Resiko Hukum Dibalik Mengangkat Karyawan sebagai Direktur Perseroan Terbatas

LEGAL OPINION
Question: Ada pegawai internal perusahaan kami yang mau kami angkat dan promosikan sebagai direksi atau sebagai komisaris perseroan. Apa saja yang harus diperhatikan atau disiapkan, agar tidak jadi resiko dikemudian hari secara hukum?
Brief Answer: Secara yuridis, seorang yang menjabat sebagai jabatan Direktur ataupun Komisaris, dikategorikan sebagai Organ Perseroan yang sejajar dengan RUPS, sehingga semata tunduk pada rezim Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan hukum kontraktual, sama sekali tidak berkorelasi dengan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, terlebih mengkaitkannya dengan pesangon.
Masalahnya, ialah ketika Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) hendak memberhentikan pejabat bersangkutan, secara hormat maupun secara tidak hormat, maka Majelis Hakim yang belum tentu memadai pemahaman hukumnya, akan menghitung “masa jabatan” sang pejabat Direktur / Komisaris sebagai bagian dari “masa kerja” diri yang bersangkutan, dimana nilai pesangonnya ialah sebesar gaji seorang Direksi / Komisaris.
Secara hukum, “masa kerja” dirinya hanya dihitung sejak pertama kali bergabung sebagai Pekerja, dan berakhir saat dirinya diangkat sebagai pejabat Organ Perseroan, sementara “masa jabatan” sebagai pejabat Direktur / Komisaris tidak dapat dihitung sebagai “masa kerja”, dan basis upah untuk perhitungan pesangon, ialah nilai upah terakhir saat dirinya diberhentikan sebagai Pekerja sesaat sebelum diangkat sebagai Organ Perseroan.
Namun, akan sangat riskan (potensi ini terbuka lebar akibat kemungkinan tidak memadainya pengetahuan hukum kalangan hakim, sekalipun itu Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI), ketika Majelis Hakim menilai bahwa “masa kerja” sebagai basis perhitungan pesangon, ialah menyertakan juga “masa jabatan” yang bersangkutan saat menjabat sebagai Organ Perseroan, bahkan basis nilai pesangon menggunakan gaji seorang Direksi / Komisaris yang tentunya jauh diatas besaran upah seorang Pekerja biasa.
Idealnya, guna langkah antisipasi serta mitigasi, sebelum Pekerja bersangkutan diangkat sebagai Organ Perseroan, selesaikan seluruh hak-hak normatif yang bersangkutan—alias diputus hubungan kerjanya terlebih dahulu, disertai pemberesan perhitungan pesangon, dsb, sehingga status dirinya benar-benar telah murni sebagai pejabat Organ Perseroan saat menjabat. Ketika langkah hukum demikian ditempuh, maka dirinya tidak lagi berhak menggugat di Pengadilan Hubungan Industrial, sebab jabatan Organ Perseroan semata tunduk pada Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, dimana RUPS berhak memberhentikan tanpa adanya konsekuensi yuridis apapun.
Sebaliknya, dari sudut pandang seorang Pekerja, aksi / manuver pemilik / pemegang saham Perseroan yang tidak melakukan pemberesan hak-hak normatif saat Pekerja bersangkutan akan diangkat sebagai Organ Perseroan, lalu beberapa waktu kemudian diberhentikan tanpa kompensasi, dapat dinilai sebagai suatu modus dimana pengangkatan demikian hanyalah sekadar untuk menghapus “masa kerja” dirinya yang sebelumnya bekerja sebagai seorang Pekerja. Agar tidak menjelma “benang kusut”, urai setiap isu hukum secara sistematis dan taat asas.
PEMBAHASAN:
Kecemasan demikian bukanlah tanpa dasar, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan dalam contoh kasus putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 30 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 8 Februari 2017, perkara antara:
- PT. BPR MANGATUR GANDA AEK KANOPAN, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- SABAR POLTAK SITORUS, S.E., selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Pihak Penggugat membuat klaim dengan dalil pembuka yang cukup menjebak, dengan kutipan sebagai berikut: “Penggugat adalah Pekerja Tetap dengan jabatan terakhir selaku Direktur Utama di PT. BPR Mangatur Ganda Aek Kanopan, yang beralamat kantor di Jalan ..., yang telah mengabdikan dirinya bekerja sejak tanggal 01 Februari 1995 s.d. tanggal 26 Desember 2015.”
Namun dengan cukup disayangkan, Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara gagal untuk mengurai fakta hukum diseputar perkara, yakni:
- tahun 1995 s.d. tahun 1996 menjabat sebagai administrasi Pembukuan di PT. BPR Mangatur Ganda Aek Kanopan;
- tahun 1996 s.d. Tahun 1998 bekerja dengan jabatan sebagai Pemasaran di PT. BPR Mangatur Ganda Aek Kanopan;
- tanggal 3 Februari 1998 s.d. tahun 1999 bekerja sebagai Pimpinan Cabang di PT. BPR Mangatur Ganda di Cikampak;
- tanggal 2 September 1999 s.d. tanggal 30 Agustus 2002 bekerja dengan jabatan sebagai Direktur di PT. BPR Rarat Ganda Pangkalan Balai Palembang, dan Sejak tanggal 31 Agustus 2002 s.d. tanggal 22 Mei 2005 bekerja dengan jabatan sebagai Direktur Utama di PT. BPR Rarat Ganda Pangkalan Balai Palembang;
- Mei 2005 s.d. bulan Oktober 2010 bekerja dengan jabatan sebagai Direktur Utama PT. BPR Mangatur Ganda di Tanjung Morawa;
- Sejak sekitar tahun 2010 s.d. tanggal 26 Desember 2015 bekerja dengan jabatan selaku Direktur Utama di PT. BPR Mangatur Ganda Aek Kanopan.
Sebagai Direktur Utama di PT. BPR Mangatur Ganda yang berkedudukan di Aek Kanopan, Penggugat menerima gaji bulanan berikut dengan tunjangan lainnya sebesar Rp14.050.000,00 untuk setiap bulan. Tergugat kemudian secara sepihak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Penggugat tanpa disertai Surat Peringatan Pertama (terminologi ketenagakerjaan yang salah tempat), terhitung sejak tanggal 26 Desember 2015, dimana dalam “PHK sepihak” tersebut dilakukan tanpa memberikan hak-hak normatif Penggugat selaku “Pekerja”.
Selanjutnya Penggugat mengajukan keberatannya kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Labuhan Batu Utara, dimana terhadap pihak Mediator Disnaker menerbitkan surat Anjuran tertanggal 2 Maret 2016, menyatakan bahwa pihak perusahaan diwajibkan untuk memenuhi hak-hak Pekerja berupa pembayaran kompensasi PHK sebesar Rp258.520.000,00 dengan perincian:
a) Uang Pesangon = 1 x 9 bulan x Rp14.050.000,00 = Rp126.450.000,00.
b) Uang Penghargaan Masa Kerja = 1 X 7 bulan x Rp14.050.000,00 = Rp 98.350.000,00.
Total = Rp224.800.000,00
c) Uang pengganti Perumahan dan Pengobatan = 15% x Rp224.800.000-, = Rp 33.720.000,00
Total = Rp258.520.000,00.
Hingga gugatan diajukan, pihak Tergugat tidak kunjung menindak-lanjuti anjuran, sehingga terhadap gugatan sang mantan pejabat Organ Direksi, Pengadilan Hubungan Industrial Medan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 74/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Mdn tanggal 16 Agustus 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak 21 Januari 2016;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat secara tunai sebesar Rp258.520.000,00 (dua ratus lima puluh delapan juta lima ratus dua puluh ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
Pihak perseroan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi hukum yang jauh dari memadai, sehingga terhadapnya Mahkamah Agung turut membuat pertimbangan serta amar putusan secara salah-kaprah yang serupa dengan putusan PHI, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 6 September 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 27 September 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Termohon Kasasi mempuyai hubungan kerja dengan Pemohon Kasasi sejak 1 Februari 1995 dengan jabatan awal sebagai administrasi pembukuan, selanjutnya Termohon Kasasi pada Mei 2005 sampai dengan Oktober 2010 Termohon Kasasi diangkat sebagai Direktur Utama (Bukti T.1) di PT. BPR Mangatur Ganda Tanjung Morawa sesuai keputusan rapat PT. PBR Mangatur Ganda Tanjung Morawa dan pada tahun 2010 sampai dengan 26 Desember 2016 Termohon Kasasi dipidahkan ke PT. PBR Mangatur Ganda Aek Kanopan dengan jabatan yang sama sebagai Direktur Utama;
“Bahwa pada 21 Januari 2016 Termohon Kasasi diberhentikan dengan tidak hormat oleh Pemohon Kasasi dengan alasan karena Termohon Kasasi tidak berprestasi dalam mencari laba dan melakukan kesalahan wewenang berupa pemakaian dana sosial, setelah adanya laporan pemeriksaan oleh Komisaris (Bukti T3) dan surat pernyataan dari Termohon Kasasi yang menyatakan tidak akan melakukan kesalahan tersebut (Bukti T4). Akan tetapi status Termohon Kasasi sebelumnya sebagai pekerja pada PT BPR Mangatur Ganda sebagaimana dinyatakan pada slip gaji Termohon Kasasi (Bukti P3) sengan masa kerja 20 tahun dan 11 bulan;
“Bahwa karena Termohon Kasasi dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh Pemohon Kasasi sesuai ketentuan Pasal 161 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 maka Termohon Kasasi berhak atas pesangon 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti perumahan sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. BPR MANGATUR GANDA AEK KANOPAN tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. BPR MANGATUR GANDA AEK KANOPAN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.