Hukum yang Baik, Idealnya Tidak Banyak Pengecualian (No Excuse)

ARTIKEL HUKUM
Selalu ada pengecualian dalam hukum. Hukum mengatur larangan serta perintah, namun ironinya, hukum juga memberi banyak pengecualian terhadap norma internal pengaturannya sendiri. Sebagai contoh, larangan menikah gadis dibawah usia 16 tahun ataupun pria bila dibawah usia 19 tahun. Namun tetap saja, aturan hukum membuka pengecualian dengan memberi dispensasi dengan mengajukan permohonan ke pengadilan.
Begitupula kawasan hutan lindung, kawasan gambut, ada saja alasan yang celahnya dibuka oleh aturan hukum itu sendiri, sehingga kegiatan pertambangan maupun pembukaan kawasan perkebunan (land clearing) dapat dilakukan dikawasan hutan maupun di daerah gambut.
Tetap saja, hukum yang baik itu perlu meminimalisir berbagai pengecualian. Esccape clause merupakan “penyakit” yang menjadi momok dalam penerapan hukum yang semestinya tidak mengenal kompromi yang menujur transaksional dan negosiatif sifatnya. Sebagai analogi, kontrak bisnis yang baik itu, harus menutup diri dari semua jenis pengecualian. Itikad baik perlu ditampilkan, dengan tidak mengandalkan pengecualian yang sekalipun diatur dalam suatu perjanjian.
“Celah hukum” maupun “lubang hukum”, kerap terjadi bukan karena tiada aturan hukum yang mengatur, namun ada hukum yang mengaturnya, namun diberi ruang toleransi dan pengecualian. Contohnya, kalangan disiplin ilmu keuangan tentu pernah mengenal atau mendengar istilah “transfer pricing” yang selicin belut dalam melarikan kekayaan secara terselubung, yang merupakan praktik ilegal yang dapat merugikan keuangan suatu negara, namun ternyata praktik modus “transfer pricing” dilarang dengan diberi pengecualian tertentu—artinya juga, dibolehkan dengan beberapa pengecualian, pengecualian mana terbukti tidak pernah disia-siakan ataupun dilewatkan oleh kalangan para pelaku usaha nakal.
Antara “dilarang dengan pengecualian tertentu”, dan “dibolehkan dengan pengecualian tertentu”, membawa pada ujung atau hasil output yang sama saja—hanya akrobatik permainan kata. Menurut Anda, apakah ada bedanya antara “berpeluang 50% dihukum” dan “berpeluang 50% bebas dari hukuman”, adalah dua hal berbeda atau dua hal yang sama?
Hukum yang ideal, probabilitasnya haruslah berupa “kemungkinan 100% dihukum” dan “kemungkinan 0% dihukum”, atau dengan bahasa lainnya “kemungkinan 100% bebas” dan “kemungkinan 0% bebas”. Namun juga penting untuk kita pahami, bahwa antara “berpeluang 50% dihukum” dan “kemungkinan 100% dihukum ataupun kemungkinan 0% dihukum”, adalah dua hal yang sama sekali berbeda dan tidak dapat saling dipertukarkan.
Di Indonesia, bila berbagai kendaraan dan pejalan kaki di lalu-lintas jalan harus mengalah dan memberi jalan kepada kereta api yang hendak melintas, seolah kereta api tidak tunduk pada Undang-Undang tentang Lalu Lintas, berarti kereta api dikecualikan dari keberlakuan Undang-Undang Lalu Lintas. Cobalah Anda menghalangi laju kereta api, maka sekalipun Anda tertabrak olehnya, Anda yang akan dipersalahkan.
Mungkin Anda akan berkomentar, wajar saja semua pelintas jalan harus mengalah dan memberi jalan pada kereta api yang melintas. Adalah maklum bila kereta api mendapat pengecualian. Namun, sejak kapan kereta api menjadi lebih berkuasa dan lebih istimewa diatas segala moda transportasi umum lain, sehingga seolah-olah tidak tunduk pada kaedah tentang lalu-lintas?
Butuh bukti konkret terlebih dahulu, barulah Anda akan percaya pada apa yang penulis paparkan, bahwa negara yang baik tidak banyak “beralasan” (no excuse)? Di Jepang, bahkan kereta api sekalipun akan berhenti ketika lampu lalu-lintas menyala “merah”. Wajar bila Anda akan terkejut, mendapati berita empirik yang realitanya dapat kita jumpai di Jepang. Simak sendiri tayangannya pada video berikut dibawah ini: (bukan rekayasa!)

Para terpidana mati kasus obat terlarang, berulang-kali gagal dieksekusi, berlindung dibalik alasan klise “hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat diderogasi” (non derogable right), begitu mereka mendalilkan, seolah para korban obat-obat terlarang tersebut tidak punya hak untuk hidup bebas dari perbudakan obat terlarang.
Begitu pula terhadap putusan hakim, selalu saja ada 1001 alasan untuk mengesampingkan berbagai preseden maupun yurisprudensi yang telah ada. Contoh, ketika kesembilan orang Hakim Konstitusi RI secara bersuara bulat yang dikomandoi Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, mengesampingkan preseden putusan Mahkamah Konstitusi RI sebelumnya yang menyatakan “maximum security” dalam hal importasi ternak dari negara endemik penyakit hewan dan ternak.
Namun kemudian dalam perkara pengujian undang-undang (judicial review) berikutnya, yang diajukan oleh kalangan aktivis dibidang keselamatan hewan dan ternak lokal di Indonesia karena pemerintah membuat aturan hukum baru tentang pengecualian bagi larangan importasi hewan ternak dari negara endemik, para Hakim Konstitusi justru menyimpangi preseden MK RI itu sendiri, dengan menjadikannya sebagai “relative security”, dengan alasan pengecualian bilamana terdapat force majeur seperti kelangkaan daging potong lokal atau kenaikan harga yang melambung di pasar, meski daging sapi memiliki substitusi berupa daging ikan di negara maritim seperti Indonesia—sungguh suatu putusan dan kebijakan yang tidak mendidik rakyatnya sendiri.
Secara moril, adalah tidak etis dan tidaklah patut mantan terpidana korupsi mengajukan diri kembali sebagai calon Kepala Daerah ataupun Anggota Legislatif. Namun justru aturan hukum memberi justifikasi bagi para mantan terpidana tersebut, ibarat memberi “angin segar”, berupa pengecualian “boleh kembali mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, asalkan dirinya memberi tahu kepada publik bahwa dirinya adalah mantan terpidana korupsi”. Law as a tool of crime. Pengecualian dalam hukum memang wajar, namun janganlah berlebihan agar tidak “inflasi”: terlampau mengumbar berbagai “pengecualian”.
Hukum yang tegas, bersifat imperatif dan preskriptif. Tidak mungkin kita mampu menghadirkan hukum yang disegani oleh warga negaranya, dengan harapan setiap anggota masyarakat tidak berani mencoba-coba melakukan pelanggaran, bilamana hukum tidak bersifat kompromis dan dapat dinegosiasikan berupa penghadiran berbagai “pasal pengecualian”. Dilarang, ada pengecualian untuk tetap boleh dilanggar. Perintah, ada pengecualian untuk tidak patuh.
Semua menjadi serba dapat dikecualikan. Ibarat membuat aturan hanya untuk dilanggar. Kata-kata / terminologi hukum “dapat”, adalah ibarat tumor menjelma kanker dalam praktik hukum. Dapat iya, namun dapat juga tidak—bergantung pada pendekatan dan negosiasi. Hukum menjelma transaksional. Lawan kata dari “tegas”, ialah “plin-plan”.
Bagaimana kita mengharap bangsa kita memiliki jiwa untuk bersikap tertib dan patuh atau taat terhadap hukum, bila hukum tidak memiliki wibawa yang disegani warga negaranya? Dihukum pidana kurungan, ada pengecualian, yakni semudah / cukup membayar uang pengganti dan denda agar tidak dihukum kurungan. Ada juga pidana masa percobaan, dikecualikan bila perilaku pelanggaran tidak diulangi.
Ada juga kewenangan jaksa untuk tidak mengajukan tuntutan, ataupun kewenangan pihak penyidik kepolisian yang tidak melanjutkan perkara, hingga pengecualian berupa praperadilan terhadap penetapan status tersangka / terdakwa (polisi sedang mencari alat bukti, sudah dijegal tidak boleh menyidik, padahal ada mayat yang artinya telah terjadi pembunuhan).
Kita kenal juga istilah pengecualian terhadap pemidanaan seperti remisi, grasi, pembebasan bersyarat, dan “obral” pengecualian lainnya, yang ujung-ujungnya demi alasan pragmatis: narapidana penghuni penjara, terlampau banyak, tidak lagi sanggup menampung narapidana baru yang setiap harinya secara produktif dicetak dari dalam bangsa kita sendiri.
Terlampau banyak kriminil di negeri ini, sehingga sampai-sampai pihak kepolisian seolah bersikap apatis serta “malas” menangkapi para penjahat tersebut—karena “tidak ada habis-habisnya”!!! Ditangkap sebanyak apapun, tidak akan habis!!! Mati satu, tumbuh seribu. Setiap harinya ada saja penjahat baru, atau residivis yang kembali kambuh.
Untuk itulah, asas “pengecualian” seakan menjadi jalan keluar dari “jalan buntu” terlampau banyaknya kriminil di negeri ini, yang seakan menjadi pembenar sifat pragmatis yang dibakukan secara “diam-diam”. Polisi juga dapat bosan menangkap penjahat tanpa ada habisnya, meski mereka juga perlu sadar bahwa mereka digaji dengan uang rakyat memang untuk menangkap penjahat yang “tidak ada habis-habisnya” itu. Jangan kita pikir, berbagai Lapas kita yang telah penuh itu, adalah wujud produktifnya lembaga Kepolisian dan Kejaksaan kita. Yang dibiarkan bebas tidak tersentuh oleh hukum, realitanya JAUH LEBIH BANYAK.
Para pengacara maupun kaum konsultan yang tidak etis, akan “memburu” berbagai “celah” dalam hukum, terutama terhadap apa yang dapat “dikecualikan” dari aturan hukum tersebut, tidak bukan ialah terkandung di dalam aturan hukum itu sendiri. Maka, banyak penjahat “kerah putih” (white collar crime), “bermain” dalam tataran “pengecualian” yang tidak dikecualikan dalam hukum.
Maka, berkembang adagium, yang dicari oleh seorang analis hukum ketika mencermati aturan dalam peraturan perundang-undangan, yakni bukan hanya untuk sekadar mengetahui apa yang “dilarang”, “diperintahkan”, namun juga apa yang “dikecualikan”. Rasa-rasanya, setelah mencermati demikian banyak regulasi di negeri ini, tidak ada satupun undang-undang yang tidak mengecualikan aturan dirinya sendiri. Selalu saja ada pengecualiannya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.