, yang terjadi ialah korupsi yang kian terang-terangan dan berjemaah di republik serba “agamais” ini. Kesemua itu adalah fakta, mungkin Anda adalah salah satu korbannya atau berpotensi menjadi korban serupa dikemudian hari, dan Anda tidaklah seorang diri. Fakta yang lebih mengejutkan ialah, lebih dari separuh klien SHIETRA & PARTNERS, pernah menjadi korban “mafia peradilan”, dari Sabang hingga Merauke.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.