Alibi “Business Judgement Rule” sebagai Impunitas Entitas Bisnis Milik Negara, sebuah Salah-Kaprah yang Dibakukan
Pemerintah Republik Indonesia mendalilkan bahwa bisnis ialah penuh ketidak-pastian—bisa untung dan ada kalanya juga bisa juga menderita kerugian usaha—dimana “resiko bisnis” tidak semestinya dikriminalisasi secara pidana. Demikianlah bandul logika pemerintah saat kini, dimana kerugian yang diderita entitas bisnis milik pemerintah lewat berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun “super HOLDING”-nya dianggap bukan lagi “kerugian (terhadap keuangan) negara” yang karenanya tidak dapat dijerat secara pidana yang karenanya juga pihak eksternal semacam BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) maupun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tidak dilegalkan untuk mengaudit entitas-entitas bisnis yang notabene mengelola “keuangan negara yang dipisahkan”.
Faktanya, selama ini
berbagai BUMN maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kita mencetak berbagai
kerugian. Pertanyaannya, apakah seluruh BUMN maupun BUMD tersebut, pihak
pengurus seperti direktur maupun komisarisnya, dipidana karena “korupsi”? Telah
ternyata tidak, hanya sebagian kecil dari berbagai entitas bisnis milik negara
maupun daerah tersebut yang berlanjut ke tahap dakwaan dan penuntutan di persidangan.
Dari laporan hasil penelitian sebuah lembaga riset, entitas bisnis milik negara
/ daerah yang didakwa karena korupsi, rata-rata diputus terbukti bersalah
melakukan praktik korupsi sehingga merugikan keuangan negara yang alhasil badan
usaha yang dikelola oleh para terdakwa mengalami kerugian.
Artinya, yang menguji benar
atau tidaknya telah terjadi korupsi, bukanlah KPK maupun BPK, namun pengadilan,
sehingga kekhawatiran para penyusun kebijakan (regulator) tidaklah memiliki dasar
argumentasi yang fundamental. Terhadapnya, dapat kita tarik kesimpulan bahwa
ketika sebuah entitas bisnis dinilai oleh lembaga audit eksternal sebagai telah
merugikan keuangan negara, maka tudingan demikian bukanlah tanpa dasar—sebagaimana
oleh hakim di persidangan pihak yang dimintakan pertanggung-jawaban dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi (Tipikor)
sehingga membuat badan usaha yang dikelolanya mencetak kerugian usaha.
Bila memang para pengurus berbagai
badan usaha milik negara maupun daerah tersebut begitu takut dituding melakukan
korupsi, maka mengapa faktanya ialah berbagai badan usaha tersebut selama ini
dilaporkan terus-menerus mencetak kerugian sepanjang tahun dan setiap tahunnya
sekalipun badan usaha tersebut berorientasi profit dan bukanlah sebentuk “badan
layanan umum”? Mengapa tidak seluruh badan usaha tersebut yang selama ini melaporkan
mengalami kerugian usaha, didakwa karena korupsi? Tentulah pihak BPK maupun
KPK tidak sembarangan dalam menuding apakah sebuah entitas bisnis terkait “keuangan
negara” telah melakukan penyimpangan atau tidaknya.
Sehingga, ketakutan irasional
yang kini dipertontonkan oleh penyusun kebijakan kita di parlemen maupun pucuk
pimpinan Lembaga Eksekutif yang diwakili oleh Menteri BUMN, yang mulai
membangun narasi seolah-olah para pengurus badan usaha milik negara / daerah
menjadi takut membuat terobosan bisnis, mengelola investasi, maupun berusaha,
karena cemas dituduh melakukan Tipikor, yang karenanya harus dibebaskan dari
ketakutan demikian dengan tidak membiarkan lembaga auditor eksternal seperti
KPK maupun BPK untuk melakukan pemeriksaan, sangatlah tidak berdasar. Hanya segelintir
kecil saja dari berbagai entitas bisnis milik negara yang merugi sepanjang
tahunnya tersebut yang bermuara pada dakwaan di Pengadilan Khusus Tipikor.
Lantas, apa yang menjadi parameter
atau tolok-ukur dalam mementukan apakah suatu aksi korporasi dibalik berbagai
BUMN/D maupun “holding” dan “super holding” tersebut, kerugian yang kelak akan
diderita adalah murni merupakan dampak dari ketidak-pastian usaha dan iklim
ekonomi ataukah penyimpangan terhadap “business judgement rule”? Apakah
konsep “business judgement rule” tidak memiliki suatu standar tertentu
untuk dapat dinilai sebagai sekadar alibi atau justifikasi belaka, ataukah benar-benar
dalam rangka berusaha ditengah “resiko bisnis” dan “ketidak-pastian iklim
investasi”?
Paramenter pertama yang dapat
kita jadikan basis dasar, ialah ada atau tidaknya unsur perbuatan “Melawan
Hukum” dalam sebuah aksi korporasi yang didahului sebuah keputusan pihak
manajemen. Aksi korporasi yang selalu lekat terhadap prinsip ekonomi “semakin
tinggi resiko, semakin besar potensi keuntungan”, sejatinya memang membawa
korporasi ke dalam daerah yang riskan. Namun, bila korporasi tetap dibiarkan
stagnan “berjalan di tempat”, keuangan korporasi menjadi tidak sehat karena
tiada profit usaha yang dapat dihimpun sementara pengeluaran operasional terus
berjalan. Prinsip tersebut serupa dengan “doktrin Life Saving”, semisal salah satu organ
tubuh seorang pasien harus diamputasi untuk menyelamatkan nyawa sang pasien—merugi
dalam rangka untuk menyelamatkan.
Dalam berbisnis, biaya marketing
atau pemasaran dan promosi tampaknya tidak terhindarkan. Berbagai korporasi
multinasional kerap menganggarkan anggaran khusus untuk promosi yang bahkan menghabiskan
sebagian besar laba usaha tahunan mereka. Biaya-biaya demikian tentunya tampak “merugikan”
pada mulanya alias pemborosan yang “tidak produktif”. Namun, “pemborosan”
demikian menjadi terhapus bilamana dapat dibuktikan adanya hal-hal sebagai
berikut. Indikator kesatu, apakah manuver bisnis demikian dilandasi adanya “informed
consent”? Untuk memitigasi resiko bisnis, dalam setiap rencana aksi
korporasi, proposal rencana kerja perlu dikonsultasikan dengan Dewan Komisaris
serta mendapatkan persetujuan dari pihak “holding” ataupun kementerian terkait.
Kedua, apakah telah sesuai
dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang bisnis pada umumnya dan
pada khusus bidang spesifik usaha tersebut, yakni dilakukan sesuai dengan
standar (standar profesionalisme kepengurusan, standar manajemen, dan standar
prosedur operasional). Ketiga, aksi korporasi ditujukan untuk tujuan yang
konkrit yaitu kebutuhan korporasi untuk bertahan, menutupi biaya rutin operasional,
maupun dalam rangka investasi dan meraih profit usaha dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Terkait dengan “business
judgement rule”, yang perlu diketahui ialah ada tidaknya unsur “kealpaan”
atau “kelalaian” dalam suatu manuver bisnis korporasi, dimana unsur yang harus
dibuktikan adalah adanya penyimpangan terhadap standar (standar profesional,
standar manajemen, dan standar prosedur operasional terkait bidang uasha) serta
pemenuhan terhadap kebutuhan aktual korporasi yang dikelola. Untuk membuktikan
adanya penyimpangan terhadap prinsip “business judgement rule” tersebut,
dapat dilakukan melalui metode perbandingan (diperbandingkan) dengan kalangan
profesional lain dibidangnya dengan kemampuan rata-rata (average measurement)
yang setara / sejajar dan dalam situasi kondisi yang juga sama.
Sedangkan untuk membuktikan
pemenuhan kebutuhan aktual korporasi yang dikelola, dengan menganalisis
perbandingan yang proporsional antara keputusan dibalik aksi korporasi atau manuver
bisnis yang dilakukan dengan tujuan dari keputusan atau aksi korporasi dimaksud.
Keputusan atau aksi korporasi yang berlebihan dan tidak proporsional,
berpotensi digolongkan sebagai “defensive corporate action”—baik berlebihan
dalam pasif beroperasi maupun terlampau ekspansif—yang biasanya terjadi pada
pihak pengurus yang kurang kompeten dibidang usaha korporasi dimana korporasi
bergerak. Sedangkan aksi koporasi ataupun keputusan bisnis yang tidak memenuhi
upaya optimal, berpotensi digolongkan sebagai penyebab terjadinya mis-manajemen
korporasi.
Kita dapat belajar dari analogi
dalam dunia medis berikut yang terjadi pada tahun 1979. Dokter Setyaningrum merupakan
seorang dokter umum yang dalam kesehariannya berkegiatan di Puskesmas Kecamatan
Wedarijaksa, Pati, Jawa Tengah. Setelah bertugas di Puskesmas, pada sore
harinya Dokter Setyaningrum membuka praktik dokter di rumah dinasnya. Pada 4
Januari 1979 sore, Dokter Setyaningrum (40 tahun) didatangi seorang pasien yang
bernama Nyonya Rusmini (28 tahun). Saat itu, pasien mengeluhkan demam, pusing,
dan sakit tenggorokan. Dokter Setyaningrum melakukan pemeriksaan terhadap
pasien dan mendiagnosis bahwa pasien sakit radang tenggorokan. Dokter
Seyaningrum menanyakan kepada sang pasien, apakah pasien pernah disuntik dengan
streptomycin.
Sang pasien kemudian menyatakan
bahwa sudah pernah disuntik dengan streptomycin. Adalah kelaziman pada zaman kala
itu bahwa suntik (injeksi) merupakan tindakan medis “lumrah” bagi kalangan
pasien. Bahkan, dalam benak pasien, ada perasaan belum diobati oleh dokter
apabila ketika berobat hanya diberikan obat-obatan yang diminum secara oral,
tetapi tidak dilakukan tindakan suntik (injeksi). Setelah disuntik dengan
streptomycin, pasien menjadi lemas, pucat dan merasa mual. Dokter Setyaningrum
menyadari bahwa pasien mengalami alergi terhadap obat (anaphylactic shock).
Pasien mengeluh mual, tetapi
tidak bisa muntah. Dokter Setyaningrum melakukan tindakan untuk merangsang agar
pasien bisa muntah dengan jalan memasukkan alat medis yang ujungnya tumpul
melalui mulut pasien. Pasien kemudian muntah dan langsung lemas. Dokter
Setyaningrum kemudian meminumkan kopi hitam tanpa gula kepada pasien. Meskipun
tindakan pertolongan tersebut telah dilakukan, tetapi kondisi pasien semakin
lemas dan mulai mengeluarkan keringat dingin.
Dokter Setyaningrum kemudian
menyuntik pasiennya tersebut dengan cortisone (obat anti alergi). Akan tetapi
hal itu tidak membawa perubahan, pasien semakin lemas dan keringat dingin
membanjiri tubuhnya. Dokter Setyaningrum kembali menyuntik Nyonya Rusmini, kali
ini dengan delladryl yang juga merupakan obat antialergi. Kondisi pasien
semakin lemas dan mulai mengigau. Karena tidak ada tanda-tanda membaik, Dokter
Setyaningrum kemudian memberikan Nyonya Rusmini suntikan adrenalin. Epinephrine
(adrenalin) adalah obat untuk mengatasi syok anafilaktik akibat reaksi alergi
yang berat. Kondisi Nyonya Rusmini semakin lemas, tidak sadarkan diri dan
tekanan darahnya semakin rendah.
Dokter Setyaningrum memutuskan
untuk merujuk pasiennya ke Rumah Sakit Umum R.A.A. Soewondo, Pati. Jarak antara
tempat praktik Dokter Setyaningrum dengan rumah sakit adalah sekitar 7
kilometer. Kondisi pada saat itu (tahun 1979) sangat berbeda dibandingkan
dengan saat ini. Kendala terbesarnya adalah sulitnya menemukan sarana
transportasi untuk melakukan proses rujukan dan kondisi jalan yang kurang
layak. Sesampainya di Rumah Sakit Umum R.A.A. Soewondo, Nyonya Rusmini
menghembuskan nafas terakhirnya.
Kasus ini kemudian diproses
oleh pengadilan. Pada saat diproses di tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri
Pati, dihadirkan 3 orang ahli yang terdiri dari 2 orang dokter umum dan 1 orang
dokter spesialis yang seorang guru besar. Dua orang dokter umum menyatakan
bahwa tindakan medis dari Dokter Setyaningrum sudah benar sesuai dengan ilmu pengetahuan
dan pengalaman medis yang diharapkan dari seorang dokter umum. Namun,
seorang dokter spesialis yang dihadirkan sebagai ahli menyatakan bahwa
tindakan Dokter Setyaningrum keliru. Dokter spesialis ini dalam kesehariannya berdinas
di kota besar. Dokter spesialis tersebut menyatakan bahwa Dokter
Setyaningrum keliru dalam tata urutan tindakan injeksi (suntik). Seharusnya,
yang didahulukan adalah adrenalin (epinephrine).
Sebaliknya, 2 orang saksi
ahli dari kalangan dokter umum menyatakan bahwa tata urutan penyuntikan sudah
benar. Justru, apabila adrenalin (epinephrine) didahulukan, akan
membahayakan fungsi jantung. Lebih lanjut, dokter spesialis itu menyatakan
seharusnya Dokter Setyaningrum melakukan skin test sebelum melakukan
penyuntikan, menyediakan infus di tempat praktik dokter, dan beberapa peralatan
medis modern lainnya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pati mempertimbangkan
pendapat dari saksi ahli dokter spesialis tersebut dalam menjatuhkan
putusannya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Pati mempergunakan Pasal 359 KUHP sebagai “pisau analisisnya.” Pada tanggal 2
September 1981, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pati menjatuhkan putusan dengan
amar menghukum Dokter Setyaningrum selama 3 bulan penjara dengan masa percobaan
selama 10 bulan. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Semarang. Dalam tingkat
kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan Dokter Setyaningrum dari
segala tuntutan hukum, dengan alasan tidak terbukti adanya unsur kelalaian,
serta membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 203/1981/Pid/PT.Smg
dan Putusan Pengadilan Negeri Pati No. 8/1980/Pid.B/PN.Pt.
Akan tetapi, dalam konteks
manajerial dalam tubuh korporasi, tidaklah relevan menggunakan paradigma dalam
contoh kasus medik di atas dalam suatu aksi korporasi. Suatu aksi korporasi,
menggunakan pola hubungan paternalistik antara pengurus dan pihak pekerja yang
mengeksekusi keputusan manajemen, karenanya pengurus yang menjabat sebagai
direksi, haruslah seorang profesional serta spesialis dibidangnya sesuai bidang
usaha dimana korporasi bergerak. Kerugian korporasi yang diakibatkan minimnya
profesionalisme maupun kompetensi pengurusnya, turut menjadi tanggung-jawab
pihak kementerian yang menunjuk pejabat direksi maupun komisaris.
Tolok ukur yang dapat
dipergunakan untuk menyatakan bahwa pengurus korporasi melakukan tindakan
secara lack of skill adalah berdasarkan Standar Profesionalisme dalam
manajerial sebuah korporasi sesuai skala usahanya. Bila kita hendak menyusun
unsur-unsur dari Standar Profesional, maka dapat kita buat sebuah pemetaan yang
terdiri dari prinsip-prinsip sebagai berikut:
- berbuat secara teliti / seksama
/ terukur / kalkulatif;
- telah memperhitungkan resiko
bisnis serta skala resiko maupun mitigasinya;
- kemampuan rata-rata manajerial
kepengurusan suatu korporasi dalam bidang usaha sejenis dibanding kategori
keahlian rata-rata manajerial bidang yang sama;
- situasi dan kondisi yang sama;
- sarana upaya yang sebanding
atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau aksi korporasi bersangkutan.
Kemampuan rata-rata (average)
dibanding kategori keterampilan manajerial yang sama bermakna, kita tidak dapat
menjadikan standar tolok-ukur kemampuan manajerial seorang profesional sekaliber
multinasional untuk ukuran korporasi lokal, mengingat terdapat disparitas
keterampilan dalam dua skala korporasi yang berbeda kelas. Seorang profesional
/ pengurus, harus mempunyai kemampuan rata-rata (average) yang setara dengan
profesional dari bidang usaha yang sama. Misalnya, apabila seorang manajer
bisnis usaha asuransi dibandingkan dengan manajer bidang yang sama, maka
kemampuannya tidak berada di bawah rata-rata. Demikian juga, apabila seorang direktur
usaha asuransi dibandingkan dengan direktur usaha asuransi lainnya, memiliki pembanding
yang berasal dari spesialisasi yang sama, maka kualitasnya tidak berada di
bawah kemampuan rata-rata kualitas ketajamannya dalam membuat analisa maupun keputusan
bisnis.
Situasi dan kondisi yang sama
mengandung makna bahwa seorang profesional dengan kemampuan rata-rata yang sama
akan melakukan keputusan bisnis yang sama apabila dibandingkan dengan profesional
lain dalam situasi dan kondisi yang sama. Namun barulah menjadi tolok-ukur yang
tidak sejajar, ketika pengurus korporasi skala nasional dibandingkan dengan pengurus
perusahaan multinasional—disini, tidak tercermin unsur kemampuan rata-rata yang
sama karena adanya perbedaan skala kemampuan / keterampilan manajerial.
Sarana upaya yang sebanding
atau proporsional dengan tujuan konkrit keputusan atau aksi korpoasi,
mengandung makna bahwa seorang profesional harus mempertimbangkan upaya yang
proporsional dalam melaksanakan kepengurusan suatu korporasi. Disini, tindakan korporasi
yang diambil oleh pengurussnya harus seimbang dengan tujuan korporasi. Manuver korporasi
yang berlebihan dibandingkan dengan tujuan korporasinya, dapat digolongkan
sebagai “defensive corporate action”, bukan “business judgement rule”,
mengingat buah hasilnya justru kontraproduktif terhadap kepentingan korporasi
yang diurus. Sebaliknya pula, aksi korporasi yang tidak memenuhi unsur upaya
terbaik (inspanning sverbintennis) dibandingkan dengan tujuan korporasinya,
dapat digolongkan sebagai mis-manajemen korporasi yang tentunya harus dimintakan
pertanggung-jawaban secara hukum.
© Hak Cipta HERY
SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.