Bukan Pindahkan Dananya, Benahi Mentalnya, Bukan Memindahkan Penyakitnya Tanpa Mengatasi Akarnya
Yang paling patut kita waspadai, ialah segala bentuk derajat maupun jenis kejahatan, yang sifat ronanya ialah secara “terselubung”. Ada orang yang marah, namun meski bersuara lembut, ia memperlakukan kita secara emosional dengan cara-cara “terselubung”, semisal petugas pada loket pelayanan yang membuat permohonan pelayanan publik yang diajukan oleh sang warga dipersulit. Ada juga korupsi yang sifatnya “terselubung”, sehingga dikemas dengan kemasan yang seolah-olah legal. Lawan kata dari “terselubung”, ialah “otentik”. Karenanya, sifat dari kejahatan-kejahatan yang bersifat “terselubung”, bisa jauh lebih jahat dan lebih keji daripada kejahatan-kejahatan yang bersifat “otentik”.
Kita tentu setuju, bila tujuan “efisiensi”
keuangan negara ditujukan dengan itikad murni untuk efisiensi. Namun pertanyaan
yang perlu kita ajukan ialah, apakah selama ini itikad pemerintah maupun Kepala
Negara patut kita ragukan dan pertanyakan atau tidaknya, jika bercermin dari
pengalaman yang sudah-sudah selama ini? Apakah jargon “efisiensi’ adalah
sekadar jargon ataukah “selubung” untuk “menyelubungi” modus jahat dibalik
kesemua itu, yang tentunya terdapat sebentuk “hidden agenda” alias adanya “udang dibalik batu”?
Jika yang dimakud dengan
efisiensi, ialah sebatas menyetop dan melarang segala alibi penyelenggara
negara untuk membuang-buang anggaran negara maupun daerah kepada pihak
perhotelan, maka itu patut kita dukung oleh segenap rakyat. Mengapa? Karena pemilik
usaha perhotelan, terutama hotel-hotel berbintang—kecuali kelas “melati”—ialah
kalangan konglomerat yang memiliki diversifikasi usaha, sehingga sekalipun
hotel tersebut merugi, tetap saja sang konglomerat tidak akan ikut bangkrut. Begitu
besar biaya yang ditagihkan hotel berbintang, bahkan untuk hanya segelas air
hangat, Anda dapat ditagih separuh hari Anda kerja dengan upah minimum
provinsi.
Kesemua itu, sejatinya hanya
menguntungkan pihak konglomerat pemilik hotel. Terlagipula sudah menjadi “rahasia
umum”, pejabat yang menyewa hotel mendapat “cashback”
yang masuk ke dalam kantung pribadi sang pejabat. Ketika suplai anggaran untuk
dikorupsi pejabat kementerian maupun pejabat di daerah diputus oleh pemerintah
pusat, maka warga sipil yang akan babak-belur dijadikan sapi perahan oleh para “oknum-oknum”
yang “haus / kecanduan korupsi” tersebut. Korupsi, konon, sifatnya begitu
ADIKTIF. Tidak heran bila diberitakan adanya kepala daerah yang berulang-kali
keluar-masuk penjara karena tertangkap akibat korupsi. Terlebih adanya budaya “setoran”
ke atasan, agar sang pejabat dapat cepat dipromosikan naik pangkat, lagi-lagi “sapi
perahan” atau “ATM”-nya ialah warga sipil yang ditumbalkan.
Selama ini, banyak anggaran
negara di kementerian maupun pemerintah daerah, yang tersedot untuk kepentingan
usaha konglomerat pemodal pemilik hotel, sehingga “yang kaya semakin kaya”. Lalu,
bagaimana dengan karyawan hotel? Para pegawai, tetap saja “melarat”. Sebanyak apapun
anggaran negara tersedot untuk menyewa ruang meeting dan kamar menginap di
hotel berbintang tersebut, tetap saja para pegawai hotel hidup dalam garis “kemeralatan”.
Semakin banyak anggaran negara tersedot ke pundi-pundi hotel swasta milik
konglomerat tersebut, yang diuntungkan ialah kepentingan pundi-pundi sang
konglomerat yang makin kaya raya. Bagaimanapun, hotel adalah “padat modal”,
bukan “padat karya”, sehingga yang paling diuntungkan dari pemasukan hotel, tetap
adalah pihak pemodal.
Kini, kita berlanjut membahas
dilematika yang sangat dilematis, perihal dialokasikan atau akan di-re-alokasi
kemanakah, anggaran hasil efisiensi anggaran negara tersebut? Kita paham dan
sadar betul bahwa korupsi di negeri kita telah begitu merajajela, sudah ibarat menjelma
“budaya” itu sendiri, mendarah-daging, sekalipun pemimpin negara dan kepala
kantor silih-berganti, begitu sistemik, “oknum”-nya berjemaah, bukan hanya
pejabat negara kelas atas maupun bawah, bahkan sesama sipil seperti “oknum”
Ketua RT maupun Ketua RW setempat pun korupsi terhadap dana-dana bantuan sosial
yang semestinya diterima oleh warganya sendiri yang membutuhkan (korupsi oleh
sesama sipil, manusia adalah serigala bagi sesamanya, jika tidak “memakan” maka
“dimakan”), maupun korupsi terhadap iuran-iuran bulanan yang setiap bulan
dibayarkan oleh warga pemukim.
Se-tega apakah bangsa Indonesia?
Ingat kasus Juliari Batubara, levelnya ialah Menteri Sosial, namun masih juga
merampas hak-hak orang-orang yang jauh lebih miskin darinya. Fenomena demikian,
pun kita jumpai saat berhadapan / berurusan dengan sesama sipil, yang berhutang
kepada kita hidup lebih enak daripada kita, akan tetapi begitu sukar untuk
ditagih. Jangan pernah berdelusi warga “Made In Indonesia” kita yang telah
hidup mapan dengan banyak harta, akan bersikap dermawan kepada Anda. Keserakahan
mereka begitu “menakutkan”, masih juga kelaparan untuk memangsa dan merampok nasi
dari piring Anda, sekalipun Anda jauh lebih miskin secara ekonomi daripada sang
“perampok nasi”. Keserakahan, tidak mengenal puas, seperti itu jugalah sifat
korup seorang manusia yang terlebi di-“kompori” oleh dogma-dogma “penghapusan
dosa” agama samawi yang dipeluk mayoritas penduduk kita di Indonesia.
Bukanlah hanya pada lembaga
negara, korupsi terjadi, pada perusahaan-perusahaan swasta pun terjadi,
karenanya peran auditor internal pun kita jumpai pada berbagai korporasi swasta.
Ketika anggaran hasil efisiensi dialokasikan untuk anggaran kegiatan
penyelenggara negara lainnya, sejatinya kesemua itu hanyalah sekadar memindahkan
TKP korupsi. Ujung muaranya, korupsi akan kembali terjadi dan merebak, dengan “oknum”
yang baru, modus yang baru, dan lokasi TKP yang baru. Bila efisiensi tidak
diiringi pembenahan struktural terhadap “budaya korup” bangsa kita—yang menyangkal,
artinya “nasionalisme” yang bersangkutan patut diragukan, karena sudah menjadi “rahasia
umum” dimana semua warga pernah mengalaminya sendiri atau bahkan menjadi bagian
dari lingkaran pelakunya—maka bentuk-bentuk korupsi baru akan tumbuh pada
tempat dimana anggaran hasil efisiensi ditempatkan.
Kita bukan hanya berurusan dengan
persoalan uang bernama anggaran negara, namun watak, perilaku, dan etos hidup
bangsa kita sendiri yang sifat korupnya begitu mengakar dan “tebal”—setebal
iman bangsa “agamais” bernama Republik Indonesia ini—sehingga tanpa pembenahan
atau perbaikan struktural demikian, adalah delusi bahwa anggaran hasil
efisiensi tidak kembali dikorupsi para “oknum-oknum” baru di TKP baru. Kita dapat
menyebut bahwa kebijakan pemerintah pusat, dalam hal ini pendirian presiden
selaku Kepala Pemerintahan, tidaklah memiliki “cetak biru” serta “grand design” yang matang terlebih
disebut sebagai holistik. Beliau tidak menyadari sedang “dealing with a human nature named Indonesian people and culture”.
Visionernya sebatas “memindahkan wadah uang”, bukan dan tidak menyentuh pada
aspek persoalan anthropologi sosial kemasyarakatan bangsa yang dipimpin
olehnya.
Ibarat memindahkan satu
masalah, ke tempat lain, tempat lain tersebut yang pada gilirannya menjadi “sakit”.
Ibarat Anda meminum obat kimia untuk mengatasi diabetes, pada gilirannya Anda akan
dikungkung hipertensi, ibarat “lingkaran setan”, alias memindahkan satu penyakit
kepada penyakit lain. Anda tidak sedang mengatasi masalah ataupun penyakit, Anda
hanya sedang “gali lubang dan tutup lubang”. Tanpa pembenahan terhadap mental
dan watak bangsa ini, terlebih ucapan-ucapan dalam pidato Kepala Negara yang
seolah kompromistik terhadap aksi korupsi selama “dikembalikan secara diam-diam”,
seolah-olah aksi dosa dan maksiat demikian dapat ditolerir sifatnya.
“NO EXCUSE”, itulah prinsip yang selalu ditanamkan dalam disiplin
militer. Namun entah mengapa, Kepala Negara Indonesia saat artikel ini disusun,
yang notabene berlatar-belakang dari kesatuan militer, justru dapat menjelma
begitu kompromistik, bahkan salah satu menteri koordinator dan salah satu wakil
menterinya pernah dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) alias tidak
memiliki rekam-jejak yang bersih terlebih berintegritas. Yang terlebih ironis,
menteri koordinatornya tersebut sebelumnya merupakan pengacara organisasi
ilegal bernama HTI yang menggugat pemerintah ke PTUN karena melarang organisasi
HTI, sehingga kenegarawanan menteri koordinatornya tersebut sangat patut
diragukan. Menteri, peran lainnya ialah “pembisik”. Apa jadinya negeri ini,
bila para “pembisik” presidennya ialah orang-orang yang patut diragukan
integritasnya?
Bila kita merujuk pada hukum
fisika yang bernama “kekalahan energi”, dimana energi tidak dapat dilenyapkan
akan tetapi dapat ditransformasikan kedalam wujud lainnya, koruptor pun
demikian. Koruptor-koruptor baru akan bermunculan dan tumbuh subur dimana dana
hasil efisiensi anggaran negara kemudian ditempatkan oleh pemerintah. Sepanjang
“revolusi mental” sekadar sebatas jargon semata, maka kita patut apatis bahwa
kesejahteraan bagi segenap rakyat akan tercipta. Kepala Pemerintahan kita saat
kini, adalah “orang buta”, kabinet “gemuk” yang tidak kompeten pun disebut olehnya
sebagai “zaken kabinet”. Apakah Anda bersedia, dipimpin oleh pemimpin yang “silau
politik” serta disaat bersamaan mampu menjadi begitu “buta”-nya? Baru 100 hari
menjabat sejak tahun 2024, akan tetapi sudah berkoar-koar tentang masa jabatan
tahun 2029.
Lihatlah dan tengoklah atau
bercerminlah kembali kepada era pemerintahan sebelumnya, ribuan triliun hutang
dicetak, namun apakah rakyat negara kita betul-betul sejahtera ataukah hanya
segelintir “elit” penerima proyek yang sejahtera karenanya? Siapapun bisa
menjadi presiden yang dielu-elukan, membangun ini dan itu, namun dengan HUTANG.
Karena pemimpin negara kita menyadari betul, betapa bodohnya bangsa “Warga IQ
78” kita, masih juga pemimpin yang membodohi rakyatnya sendiri disebut sebagai
pemimpin yang berhasil memuaskan rakyat—ataukah itu sekadar hasil survei “sponsored”? Ada yang menyebutkan, “people power” akan kembali mencuat—dimana
kini riak-riaknya mulai terlihat—episode Orde Baru Jilid Kedua mungkin saja
tumbang oleh karenanya. Kita tunggu saja, apakah “ramalan” tersebut akan
terwujud atau tidaknya, sembari menjadi “saksi sejarah’.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.