Ketika Hukum Berhadapan dengan Sikap Irasional Korban

ARTIKEL HUKUM
Selama ini aturan hukum disusun dan dirumuskan oleh regulator dengan asumsi dasar, bahwa semua warga negara yang diatur oleh hukum memiliki karakter batin yang “sehat” dan “normal”. Namun dalam fakta empirik, kita akan selalu menjumpai anomali, bertrabrakan dengan sikap irasional warga, termasuk anomali sosial.
Perihal perilaku abnormal dan asosial pelaku kejahatan, sudah banyak dibahas dalam teks-teks disiplin ilmu kriminologi maupun viktimologi. Akan tetapi sangatlah minim, teks-teks yang mengupas sikap irasionalitas dari pihak korban itu sendiri, sebagaimana justru dapat kita jumpai dalam disiplin ilmu psikologi.
Tentu kita masih ingat, ketika pada tahun 2017 kelompok militan di Filipina bagian selatan, Abu Shayaf, menyandera warga negara Australia yang melintas di laut luar Filipina, otoritas Australia menerapkan kebijakan: TIADA NEGOSIASI DENGAN PIHAK TERORIS (zero tolerance). Meski kemudian estremis Abu Shayaf benar-benar mengeksekusi mati sandera mereka yang berkebangsaan Australia, maka untuk selanjutnya menjadi preseden tegas dan tersurat bagi kalangan militan tersebut, bahwa: adalah percuma kalian menyandera warga negara berkebangsaan Australia.
Sebaliknya, terhadap sandera dari Indonesia, meski sesama negara yang beragama sama dengan kalangan penyandera, Abu Sayaf seakan berada “diatas angin” dan memegang kendali, bahkan Indonesia mengucapkan “terima-kasih” terhadap Abu Shayaf yang telah berulang-kali menyandera anak buah kapal berkebangsaan Indonesia yang melintas di laut selatan Filipina. Seakan, Indonesia “berhutang budi” pada para penyanderanya tersebut karena tidak membunuh warga negaranya yang disandera.
Dalam artikel ini, penulis mengutip bahasan dari buku berjudul “Menyingkap Dunia Gelap Penjara” versi terjemahan dari judul aslinya “Psychology In Prisons” yang ditulis oleh David J. Cooke, Pamela J. Baldwin, & Jaqueline Howison, diterjemahkan oleh Hary Tunggal, Penerbit Gramedia Pustama Utama, Jakarta, 2008. Mari kita cermati telaah psikologis terkait tindak kriminil, yang dalam tema buku ini perihal perilaku “nara pidana” (Napi) dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas), sebagai berikut:
“Jika petugas yang pertama (tiba) di Tempat Kejadian Perkara memberi janji kepada penyandera, proses negosiasi bisa menjadi lebih sulit, karena pihak yang melakukan negosiasi mungkin tidak akan menyetujui apa yang Anda sepakati dengan penyandera. Ini akan membuat penyandera makin marah, sehingga sandera mungkin akan diciderai. Ketika Anda melaporkan kepada atasan, jika Anda tidak tahu sesuatu, akui bahwa Anda tidak tahu. Ini akan menolong mengurangi kebingungan. (hlm. 183)
Menjadi Sandera oleh Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan
“Jika Anda kurang beruntung sehingga menjadi sandera, apa yang harus Anda lakukan untuk mengurangi bahaya? Orang yang telah berpikir tentang kemungkinan disandera, dan sudah mempersiapkan diri, biasanya berhasil melalui pengalaman tersebut dengan lebih baik daripada mereka yang sama sekali tidak pernah memikirkannya. (hlm. 183)
“Sebelum kita melihat bagaimana seorang sandera harus bersikap, mari kita lebih dulu melihat bagaimana penyandera bersikap, dan apa yang dialami sandera. Jelas, insiden penyanderaan adalah pengalaman yang menegangkan bagi sandera. Mungkin tidak kasat mata, tetapi ketegangan yang sama juga dialami oleh penyandera. (hlm. 183)
“Pada tahap awal insiden, penyandera mungkin kelihatan gelisah. Ia mungkin menjadi bersemangat dan merasakan kekuatan besar. Ia telah berubah dari seorang napi yang tidak memiliki kendali menjadi seseorang yang merasa bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan—dengan mengancam sandera. (hlm. 184)
“Penyandera mungkin merasa stres, terutama jika ia mengambil sandera tanpa direncanakan. Ia mungkin terlihat aneh. Ia mungkin mengalami gairah yang amat sangat, dalam arti mulai bernafas dengan sangat cepat, atau pupil mata melebar. Ia mungkin kelihatan bingung dan tidak fokus—terkejut ketika mendengar suara-suara asing—dan mungkin ia bertingkah tidak rasional. Dalam kasus ekstrim, ada juga penyandera yang muntah-muntah dan sering buang air kecil. Mereka tidak mempunyai penyakit mental, tetapi itu adalah efek dari stres yang berlebihan. (hlm. 184)
“Seiring dengan berjalannya insiden, perlahan-lahan penyandera mulai merasa tenang, karena seseorang hanya bisa merasa amat sangat bergairah untuk jangka waktu yang pendek. Selanjutnya, tatkala aksinya kemungkinan besar akan gagal, ia akan menjadi tertekan dan menarik diri. (hlm. 184)
“Jika Anda sedang menjadi seorang sandera, bagaimana Anda menangani emosi tinggi dan perubahan suasana hati dalam keadaan seperti ini? Ketika napi sedang tegang, penting untuk tidak melakukan apa-apa yang bisa menyulut kemarahan. Anda harus dapat mengendalikan rasa marah Anda, dan tidak menunjukkan sikap permusuhan. Anda harus bekerja sama dan bicara dengannya. Jangan menolak berbicara dengannya. Berbicara adalah senjata Anda yang paling ampuh. Dengan berbicara, Anda bisa membantu menenangkan dia; Anda bisa membuat dia melihat Anda sebagai “seseorang”, bukannya sebuah barang yang bisa dirusak atau dilukai supaya penyandera bisa mendapatkan apa yang diinginkan. (hlm. 184)
“Anda bisa membangun hubungan dengan menunjukkan dan mengatakan bahwa Anda mengerti apa yang menyulitkan dia. “Ya, makanan di sini sangat buruk.” ... “Sudah waktunya mereka memperbaiki sistem penerimaan kunjungan.” ... “Ya, Kepala lapas memang menyebalkan.” (hlm. 184—185)
“Jika memungkinkan, Anda harus membuka diri. Katakan sesuatu tentang diri Anda. Misalnya, jika ia mulai bicara tentang istri dan keluarganya, coba ceritakan tentang keluarga Anda juga. Ini sangat menolong dalam mengembangkan hubungan. Ini membuat dia melihat Anda sebagai “manusia”, yang pada akhirnya akan memberikan keamanan yang lebih besar bagi Anda. (hlm. 185)
Anda mungkin tergoda untuk menundukkan penyandera tersebut. Jangan pernah mencoba ini, sebab jika Anda tidak berhasil, si penyandera akan ‘menghajar’ Anda. Dengan tidak melawan, mungkin kelihatannya seperti pengecut, tetapi jika Anda menyulut amarah penyandera, Anda tidak menolong diri Anda sendiri, bahkan juga tidak menolong mereka yang akan melakukan negosiasi. (hlm. 185)
“Jika masalah berkelanjutan, Anda mungkin merasa konsentrasi dan rasa percaya diri Anda mulai menurun. Cobalah untuk mempertahankan keduanya. Jika situasi mengijinkan, makanlah dan tidurlah, jika Anda bisa. (hlm. 185)
“Rasa percaya diri memang agak sulit dipertahankan. Ingatkan diri Anda bahwa banyak insiden bisa diselesaikan dengan berbicara. Pengalaman membuktikan bahwa semakin lama insiden berlangsung, semakin kecil kemungkinan Anda akan dilukai. Akan ada tim berpengalaman dan terlatih dengan baik yang akan membebaskan Anda, dan ada orang yang menjaga keluarga Anda. (hlm. 185)
“Pelihara rasa percaya diri dengan memelihara peran profesional Anda. Sebagai sandera, Anda bisa membantu membekuk penyandera dan dengan itu mengakhiri insiden. Dalam kejadian penggrebekan kereta api Malaka Selatan, seorang jurnalis yang disandera bertindak seolah-olah dia sedang meliput berita, menulis detail kejadian dan bicara dengan sandera lainnya. Dia berhasil mempertahankan rasa percaya diri dan perhatiannya tetap fokus, dengan bertindak sesuai dengan peran profesionalnya. Petugas lapas bisa berbuat hal yang sama, dengan melakukan apa yang telah kami bahas diatas. (hlm. 185—186)
“Anda bisa mempertahankan rasa percaya diri dan semangat, dengan cara lain. Misalnya, jika ada beberapa sandera dan Anda diijinkan bicara satu sama lain, bicaralah. Jangan menghindari pembicaraan mengenai perasaan dan pengalaman pribadi Anda, dan coba untuk mendengarkan rasa takut dan rasa cemas sandera lainnya. ketika orang sedang mengalami stres yang amat sangat, dukungan pihak lain penting baginya. Dalam penggrebekan kereta api Malaka Selatan, sesama sandera saling mendukung, sehingga rasa percaya diri dan semangat mereka tetap terpelihara. (hlm. 186)
“Menjadi seorang sandera adalah pengalaman yang menegangkan dan bisa meninggalkan berbagai dampak psikologis yang tidak biasa. Tidak semua sandera mengalami ini—tergantung pada pengalaman masa lalu Anda, serta berapa lama dan bagaimana Anda disandera. Tetapi, penting untuk memahami apa yang bisa terjadi, sehingga akan lebih ringan ketika sesuatu benar-benar terjadi. (hlm. 186)
“Mungkin, perasaan paling umum dan dapat dimengerti yang dialami seorang sandera adalah rasa takut dan putus asa. Ketakutan disini mungkin adalah yang terhebat yang pernah Anda alami—rasa takut karena nyawa Anda terancam. Banyak sandera merasa putus asa, dan membayangkan mereka tidak akan pernah bisa mempengaruhi penyandera yang kuat tersebut. Namun, kita sekarang telah punya banyak bukti bahwa hal itu tidak benar. Anda bisa membuahkan pengaruh—Anda (selaku sandera) bisa mempengaruhi situasi, sehingga penyandera menjadi tenang. (hlm. 186)
“Di atas adalah dampak psikologis yang kasat mata, tetapi ada juga dampak yang tidak begitu jelas terlihat. Waktu mungkin menjadi kabur. Jika penyandera membuat batas waktu—misalnya mengatakan akan melukai Anda jika permintaannya tidak dipenuhi dalam tiga puluh menit—waktu mungkin berjalan sangat cepat. Pada saat lain, waktu serasa berjalan amat lambat. (hlm. 186)
“Beberapa sandera mengalami ‘keluar dari tubuh’. Misalnya, mereka mungkin merasa ‘melayang’ di atas sel dan melihat apa yang sedang terjadi. Ini adalah bentuk depersonalisasi, yang bisa terjadi dalam berbagai macam situasi yang menegangkan. Jangan khawatir, Anda tidak seang kehilangan ingatan. Kadang-kadang sandera bisa mengalami halusinasi. Sandera yang diikat, diisolasi, dan ditutup matanya melaporkan bahwa mereka mengalami ‘penglihatan’. Ini diakibatkan kombinasi stres dan kurangnya stimulasi visual. Pelayar tunggal yang tengah kelelahan mengarungi lautan, dan berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan hanya melihat laut sering melaporkan bahwa mereka mengalami halusinasi. Halusinasi akan hilang ketika stres menghilang. (hlm. 187)
“Kita perlu memahami dampak lain ketika kita menjadi sandera, yaitu ‘efek Stockholm.’ Ketika seorang sandera telah ditahan beberapa lama, mereka ia bsia mempunyai perasaan yang kuat dan positif kepada penyanderanya, dan mendukung alasan atau kesedihan penyandera. Memang aneh, seorang sandera bisa mempunyai perasaan positif pada seseorang yang mengancam akan membunuh atau melukai dirinya, tapi hal ini bisa dan pernah terjadi. Mungkin contoh yang paling terkenal adalah Patty Hearst. Ia diculik oleh Tentara Pembebasan Symbiones, dan pada akhirnya ia sendiri menjadi anggota yang aktif. Ini bukan satu-satunya kasus demikian. Pada penggrebekan Kedutaan Iran, salah seorang sandera mengatakan kepada orang yang membebaskannya bahwa penyanderanya adalah ‘anak yang baik’. (hlm. 187)
Seiring dengan perasaan positif terhadap penyandera, timbul perasaan negatif kepada pihak berwajib, sehingga komentar seperti ini sering terjadi: ‘Mengapa mereka tidak memenuhi permintaannya?’ ... ‘Mereka memaksa dia melukai saya karena mereka begitu bodoh.’ (hlm. 187)
“Kami tidak tahu pasti mengapa Efek Stockholm muncul. Salah satu penjelasannya adalah bahwa sesudah menjadi sandera untuk beberapa waktu, sandera merasa berhutang nyawa, karena penyandera yang kuat ternyata belum membunuhnya. Sandera merasa bahwa penyandera memberinya kehidupan dengan tidak mencabut nyawanya. (hlm. 187—188)
Menghadapi Penyanderaan (Sesudahnya)
Pembebasan sandera tidak selalu berarti akhir dari masalah. Banyak sandera menderita perubahan psikologis jangka panjang (efek traumatis pasca insiden). Perubahan bisa terjadi, kendati insiden penyanderaaan hanya sebentar saja. Rupanya yang menentukan adalah seberapa genting insiden penyanderaan itu, dan bukan seberapa lama penyanderaan berlangsung. (hlm. 188)
“Beberapa masalah kadang-kadang bisa diperdiksi. Banyak sandera melaporkan mimpi buruk atau mimpi menakutkan di siang bolong. Fobia juga umum terjadi. Sepertiga dari sandera berkebangsaan Belanda yang berada di kereta api Malaka Selatan melaporkan bahwa setelah penyanderaan itu mereka punya fobia pada kereta api. Banyak petugas lapas merasa sukar untuk kembali ke sel atau blok dimana insiden pernah terjadi. Sering mereka merasa sedang diperhatikan dan diancam. Mereka terkejut pada suatu asing sekecil apapun. Mereka cemas insiden itu akan terjadi lagi. (hlm. 188)
“Rasa cemas bisa keluar dengan cara lain. Seorang mantan sandera menambah gembok pada semua pintu di rumahnya—pintu di luar dan di dalam. Dia juga menguncinya setiap hari. Dalam jangka pendek, ini bisa meredakan kecemasan. Dalam jangka panjang, rasa cemas dan masalah keluarga akan menjadi lebih buruk. (hlm. 188)
“Beberapa perubahan tidak sedemikian jelas. Banyak sandera merasa takut berlebihan (paranoid), karena merasa setiap saat hidup mereka bisa berakhir. Orang yang tadinya sangat menikmati hidup bisa kehilangan semangat. Mereka tidak merasakan kenikmatan dari apapun, dan mereak meyakini bahwa hidupnya sia-sia. Mereka merasa tidak berguna, tidak menilai, dan gagal. Gambaran ini sering menyerupai apa yang terjadi pada penderita depresi, putus asa, dan apatis. (hlm. 188—189)
“Rasa bersalah juga merupakan dampak yang umum. seorang bisa merasa bersalah atas apa yang dia lakukan atau tidak dia lakukan selama insiden. Beberapa merasa malu, karena mereka tidak membekuk pelaku, atau bahwa mereka tidak mempunyai inisiatif. Beberapa bisa merasa diri begitu rendahnya, karena mereka menyerah dan menangis atau bahkan mengemis penampunan dari penyandera. Pikiran bertemu dengan rekan sekerja yang tahu hal ini (bahwa ia mengemis pengampunan dan penyandera) bisa menakutkan dan menimbulkan rasa malu atau hina. Ketakutan ini bukannya tanpa dasar yang kuat. Beberapa sandera merasa sedemikian malu atau hina pada rekan sekerja, sehingga terpaksa berhenti bekerja. (hlm. 189)
“Disandera adalah pengalaman menakutkan, yang bisa mengubah perasaan dan kelakuan seseorang secara drastis. Apa yang harus Anda lakukan jika ini terjadi pada diri Anda? Ada beberapa tuntunan yang bisa Anda ikuti. Jika Anda mengalami perasaan apa pun juga, atau kecemasan seperti yang telah dibahas diatas, ceritakan pada orang lain. Jangan ditutup-tutupi. Jangan merasa hebat. Ceritakan pada petugas sosial atau dokter pribadi Anda. Tanya seseorang yang mempunyai spesialisasi dalam menangani masalah kecemasan. Minta direferensikan kepada seorang psikolog klinik. (hlm. 189)
“Psikolog klinik bisa membantu Anda dengan beberapa cara. Pertama, ia bisa membantu Anda untuk membicarakan rasa takut dan kecemasan Anda, di tempat yang aman dan rahasia. Kedua, ia bisa menunjukkan bahwa Anda bukanlah orang pertama yang merasakan hal ini, dan reaksi Anda ternyata normal untuk pengalaman seperti itu. Ketiga, ia bisa menunjukkan cara mengendalikan pikiran yang membuat Anda merasa sedih dan takut, bagaimana mengurangi ketegangan, bagaimana mengatasi fobia, dan bagaimana meningkatkan kualitas tidur Anda. (hlm. 189)
“Bantuan dan profesional bagi mantan sandera sangat penting. Jika tidak, rasa takut bisa ‘berkembang biak’ dan sandera akan menjadi semakin stres. (hlm. 190)
“Sandera mungkin bukan korban satu-satunya, istri dan keluarga sandera juga turut menderita. Dalam beberapa hal, insiden penyanderaan bisa lebih berat bagi istri dan keluarga, daripada bagi sandera itu sendiri. karena jauh, keluarga selalu was-was takut terjadi hal yang paling buruk. Seringkali, korban keluarga membutuhkan bantuan profesional yang sama baiknya dengan korban utama. (hlm. 190)
Menangani Penyanderaan terhadap Petugas Lain
“Jika insiden penyanderaan sudah terjadi dalam lapas Anda, dan Anda bukan sebagai sanderanya, Anda tetap masih mempunyai peran penting. Organisasi lapas akan terganggu; napi lain bisa merasa gelisah, siap untuk mengikuti jejak penyanderaan sebelumnya, dan sesama napi saling mendukung. Penting bagi Anda untuk tetap bertugas dengan tenang dan hati-hati. Tenangkan napi, dan jangan memancing amarah. Peluang untuk terjadinya insiden kedua harus Anda hindarkan jauh-jauh. (hlm. 190)
“Anda mungkin tergoda untuk pergi dan melihat apa yang sedang terjadi—jangan! Penonton bisa memanasi insiden atau mengganggu proses negosiasi. Dalam suatu insiden, seorang petugas yang berniat menonton, karena salah masuk pintu, malah masuk ke tempat kejadian, sehingga penyandera makin marah. Kendalikan rasa ingin tahu Anda. (hlm. 190)
“Petugas lain bisa dipanggil untuk melakukan berbagai tugas dalam penyelesaian insiden penyanderaan. Anda mungkin dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tambahan. Anda mungkin dibutuhkan untuk melakukan apa yang sudah digariskan, tanpa bertanya (peran yang bisa Anda lakukan sendiri). Kompleksitas masalah penyanderaan, dengan situasi yang bisa berubah setiap saat, membutuhkan semua orang untuk menjalankan perintah tanpa ragu. Kurangnya disiplin bisa membahayakan sandera. (hlm. 190—191)
“Anda harus bicara pada orang tertentu, tetapi ada juga orang tertentu yang harus Anda hindari. Keluarga akan ikut cemas, karena mereka takut terjadi hal yang paling buruk, dan ketakutan ini seringkali diperburuk oleh liputan media dan televisi. Karena itu, bicaralah dengan keluarga Anda. Jelaskan pada mereka apa yang terjadi, dan bahwa Anda tidak sedang dalam bahaya. (hlm. 191)
Jangan bicara dengan media massa. Reporter atau wartawan bisa mengganggu Anda ketika Anda meninggalkan tempat kejadian. Kepentingan mereka tidak selalu sama dengan kepentingan para sandera. Dalam satu insiden, helikopter pers berulang kali terbang diatas lokasi insiden, walaupun telah diperingati berulang kali. Penyandera bisa berubah dari yang tadinya tenang dan terbuka, menjadi galak dan agresif, kalau mereka mengira bahwa yang datang adalah unit polisi khusus. (hlm. 191)
Penyandera sering bisa memantau keadaan di luar, melalui radio atau televisi. Liputan pers yang buruk juga bisa menyulut amarah penyandera. Luputan / pers juga bisa membocorkan rencana atau informasi sensitif. Karena itu, Anda tidak perlu bicara dengan reporter; mereka bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari sumber resmi. (hlm. 191)
Ringkasan
“Penyanderaaan pernah dipakai oleh negara-negara di dunia untuk memaksakan keinginan. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, teroris mulai memakai penyanderaan sebagai jalan untuk mendapatkan yang diinginkan dan menarik perhatian naasional dan internasional pada tuntutan mereka. Napi di Amerika Serikat, dan juga di Inggris awal 1990-an, memakai teknik ini sebagai jalan untuk melepaskan ketegangan atau meminta sesuatu. Ini adalah masalah yang masih akan terus terjadi.” (hlm 191)
Memang ironis, selama ini pembentuk undang-undang hanya berfokus menjatuhkan pidana pada pelaku kejahatan, namun perihal korban, hampir tidak mendapat perhatian—seakan, pemerintah berasumsi bahwa dengan telah dipidananya pihak pelaku, maka segala luka fisik maupun luka mental dari korban akan sembuh total secara sendirinya. Itulah sebabnya, negara hukum yang baik lebih cenderung mencegah lahirnya bibit-bibit kejahatan, ketimbang melakukan aksi kuratif maupun atributif.
Yang hendak penulis soroti, ialah perihal “Syndrome Stockholm”, yang memang fenomenal dan banyak dijumpai secara empirik sekaligus menjadi tanda-tanya besar dalam dunia ilmiah, sebagai suatu bukti tidak terbantahkan perihal irasionalitas yang bukan hanya bisa menjangkiti perilaku kriminil, namun juga dari faktor korban itu sendiri.
Media banyak melaporkan, pelaku pelecehan terhadap anak dibawah umur, seringkali pada mulanya merupakan korban pada masa kanak-kanak atas kejahatan serupa yang ketika dewasa justru dilakukan olehnya, secara sadar maupun secara tidak ia sadari.
Dirinya paham dan sadar sepenuhnya bahwa menjadi korban itu menyakitkan, namun tampaknya melakukan kompensasi rasa sakit itu dengan menjadi “predator” anak, seakan itulah cara ia melampiaskan dendam. Namun, ketika hal itu terus berulang oleh si pelaku yang “semula adalah korban”, patut dicurigai bahwa si pelaku mulai menikmati perilaku menyimpangnya dan menjadikan itu sebagai identitas laten dirinya—“mimikri” (peniruan) terhadap identitas pelaku kejahatan yang pernah menyakiti dirinya dimasa kecil.
Mengapa korban sandera, selama ini tidak pernah berterima-kasih terhadap banyak orang di tengah publik, yang tidak pernah menyakiti, mengancam, ataupun menyakiti dirinya, namun justru lebih menghargai kehidupannya (nyawanya) ketika dirinya tersekap dalam kondisi tersandera dan lebih respek terhadap pelaku yang mengancam akan menyakiti, pelaku mana bisa jadi tidak benar-benar akan menyakitinya atau pelaku yang memang benar-benar akan menyakitinya bila tidak segera dibekuk pihak berwajib?
Di indonesia, para mantan terpidana korupsi, sebagai ilustrasi contoh lainnya secara analogi, setelah menjalani masa tahanan di lembaga pemasyarakatan (Lapas), kembali ke tengah masyarakat dan mulai kembali aktif berpolitik, mengajukan dirinya sebagai calon kepala daerah ataupun anggota legislatif, yang mana gaibnya: kembali terpilih oleh masyarakat untuk kembali menjabat dan memiliki jabatan publik! Artinya, publik lebih respek dan menaruh simpatik terhadap pelaku tindak pidana korupsi, ketimbang terhadap calon yang memiliki reputasi bersih dari catatan hitam.
Regulasi di Indonesia mengizinkan mantan narapidana korupsi untuk kembali memangku jabatan publik. Regulasi demikian disusun dengan pola pikir asumtif spekulatif pihak regulator yang juga irasional: bahwa bangsa Indonesia sudah cerdas, sudah tinggi tingkat pendidikannya, tidak akan memilih mantan koruptor untuk kembali menjabat. Masalahnya, masyarakat belum tentu bersikap rasional dalam membuat pilihan dan sudut pandangnya bisa jadi diwarnai semangat irasional.
Begitupula dengan Kode Etik kalangan profesi pers / jurnalistik, perlu disempurnakan agar kegiatan / operasional mereka dalam meliput dan menghimpun berita, tidak membawa resiko terhadap korban / sandera, tidak juga membawa lebih banyak efek traumatis / dramatisir terhadap masyarakat, juga tidak sampai membocorkan aksi strategis pihak berwajib untuk membekuk pelaku kejahatan.
Orang awam mungkin akan menilai, kinerja kepolisian sangatlah tumpul, sehingga proses penyanderaan menjadi berlarut-larut, bahkan hingga hitungan minggu. Namun, secara teknik di lapangan, mengulur waktu adalah teknik yang paling efektif untuk menurunkan ketegangan syaraf para penyandera, sehingga komunikasi dapat terjalin secara lebih efektif ketika berhadapan dengan pihak negosiator dari otoritas.
Sebagai masyarakat sipil, kita tidak boleh menekan pihak pemerintah untuk segera menuntaskan penyanderaan—karena itu sama artinya Anda menghendaki nyawa sandera kian terancam. Penyanderaan, merupakan medan “perang dingin psikologi” antara tiga kubu: sandera dan keluarganya, pihak otoritas, dan si pelaku penyandera itu sendiri—bukan perang hukum ataupun perang militeristik.
Itulah sebabnya, aturan hukum harus disusun tidak terlepas dari fakta empirik, jiwa sosiologi warga maupun semangat psikologis suatu bangsa yang hendak diaturnya. Kita tidak dapat bersikap naif dengan menafikan sesuatu yang “tidak kasat mata” seperti faktor psikologis antara pihak pemerintah, pelaku kejahatan, dan para korban. Hukum yang baik dalam implementasinya, selalu merasa penting untuk mengakomodasi ketiga kepentingan tersebut dalam satu paket kebijakan, secara imparsial.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.