Perang Dingin dalam Hubungan Kerja, Disharmoni Sebagai Kebijakan Hakim untuk Memutus Hubungan Kerja

LEGAL OPINION
Question: Di pengadilan, perusahaan kalah menghadapi gugatan buruh, perusahaan disuruh hakim untuk penggil mereka untuk kembali masuk ke pabrik untuk kerja. Sementara itu, pihak manajemen sudah secara sosiologis tidak lagi dapat menerima kehadiran mereka.
Yang mau kami ketahui, apa masih bisa ada peluang atau kemungkinan dengan ajukan kasasi atas putusan macam itu, agar mereka bisa di-PHK? Sekalipun keluar biaya bayar pesangon, rasanya sekarang itu yang paling rasional saat ini ketimbang memaksakan diri terus pekerjakan mereka. Omong kosong, kalau dibilang mereka akan bisa produktif bila terus tetap bekerja pada kami, setelah sengketa di pengadilan ini.
Brief Answer: Sudah menjadi suatu kebiasaan dalam praktik gugatan, dimana surat gugatan dalam petitum (pokok tuntutan / permintaan dalam gugatan) mencantumkan pula diktum sekundair / subsidair sebagai substitusinya berupa istilah hukum yang berbunyi “ex aequo et bono”, dengan makna: mohon agar Majelis Hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya bila memiliki pendapat lain, sekalipun amarnya dalam putusan bersifat menyimpangi pokok permintaan dalam petitum diktum primair.
Dalam best practice di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) berdasarkan berbagai preseden yang telah ada, petitum berupa permintaan agar Pengusaha diperintahkan untuk menerima kembali Pekerjanya, maka petitum subsidair tersebut dapat dimaknai sebagai “boleh juga di-PHK, namun disertai kompensasi pesangon”—meski tidak dinyatakan secara tegas demikian oleh pihak Pekerja selaku Penggugat dalam gugatannya.
Biasanya pula, bila pada tingkat peradilan dinyatakan bahwa putusnya hubungan industrial (PHK) diakibatkan suatu “disharmoni” antara Pemberi Kerja dan pihak Pekerja, maka resiko yang paling terbuka lebar ialah dikabulkannya upaya hukum pihak Pengusaha agar hubungan kerja dinyatakan putus, namun dengan kompensasi berupa pemberian pesangon 2 (dua) kali ketentuan normal—terutama bila pada tingkat peradilan PHI dalam amar putusannya memerintahkan pihak Pengusaha agar kembali menerima para Pekerjanya untuk melanjutkan pekerjaannya seperti sedia kala, sehingga bila Mahkamah Agung RI hendak meng-koreksi amar putusan PHI oleh sebab pertimbangan bahwa hubungan kerja sudah tidak lagi mungkin terjalin secara harmonis, maka yang paling rasional ialah PHK disertai pesangon sebagai alternatif solusi yang paling mungkin dapat diterima oleh kedua belah pihak yang saling bertikai sekaligus sebagai “jalan tengah” sehingga sengketa tidak lagi berlarut-larut secara politis.
PEMBAHASAN:
Untuk itu SHIETRA & PARTNERS tepat kiranya merujuk preseden yang salah satunya ialah yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 367 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 12 Agustus 2015, perkara antara:
- PT. ORIENTAL ELECTRONICS INDONESIA, sebagai Maret 2015, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- CICIH HARYATI, selaku Termohon Kasasi semula sebagai Penggugat.
Penggugat bekerja pada Tergugat sejak tahun 1997 dengan status sebagai Pekerja Tetap. Namun pada 15 November 2013, Tergugat melakukan skorsing terhadap Penggugat, dengan alasan telah melakukan pelanggaran berat, namun hingga gugatan ini di ajukan Tergugat tidak membayarkan upah Penggugat selama menjalani masa skorsing.
Tanggal 21 November 2013, Tergugat menerbitkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Penggugat, dengan dalih telah melanggar Peraturan Perusahaan tentang Kesalahan Berat / Pelanggaran Berat. Meski demikian, sejak dikeluarkan surat PHK, Penggugat tetap datang ketempat Tergugat untuk menjalankan kewajibannya, akan pihak petugas security memerintahkan Penggugat untuk tidak boleh lagi ke tempat Tergugat, dengan dalih sudah di-PHK,
Tergugat tidak menanggapi undangan Penggugat untuk melangsungkan perundingan bipartit, sehingga Penggugat kemudian mengajukan surat permohonan mediasi kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, akan tetapi tidak terjadi kesepakatan. Selanjutnya pihak Mediator Dinas Tenaga Kerja menerbitkan surat Anjuran, sebagai berikut:
“MENGANJURKAN:
1. Agar hubungan kerja antara pihak Pengusaha PT. Oriental Electronics Indonesia dengan pekerja Sdri. Cicih Haryati, tidak terputus dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pihak pengusaha PT. Oriental Electronics Indonesia memanggil secara tertulis pekerja Sdri. Cicih Haryati untuk bekerja kembali selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima;
b. Pekerja Sdri. Cicih Haryati melapor secara tertulis kepada pengusaha PT. Oriental Electronics Indonesia untuk bekerja kembali selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima;
c. Pihak pengusaha Tidak membayar upah pekerja selama tidak dipekerjakan sampai dikeluarkannya surat anjuran ini;
2. Agar kedua belah pihak menjawab surat anjuran ini secara tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya;
Penggugat sependapat dengan sebagian Anjuran untuk Nomor 1 Butir (a) dan (b), akan tetap menolak isi anjuran Nomor 1 Butir (c) karena tidak berdasarkan hukum dimana dalam proses PHK terhadap Penggugat pernah mendapatkan skorsing dan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terutama Pasal 155 Ayat 3.
Penggugat kemudian mendapatkan Risalah Mediasi, yang intinya bahwa proses mediasi telah gagal untuk mencapai kesepaktan. Berdasarkan surat skorsing yang diterbitkan oleh Tergugat kepada Penggugat, Tergugat diwajibkan membayar upah selama skorsing. Untuk itu, surat gugatan ditutup dengan mencantumkan petitum Primair berupa : “Menyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat batal demi hukum.” Sementara dalam Subsidair-nya, dicantumkan klausa baku berikut : “Apabila majelis hakim yang terhormat berkehendak lain mohon putusan yang seadil adilnya (ex aequo et bono).”
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 178/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Bdg., tanggal 18 Maret 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“ Menimbang, bahwa dalil Tergugat yang menyatakan PHK terhadap Penggugat karena Penggugat telah melakukan kesalahan berat dengan melakukan / menulis kata-kata provokasi di media sosial face book serta ikut demo yang dampaknya sangat merugikan pihak Tergugat sebagaimana kesaksian Sdr. ... dan Sdr. ... , sehingga Penggugat dikategorikan telah melanggar UU Informasi Dan Transaksi Electronic (ITE) dan Peraturan Perusahaan serta UU Ketenagakerjaan, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut:
- Bahwa perselisihan yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja yang menjadi kompetensi absolut PHI sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga UU materil yang dapat dijeratkan kepada Penggugat adalah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, bukan pelanggaran / kesalahan yang diatur oleh UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang lebih mengedepankan sanksi pidana, dan UU ITE tersebut tidak mengatur adanya sanksi pemutusan hubungan kerja; [Note SHIETRA & PARTNERS: Melanggar larangan dalam undang-undang, tetap saja merupakan sebentuk “perbuatan melawan hukum”.]
- Bahwa perbuatan Penggugat menulis dan berkomentar di jejaring sosial facebook (bukti T–1) menurut Majelis Hakim Penggugat adalah orang ke 5 dari orang yang memberi komentar terhadap gambar aksi demo buruh yang tidak jelas siapa yang mengirimkannya karena tidak teridentifikasi nama pengirim gambar yang dikomentari oleh 33 orang termasuk oleh Penggugat (Cicih Haryati), sehingga Penggugat tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku utama dalam memprovokasi terjadinya aksi mogok masal buruh di kawasan Kabupaten Bekasi;
- Bahwa Peraturan Perusahaan PT. ORIENTAL ELECTRONIC Indonesia Pasal Ayat (4) huruf i yang dijadikan dasar PHK terhadap Penggugat oleh Tergugat, menurut Majelis Hakim tidak relevan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Penggugat di jejaring sosial facebook (bukti T–1), karena tidak ada rahasia perusahaan atau mencemarkan nama baik pimpinan perusahaan atau keluarganya yang seharusnya dirahasiakan yang dicemarkan atau dibongkar oleh Penggugat dalam perkara a quo;
- Bahwa Penggugat telah mengakui menulis di jejaring sosial facebook dan telah minta maaf kepada Direksi dan Manajemen atas apa yang dilakukannya di jejaring sosial pada tanggal 31 Oktober 2013 (bukti T–3), dan membuat surat pernyataan bahwa benar Penggugat telah memberikan komentar di jejaring sosial pada tanggal 31 Oktober 2013 (bukti T – 4);
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum dan pertimbangan diatas maka Majelis Hakim berkesimpulan dalil penetapan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat karena melanggar UU ITE, Pasal 35 Ayat (4) huruf (i) Peraturan Perusahaan PT. ORIENTAL ELECTRONIC Indonesia, dan UU Ketenagakerjaan, tidak beralasan hukum untuk di-putus hubungan kerjanya, sekalipun Penggugat telah membuat Surat Pernyataan dan meminta maaf atas komentarnya di jejaring sosial atas peristiwa mogok masal nasional yang mengakibatkan perusahaan Tergugat kena dampaknya karena Penggugat hanya mengomentari gambar aksi demo buruh dan bukan sebagai Pengurus Serikat Pekerja atau sebagai penggerak aksi demo buruh di PT. ORIENTAL ELECTRONIC INDONESIA, dan dengan demikian oleh karena itu Tergugat berkewajiban memanggil kembali Penggugat untuk bekerja kembali di perusahaan Tergugat dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak putusan dibacakan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam Ad.1. telah dinyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh tergugat kepada penggugat tidak beralasan hukum dan tidak sah, maka Penggugat haruslah dipekerjakan kembali di perusahaan Tergugat, oleh karenanya petitum angka 3 yang memohon agar Penggugat dipekerjakan kembali pada posisi dan jabatan semula, haruslah dinyatakan dapat dikabulkan;
“Menimbang, bahwa tentang petitum angka 6 yang meminta agar Penggugat berhak atas Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2014 sebesar Rp2.347.300,00 sangatlah beralasan hukum karena hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat tidak terputus sebagaimana diputuskan dalam petitum angka 3 dalam pokok perkara, oleh karenanya petitum angka 6 haruslah dinyatakan dapat dikabulkan;
MENGADILI :
DALAM PROVISI:
- Mengabulkan gugatan provisi Penggugat untuk sebagian khusus mengenai upah selama diskorsing;
- Menghukum Tergugat untuk membayar upah Penggugat (skorsing) sebesar Rp14.083.800,00 (empat belas juta delapan puluh tiga ribu delapan ratus rupiah);
- Menolak gugatan provisi Penggugat untuk selain dan selebihnya;
- Menyatakan Putusan Sela (provisi) tertanggal 14 Januari 2015, telah dilaksanakan oleh Tergugat pada tanggal 25 Februari 2015;
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat pada jabatan dan posisi semula, dan memanggil Penggugat dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak putusan dibacakan, dalam jabatan dan posisi semula;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar Tunjangan hari Raya Keagamaan Tahun 2014 kepada Penggugat sebesar: Rp2.347.300,00;
4. Membebankan biaya perkara kepada negara;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa kesalahan yang dilakukan Penggugat, telah diakui olehnya ketika membuat surat permohonan maaf dan Surat Pernyataan, oleh karena perbuatannya termasuk kategori pelanggaran berat.
Karena tidak ada Pemberitahuan secara tertulis dari serikat pekerja yang ada di perusahaan dalam kurun waktu yang ditentukan undang-undang, sehingga perusahaan tetap bekerja sebagaimana biasa karena tidak menyangka akan terjadi aksi demostrasi dan mogok kerja.
Saat konvoi buruh melintas depan perusahaan, mereka meminta agar perusahaan menghentikan proses produksi. Dengan inisiatif agar tidak terjadi konflik, maka perusahaan memberikan perwakilan 6 orang karyawan untuk mengikuti konvoi dan perusahaan beraktifitas berjalan normal.
Namun Penggugat pada hari yang sama Penggugat melakukan komentar jejaring sosial media (sosmed), yang bersifat menghasut / rasa kebencian bertuliskan “ga, seru oriental ga di swiping pdl dah berharap oriental bisa diacak-acak“, pada wall Serikat Pekerja, karena di perusahaan tergugat berjalan sebagaimana mestinya tidak dilakukan swiping, oleh konvoi buruh.
Dari apa yang di-comment Penggugat pada “sosmed” tersebut, ternyata terbukti pada tanggal 1 November 2013, terjadi lagi aksi “swiping” dari luar perusahaan oleh Serikat Pekerja, yang meminta semua karyawan Tergugat keluar pabrik untuk berhenti bekerja, sehingga pada akhirnya aktifitas perusahaan Tergugat terhenti dan sebagian mengikuti aksi konvoi.
Pihak perusahaan menyimpulkan, apa yang dilakukan Penggugat merupakan kesalahan berat berupa keterlibatan untuk menghasut, menyebabkan terjadi aksi swiping di perusahaan yang mengakibatkan kerugian waktu kerja, hasil produksi, dan rasa ketakutan karyawan Tergugat yang mayoritas wanita.
Perbuatan Penggugat yang membuat pernyataan di jejaring sosmed, berkeinginan agar perusahaan di “acak-acak”, merupakan kesalahan berat dan kesalahannya yang nyata / sudah jelas, dimana orang yang bekerja di perusahaan melakukan perbuatan yang tidak layak yaitu menghasut, rasa kebencian yang dituangkan dalam jejaring sosmed pada wall serikat pekerja.
Bahkan kemudian Penggugat telah mengakui kesalahan dengan membuat surat Pemohon Maaf dan Surat Pernyataan, oleh karena hal itu termasuk pelanggaran berat, yang menyebabkan kerugian bagi pihak Tergugat, maka wajar dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja. [Note SHIETRA & PARTNERS: Argumen pihak Pengusaha dalam paragraf, diatas tidak dapat dibenarkan, karena prinsip “non self incrimination” tetap perlu ditegakkan oleh hukum.]
Dimana terhadapnya, sebagai akomodasi terhadap kecemasan demikian, Mahkamah Agung terdorong untuk secara elaboratif membuat pertimbangan serta amar putusan yang bersifat “menengahi dua kepentingan yang saling berseberangan” secara moderat, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa dalam putusan Judex Facti memerintahkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat pada jabatannya dan posisi semula;
“Bahwa Penggugat didalam gugatannya, pekerja meminta dalam tuntutan subsidairnya agar Majelis mendasarkan pada permohonan Pemohon ex aequo et bono, maka menurut Majelis lebih baik dan bermanfaat bagi Pekerja maupun Pengusaha apabila Pekerja untuk di PHK dengan memberi pesangon 2 x Pasal 156 Ayat (2), (3), dan (4) dengan perincian sebagai berikut: ...;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ORIENTAL ELECTRONICS Indonesia tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 178/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Bdg., tanggal 18 Maret 2015 serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ORIENTAL ELECTRONICS INDONESIA tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 178/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Bdg., tanggal 18 Maret 2015;
“MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menghukum Tergugat untuk membayar:
- Pesangon : 9 x 2 x Rp2.347.300,00 = Rp42.251.400,00
- Upah Penghargaan Masa Kerja : 7 x Rp2.347.300,00 = Rp16.431.100,00
= Rp58.682.500,00
- Pemulihan Hak 15% x Rp58.682.500,00 = Rp 8.802.375,00
= Rp67.484.875,00
- Uang Proses 6 x Rp2.347.300,00 = Rp14.685.800,00
- Tunjangan Hari raya = Rp 2.347.300,00
= Rp84.517.975,00 (delapan puluh empat juta lima ratus tujuh belas ribu sembilan ratus tujuh puluh lima rupiah);
3. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.