KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Hukum Kekekalan Energi dan Hukum Kekekalan Korupsi

Bukan Pindahkan Dananya, Benahi Mentalnya, Bukan Memindahkan Penyakitnya Tanpa Mengatasi Akarnya

Yang paling patut kita waspadai, ialah segala bentuk derajat maupun jenis kejahatan, yang sifat ronanya ialah secara “terselubung”. Ada orang yang marah, namun meski bersuara lembut, ia memperlakukan kita secara emosional dengan cara-cara “terselubung”, semisal petugas pada loket pelayanan yang membuat permohonan pelayanan publik yang diajukan oleh sang warga dipersulit. Ada juga korupsi yang sifatnya “terselubung”, sehingga dikemas dengan kemasan yang seolah-olah legal. Lawan kata dari “terselubung”, ialah “otentik”. Karenanya, sifat dari kejahatan-kejahatan yang bersifat “terselubung”, bisa jauh lebih jahat dan lebih keji daripada kejahatan-kejahatan yang bersifat “otentik”.

Kita tentu setuju, bila tujuan “efisiensi” keuangan negara ditujukan dengan itikad murni untuk efisiensi. Namun pertanyaan yang perlu kita ajukan ialah, apakah selama ini itikad pemerintah maupun Kepala Negara patut kita ragukan dan pertanyakan atau tidaknya, jika bercermin dari pengalaman yang sudah-sudah selama ini? Apakah jargon “efisiensi’ adalah sekadar jargon ataukah “selubung” untuk “menyelubungi” modus jahat dibalik kesemua itu, yang tentunya terdapat sebentuk “hidden agenda” alias adanya “udang dibalik batu”?

Jika yang dimakud dengan efisiensi, ialah sebatas menyetop dan melarang segala alibi penyelenggara negara untuk membuang-buang anggaran negara maupun daerah kepada pihak perhotelan, maka itu patut kita dukung oleh segenap rakyat. Mengapa? Karena pemilik usaha perhotelan, terutama hotel-hotel berbintang—kecuali kelas “melati”—ialah kalangan konglomerat yang memiliki diversifikasi usaha, sehingga sekalipun hotel tersebut merugi, tetap saja sang konglomerat tidak akan ikut bangkrut. Begitu besar biaya yang ditagihkan hotel berbintang, bahkan untuk hanya segelas air hangat, Anda dapat ditagih separuh hari Anda kerja dengan upah minimum provinsi.

Kesemua itu, sejatinya hanya menguntungkan pihak konglomerat pemilik hotel. Terlagipula sudah menjadi “rahasia umum”, pejabat yang menyewa hotel mendapat “cashback” yang masuk ke dalam kantung pribadi sang pejabat. Ketika suplai anggaran untuk dikorupsi pejabat kementerian maupun pejabat di daerah diputus oleh pemerintah pusat, maka warga sipil yang akan babak-belur dijadikan sapi perahan oleh para “oknum-oknum” yang “haus / kecanduan korupsi” tersebut. Korupsi, konon, sifatnya begitu ADIKTIF. Tidak heran bila diberitakan adanya kepala daerah yang berulang-kali keluar-masuk penjara karena tertangkap akibat korupsi. Terlebih adanya budaya “setoran” ke atasan, agar sang pejabat dapat cepat dipromosikan naik pangkat, lagi-lagi “sapi perahan” atau “ATM”-nya ialah warga sipil yang ditumbalkan.

Selama ini, banyak anggaran negara di kementerian maupun pemerintah daerah, yang tersedot untuk kepentingan usaha konglomerat pemodal pemilik hotel, sehingga “yang kaya semakin kaya”. Lalu, bagaimana dengan karyawan hotel? Para pegawai, tetap saja “melarat”. Sebanyak apapun anggaran negara tersedot untuk menyewa ruang meeting dan kamar menginap di hotel berbintang tersebut, tetap saja para pegawai hotel hidup dalam garis “kemeralatan”. Semakin banyak anggaran negara tersedot ke pundi-pundi hotel swasta milik konglomerat tersebut, yang diuntungkan ialah kepentingan pundi-pundi sang konglomerat yang makin kaya raya. Bagaimanapun, hotel adalah “padat modal”, bukan “padat karya”, sehingga yang paling diuntungkan dari pemasukan hotel, tetap adalah pihak pemodal.

Kini, kita berlanjut membahas dilematika yang sangat dilematis, perihal dialokasikan atau akan di-re-alokasi kemanakah, anggaran hasil efisiensi anggaran negara tersebut? Kita paham dan sadar betul bahwa korupsi di negeri kita telah begitu merajajela, sudah ibarat menjelma “budaya” itu sendiri, mendarah-daging, sekalipun pemimpin negara dan kepala kantor silih-berganti, begitu sistemik, “oknum”-nya berjemaah, bukan hanya pejabat negara kelas atas maupun bawah, bahkan sesama sipil seperti “oknum” Ketua RT maupun Ketua RW setempat pun korupsi terhadap dana-dana bantuan sosial yang semestinya diterima oleh warganya sendiri yang membutuhkan (korupsi oleh sesama sipil, manusia adalah serigala bagi sesamanya, jika tidak “memakan” maka “dimakan”), maupun korupsi terhadap iuran-iuran bulanan yang setiap bulan dibayarkan oleh warga pemukim.

Se-tega apakah bangsa Indonesia? Ingat kasus Juliari Batubara, levelnya ialah Menteri Sosial, namun masih juga merampas hak-hak orang-orang yang jauh lebih miskin darinya. Fenomena demikian, pun kita jumpai saat berhadapan / berurusan dengan sesama sipil, yang berhutang kepada kita hidup lebih enak daripada kita, akan tetapi begitu sukar untuk ditagih. Jangan pernah berdelusi warga “Made In Indonesia” kita yang telah hidup mapan dengan banyak harta, akan bersikap dermawan kepada Anda. Keserakahan mereka begitu “menakutkan”, masih juga kelaparan untuk memangsa dan merampok nasi dari piring Anda, sekalipun Anda jauh lebih miskin secara ekonomi daripada sang “perampok nasi”. Keserakahan, tidak mengenal puas, seperti itu jugalah sifat korup seorang manusia yang terlebi di-“kompori” oleh dogma-dogma “penghapusan dosa” agama samawi yang dipeluk mayoritas penduduk kita di Indonesia.

Bukanlah hanya pada lembaga negara, korupsi terjadi, pada perusahaan-perusahaan swasta pun terjadi, karenanya peran auditor internal pun kita jumpai pada berbagai korporasi swasta. Ketika anggaran hasil efisiensi dialokasikan untuk anggaran kegiatan penyelenggara negara lainnya, sejatinya kesemua itu hanyalah sekadar memindahkan TKP korupsi. Ujung muaranya, korupsi akan kembali terjadi dan merebak, dengan “oknum” yang baru, modus yang baru, dan lokasi TKP yang baru. Bila efisiensi tidak diiringi pembenahan struktural terhadap “budaya korup” bangsa kita—yang menyangkal, artinya “nasionalisme” yang bersangkutan patut diragukan, karena sudah menjadi “rahasia umum” dimana semua warga pernah mengalaminya sendiri atau bahkan menjadi bagian dari lingkaran pelakunya—maka bentuk-bentuk korupsi baru akan tumbuh pada tempat dimana anggaran hasil efisiensi ditempatkan.

Kita bukan hanya berurusan dengan persoalan uang bernama anggaran negara, namun watak, perilaku, dan etos hidup bangsa kita sendiri yang sifat korupnya begitu mengakar dan “tebal”—setebal iman bangsa “agamais” bernama Republik Indonesia ini—sehingga tanpa pembenahan atau perbaikan struktural demikian, adalah delusi bahwa anggaran hasil efisiensi tidak kembali dikorupsi para “oknum-oknum” baru di TKP baru. Kita dapat menyebut bahwa kebijakan pemerintah pusat, dalam hal ini pendirian presiden selaku Kepala Pemerintahan, tidaklah memiliki “cetak biru” serta “grand design” yang matang terlebih disebut sebagai holistik. Beliau tidak menyadari sedang “dealing with a human nature named Indonesian people and culture”. Visionernya sebatas “memindahkan wadah uang”, bukan dan tidak menyentuh pada aspek persoalan anthropologi sosial kemasyarakatan bangsa yang dipimpin olehnya.

Ibarat memindahkan satu masalah, ke tempat lain, tempat lain tersebut yang pada gilirannya menjadi “sakit”. Ibarat Anda meminum obat kimia untuk mengatasi diabetes, pada gilirannya Anda akan dikungkung hipertensi, ibarat “lingkaran setan”, alias memindahkan satu penyakit kepada penyakit lain. Anda tidak sedang mengatasi masalah ataupun penyakit, Anda hanya sedang “gali lubang dan tutup lubang”. Tanpa pembenahan terhadap mental dan watak bangsa ini, terlebih ucapan-ucapan dalam pidato Kepala Negara yang seolah kompromistik terhadap aksi korupsi selama “dikembalikan secara diam-diam”, seolah-olah aksi dosa dan maksiat demikian dapat ditolerir sifatnya.

NO EXCUSE”, itulah prinsip yang selalu ditanamkan dalam disiplin militer. Namun entah mengapa, Kepala Negara Indonesia saat artikel ini disusun, yang notabene berlatar-belakang dari kesatuan militer, justru dapat menjelma begitu kompromistik, bahkan salah satu menteri koordinator dan salah satu wakil menterinya pernah dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) alias tidak memiliki rekam-jejak yang bersih terlebih berintegritas. Yang terlebih ironis, menteri koordinatornya tersebut sebelumnya merupakan pengacara organisasi ilegal bernama HTI yang menggugat pemerintah ke PTUN karena melarang organisasi HTI, sehingga kenegarawanan menteri koordinatornya tersebut sangat patut diragukan. Menteri, peran lainnya ialah “pembisik”. Apa jadinya negeri ini, bila para “pembisik” presidennya ialah orang-orang yang patut diragukan integritasnya?

Bila kita merujuk pada hukum fisika yang bernama “kekalahan energi”, dimana energi tidak dapat dilenyapkan akan tetapi dapat ditransformasikan kedalam wujud lainnya, koruptor pun demikian. Koruptor-koruptor baru akan bermunculan dan tumbuh subur dimana dana hasil efisiensi anggaran negara kemudian ditempatkan oleh pemerintah. Sepanjang “revolusi mental” sekadar sebatas jargon semata, maka kita patut apatis bahwa kesejahteraan bagi segenap rakyat akan tercipta. Kepala Pemerintahan kita saat kini, adalah “orang buta”, kabinet “gemuk” yang tidak kompeten pun disebut olehnya sebagai “zaken kabinet”. Apakah Anda bersedia, dipimpin oleh pemimpin yang “silau politik” serta disaat bersamaan mampu menjadi begitu “buta”-nya? Baru 100 hari menjabat sejak tahun 2024, akan tetapi sudah berkoar-koar tentang masa jabatan tahun 2029.

Lihatlah dan tengoklah atau bercerminlah kembali kepada era pemerintahan sebelumnya, ribuan triliun hutang dicetak, namun apakah rakyat negara kita betul-betul sejahtera ataukah hanya segelintir “elit” penerima proyek yang sejahtera karenanya? Siapapun bisa menjadi presiden yang dielu-elukan, membangun ini dan itu, namun dengan HUTANG. Karena pemimpin negara kita menyadari betul, betapa bodohnya bangsa “Warga IQ 78” kita, masih juga pemimpin yang membodohi rakyatnya sendiri disebut sebagai pemimpin yang berhasil memuaskan rakyat—ataukah itu sekadar hasil survei “sponsored”? Ada yang menyebutkan, “people power” akan kembali mencuat—dimana kini riak-riaknya mulai terlihat—episode Orde Baru Jilid Kedua mungkin saja tumbang oleh karenanya. Kita tunggu saja, apakah “ramalan” tersebut akan terwujud atau tidaknya, sembari menjadi “saksi sejarah’.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.