Pelanggaran / Kesalahan Fatal, PHK Tidak Wajib Didahului Surat Peringatan

LEGAL OPINION
Tidak Selamanya PHK Identik dengan Kompensasi Pesangon
Question: Apakah seorang buruh atau pegawai yang hendak dipecat karena membuat pelanggaran di perusahaan, itu wajib didahului surat peringatan kesatu, kedua, dan seterusnya terlebih dahulu secara bertahap?
Brief Answer: Terdapat sebuah konsepsi yang perlu dipahami dalam suatu hubungan ketenagakerjaan, yakni apa yang SHIETRA & PARTNERS sebut sebagai “kesalahan fatal”, yakni suatu kesalahan yang bersifat melanggar secara fatal terhadap fungsi dan tugas pokok pekerjaan dari seorang Pekerja bersangkutan.
Sebagai contoh, seorang petugas “Quality Control”, yang tidak melakukan fungsi pengawasan dan pengecekan testing terhadap produk produksi, tidak juga membuat laporan kontrol sebagaimana tanggung-jawabnya, maka sama artinya melanggar tugas utama pekerjaannya.
Petugas satuan pengaman (Satpam) yang tidak mengecek kualitas produk, bukanlah suatu pelanggaran. Namun seorang Satpam yang lalai mengawasi orang asing yang masuk ke lingkungan pabrik atau lalai sehingga mengakibatkan kehilangan barang di lingkungan kantor, sebagai contoh, merupakan suatu “pelanggaran fatal”.
Begitupula seorang petugas akunting yang tidak melakukan cross-chek data keuangan perusahaan, merupakan “pelanggaran fatal” terhadap tanggung-jawab pekerjaanya, bukan menjadi pelanggaran bagi seorang petugas kebersihan, begitu juga sebaliknya.
PEMBAHASAN:
Tidak selamanya surat peringatan bagi Pekerja yang melanggar bersifat berjenjang untuk dapat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 140 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 29 Maret 2017, perkara antara:
- DICKY ARIANTO, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- PT. CIBA VISION BATAM, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat merupakan perusahaan yang bergerak dibidang pembuatan alat kesehatan berupa lensa kontak (contact lens). Sejak 12 April 2004 Tergugat bekerja pada Penggugat dengan jabatan terakhir sebagai Engineer di bagian Facility. Dalam memproduksi lensa kontak diperlukan ukuran kelembaban relatif (relative humidity) dan suhu ruangan yang spesifik agar produk yang dihasilkan dapat memenuhi standard mutu dan keamanan produk yang ditetapkan.
Adapun batas ukuran kelembaban relatif (relative humidity) ruangan yang diperlukan dalam memproduksi lensa kontak adalah dari 37% sampai dengan 53%. Batas ukuran tersebut sangat diperlukan mengingat produk yang diproduksi adalah produk kesehatan yang sangat sensitif karena berhubungan langsung dengan indera penglihatan konsumen.
Sebagai Engineer di bagian Facility, Tergugat bertugas menjamin mutu produk sesuai standard yang ditentukan oleh Penggugat. Dalam melakukan tugas dan tanggung-jawabnya, Tergugat wajib melakukan checklist RH, Temperature, dan Room Pressure yang meliputi memeriksa dan mengawasi peralatan yang mengatur kelembaban relatif (relative humidity) dan suhu di Area Produksi, Laboratorium dan Warehouse.
Dalam menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya, Tergugat juga wajib berpedoman kepada prosedur Integritas Data (Data Integrity) yaitu membuat laporan data yang lengkap, konsisten, akurat dan terjamin untuk setiap tahapan proses produksi, termasuk data ukuran kelembaban relatif ruangan.
Berdasarkan Roster Training dan Data Integrity Agreement (Perjanjian Integritas Data) tertanggal 9 Maret dan 15 November 2011, Tergugat telah mendapatkan pelatihan dan sepakat bahwa dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya Tergugat wajib menjalankan prosedur Data Integrity (Integritas Data). Bahkan dalam Perjanjian Integritas Data tersebut, Tergugat sepakat bersedia diputus hubungan kerjanya apabila tidak melaksanakan prosedur Integritas Data.
Pada akhir Juli 2014, terkait dengan pemeriksaan kelembapan dan suhu ruang Phemfilcon A Polyloop Area, Phefilcom A Finishing area 1, dan Phemfilcon A Finishing Area 2 di lot 203, atasan Tergugat menemukan adanya kejanggalan dalam hasil pencatatan Tergugat dari 4 sampai dengan 7 Juni 2014 mengenai pengukuran kelembaban relatif ruangan.
Berdasarkan Daftar Periksa Harian (Hand Held Meter) Untuk Pengawasan Relative Humidity dan Suhu di Lot 203 yang dibuat oleh Tergugat, atasan Tergugat menemukan bahwa hasil pemeriksaan terhadap pengukuran kelembaban relatif ruangan dari 4 sampai dengan 7 Juni 2014 adalah 54%, dengan kata lain telah melampaui batas standard yang ditetapkan oleh Penggugat yaitu antara 37% dan 53%.
Atas hasil temuan demikian, atasan Tergugat melakukan pertemuan dengan Tergugat untuk meminta penjelasan atas adanya kejanggalan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, Tergugat mengakui bahwa data pengukuran kelembaban relatif ruangan dari 4 sampai dengan 7 Juni 2014 melampaui batas standard yang ditetapkan oleh Penggugat. Sehingga terjadi ketidak-sesuaian data dalam proses produksi (out of specification).
Ketika terjadi ketidak-sesuaian data dalam proses produksi, seharusnya Tergugat melaporkan ke atasannya untuk ditindak-lanjuti dengan membuat laporan ketidak-sesuaian data (non conformity report) tersebut. Namun ternyata Tergugat tidak memberitahukan ke atasannya sehingga tidak ada Tindak-lanjut pembuatan laporan atas ketidak-sesuaian data.
Tergugat justru dengan sengaja merubah data pengukuran kelembaban relatif ruangan yang tercantum dalam Daftar Periksa Harian untuk Pengawasan Relative Humidity dan Suhu di Lot 203 dari 4 sampai dengan 7 Juni 2014, agar sesuai dengan batas standard yang ditetapkan oleh Penggugat.
Terhadap tindakan Tergugat yang melakukan perubahan data tersebut pada 19 November dan 2 Desember 2014, Penggugat melakukan pemeriksaan terhadap Tergugat dan atasan Tergugat. Berdasarkan hasil investigasi tertanggal 19 November 2014, Tergugat mengakui bahwasannya:
a. Tergugat melakukan perubahan data pengukuran kelembaban relatif ruangan dalam Daftar Periksa Harian untuk Pengawasan Relative Humidity dan Suhu di Lot 203 dari 4 sampai dengan 7 Juni 2014.
b. Tergugat tidak membuat melaporkan ke atasannya bahwa telah terjadi ketidak-sesuaian (out of specification).
c. Tindakan Tergugat tersebut merupakan pelanggaran terhadap Integritas Data, dan
d. Tergugat memahami konsekuensi atas tindakannya.
Merujuk ketentuan Pasal 58 Ayat (1) dan Ayat (3) Perjanjian Kerja Bersama 2013-2015 (PKB Perusahaan), mengatur:
1. Termasuk pelanggaran atau kesalahan berat yang bersifat mendesak adalah: Mengetahui / dengan sengaja mengambil bagian dalam pemalsuan / menutupi / manipulasi data.
3. Pekerja yang melakukan pelanggaran atau kesalahan berat tersebut pada ayat diatas, dikenakan hukuman pemutusan hubungan kerja yang prosedurnya dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku tanpa pesangon dan penghargaan masa kerja.
Dalam Perjanjian Integritas Data tertanggal 9 Maret dan 15 November 2011, Tergugat telah menyatakan bahwa:
Saya memahami bahwa saya bertanggung-jawab untuk melaporkan setiap kejadian yang melibatkan permasalahan data, dugaan terjadinya manipulasi data serta kesalahan data kepada atasan saya atau kepada Quality Assurance (QA) dan bahwa kelalaian dalam melaksanakan tanggung-jawab dapat menyebabkan diberlakukannya tindakan disipliner terhadap diri saya serta termasuk dan tidak terbatas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dalam kasus-kasus tertentu tuntutan perdata maupun pidana oleh perusahaan / pemberi kerja kepada saya.”
Berdasarkan ketentuan PKB dan Data Integrity Agreement tersebut, maka tindakan Tergugat yang dengan sengaja merubah data pengukuran kelembaban relatif dalam Daftar Periksa Harian untuk Pengawasan Relative Humidity dan Suhu di Lot 203 dari 4 sampai dengan 7 Juni 2014, merupakan pelanggaran berat dengan hukuman berupa PHK.
Tertanggal 30 April 2015, Tergugat diberikan Surat Suspensi, yakni Tergugat dikenakan skorsing dimana Penggugat tetap membayarkan upah dan hak-hak Tergugat seperti biasanya. Penggugat lalu mengundang Tergugat untuk melaksanakan perundingan Bipartit pada 29 Juni 2015, membahas keputusan PHK terhadap Tergugat, namun gagal mencapai kesepakatan.
Penggugat lalu mengajukan pencatatan atas PHK terhadap Tergugat ke Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Kota Batam. Dalam mediasi, Penggugat dan Tergugat tetap pada pendiriannya masing-masing, sehingga mediasi gagal mencapai kesepakatan, maka mediator menerbitkan Anjuran tertulis tertanggal 26 Oktober 2015.
Berdasarkan Pasal 58 PKB, PHK karena pelanggaran atau kesalahan berat tidak mendapatkan pesangon ataupun penghargaan masa kerja. Pasal 64 PKB mengatur juga: “Pemutusan hubungan kerja bagi pekerja tetap yang melakukan kesalahan berat, diberikan uang pisah. Besarnya uang pisah bagi pekerja tetap yang melakukan kesalahan berat ditentukan oleh Manajemen perusahaan dalam peraturan tersendiri.”
Berdasarkan Keputusan Pimpinan PT. Ciba Vision Batam tentang Pemberian Kesejahteraan Pekerja yang merupakan lampiran dari PKB, diatur bahwa “uang pisah” bagi pekerja yang di-PHK karena melakukan kesalahan berat, yakni sejumlah 0.5 bulan upah.
Dengan demikian, PHK terhadap Tergugat, Penggugat hanya berkewajiban memberikan kompensasi berupa “uang pisah” dan “uang penggantian hak” sesuai Pasal 156 (4) UU No. 13 / 2003, berupa sisa cuti yang belum diambil, dengan perincian sebagai berikut:
a. Sisa cuti (25 hari) = Rp. 6.303.409,00
b. Uang pisah 0.5 x Rp. 5.547.000,- (upah 1 bulan) = Rp. 2.773.500,00.
Total = Rp. 9.076.909,00.
Terhadap gugatan pihak Pengusaha, Pengadilan Hubungan Industrial Tanjung Pinang kemudian menjatuhkan putusannya Nomor 144/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Tpg. tanggal 18 Mei 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa perjanjian kerja bersama tahun 2013 – 2015 PT. Ciba Vision Batam yang dibuat tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 124 Ayat (2) karena kesalahan berat yang dilakukan oleh Tergugat bukan merupakan pelanggaran pidana sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor S.E.13/Men/Sj-HK/I/2015 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, melainkan pelanggaran yang mengakibatkan kerugian terhadap perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Ayat (1) Perjanjian Kerja Bersama tahun 2013 – 2015 PT. Ciba Vision Batam;
“Menimbang, bahwa dari seluruh pertimbangan tersebut dapat diketahui bahwa Tergugat telah melakukan perubahan data pengukuran kelembaban relative (relative humidity) ruangan untuk pengawasan relative humidity dan suhu di Lot #203, hal mana perbuatan Tergugat tersebut dapat dikategorikan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Ayat (1) Perjanjian Kerja Bersama tahun 2013-2015 PT. Ciba Vision Batam, sehingga dihubungkan dengan Pasal 126 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga alasan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Penggugat terhadap Tergugat dengan alasan kesalahan berat, maka sah demi hukum;
“Menimbang bahwa terhadap status hubungan kerja Tergugat dengan Penggugat telah dipertimbangkan sebagaimana dalam pokok masalah 1 (satu) sebagaimana tersebut diatas, oleh Majelis Hakim telah dinyatakan demi hukum Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Penggugat terhadap Tergugat, sah dengan alasan kesalahan berat;
“Menimbang, bahwa terhadap pemutusan hubungan kerja pada Karyawan Tetap (PKWTT) dengan alasan kesalahan berat dapat dilakukan tanpa memberikan surat Peringatan Pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut kepada karyawan tetap (PKWTT) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 58 ayat (3) Perjanjian Kerja Bersama tahun 2013 – 2015 PT. Ciba Vision Batam, yang menyatakan bahwa:
‘Pekerja yang melakukan pelanggaran atau kesalahan berat tersebut pada ayat diatas dikenakan sanksi Pemutusan Hubungan Kerja yang prosedurenya dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku tanpa Pesangaon dan penghargaan masa kerja.’
“Menimbang, bahwa meskipun Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat sah karena melakukan kesalahan berat maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Tergugat berhak mendapatkan hak dari Penggugat sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 64 ayat (2) Perjanjian Kerja Bersama tahun 2013 – 2015 PT. Ciba Vision batam;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan junto Pasal 64 (2) Perjanjian Kerja Bersama tahun 2013-2015 PT. Ciba Vision Batam, maka hak-hak yang diterima oleh Tergugat dari Penggugat dengan perhitungan, sebagai berikut:
- Sisa cuti yang belum diambil Tergugat (25 hari) = Rp. 6.303.409,00.
- Uang Pisah 0,5 x Rp. 5.547.000,- = Rp. 2.773.500,00.
Total = Rp. 9.076.909,00.
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat;
3. Menghukum Penggugat membayar kepada Tergugat Sisa Cuti (25 hari) dan Uang Pisah yang seluruhnya berjumlah Rp.9.076.909,00.”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa adanya perubahan data yang dilakukan Tergugat, terlebih dahulu telah mendapatkan persetujuan atau Instruksi dari Superintendent (atasan) Tergugat, dan dasar perubahan itu dilakukan di bulan Juli 2014 setelah 1 bulan sesudah adanya Out Off Spech (OOS), artinya dari jangka waktu tersebut Tergugat telah berkomunikasi dengan atasan untuk mengatasi Out Off Spech tersebut, dan alhasil Tergugat diIntruksikan oleh Superintendent (atasan) untuk merubah data tersebut dengan cara di-coret, dan dikasih keterangan dalam lembar (Form) data tersebut.
Atasan Tergugat tersebut kemudian terlebih dahulu telah mengundurkan diri dari perusahaan, akibat tidak dapat mempertanggung-jawabkan kesalahannya yang kini semua itu dibebankan ke pundak Tergugat. Bila Tergugat memang telah melakukan Pelanggaran sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, akan tetapi tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Termohon Kasasi dalam hal ini tidak pernah dilakukan dengan cara memberikan Surat Peringatan (SP) baik ke-satu, ke-dua, dan ke-tiga. Sementara merujuk ketentuan Pasal 161 (1) UU Ketenagakerjaan:
“Dalam hal pekerja / buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja / buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.”
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 16 Juni 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 15 Agustus 2016 dihubungkan dengan pertimbangan judex facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjungpinang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa putusan judex facti sudah tepat dan benar, judex facti tidak salah menerapkan hukum, karena judex facti telah mempertimbangkan bukti-bukti kedua belah pihak dan telah melaksanakan hukum acara dengan benar dalam memutus perkara ini serta putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang;
“Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dijatuhkan Termohon Kasasi adalah dengan alasan bahwa Pemohon Kasasi telah melakukan kesalahan berat, namun Pemohon Kasasi berhak mendapatkan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jucto Pasal 64 ayat (2) Perjanjian Kerja Bersama tahun 2013-2015 PT. Ciba Vision Batam;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjungpinang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi DICKY ARIANTO tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi DICKY ARIANTO tersebut.”
Lantas, apa yang menjadi isi norma Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Berikut substansi kaedah dimaksud:
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja / buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja / buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.