Kode Etik Advokat / Pengacara, Tidak Identik Etika

LEGAL OPINION
Akal Sehat Memiliki Derajat yang Lebih Tinggi daripada Segala SOP Maupun Kode Etik Profesi
Question: Apa mungkin, kode etik profesi itu bisa sampai bertentangan dengan etik atau etika?
Brief Answer: Mungkin saja, sebuah norma dalam Kode Etik memiliki sifat / karakter yang bertolak-belakang atau tidak sejalan dengan etika. Sebagai contoh, kalangan pengacara di Tanah Air demikian merasa bangga, karena menjunjung tinggi rahasia klien, bila perlu bersedia mati karenanya—sebagaimana kampanye promosi gimmick mereka. Mereka berasumsi, menjaga rahasia klien sekalipun “langit runtuh”, adalah hukum diatas segala hukum, bahkan lebih tinggi dari konstitusi.
Etik dan moralitas, tidak selalu sejalan dengan Kode Etik Profesi. Sebagai ilustrasi, sang advokat baru mengetahui bahwa kliennya hendak membunuh seseorang saat berbicara “empat mata”, dan ternyata calon korbannya ialah kerabat sang advokat. Apakah sang advokat juga akan berdiam diri, meski dirinya mengetahui informasi penting demikian? Aktivis bernama Soe Hoe Gie, pernah berpesan: Membiarkan kejahatan terjadi, sama artinya turut terlibat dengan kejahatan tersebut.
Kita tahu, seorang koruptor telah merampas hak-hak rakyat. Seorang pengacara, tahu betul ulah / kelakuan sang klien yang melakukan aksi korupsi. Rakyat yang dirugikan akibat aksi korup sang klien, salah satunya ialah keluarga dan kerabat sang pengacara. Mengapa pengacara lebih mementingkan kepentingan seorang klien ketimbang kepentingan publik yang lebih luas dan lebih relevan urgensinya?
Apakah sang pengacara masih tetap menjunjung tinggi “rahasia klien” sebagai hukum tertinggi, dengan mengatas-namakan Kode Etik yang melarang profesi advokat untuk membocorkan rahasia klien? Terkadang, Kode Etik menjadi tameng / benteng pelindung (zona aman) bagi kalangan suatu profesi.
Sekalipun pemerintah menerbitkan peraturan yang mewajibkan kalangan profesi untuk mengungkap transaksi ilegal klien mereka, terutama rezim tindak pidana pencucian uang, kalangan profesi tersebut melakukan aksi penolakan, seakan menjadi “pahlawan moril” yang membela kepentingan rahasia sang klien, dengan mengatas-namakan benturan norma dengan Kode Etik profesi mereka.
Contoh lainnya, seorang pengacara mengetahui dari pengakuan sang klien, bahwa dirinya terlibat jaringan ter0risme yang sedang menyusun rencana peledakan sebuah tempat. Hal demikian tersangkut-paut nyawa banyak pihak yang tidak berdosa. Apakah Kode Etik demikian, sesuai dengan etika nurani untuk membiarkan kejadian tersebut benar-benar sampai terjadi tanpa terungkap tepat pada waktunya?
Terbukti, lembaga yang menerbitkan Kode Etik itu sendiri, tidak sejalan dengan etika. Sebagai bukti tidak terbantahkan, idealnya Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), ujian advokat, hingga iuran tahunan keanggotaan Advokat tidak menjadi monopoli lembaga swasta.
Masyarakat yang hendak menjadi advokat, semestinya diberi ruang kebebasan memilih secara multi-bar, apakah hendak membayar semua biaya itu ke “kas negara” dimana pemerintah menjadi penyelenggara PKPA, Ujian Advokat, hingga penyelenggaraan Pengambilan Sumpah Advokat, pungutan iuran tahunan keanggotaan, dan Konsil Etik, atau anggota masyarakat memilih opsi untuk bergabung menjadi anggota dari organisasi swasta dengan membayar semua pungutan demikian ke “kantung saku” pribadi penyelenggara sipil.
Tidak ada lagi alasan untuk menolak peran pemerintah sebagai penyelenggara lisensi beracara / berlitigasi, seperti kecemasan pada masa lampau bentuk pemerintahan yang represif, sejak sebelum berdirinya Pengadilan Tata Usaha Negara yang kini telah berdiri secara independen dibawah kewenangan Lembaga Yudisial sebagai bentuk pengawasan serta check and balances Lembaga Eksekutif.
Dari penelaahan SHIETRA & PARTNERS, ketika membandingkan Kode Etik Profesi Notaris, Kode Etik Profesi Pers / Jurnalistik, Kode Etik Profesi Pengacara, Kode Etik Profesi Kepolisian, hingga Kode Etik Profesi Kedokteran, hanya Kode Etik Pers yang mampu lolos “uji moril”—selebihnya, kerap menjadi “zona aman” bagi sesama anggota organisasi profesi.
Meski, dalam tataran praktik tidak sedikit kalangan profesi pers yang melanggar Kode Etik mereka sendiri, dimana perlu kita pahami bahwa fungsi Kode Etik sebagai pedoman sikap tindak-tanduk anggotanya, demi kebaikan diri mereka sendiri dan demi kepentingan masyarakat luas. Tatarannya ialah tataran edukasi serta seruan / ajakan untuk bertindak secara profesional dan mampu dimintai pertanggung-jawaban.
Yang terburuk, ialah Kode Etik Notaris, karena sama sekali tidak bersubstansi norma etik, dimana hampir seluruh isinya lebih menyerupai Anggara Dasar Organisasi yang sarat prosedural internal organisasi dimana anggota masyarakat pengguna jasa sama sekali tidak perlu tertarik untuk mengetahui norma-norma prosedur internal anggota demikian.
Etika sama sekali tidak tersangkut-paut dengan prosedural, namun lebih menjurus pada akal sehat dan nurani. Oleh karena itu, SHIETRA & PARTNERS menyebut bahwa kalangan profesi Notaris tidak punya Kode Etik, mereka hanya memiliki Anggaran Dasar Organisasi. Hampir dapat dikatakan adalah percuma, bagi pengguna jasa untuk mencari tahu Kode Etik kalangan profesi Notaris—substansinya sama sekali tidak relevan terkait hak dan kewajiban moril antara penyedia jasa dan pengguna jasa notaris.
Yang perlu kita pahami, yang menjadi standar moral seseorang profesional bukanlah Kode Etik Profesi yang ditetapkan oleh organisasi mereka, namun “Akal Sehat”. Seperti organisasi Kurator, organisasi Auditor Jasa Penilai Publik, dan organisasi-organisasi lainnya, masing-masing organisasi memiliki anggotanya sendiri, lengkap dengan versi Kode Etiknya sendiri masing-masing.
Maka, apakah artinya organisasi yang ruang-lingkupnya dalam profesi yang sama, dapat saling berbeda Standar Moralnya hanya karena diakibatkan norma dalam Kode Etik yang saling berbeda antar organsasi? Jika demikian adanya, marilah kita bentuk organisasi tandingan, dengan Kode Etik yang membenarkan dan mengakomodasi perihal perilaku imoral anggotanya, sebagai “benteng pelindung” yang paling mutlak (ultimate alibi) agar tak dapat tersentuh oleh hukum.
PEMBAHASAN:
KODE ETIK
ADVOKAT INDONESIA
IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) IKATAN PENASEHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI) ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL (HKHPM)
DISAHKAN PADA TANGGAL:
23 MEI 2002
PEMBUKAAN
Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan, dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. [Note SHIETRA & PARTNERS: Adalah mustahil menyatukan “kerahasiaan” dan “transparansi”. Kita dapat menyebutnya sebagai gimmick.]
Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Dalam sebuah novel yang berjudul “Thankyou for Smooking”, dikisahkan seorang klien mencaci-maki pengacaranya karena telah menjebak dan memeras sang klien. “Pengacara memang penipu!” Demikianlah yang menjadi tangapan singkat sebagai berikut: “Kukira kau sudah dari dulu tahu, bahwa pengacara memang brengsek.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung-jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.
b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.
c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktek hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktek hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.
f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya.
BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT
Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya. [Note SHIETRA & PARTNERS: Jujur terhadap klien, namun tidak akan jujur terhadap pihak yang bukan klien, terutama yang menjadi lawan dari sang klien.]
Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Kebanyakan advokat di Indonesia paling berminat menangani perkara terdakwa korupsi, dimana sang pelaku korupsi akan bersedia membayar mahal jasa mereka, tanpa mau mereka sadari, bahwa tarif yang mereka terima bersumber dari Uang Rakyat yang telah dirampok oleh sang klien.]
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi, tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan. [Note SHIETRA & PARTNERS: Norma tersebut akan bertentangan dengan norma Kode Etik ini perihal kerahasiaan klien.]
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat. [Note SHIETRA & PARTNERS: Perlu kita ketahui, bahwa anggota Dewan Kehormatan yang menyidangkan perkara pelanggaran etik anggota organisasi, ialah sesama advokat.]
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi.
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat, dan martabat Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak, namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat.
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang sedang diproses / berjalan selama ia menduduki jabatan tersebut.
BAB III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN
Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui, sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.
BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Mengapa tidak diatur normanya, sehingga menjadi berbunyi agar Advokat menghormati yang merupakan teman sejawat maupun yang bukan teman sejawat? Apa yang menjadi motif dibalik pengaturan norma semacam Kode Etik ini?]
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa, dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula.
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.
BAB V
TENTANG SEJAWAT ASING
Pasal 6
Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia, tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini. [Note SHIETRA & PARTNERS: Kode Etik organisasi ini merupakan autonomic legislation belaka, sehingga tidak dapat mengikat individu diluar komunitas anggotanya.]
BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA
Pasal 7
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila dianggap perlu, kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan “Sans Prejudice”.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Apa yang akan terjadi, seandainya surat dengan segel “sans prejudice” demikian tetap diajukan kepada hakim dalam suatu sengketa di pengadilan? Surat tersebut tetap memiliki nilai sebagai alat bukti di pengadilan, hanya saja Advokat yang tetap mengajukan bukti surat demikian yang dapat dilaporkan sebagai pelanggaran etik, sehingga bukan dimaknai pencantuman segel “Sans Prejudice” dapat menjadikan sesuatu bukti sebagai tidak memiliki kekuatan pembuktian.
]Seseorang warga tidak dapat dibenarkan mencari pembenaran diri, dengan melakukan perbuatan hukum yang ilegal, sebagai contoh, namun disaat bersamaan mengklaim bahwa perbuatannya tidak dapat dipidana ataupun digugat perdata oleh sang korban, sebagai analogi.]
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka pengadilan. [Note SHIETRA & PARTNERS: Keterangan diatas “idem” dengan norma ayat sebelumnya.]
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan surat, termasuk surat yang bersifat "ad informandum" maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan.
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggung-jawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup, yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani kepada kliennya pada waktunya.
BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK
Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.
b. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang, termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan / atau bentuk yang berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.
d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatu lembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.
BAB VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK
Pasal 9
a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini.
b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan.
BAB IX
DEWAN KEHORMATAN
Bagian Pertama
KETENTUAN UMUM
Pasal 10
1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat.
2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu:
a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang / Daerah.
b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
3. Dewan Kehormatan Cabang / daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir.
4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:
a. Dewan Pimpinan Cabang / Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang / Daerah;
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota;
c. Pengadu / Teradu.
Bagian Kedua
PENGADUAN
Pasal 11
1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:
a. Klien.
b. Teman sejawat Advokat.
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota Masyarakat.
2. Dewan Pimpinan Pusat / Cabang / Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.
3. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang / Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu.
4. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.
Bagian Ketiga
TATA CARA PENGADUAN
Pasal 12
1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang / Daerah atau kepada dewan Pimpinan Cabang / Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota.
2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang / Daerah Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang / Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.
3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Cabang / Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang / Daerah meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang / Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat / Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan Pusat/ Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang / Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang / Daerah.
Bagian Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG / DAERAH
Pasal 13
1. Dewan Kehormatan Cabang / Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus / tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan / copy surat pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang / Daerah yang bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu.
3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan Cabang / Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.
4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang / Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah ditetapkan tersebut.
6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling tambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang yang ditentukan.
7. Pengadu dan yang teradu:
a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat.
b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.
8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:
a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;
b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang / Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang / Daerah.
9. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:
a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;
b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang / Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang / Daerah.
Bagian Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG / DAERAH
Pasal 14
1. Dewan Kehormatan Cabang / Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil.
2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.
3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang / Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,
4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara itu.
5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.
Bagian Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 15
1. Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat berupa:
a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;
b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu;
c. Menolak pengaduan dari pengadu.
2. Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar.
3. Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
4. Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan didalam berkas perkara.
5. Keputusan ditanda-tangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang bersangkutan.
Bagian Ketujuh
SANKSI-SANKSI
Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.
Bagian Kedelapan
PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN
Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan Cabang / Daerah harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan / teradu;
b. Pengadu;
c. Dewan Pimpinan Cabang / Daerah dari semua organisasi profesi;
d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;
e. Dewan Kehormatan Pusat;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 18
1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang / Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan Cabang / Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan.
3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.
4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu.
6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan Pusat.
7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang / Daerah.
8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya 3 (tiga) orang anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis.
9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua.
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang / Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang / Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.
Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 19
1. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang / Daerah dengan memutus sendiri.
2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS.
4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan / teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;
b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;
c. Dewan Pimpinan Cabang / Daerah yang bersangkutan;
d. Dewan Kehormatan Cabang / Daerah yang bersangkutan;
e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.
5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang / Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat / Organisasi profesi untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Menurut Anda, apakah segala prosedural internal anggota organisasi demikian, cocok disebut atau dimasukkan kedalam Kode Etik, atau lebih tepat bila dimasukkan kedalam suatu Anggaran Dasar Organisasi?
[Bandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang khusus berisi substansi materi norma pidana, sementara penegakan formal / proseduralnya diatur secara terpisah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.]
Bagian Kesebelas
KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN
Pasal 20
Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat / Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi.
BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN
Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia.
BAB XI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 22
a. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
b. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini.
c. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintah.
d. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini.
Pasal 23
Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-undang tentang Advokat
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Mei 2002
PERUBAHAN I
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII, pasal 24 kode etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 sehingga seluruhnya menjadi:
BAB XII
PENUTUP
Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu sejak tanggal 23 Mei 2002.
Ditanda-tangani di: Jakarta
Pada tanggal: 1 Oktober 2002
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.