Balas Air Susu dengan Air Tuba dan Pelecehan, Tidak Berhati Nurani

ARTIKEL HUKUM
Pernahkah Anda sadari, kondisi yang kontras antara sosiologi Bangsa Indonesia terhadap budaya mental bangsa-bangsa lainnya di Barat? Sederhananya, cobalah lihat di sekitar lingkungan komunitas serta tempat tinggal Anda, adakah satwa yang dapat hidup secara bebas tanpa ditangkap dan diganggu, adakah buah-buahan yang dapat tumbuh tanpa dijarah oleh tangan-tangan usil yang seolah diri mereka “kurang makan”?
Beberapa tahun lampau, di tempat kediaman penulis di Kota Jakarta, masih mudah dijumpai iguana liar maupun sepasang tupai yang melompat dari satu pohon ke pohon lain. Tidak sampai satu bulan kemudian, tupai itu penulis jumpai di jalan telah dalam kondisi tersangkar dan tergantung pada rumah seorang warga. Kini, tiada lagi tupai terlihat melintas di lingkungan domisili penulis, terlebih iguana. Sudah tidak jelas lagi, bagaimana nasib mereka saat ini.
Seakan, adalah dosa bila para warga tersebut membiarkan ada buah-buahan yang tumbuh liar di pinggir jalan tanpa dicuri dan diambil, sekalipun buah tersebut masih sangat kecil dan belum tumbuh utuh hingga masak. Seakan, adalah dosa bila terdapat satwa liar berkeliaran hidup bebas di tengah pemukiman warga, tanpa ditangkap dan dijadikan hewan peliharaan.
Seakan, adalah dosa bila ada trotoar tidak di-okupasi untuk membuka lapak, untuk mengetem kendaraan, atau untuk memarkir kendaraan pribadi. Seakan, adalah dosa bila kelestarian alam dibiarkan lestari tanpa dirusak untuk dijadikan lahan tambang pasir atau galian lainnya.
Seakan, adalah dosa bila terdapat tembok yang bersih tanpa dikotori aksi vandalisme seperti corat-coret yang merusak pemandangan. Seakan, adalah dosa bila keheningan dan ketenangan tidak diganggu lewat polusi suara tempat usaha di tengah pemukikan warga maupun tempat ibadah yang melakukan ritual dengan demikian berisiknya.
Seakan, adalah dosa bila ada orang baik-baik yang tidak dianiaya. Seakan, adalah dosa bisa ada orang jujur yang tidak ditipu. Seakan, adalah dosa bila terdapat orang lugu yang tidak dimanipulasi dan tidak dieksploitasi keluguan dan kepolosannya. Jika para bajingan tersebut memang berani dan jantan, silahkan rampok, tipu, dan curi saja orang-orang yang lebih jahat dari mereka.
Bukannya melestarikan dan melindungi orang baik-baik, Bangsa Indonesia yang mengaku sebagai bangsa agamais lengkap dengan segudang atribut agamais dan “halal lifestyle”-nya tersebut, justru tega memakan orang yang baik-baik, demi kepentingan tersier diri orang-orang tamak demikian. Mereka bahkan tidak perduli, apakah korban mereka memiliki kondisi hidup yang lebih sukar daripada mereka, terutama kaum minoritas, yang sangat sukar untuk dapat mengakses segala sesuatunya—bahkan untuk dapat menyampaikan aspirasi saja, harus secara sembunyi-sembunyi.
Bahkan, seorang koruptor, yang konon dipandang lebih jahat daripada teroris, meski hidup berkecukupan dengan gaji sebagai anggota legislatif, masih saja tega mencuri dari orang miskin dengan meng-korupsi Uang Rakyat (hindari penggunaan frasa “Uang Negara”. Tidak ada yang namanya “Uang Negara”, semua itu uang milik Rakyat),
Seakan, adalah dosa menjadi seorang hakim yang jujur dan berintegritas, tanpa mengotori kursi hakim di pengadilan dengan aksi kolusi yang demikian kotor dan jahat. Seakan, adalah dosa menjadi Pegawai Negeri Sipil yang melayani masyarakat secara tulus dan bertanggung-jawab.
Orang-orang kaya secara materi di Indonesia bahkan tega dan berani merampok makanan dan nasi dari piring orang-orang miskin dan tertindas. Seakan, tanpa melakukan penindasan demikian, adalah dosa—sesuatu paradigma yang terjungkir-balik. Sementara orang-orang miskin di Indonesia, merasa berhak untuk merampok hak-hak warga negara lainnya yang mungkin saja lebih sukar daripada mereka, dengan alasan tidak dapat hidup penuh kemewahan, seakan adalah dosa hidup secara sederhana dan bersahaja.
Seakan, adalah dosa bila ada subsidi pemerintah yang tidak dirampas dengan mengaku-ngaku sebagai warga miskin tidak mampu dan tidak berpunya (fenomena mendadak miskin), meski memiliki kendaraan mewah dan rumah yang lebih dari satu. Seakan, adalah dosa bila ada orang yang idealis namun tidak dijungkalkan dan tidak di-bully.
Seakan, adalah dosa bila ada orang yang hidup damai tanpa menjadi korban pem-begal-an. Seakan, adalah dosa bila ada sungai yang mengalir jernih dan bersih, untuk kemudian tidak dikotori dengan berbagai sampah bahkan hingga menjadikannya sebagai “bak sampah raksasa”.
Seakan, adalah dosa bila ada anak dibawah umur yang tumbuh besar secara norma tanpa dilecehkan secara sensuil oleh orang-orang dewasa yang semestinya menjadi orang tua atau menjadi guru mereka. Seakan, adalah dosa bila ada orang yang berbeda keyakinan, tanpa disakiti dan tanpa dirampas harta miliknya dengan mengatas-namakan perintah agama. Seakan, adalah dosa membiarkan bunga liar tumbuh di pinggir jalan, tanpa di petik dan dicabut.
Seakan, adalah dosa bila ada kerukunan antar umat beragama tanpa direcoki oleh berbagai hoax yang mengundang permusuhan dan perpecahan. Seakan, adalah dosa bila ada pluralistis dalam suatu bangsa, bahkan adalah dosa bila Pancasila yang bertopang pada pilar “Bhineka Tunggal Ika” tanpa diganggu-gugat untuk dijungkalkan menjadi monopoli golongan tertentu yang tidak mengakui pentingnya toleransi. Seakan, kemajemukan adalah dosa tanpa dibuat menjadi seragam.
Sebenarnya, sama saja dengan pengalaman pribadi penulis yang mencari nafkah secara legal dengan berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum. Setiap harinya, ada saja yang menyalah-gunakan nomor kontak penulis, meski diri mereka sadar sepenuhnya penulis mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum, mereka meminta dilayani tanpa mau memberi konpensasi berupa upah / tarif jasa.
Selama ini mereka banyak mendapat ilmu pengetahuan yang dipublikasi pada website komersiel yang penulis asuh ini. Namun, kebaikan hati penulis tersebut ibarat “membalas air susu dengan pelecehan dan perkosaan” terhadap profesi penulis. Ketika mereka meminta dilayani dan disaat bersamaan menyuruh penulis untuk “memberi makan keluarga penulis dengan batu”, jawaban apa lagi yang mereka harapkan selain “hati yang terluka” akibat pelecehan yang mereka lakukan demikian?
Betapa bobroknya moralitas bangsa agamais bernama Indonesia ini. lihatlah ekosistem Bumi Pertiwi, yang semula terkenal akan kesuburan dan keramahan sosial bangsanya, kini menjelma tandus bagai padang gurun Timur-Tengah menjelma di Indonesia. Kering-kerontang, tandus, panas, dan penuh agresivitas. Konon, orang bijak menyebutkan, ketika moralitas suatu bangsa merosot, maka tanda-tandanya dicirikan dengan berbagai bencana alam serta tandusnya alam pada negeri tersebut.
Seakan, adalah dosa bila profesi penulis tidak mereka hormati sebagaimana profesi mereka atau orang tua yang mencari nafkah secara legal ingin dihormati dan dihargai. Seakan, adalah dosa bila profesi penulis tidak mereka lecehkan dan perkosa. Seakan, adalah dosa bila mereka tidak mengeksploitasi kebaikan hati orang lain. Seakan, adalah dosa bila mereka tidak melecehkan profesi orang lain. Seakan, adalah dosa tidak membudaki orang lain.
Seakan, adalah dosa bila korban justru tidak dipersalahkan dan tidak dikriminalisasi, sebagaimana wanita korban tindak pidana asusila dipersalahkan oleh pelakunya karena memakai pakaian minim, atau memakai perhiasan berlebihan sehingga mengundang nafsu pria “hidung- belang” dan penjahat-penjahat residivis spesialis maling.
Seakan, adalah dosa bila ada tetangga yang hidup tenang tanpa saling mengganggu, justru kemudian disakiti dan ditindas lewat berbagai aksi anarkis, polusi udara, polusi air, polusi suara, hingga aksi premanisme dan radikalisme yang mengantas-namakan agama dengan maksud untuk menciptakan teror atau “putar-balik fakta”.
Anda dapat membaca dan menilai sendiri, mungkinkah Anda tidak menyadari apa yang menjadi profesi penulis? Orang dengan akal sehat, sadar bahwa seorang konsultan mencari nafkah dari “menjual jasa”. Untuk dapat mengetahui nomor kontak penulis, mungkinkah Anda tidak membaca perihal keberadaan ketentuan “tarif konsultasi”? Mengapa mereka masih juga merasa berhak untuk memerkosa profesi penulis? Salah apakah penulis terhadap mereka, sampai-sampai mereka merasa berhak membudaki penulis.
Hak untuk mencari nafkah, bebas dari perbudakan dan kerja rodi, merupakan hak asasi manusia (HAM), maka termasuk juga sebagai Hak Asasi dari penulis yang mencari sesuap nasi secara legal. Bila mereka memang demikian kikirnya—meski disaat bersamaan mereka sanggup secara loyar memiliki gaya hidup seperti meminum kopi di kedai yang super mahal atau bergonta-ganti membeli handphone dan kendaraan bermotor—maka cukup dengan tidak mengganggu waktu penulis, terlebih hingga secara lancang mencoba memperkosa profesi penulis. Setiap harinya, ada saja orang-orang yang “sudah putus urat-malunya” demikian.
Tidak adakah pada agama mereka diajarkan untuk tidak membalas “air susu dengan air tuba”? Penulis tidak tahu pasti bagaimana agama mereka mengajarkan, namun yang pasti, dalam Buddhisme sebagaimana penulis anut, sikap demikian sama artinya dengan “merampok nasi dari piring orang lain”.
Yang paling bermasalah, sejatinya bukanlah masalah hukum yang mereka hadapi, namun sikap mental mereka yang menyerupai seseorang “gembel” yang bahkan “lebih hina daripada pengemis”. Ibarat seorang dokter menolong penderita kanker yang mengidap kanker kronis akibat kebiasaannya menenggak minuman beralkohol, maka bila kebiasaan meminum minuman tidak sehat demikian tidak juga dihentikan olehnya, maka adalah pilihan terbaik bagi sang dokter untuk membiarkannya mati saja saat ini daripada mengundang masalah oleh si pecandu dikemudian hari.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.