KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Akar Penyebab Bobroknya Moralitas Kalangan Hakim di Pengadilan, Kontribusi Jimly Asshiddiqie dalam Merusak Sendi-Sendi Kehakiman

Hakim Mengadili Hakim, CONFLICT OF INTEREST, Konspirasi MA RI dan MK RI Mengamputasi Kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam Mengawasi Hakim

Question: Mengapa praktik hakim di lembaga kehakiman, kian hari kian memprihatinkan? Bukankah sudah ada lembaga yang mengawasi hakim, yakni KY (Komisi Yudisial)? Bukankah konon, ikan busuk mulai dari kepalanya?

Brief Answer: Runtuhnya martabat dan kehormatan profesi Kehakiman di Indonesia, dimulai dari sejak terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) pada tahun 2006, yang pada saat itu Ketua MK RI-nya ialah Jimly Asshiddiqie. Telah ternyata, Jimly Asshiddiqie bukanlah seorang negarawan sejati, karena ia merupakan salah seorang arsitek dibalik runtuhnya harkat dan martabat kalangan profesi kehakiman di Indonesia. Betapa tidak, yang mengajukan permohonan uji materiil dalam rangka mengamputasi kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi para hakim, ialah para Hakim Agung di Mahkamah Agung RI (MA RI). Namun, MK RI kemudian secara “conflict of interest” alias memiliki “konflik kepentingan” sekalipun pemohon uji materiil bukanlah Hakim MK RI, menyatakan bahwa Komisi Yudisial juga tidak berwenang mengawasi para Hakim Konstitusi di MK RI, lewat narasi “independensi hakim”.

Sekalipun Undang-Undang Komisi Yudisial hanya mengatur kewenangan berupa sebatas “memberi usul / rekomendasi” yang mana keputusan sanksi dijatuhkan atau tidaknya tetap di tangan lembaga MA RI maupun MK RI, yakni “mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”, tetap saja para Hakim Agung (dan para Hakim Konstitusi secara terselubung) merasa keberatan terhadap kewenangan Komisi Yudisial tersebut. Yang paling “menggelikan” dari putusan uji materiil MK RI tahun 2006 tersebut ialah, para pemohon uji materiil maupun MK RI mengklaim bahwa kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi praktik kalangan profesi hakim ialah bersifat “menimbulkan kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim Agung termasuk juga Hakim Mahkamah”.

Bila Hakim Konstitusi bernama Anwar Usman, oleh Jimly Asshiddiqie dinyatakan sebagai melanggar Kode Etik berat sehingga dicopot statusnya sebagai Ketua MK RI karena memeriksa dan memutus perkara keponakannya sendiri terkait Pemilihan Calon Wakil Presiden RI tahun 2024, sejatinya Jimly Asshiddiqie sendiri memeriksa dan memutus perkara yang menyangkut kepentingannya sendiri pula selaku Hakim Konstitusi pada tahun 2006—alias nyata-nyata melanggar asas:

- Nemo judex in causa sua. Hakim tidak boleh mengadili dirinya sendiri.

- Judex non putest esse testis in propria cause. Seorang hakim tidak dapat menjadi seorang saksi dalam perkaranya sendiri.

PEMBAHASAN:

P U T U S A N

Nomor 005/PUU-IV/2006

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU KY) dan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh:

1. Nama : PROF. DR. PAULUS EFFENDI LOTULUNG, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

2. Nama : DRS.H. ANDI SYAMSU ALAM, SH.MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

3. Nama : DRS.H. AHMAD KAMIL, SH.M.HUM.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

4. Nama : H. ABDUL KADIR MAPPONG, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

5. Nama : ISKANDAR KAMIL, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

6. Nama : HARIFIN A. TUMPA, SH. MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

7. Nama : PROF. DR. H. MUCHSIN, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

8. Nama : PROF. DR. VALERINE J.L.K., SH.MA.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

9. Nama : H. DIRWOTO, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

10. Nama : DR. H. ABDURRAHMAN, SH.MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

11. Nama : PROF. DR. H. KAIMUDDIN SALLE, SH.MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

12. Nama : MANSUR KARTAYASA, SH.MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

13. Nama : PROF. REHNGENA PURBA, SH.MS.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

14. Nama : PROF. DR. H.M. HAKIM NYAK PHA, SH.DEA.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

15. Nama : DRS. H. HAMDAN, SH.MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

16. Nama : H.M. IMRON ANWARI, SH.SpN.MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

17. Nama : TITI NURMALA SIAHAAN SIAGIAN, SH.MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

18. Nama : WIDAYATNO SASTRO HARDJONO, SH.MSc.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

19. Nama : MOEGIHARDJO, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

20. Nama : H. MUHAMMAD TAUFIQ, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

21. Nama : H. R. IMAM HARJADI, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

22. Nama : ABBAS SAID, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

23. Nama : ANDAR PURBA, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

24. Nama : DJOKO SARWOKO, SH.MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

25. Nama : I MADE TARA, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

26. Nama : ATJA SONDJAJA, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

27. Nama : H. IMAM SOEBECHI, SH. MH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

28. Nama : MARINA SIDABUTAR, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

29. Nama : H. USMAN KARIM, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

30. Nama : DRS. H. HABIBURRAHMAN, M.HUM.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

31. Nama : M. BAHAUDIN QUADRY, SH.

Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.

Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;

Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- para Pemohon;

Dalam hal ini memberi kuasa kepada 1. Prof. Dr. Indrianto Senoadji, SH., 2. Wimboyono Senoadji, SH., MH., 3. Denny Kailimang, SH., MH., 4. O.C. Kaligis, SH., MH., 5. Juan Felix Tampubolon, SH., MH.;

DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa para Pemohon, telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 10 Maret 2006 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 14 Oktober 2005, dengan registrasi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang telah diperbaiki secara berturut-turut dengan perbaikan permohonan bertanggal 17 Maret 2006, 27 Maret 2006 dan 29 Maret 2006, yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

I. Dasar Hukum Permohonan.

b. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan “pengawasan hakim” yang diatur dalam Bab. III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) serta yang berkaitan dengan “usul penjatuhan sanksi” yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab. I Pasal 1 butir 5 Undang-undang tersebut. Dengan berlakunya Pasal-pasal tersebut menimbulkan kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim Agung termasuk juga Hakim Mahkamah Konstitusi menjadi atau sebagai objek pengawasan serta dapat diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial;

c. Bahwa ketentuan yang diuraikan pada huruf b di atas sangat berkaitan dengan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim Agung dan Hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang-undang”;

II. Alasan-alasan permohonan pengujian terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman :

3). bahwa akan tetapi ternyata di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 yaitu:

a. Pasal 20 disebutkan bahwa:

“Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim”;

b. Pasal 1 butir 5 menentukan bahwa yang dimaksud dengan:

“Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang barada dibawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

Dengan demikian Pasal 1 butir 5 tersebut telah memperluas pengertian Hakim yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 karena hanya dimaksudkan terhadap Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung saja, tidak meliputi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi;

c. Di samping kedua Pasal yang disebut di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut, hal yang sama juga disebut di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan Hakim Agung adalah bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945;

Pengawasan Komisi Yudisial selama ini yang telah memanggil beberapa Hakim Agung, dalam hubungan dengan perkara yang telah diadilinya. Pemanggilan oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung Bagir Manan, Marianna Sutadi, Paulus Effendi Lotulung, Parman Suparman, Usman Karim, Harifin A. Tumpa telah mengakibatkan terganggunya hak konstitusional Hakim Agung, yang dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945. Pemanggilan Komisi Yudisial kepada para Hakim Agung tersebut, berpotensi dan akan membawa makna bahwa semua Hakim Agung dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus suatu perkara. Hal ini akan menghancurkan independensi Hakim Agung yang dijamin UUD 1945;

Bahwa pengawasan oleh Komisi Yudisial dengan cara memanggil Hakim Agung karena memutus suatu perkara merupakan sebab-akibat (causal verband), hilangnya atau terganggunya kebebasan Hakim yang dijamin oleh UUD 1945;

Bahwa memperluas makna “Hakim” pada Pasal 24B UUD 1945 sebagaimana berdasarkan pada Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial adalah bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Selain itu, perluasan makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan “penjatuhan sanksi” pada Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), 24 ayat (1) dan 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, adalah bertentangan dengan asas Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori;

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka mohon kiranya Mahkamah Konstitusi memutuskan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon ;

2. Menyatakan:

- Pasal 1 angka 5

- Pasal 20;

- Pasal 21;

- Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5);

- Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5);

- Pasal 24 ayat (1) dan;

- Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, serta Pasal 34 ayat (3)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, sepanjang yang menyangkut Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan Pasal-pasal tersebut pada angka 2 di atas tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi;

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya;

Menimbang ...;

MENGADILI

• Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

• Menyatakan:

o Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”;

o Pasal 20, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”;

o Pasal 21, yang berbunyi, ”Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”;

o Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR”;

o Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta”;

o Pasal 23 ayat (2), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”;

o Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”, dan;

o Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim”;

o Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;

o Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;

o Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

o Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, ”Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

• Menyatakan:

o Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”,

o Pasal 20,

o Pasal 21,

o Pasal 22 ayat (1) huruf e,

o Pasal 22 ayat (5),

o Pasal 23 ayat (2),

o Pasal 23 ayat (3), dan

o Pasal 23 ayat (5)

o Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;

o Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;

o Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

o Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

• Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah untuk memuat amar putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

• Menolak permohonan untuk selebihnya.

***

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. M.S., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H. A. S. Natabaya, S.H., LL.M., Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Maruarar Siahaan, S.H., serta Soedarsono, S.H., pada hari Rabu, 16 Agustus 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Rabu, 23 Agustus 2006, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. M.S., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. H. A. S. Natabaya, S.H., LL.M., Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Maruarar Siahaan, S.H., serta Soedarsono, S.H., masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Cholidin Nasir, S.H., sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh para Pemohon dan Kuasanya, Pemerintah/Kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat/Kuasanya, Pihak Terkait Langsung/Kuasanya, serta Pihak Terkait Tidak Langsung;

KETUA,

TTD.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

ANGGOTA-ANGGOTA,

TTD. TTD.

H. Achmad Roestandi, S.H. Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. ,M.S.

TTD. TTD.

I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Prof. H. A. S. Natabaya, S.H. , LL.M.

TTD. TTD.

Dr. Harjono, S.H., MCL. Maruarar Siahaan, S.H.

TTD.

Soedarsono, S.H.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.