Membeli Rumah Lelang Eksekusi, bisa Lebih Aman dari Jual-Beli Tanah Konvensional

LEGAL OPINION
Question: Apa iya mungkin, beli rumah dari lelang eksekusi bank yang kredit macet debitornya, lebih bisa menguntungkan dari membeli rumah langsung dari broker, agen properti, atau dari pemilik rumahnya langsung? Kabarnya, hanya harganya saja yang bisa jauh lebih murah, tapi resikonya jauh lebih besar daripada jual-beli rumah biasa.
Brief Answer: Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, merupakan serangkaian proses yang ketat proseduralnya dari aspek dokumentasi legalitas objek tanah dan/atau bangunan, maupun data-data yuridis terkait pemohon lelang eksekusi. Dari segi dokumen hukum, legalitasnya sudah sangat terjamin dan ter-filter oleh verifikator pejabat pada Kantor Lelang Negara, bahkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Kantor Pertanahan menjadi salah satu dokumen prasyarat yang bersifat mutlak sebelum Lelang Eksekusi Hak Tanggungan diselenggarakan.
Dalam jual-beli rumah / tanah secara konvensional, bukan berarti tiada resiko yang berarti untuk dipertimbangkan. Secara yuridis, status Pembeli Lelang Eksekusi Hak Tanggungan sangatlah aman dan terjamin, sekalipun terdapat gugatan oleh pihak ketiga terkait objek tanah. Pembeli objek Lelang Eksekusi Hak Tanggungan tetap dapat mengajukan “balik-nama” hak atas tanah yang dibelinya meski debitor masih menguasai fisik tanah dan sekalipun terdapat pihak ketiga mengajukan gugatan terkait objek tanah Lelang Eksekusi.
Bahkan, Pembeli objek Lelang Eksekusi Hak Tanggungan dapat secara seketika mengajukan “eksekusi pengosongan” ke hadapan Pengadilan Pegeri, tanpa perlu didahului gugatan perdata sebagaimana jual-beli tanah/ rumah konvensional—suatu kelebihan tersendiri dari objek Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, yang jarang diketahui publik.
Sebaliknya, dalam jual-beli tanah / rumah secara konvensional, terkadang status hukum pembeli tidak seaman objek Lelang Eksekusi Hak Tanggungan. Masing-masing memiliki resikonya sendiri, dimana resiko tidak dapat menguasai objek fisik rumah yang dibeli, tidak menjadi monopoli dalam kasus jual-beli rumah objek Lelang Eksekusi.
Adalah asumsi yang keliru juga bahwa membeli rumah yang masih dalam tahap pembangunan oleh pihak pengembang (developer), adalah tanpa resiko. Tidak jarang tersiar kabar, para pembeli yang bahkan telah membayar lunas harga rumah / unit apartemen, namun tidak dapat memilikinya karena sang perusahaan pengembang jatuh pailit, dimana status tanah masih berupa HGB induk atas nama pihak perusahaan pengembang—otomatis jatuh dalam “boedel pailit” untuk dibagikan kepada seluruh Kreditor Konkuren.
Setidaknya, dalam jual-beli Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, pihak pembeli lelang sudah terjamin pasti akan dapat mengajukan “balik-nama” hak atas tanah yang dilelang, serta jaminan bahwa objek tanah dan/atau rumah memang eksis, serta jaminan bahwa dokumen legalitas hak atas tanah objek Lelang Eksekusi telah melalui serangkaian verifikasi oleh pihak Kantor Lelang Negara. Bahkan yang terlebih penting, alas hak bagi pemenang lelang dapat berupa “Gross Akta Risalah Lelang” yang memuat irah-irah layaknya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, disamping pembayaran terkait pajak ialah berdasarkan nilai terbentuk lelang yang bisa jadi jauh dibawah harga pasar.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kasus konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Pengadilan Negeri Tondano register Nomor 193/Pid.B/2014/PN.Tnn tanggal 28 April 2015, dimana Terdakwa yang merupakan salah satu karyawan suatu perusahaan pengembang perumahan, gagal merealiasikan rumah yang dijualnya kepada pembeli, sehingga didakwa delik penggelapan atau penipuan.
Dimana terhadapnya, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum melalui persidangan perkara ini sesuai dengan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta barang bukti berupa kwitansi tertanggal 8 September 2009 dan kwitansi tertanggal 12 September 2009, terungkap bahwa pada bulan September 2009, antara terdakwa dan saksi korban terjadi kesepakatan perjanjian untuk pembelian 1 (satu) unit rumah dengan tipe 36 yang terletak di ...;
“Menimbang, saksi korban pada tanggal 8 September 2009 sesuai dengan kwitansi tanggal 8 September 2009 telah memberikan uang dengan jumlah Rp. 750.000 untuk pembayaran booking fee, block type 36/120 m2 kepada terdakwa yang diterima seorang bernama Venny;
“Menimbang, bahwa kemudian saksi korban telah memberikan uang muka pembelian 1 unit rumah tipe 36 ... yang diterima oleh terdakwa sebesar Rp.20.000.000 sesuai dengan kuitansi tertanggal 12 September 2009;
“Menimbang, bahwa terdakwa adalah Manajer Keuangan di PT. lIntas Gabriela Jaya Tondano yang merupakan developer perumahan yang antara lain melaksanakan tugas menerima dan mengelola keuangan berupa booking fee / uang muka dan uang harga kelebihan tanah untuk kepentingan pembangunan proyek perumahan, dan akan dilaporkan kepada Dewan Direksi khususnya Direktur Utama;
“Menimbang, bahwa semua kelengkapan administrasi saksi korban dipenuhi dan mengikuti semua petunjuk dari terdakwa setelah PT. Lintas Garbiela Jaya Tondano diambil-alih PT. Axelindo Pratama Manado;
“Menimbang, bahwa saksi korban dijanjikan oleh terdakwa untuk realisasi 1 unit rumah, tapi ternyata bahwa 1 unit rumah yang sudah dijanjikan tersebut oleh PT. Axelindo Pratama Manado sudah bukan lagi atas nama saksi korban, namun sudah punya orang lain;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan keterangan saksi ... yang merupakan karyawan PT. Axelindo Pratama Manado, di persidangan bahwa berkas atas nama saksi korban yang diserahkan PT. Gabriela Jaya Tondano pada PT. Axelindo Pratama Manado yakni nama user, nama blok, dan uang yang disetor dan nama saksi korban dicoret saat sudah dalam PT. Axelindo Pratama Manado dimana yang mencoretnya adalah bagian marketing PT. Axelindo Pratama Manado, sehingga nama saksi korban sudah diganti dengan user lain;
“Menimbang, ... bahwa benar PT. Lintas Gabriela Jaya tidak beroperasi lagi sejak di-‘take over’ (diambil-alih) oleh PT. Axelindo Pratama Manado pada akhir tahun 2009;
“Menimbang, bahwa pada saat PT. Gabriela Jaya Tondano diambil-alih (take over) oleh PT. Axelindo Pratama Manado maka semua urusan yang berhubungan dengan PT. Lintas Gabriela Jaya Tondano, diambil-alih oleh PT. Axelindo Pratama Manado;
“Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim, perbuatan hukum antara terdakwa yang merupakan karyawan developer PT. Lintas Gabriela Jaya Tondano sebagai pihak penjual rumah (developer) dan saksi korban calon pembeli 1 unit rumah tersebut, sudah menyangkut dalam hukum perjanjian, khususnya dalam hubungan hukum mengenai jual-beli rumah, dimana baik penjual maupun pembeli atau kedua belah pihak harus mentaati kesepakatan / perjanjian yang telah dibuat;
“Menimbang, bahwa dikaitkan dengan pengertian Pasal 1338 KUHPerdata dihubungkan dengan perkara ini, diperoleh kesimpulan bahwa konsekuensi yuridis dari hubungan hukum antara terdakwa dan saksi korban adalah perjanjian jual-beli rumah dimana menurut saksi korban bahwa terdakwa telah melakukan wanprestasi atau ingkar-janji karena terdakwa tidak dapat menyediakan rumah yang sudah dibayar oleh saksi korban berupa uang tanda jadi yang berjumlah Rp. 750.000, uang muka yang berjumlah Rp. 20.000.000 sehingga saksi korban mengalami kerugian sebesar Rp.20.750.000;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, dengan tegas menyebutkan: ‘Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan / kesepakatan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.’;
“Menimbang, bahwa dikaitkan dengan pengertian Pasal 1338 KUHPerdata tersebut, dihubungkan dengan perkara ini, diperoleh kesimpulan bahwa kesepakatan jual-beli rumah antara terdakwa dan saksi korban konsekuensi yuridis berdasarkan kuitansi tanggal 8 September 2009 dan dilanjutkan dengan pembuatan kuitansi tanggal 12 September 2009, konsekuensi yuridisnya adalah kedua belah pihak harus tunduk dan patuh atas perjanjian tersebut, dan apabila ada salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi (wanprestasi) sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian tersebut, maka prosedur hukum yang harus ditempuh yaitu prosedur hukum mengajukan gugatan secara perdata dengan menyatakan salah satu pihak tidak menepati perjanjian dengan acuan perjanjian tersebut, dan bukanlah masuk kedalam ranah hukum publik yaitu ranah hukum pidana, dan oleh karena itu Majelis Hakim dalam perkara a quo berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukanlah perbuatan pidana, akan tetapi merupakan perbuatan perdata, yaitu perbuatan yang didasarkan atas kesepakatan jual-beli;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim berkeyakinan bahwa perbuatan terdakwa tersebut berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, perbuatan terdakwa yang menyebabkan saksi korban mengalami kerugian sejumlah Rp. 20.750.000 tersebut harus dibuktikan secara keperdataan, karena pokok perkara ini adalah mengenai pelaksanaan perjanjian jual-beli yang sangat erat hubungannya dengan hukum perjanjian;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim tidak mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana walaupun secara nyata ada perbuatan terdakwa yang menguntungkan terdakwa, dimana saksi korban telah memberikan uang miliknya kepada terdakwa sehingga menurut saksi korban telah mengalami kerugian, akan tetapi perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana, karena sangat erat hubungannya dengan hukum perjanjian yang sudah memasuki kewenangan hukum perdata, maka Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tersebut bukanlah merupakan suatu tindak pidana (onslag van rechvervolging);
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum diatas, telah terbukti bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan perbuatan pidana, akan tetapi merupakan perbuatan perdata dalam kajian hukum perjanjian, dan oleh karena itu secara hukum terhadap terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechts vervolging);
“Menimbang, bahwa meskipun batas antara wanprestasi dengan penggelapan / penipuan dalam realitas kasus seringkali memang tipis, namun tetap dapat dibedakan. Sehingga suatu kasus wanprestasi, yang hakekatnya merupakan masalah hukum keperdataan (kontraktual individual), semestinya tetap harus dipandang dan diletakkan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan ‘pemaksaan rekayasa’ sebagai kasus kejahatan penipuan ataupun penggelapan.
“Melaporkan suatu dugaan tindak pidana adalah hak bagi setiap warga negara, namun menjadi kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penelaahan dan analisa yang cermat berdasarkan uraian kejadian yang disampaikan oleh si pelapor, kemudian menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana ataukah hanya sebatas pelanggaran dari perjanjian;
M E N G A D I L I :
- Menyatakan terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Kesatu atau dakwaan Kedua, akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana (onslag van rechtvervolging);
- Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segela tuntutan hukum sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Kesatu atau dakwaan Kedua tersebut;
- Memulihkan terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harta serta martabatnya dalam keadaan seperti semula;
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Untuk membedakan mana wanprestasi dan mana penipuan, penulis menyajikan juga beberapa skenario-skenario yang berpotensi menjadi latar belakang suatu perkara, sebagai berikut:
1.) Sejak awal memang tiada proyek pembangunan rumah yang dijualnya / ditawarkan kepada pihak masyarakat / pembeli, namun mencoba menawarkan suatu brosur penjualan properti kepada khalayak ramai;
2.) Objek rumah justru secara disengaja dijual kepada pihak ketiga meski sudah dibeli / diikat dana panjar oleh korban, sehingga sudah dapat disadari oleh pelaku bahwa korban tidak akan mendapat objek rumah yang telah dibayar olehnya sebagai konsekuensi logis tiada lagi objek rumah untuk dapat diserahkan kepada pihak pembeli;
3.) Aplikasi permohonan KPR (kredit Pemilikan Rumah) dari calon pembeli pembayar uang panjar, ditolak oleh perbankan, sehingga proses jual-beli tidak dapat dilanjutkan karena pembeli tidak dapat melunasi secara tunai;
4.) Terjadi bencana alam (force majeur), sehingga objek rumah tidak dapat diserahkan kepada pembeli;
5.) Setelah 10 tahun menunda realisasi perjanjian penyerahan objek rumah, pihak penjual hanya menawarkan uang pembelian yang dikembalikan 100% kepada pihak pembeli, dimana niat batin pelaku selaku penjual ialah agar objek rumah dapat dijual kepada pihak ketiga olehnya dengan harga yang telah lebih jauh lebih mahal berkali-kali lipat daripada 10 tahun lampau, sehingga penjual mendapat untung berganda—suatu modus yang kerap terjadi dalam praktik.
Manakah yang semata murni hubungan kontraktual perdata, dan manakah yang mengandung unsur penipuan? Akal sehat orang awam sekalipun, sudah dapat menjawabnya. Mungkin saja secara yuridis, karena belum terjadi penyerahan (levering) maka status objek barang belum menjadi kepemilikan pihak pembeli yang telah membayar. Namun, dari segi “kepemilikan moril”, objek tersebut sudah terkait erat dengan penyerahan uang / panjar dari pihak pembeli—dimana uang pembelian tersebut juga merupakan sebuah benda!
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.