Tidak Dilarang, Artinya Tidak Dibolehkan atau Artinya Dibolehkan?

ARTIKEL HUKUM
FALSE NEGATIVE Vs. FALSE POSITIVE
Bila tidak terdapat aturan hukum yang melarang suatu perbuatan, maka apakah artinya itu suatu kebolehan, atau justru mengisyaratkan ketidak-bolehan? Hal tersebut penting untuk kita ulas, agar ada sebentuk kepastian hukum bagi warga masyarakat selaku pengemban hukum—memiliki hak dan kewajiban selaku warga negara.
Mari kita tinjau ulang kembali hipetesa kita, sebagaimana dimuka : tidak dilarang, maka artinya boleh, ataukah tidak dibolehkan? Disini, dalam bentuk tataran dialektik, terdapat dua alternatif yang mungkin bisa terjadi dengan probabilitas yang dapat terjadi, yakni:
- Tidak terdapat pengaturan hukum yang melarang, artinya dibolehkan alias diizinkan; ataukah
- Tidak terdapat pengaturan hukum yang melarang, maka artinya tidak dibolehkan, karena tidak ada norma aturan hukum yang membolehkan perbuatan tersebut dilakukan.
Keduanya tampak logis dan sama-sama terdapat pihak pembelanya masing-masing. Ada yang berpendapat bahwa bila tiada terdapat suatu larangan, maka artinya siapa pun boleh melakukan perbuatan tersebut. Namun terdapat juga yang berpendapat sebaliknya, dengan sama lantangnya, bahwa betul tiada aturan yang melarang, namun juga bila tiada aturan yang membolehkan, maka itu sama artinya melanggar norma hukum. Kedua pandangan serta pendirian yang saling silang-pendapat demikian, adalah wajar dalam negara yang mengusung konsep demokratis untuk beraspirasi dan berpendapat. Namun kita tidak sedang bicara politik, namun kita bicara perihal hukum yang tidak boleh membuka pintu “kompromi”.
Berikut inilah yang kemudian penulis tawarkan, bagaimana jika anasir atau variabelnya kita perluas—bukan hanya terhadap norma peraturan perundang-undangan, namun juga kita masukkan keberlakuan norma preseden / yurisprudensi. Maka, probabilitas yang dapat terjadi akan jauh lebih kompleks, sebagai berikut:
- Tidak terdapat aturan hukum yang melarang, namun juga tidak terdapat norma preseden yang melarang, maka artinya DIBOLEHKAN dan legal;
- Tidak terdapat aturan hukum yang melarang, namun terdapat norma preseden yang melarang, maka artinya suatu perbuatan tertentu tersebut adalah TERLARANG;
- Tidak terdapat aturan hukum yang melarang, namun tidak juga terdapat norma preseden yang membolehkan, maka artinya juga TERLARANG; serta kemungkinan keempat yang mungkin dapat terjadi
- Tidak terdapat aturan hukum yang melarang, namun terdapat norma preseden yang membolehkan, maka artinya perbuatan tertentu tersebut DIBOLEHKAN.
Bila saja, seandainya berbagai norma preseden telah dipetakan dan dibakukan di Tanah Air, maka kita tidak lagi akan “meraba-raba” dan berspekulasi di “Meja Hijau” peradilan, karena kita dapat memprediksi setiap “aksi” dan “reaksi” yang mungkin dapat terjadi. Pengalaman, “mahal harganya”.
Kabar buruknya, hingga hampir satu abad Indonesia merdeka dari pemerintah kolonial, belum juga kiblat arah berhukum Republik Negeri kita ini diarahkan menuju sistem hukum yang lebih mengakui kekuatan mengikat sebuah preseden. Entah akibat ketidak-mampuan, ataukah ketidak-mauan politik petinggi di Lembaga Yudikatif, sementara sumber daya Sarjana Hukum di Indonesia demikian berlimpah.
Mari kita simak contoh kasus yang pernah dan akan kembali terulang dimasa mendatang : tidak terdapat aturan hukum yang melarang, namun terdapat norma preseden yang membolehkan, dan warga mengikuti kaedah norma preseden yang menyatakan “boleh perbuatan tersebut dilakukan”, akan tetapi ternyata terbukti dikemudian hari setelah dirinya melakukan perbuatan tersebut dengan penuh keyakinan adalah “boleh”, hakim yang berbeda yang menyidangkan dirinya kemudian menyatakan bahwa dirinya “bersalah”, dengan mengatas-namakan dalil bahwasannya preseden “tidak mengikat” hakim yang bebas-sebebas-bebasnya saat memutus perkara. Itulah “jebakan” dalam hukum yang patut kita waspadai bersama. Siapakah yang paling harus bertanggung-jawab atas “jebakan” menyerupai “ranjau darat” demikian?
Sejatinya, hampir setiap sendi perbuatan hukum dan sengketa, telah terdapat putusan pengadilan yang sebelumnya pernah memeriksa dan memutus suatu sengketa dengan corak karakter spesifik tertentu, yang bisa saja amar putusan serta pertimbangan hukumnya dijadikan preseden baku, demi terciptanya kepastian hukum bagi warga negara.
Sementara itu, bahkan seorang Mahasiswa Pendidikan Tinggi Hukum sekalipun memahami, bahwa “sumber formil hukum” bukanlah saja berupa undang-undang, namun juga yurisprudensi. Seakan terdapat konflik asas, disaat bersamaan secara doktrinal berbagai teks ilmu hukum di Tanah Air menegaskan bahwa, sistem hukum di Indonesia ialah bukanthe binding force of precedent”, namun hanya sekadar “the persuasive binding force of precedent”—alias sangat bergantung pada “selera” hakim, alias terbuka ruang negosiasi-transaksional yang kental nuansa spekulatif dan kolusi maupun kesewenangan-wenangan lembaga peradilan.
Apanya lagi yang dapat diprediksi dalam praktik hukum di Indonesia, jika demikian, bila warga negara harus bergantung pada “selera” hakim pemutus, ibarat berspekulasi pada permainan “untung-untungan” di “meja hijau”—ingat, ideom “meja hijau” memiliki dua konotasi, dan silahkan para pembaca tafsirkan sendiri maknanya sesuai konteks uraian dalam artikel ini.
Tidak ada lagi yang lebih “plin-plan” daripada konsep hukum yang menutup diri dari fungsi utama menuju “kepastian hukum”. Semuanya menjadi tidak lagi pasti, namun diliputi keragu-raguan, ketidakpastian, ambigu, ambivalen, kental akan nuansa spekulasi—untuk berspekulatif sejatinya dibutuhkan keterampilan seorang Sarjana Hukum. “Makelar kasus” manapun dapat sangat pandai berspekulasi, dan memancing didalam “air keruh”.
Kepastian hukum masih dapat menyisakan ruang bagi keadilan, dengan menawarkan praktik hukum yang tertata rapih dan memiliki derajat prediktabilitas. Ibarat diberikan peta jalan dan arah yang jelas dan pasti, agar tidak salah tujuan, dan tidak lagi perlu “mencoba-coba”. Namun tanpa kepastian hukum, tidak akan ada lagi penghormatan bagi keadilan, karena semua menjadi akan bergantung pada “selera” hakim.
Kini, kita beralih pada isu yang lebih sensitif, perkara pidana. bila seorang warga tidak mengetahui, apakah suatu perbuatan dapat dipidana atau tidaknya, namun tidak terdapat pengaturan yang jelas dan tegas, namun kemudian oleh pengadilan dihukum pidana penjara ataupun denda, itulah “benang kusut” sekaligus “lubang hitam” yang menganga demikian lebar dalam ilmu hukum pidana di Tanah Air—terus menunggu jatuhnya korban ke dalam lubang yang sama selama berabad-abad, tanpa ada yang merasa terdesak untuk menambal “lubang” demikian.
Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengandung norma yang menyebutkan, tiada seorang pun dapat dipidana tanpa terlebih dahulu telah diatur norma tertulis yang mengatur suatu perbuatan tersebut dapat diancam pidana. itulah yang kemudian lebih dikenal sebagai “asas legalitas”, guna meminimalisir kesewenangan-wenangan seorang “raja” yang dapat menjatuhkan hukuman semata berdasarkan ucapan sang “raja” pada saat itu, yang bermakna bahwa tiada suatu penjatuhan sanksi pidana secara berlaku-surut alias baru diatur dikemudian hari namun perbuatan seseorang sebelum aturan tersebut diberlakukan tetap juga dijatuhi hukuman (non retroactive principle).
KUHP memiliki cacat bawaan lahir yang menjadi kodratnya—dan tidak akan dapat diperbaiki dengan revisi KUHP sekalipun. Apakah cacat bawaan lahir yang kodrat dari KUHP? Pasal-pasal atau “norma-norma primair” dalam KUHP berisi dua kelompok besar pengaturan, yakni: Pertama, norma yang berisi larangan; dan Kedua, norma yang berisi perintah. Selebihnya ialah “norma sekundair” yang berisi ancaman sanksi bagi subjek hukum yang melanggar “norma primair”.
Dalam pasal-pasal yang diatur KUHP, dikenal banyak larangan, semisal larangan untuk membunuh, larangan untuk menipu, larangan untuk melakukan pemalsuan surat, dan berbagai larangan lain yang sebetulnya tidak akan pernah dapat diatur secara lengkap karena modus kejahatan senantiasa berkembang seiring perkembangan dinamika masyarakat.
Begitupula dikenal norma-norma perintah dalam KUHP, antara lain perintah untuk menyelamatkan warga negara lain yang sedang membutuhkan pertolongan dalam kondisi darurat, semisal ketika kita melihat dan mendapati adanya seorang warga yang terjatuh ke dalam sungai, dan hampir tewas tenggelam akibat tidak mampu berenang, maka terhadap kita yang mampu berenang, wajib untuk menolong (tanpa bermaksud untuk turut mencelakai diri sendiri semisal kondisi arus sungai cukup tenang), yang mana bila kita lalai untuk menolong maka menunggu ancaman pidana penjara.
Sementara itu, secara doktrinal, norma hukum berisi tiga variabel, yakni: suatu perintah, suatu larangan, dan suatu kebolehan. Dapat Anda lihat sendiri, terdapat variabel yang hilang dalam pengaturan KUHP, apakah itu? Tidak lain ialah variebal pengaturan perihal “kebolehan”.
Polemik dan dilematikanya, tidak mungkin KUHP mengatur segala hal yang dibolehkan untuk dilakukan oleh warga-negaranya. Memuat jutaan pasal sekalipun, tidak akan pernah cukup mengatur seluruh perbuatan yang dibolehkan, dan akan sangat tampak deterministik dengan menutup segala ruang nafas ataupun ruang gerak bebas warga negara yang diaturnya. Manusia bukanlah robot.
Inilah kutukan terbesar dalam KUHP : cobalah Anda benturkan antara “asas legalitas” terhadap “tiadanya variabel norma kebolehan” dalam KUHP. Memang tidak dilarang, maka berdasarkan “asas legalitas”, maka suatu perbuatan tertentu tersebut adalah sahih dan legal untuk dilakukan, validitasnya terletak pada tiadanya norma larangan ataupun perintah yang dilanggar, maka tiada ancaman hukum yang dapat dibebankan pada pelaku. Istilah pidananya, “bebas murni”.
Baru menjadi masalah, ketika kita benturkan pada doktrinal hukum perihal “norma”. Kebolehan ialah salah satu unsur pembentuk “norma hukum”. Mengingkari postulat demikian, sama artinya kita sedang mengingkari hakekat hukum. Ironinya, variabel “kebolehan” diatur justru paling banyak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)—semisal kebolehan bagi penyidik kepolisian maupun penyidik pegawai negeri sipil untuk menangkap serta melakukan penggeledahan, hingga menahan tersangka dalam rumah tahanan.
Bila tidak ada aturan yang membolehkan Anda melakukan “perbuatan ini” atau “perbuatan itu”, maka mengapa juga Anda masih berani melakukannya? Lihat, mengkriminalisasi adalah semudah itu dilakukan terhadap warga negara yang “mengerti hukum”, terlebih bagi yang “awam hukum”—cukup lewat “permainan kata”. Dapat saja terjadi debat kusir, tanpa tertutup kemungkinan dengan skenario sebagai berikut:
“Mengapa tidak boleh? Toh, tidak ada aturan yang melarang!”
“Oh gitu, jadi ngak salah dong, bila dulu ada putusan pengadilan yang bolehkan praperadilan status tersangka, padahal KUHAP hanya mengenal praperadilan status terdakwa?”
“Ada asas legalitas, ngak boleh kriminalisasi warga yang tidak melanggar.”
“Keliru! ... Jelas sekali Anda telah melanggar, melanggar tiadanya aturan yang membolehkan. Melanggar itu bisa banyak ragamnya: melanggar aturan yang berisi larangan, melanggar aturan yang berisi kaedah perintah, dan juga melanggar aturan yang berisi kebolehan dengan tetap melakukan perbuatan tertentu tersebut meski tidak ada norma hukum yang menyatakan perbuatan itu boleh dilakukan.”
“Jadi gimana?”
“Ngak tahu juga, anggap saja Anda sedang sial.”
Bagaimana? Jika tidak ada norma hukum yang membolehkan Anda melakukan suatu perbuatan tertentu, mengapa tetap Anda lakukan juga? Berani berbuat, berani bertanggung-jawab. Meminjam terminologi ilmu sains, itulah yang menjadi kiblat kaum “false negative”—artinya, sesuatu dipandang dan dianggap sebagai keliru, sepanjang belum ada bukti yang menyatakan bahwa itu benar. Biasanya kaum konservatif lebih cenderung memiliki pandangan demikian.
Sebaliknya, sepanjang belum diatur norma hukum yang membolehkan sesuatu perbuatan dilakukan oleh seorang warga, maka artinya tiada larangan untuk itu. Itulah yang kemudian menjadi perspektif kaum “false positive”—yang bermakna, sesuatu tersebut adalah benar dan dibolehkan adanya, sepanjang belum ada bukti yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah terlarang atau keliru.
Norma hukum tidak bisa berdiri dan berpijak dalam derajat moderat “abu-abu”—itulah kutukan kedua dari ilmu hukum (entah kabar baik, atau suatu kabar yang terlampau buruk bahkan untuk sekadar diwartakan kepada publik). Norma hukum harus tegas dan estrem sifatnya, yakni melarang atau membolehkan. Titik, tidak ada koma.
Oleh karena itu, pilihannya hanya jatuh pada satu pilihan tunggal secara mutlak: memilih untuk berpihak pada kaum “false positive” ataukah berpihak dan mendukung kaum “false negative”—tidak boleh berpihak pada pola pikir kaum moderat, karena hukum yang moderat adalah hukum yang “plin-plan” sekaligus in-efektif.
Hukum yang berwibawa, harus menampilkan wajah yang berisi ketegasan dan konsistensi corak karakter. Bagaimana mau berharap dihormati dan disegani untuk dipatuhi warga, bila hukum tidak memiliki wibawa di mata masyarakat yang diaturnya?
Sebagai penutup, inilah kabar dari penulis yang akan menyentak kesadaran para pembaca sekalian: selama ini sistem hukum Eropa Kontinental ala keluarga hukum Civil Law, sebagaimana dianut dan diadopsi oleh Indonesia, menganut kiblat kaum “moderat”: gendernya tidak jelas, maskulin tidak, feminis juga tidak. “False positive” tidak, “false negative” juga tidak. Semuanya serba “menerka-nerka”, “meraba-raba”, alias sepenuhnya spekulatif belaka.
Betapa meletihkannya. Kiblat kaum “non-blok”, sungguh suatu sikap “pengecut” khas kaum pragmatis yang tidak bertanggung-jawab. Apa yang kemudian menjadi “bayaran” yang harus kita bayar mahal selaku bangsa Indonesia? Memilih “non blok”, sama artinya kita disaat bersamaan melepaskan “asas kepastian hukum”.
Selamat datang dalam era ketidak-pastian. Baru menyadarinya? Ibarat seekor ikan yang mungkin tidak pernah tahu “apa itu air”—sampai kita melihatnya jauh dari luar (bukan sebagai pemain, namun sebagai penonton), atau ketika ikan itu meloncat keluar dan menggelepar-gelepar di tanah kering—meski semuanya menjadi “telah terlambat”, namun belum “terlampau terlambat”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.