The New Normal (DISASTER), Kebijakan SELAMATKAN DIRI MASING-MASING karena Pemerintah Hendak Lepas Tanggung-Jawab atas Nasib Rakyatnya

ARTIKEL HUKUM
Sudah “normal” keadaan saat ini, silahkan rakyat mencukupi kebutuhannya sendiri-sendiri tanpa lagi bergantung pada bantuan pemerintah—itulah pesan yang hendak dikomunikasikan oleh pemerintah kita. Kesimpulannya, yang disebut menurut “normal” untuk ukuran kamus tempo kini ialah hidup berdampingan dengan “mesin pembunuh” bernama Virus Menular Mematikan?
Belum genap tiga bulan, pemerintah telah mewacanakan “the New Normal” bagi rakyatnya untuk hidup berdampingan dan berdamai dengan sang virus mematikan, tatkala angka prevalensi terjangkit justru kian menukik tinggi, sekalipun sang virus mematikan menular tidak pernah kenal kompromi dan terus memakan korban jiwa. Berdamai, dengan siapa? Saat memasuki genap tiga bulan Virus Corona Disease 2019 (COVID-19) menginfeksi teritori dan rakyat di Indonesia, pemerintah telah menyatakan “menyerah” dan memilih tunduk pada supremasi dan hegemonitas sang virus, sekalipun tiada penegakan dan penindakan yang tegas (alias kebijakan “separuh hati”) guna menghentikan laju mata rantai penularan sang virus mematikan.
Ibarat belum bertempur hingga titik darah penghabisan, sudah memilih untuk menyerah dan “lempar handuk” ke atas ring tinju dalam duel antara “Manusia Vs. COVID-19”. Kita sedang berkompetisi dengan sang virus mematikan, bukan sedang berkompromi terlebih untuk berdamai lewat dialog diplomat kita di meja perundingan. Bila perang melawan penjajahan berupa militer asing, seluruh rakyat kita siap berkorban dari segi ekonomi dan biaya, mengapa untuk menghadapi virus yang tidak “kasat-mata” kita tidak bersedia mempertaruhkan segala yang kita miliki, semata karena “tidak kasat-mata”? Justru, karena tidak kasat-mata, ia menjadi lebih berbahaya dan lebih mengancam, dapat membunuh dalam senyap (killing in silent).
Kita tidak akan pernah dapat berusaha menjual jasa atau barang dagangan kita, bila para konsumen kita tewas satu per satu karena virus mematikan—karenanya, kehidupan ekonomi tidak akan pernah mampu berdampingan atau seiring berjalan dengan penyebaran sang virus menular mematikan. Janganlah Anda dengan tidak bijaksana mencoba menantang hipotesis yang penulis ajukan dengan cara menantang sang virus mematikan, karena cepat atau lambat Anda akan kalah—hanya tinggal persoalan waktu sebelum Anda mengakui kekalahan Anda. Manusia bukanlah makhluk terkuat di Planet Bumi ini, sama seperti dinosaurus yang gagal menghadapi “Ice Age”, sementara makhluk kecil yang bersembunyi sementara waktu justru selamat dari seleksi alam.
Lock Down” yang tegas dan ketat TANPA KOMPROMI sebagaimana diterapkan di China dan Vietnam, berhasil karena memang secara medik sang virus mematikan menular akan bersih 100% dari tubuh inangnya setelah kita selama 38 hari melakukan isolasi diri. Ketika seluruh rakyat dipaksa oleh otoritas negara atau secara kesadaran pribadi melakukan isolasi diri di rumah, dan pemerintah memasok kebutuhan pokok rakyatnya selama masa isolasi diri, maka cukup satu bulanLock Down” diberlangsungkan, alhasil wabah pandemik COVID-19 akan tuntas berakhir karena terputus mata rantai penyebarannya, sebagaimana telah terbukti efektif pada Wuhan-China dan di Vietnam. Karenanya, berperang secara “all out” melawan COVID-19 bukanlah suatu kemustahilan, namun keniscayaan. Kemenangan rakyat-semesta, atau sebaliknya akan menjadi kekalahan bagi rakyat-semesta.
Kini, akibat kebijakan “separuh hati” serba kompromistis yang diterapkan pemerintahan di Indonesia, akibatnya kini seluruh rakyat yang harus membayar “harganya”, yakni laju penularan COVID-19 kian tidak terbendung—akibat berantainya, pertumbuhan ekonomi TIDAK AKAN PERNAH PULIH sepanjang sang “mesin pembunuh” masih bergentayangan (itulah prediksi penulis, dan akan kita buktikan bersama tidak lama lagi). Logika sederhananya, ketika wabah berakhir dan berhasil diatasi, maka geliat ekonomi akan bangkit dan pulih secara sendirinya dengan berangsur-angsur. Karenanya, akar masalahnya yang perlu kita tangani, bukan justru ibarat tubuh yang tidak fit karena sakit namun dipaksa untuk bekerja, maka dampaknya akan kontraproduktif.
Pemerintah melakukan kebodohan nyata demikian vulgar terhadap publik, seolah rakyat kita memang “bodoh” sehingga mudah dikelabui, yakni ketika statistik menunjukkan bahwa jumlah laju prevalensi warga yang terinfeksi COVID-19 (data yang tidak dibuka oleh pemerintah, jauh lebih tinggi lagi baik dari segi jumpah terjangkit dan jumlah korban jiwa akibat COVID-19) justru menunjukkan tren meningkat dari bulan ke bulan, pemerintah justru membuat siaran press yang pada pokoknya mengklaim bahwa kurva penularan mulai “melandai”—dan ternyata warga kita yang cukup terdidik, “percaya” saja. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bersentuhan langsung dengan pasien-pasien terjangkit menyatakan, jumlah korban jiwa akibat COVID-19 adalah berkali-kali lipat dari data yang dibuka oleh pemerintah, namun lagi-lagi warga tampaknya justru memilih untuk lebih percaya terhadap klaim pemerintah yang sejatinya patut kita ragukan kebenaran serta itikadnya.
Uniknya, ketika setiap tahunnya selalu diberitakan bahwa berbagai Lembaga Pemasyarakatan kita di Indonesia selalu “overload” dari narapidana penghuni, tidak pernah pemerintah menyatakan “itulah THE NEW NORMAL, kita selaku warga perlu hidup berdampingan dengan perampok, pembunuh, penipu, karena adalah normal bila bangsa kita adalah bangsa biadab yang belum beradab”. Hingga kini, pemerintah terus saja mengklaim bahwa tindakan-tindakan kriminalitas adalah sebentuk “anomali sosial”, bukan suatu kewajaran ataupun kenormalan.
Karena sudah dianggap sebagai “THE NEW NORMAL”, maka penegakan hukum tidak lagi perlu diterapkan, sehingga rakyat kita akan menjelma “serigala yang memakan sesamanya”—hal yang lumrah dan wajar saja. Begitupula “THE NEW NORMAL COVID-19”, maka dokter dan perawat untuk apa juga kembali mempertaruhkan nyawa demi merawat pasien terjangkit virus mematikan tersebut, mengingat adalah “normal saja bila ada seseorang terjangkit dan terinfeksi COVID-19, layaknya masyarakat kita hidup berdampingan dengan virus flu”.
Faktanya, tidak seluruh jenis penyakit terdapat solusi dalam “Sel-T” yang berisi memori antibodi serangan penyakit yang pernah kita derita dalam perjalanan sejarah hidup bangsa dan ras kita. Terbukti dari banyaknya vaksin yang kita kenal dan diberikan kepada warga kita, sekalipun orangtua kita pernah menghadapi serangan-serangan bertubi-tubi virus seperti rubella, campak, cacar, meningitis, dan sebagainya, ternyata anak dan cucu kita tidak pernah mewarisi antibodi terhadap berbagai penyakit tersebut, serta masih juga harus dibekali vaksin.
Terdapat pula vaksin yang sifatnya “tahunan”, karena antibodinya dapat kembali hilang dalam beberapa waktu sehingga perlu divaksin ulang, salah satunya “vaksin flu” serta “vaksin cacar”. Begitu pun para pasien “mantan” terjangkit COVID-19 yang telah terbentuk antibodi sehingga digunakan plasma darahnya untuk terapi bagi pasien terjangkit lainnya, ternyata setelah sembuh bukan artinya timbul kekebalan tubuh secara permanen karena mantan penderitanya ternyata terbukti masih dapat kembali terinfeksi COVID-19.
Vaksin bekerja dengan cara melemahkan virus sebelum dimasukkan ke dalam tubuh penerima vaksin, dengan harapan timbul antibodi. Sehingga, menjadi kontradiktif terhadap fakta empirik yang bertolak-belakang bahwa “vaksin COVID-19” merupakan “harapan emas” untuk menghentikan laju penyebaran dan penularan COVID-19. World Health Organization (WHO) kerap membuat blunder, pertama kali menyatakan “orang sehat tidak perlu mengenakan masker”, kini mengubah pendapatnya. Lalu kembali membuat harapan semu bahwa vaksin adalah satu-satunya harapan menuntaskan COVID-19, atau bahkan “THE NEW NORMAL” sebagai solusi yang ditawarkan WHO—maka benar yang disebutkan oleh Presiden Amerika Serikat, bubarkan saja WHO, apa lagi gunanya dipertahankan?
Dalam analisa pribadi penulis, COVID-19 hanya bisa diatasi lewat kebijakan tegas “LOCK DOWN” murni, bukan semacam “Pembatasan Sosial Berskala Besar” yang separuh hati dan tiada daya paksanya. Metabolisme tubuh manusia memiliki batasan, ada batas-batas tertentu dimana antibodi tidak dapat terbentuk secara permanen lewat paparan virus secara radikal dan masif, mengingat umur umat manusia sudah hampir setua umur Planet Bumi ini, ternyata masih juga anak-anak kita membutuhkan vaksin sekalipun nenek-moyang kita sama sekali tidak membutuhkan vaksin apapun untuk bisa “survive”—itu menjadi kontra narasi, bahwa evolusi manusia tidaklah benar-benar linear “membuat manusia menjadi lebih kuat dan lebih tahan serta lebih kebal”, sebaliknya, evolusi manusia telah membuat tubuh manusia KIAN RENTAN, KIAN LEMAH, serta KIAN RINGKIH.
Para nenek-moyang kita bila masih bisa berbicara kepada kita di era modern ini, pastilah akan menertawakan kita, dengan menyatakan bahwa kita yang hidup di era masa kini adalah anak-anak yang manja, lemah, dan “cengeng”. Bayangkan, nenek-moyang tidak pernah membutuhkan pompa air namun menimba air, tidak pula memiliki kendaraan bermotor untuk menempuh naik dan turun bukit guna menimba air, serta berbagai keterbatasan lainnya. Sebaliknya, generasi masa kini penuh keluh-kesah, entah karena tubuh mereka yang kian melemah hasil evolusi-degeneratif atau karena faktor kemalasan (?). Yang jelas, daya survival kita kian melemah, sementara ketergantungan kita pada teknologi kian tinggi guna menopang kelangsungan hidup kita, itulah fakta utamanya, yang secara tidak langsung menyiratkan fakta pada kita bahwa evolusi tidak selamanya bersifat menguatkan tubuh manusia, karena ada kalanya justru sebaliknya melemahkan dan kian membuat ringkih tubuh kita karena bagaimana pun evolusi bersifat “adaptif”, dalam pengertian ketika umat manusia dimanjakan oleh kecanggihan teknologi, maka “bayaran” paling utamanya ialah menurunnya daya perisai imun serta metabolisme tubuh kita, berkurangnya massa tulang, kian ringkihnya gigi-gigi yang tertanam di rahang kita, kian merosotnya daya tahan organ dalam tubuh kita, melemahnya daya ketajaman penglihatan kita, dan berbagai degeneratif lainnya. Bahkan, kita kini mudah terserang diare dibanding nenek-moyang kita yang tidak pernah mengenal istilah “higienis”. Terbukti pula, rata-rata korban tewas COVID-19, selama ini hidup “terlampau higienis”.
Satu hal penting yang perlu kita sadari, evolusi bersifat gradual, sementara revolusi bersifat radikal. Evolusi, paling sedikit hidungan milenium. Yang bersifat “hitungan tahun”, ialah revolusi—seperti revolusi penumbangan rezim Orde Baru maupun revolusi penumbangan rezim Orde Lama oleh gerakan massa yang dimotori oleh mahasiswa, sifatnya radikal dan seketika membalik keadaan. Sebaliknya, evolusi tidak dapat direkayasa, ia bersifat sangat-amat gradual, berangsur-angsur yang sangat tipis perubahannya secara bertahap sehingga tidak dikenali dan sukar dideteksi dalam jangka waktu dekat oleh para pelaku evolusi.
Ketika wabah pandemik COVID-19 belum memasuki bulan keempat, pemerintah Indonesia secara prematur telah mewacanakan dan mencanangkan konsep / kebijakan “THE NEW NORMAL”. Apakah hal tersebut masuk dalam kategori revolusi ataukah evolusi? Kembali kepada definisi / parameter antara evolusi dan revolusi, jelas bahwa pemerintah memaksakan diri dan memaksakan rakyatnya untuk “mencicipi” revolusi yang MUSTAHIL DIMENANGKAN melawan sang virus menular mematikan. Dapat dipastikan pemerintah Indonesia akan kalah, dan korban-korban kian bertumbangan, dimana nyawa rakyatnya sendiri yang menjadi taruhannya.
Tidak ada cara lain selain memutus mata rantai penularan sang virus mematikan, karena sebagaimana telah penulis singgung di muka, perang sepenuh hati secara “all out” melawan sang virus menular mematikan, adalah keniscayaan bukan kemustahilan. Kita tidak perlu bertaruh mengenai hal ini, akal sehat dan logika sederhana sudah cukup dapat membuktikan kebenarannya, dan tidak lama lagi akan terbukti dalam realitanya sebagaimana akan kita hadapi sendiri (a deadly prediction).
Sekali lagi, perang malawan sang virus menular mematikan HINGGA TUNTAS, bukanlah suatu kemustahilan, namun suatu KENISCAYAAN. Yang kita butuhkan bukanlah “THE NEW NORMAL”, namun “THE NEW FIGHT, BATTLE, & WARFARE”, dimana tidak hanya dokter yang dituntut untuk berperang, namun perang semesta-rakyat dimana setiap rakyat perlu dan wajib ikut serta terlibat aktif digerakkan untuk melawan sang wabah dengan memutus mata rantai penyebaran penularan sang virus, dimana pemerintah perlu menjadi motor penggeraknya (bukan sebagai provokatornya)—TIDAK ADA CARA LAIN (setidaknya untuk saat ini saat vaksin COVID-19 belum ditemukan, dan entah akan ditemukan, serta permasalahan efektifivitasnya). COVID-19 bukanlah seperti virus cacar, dimana pasien infeksi cacar yang pulih dan sembuh memiliki imunitas permanen untuk seumur hidupnya, COVID-19 bukanlah Virus Cacar.
Kita tidak dapat berkata bahwa “ada atau tidaknya kebenaran konsep “THE HARD IMUNITY” seperti yang dilontarkan oleh sejumlah pakar, karena kita akan terjebak dalam spekulasi yang tiada ujung pangkalnya, karena semua itu adalah asumsi yang mana kejadiannya belum akan terjadi dan belum tentu terbukti realitanya ke arah mana evolusi ini akan bergerak—bisa jadi sang virus akan bermutasi kian jinak atau sebaliknya berevolusi kian ganas sehingga vaksin pun menjadi tiada lagi gunanya saat ditemukan oleh para peneliti kita. Yang jelas, kita selalu terbuka pada setiap kemungkinan, sepanjang rasional.
Sepanjang masyarakat kita masih hidup dengan gaya dan pola sosial seperti sekarang ini, maka penyebaran penularan virus memastikan ini tidak akan kunjung usai, bahkan akan kian memarah kian hari. Namun, mari kita harapkan bahwa seluruh prediksi penulis AKAN KELIRU SEPENUHNYA—dimana bahkan penulis secara pribadi berharap amat-sangat bahwa prediksi penulis dalam bahasan ini akan meleset sepenuhnya dan bertolak-belakang dengan realita yang akan terjadi.
Kita boleh berharap, sepanjang harapan kita masih dalam koridor akal sehat serta rasionalitas yang logis berdasarkan fakta-fakta empirik di lapangan, bukan sekadar wacana serta berspekulasi. Pilihan ada di tangan kita sendiri, jangan pernah berharap kepada pemerintah yang semudah hendak melepas tanggung-jawab di republik serba penuh “blunder” tidak konsisten ini. Kesadaran pribadi kita masing-masing, itulah tawaran paling rasional yang dapat penulis tawarkan. Jika memang harapan tentang hard immunityakan terjadi sebagai solusinya, maka mengapa Virus HIV maupun Virus penyebab penyakit Demam Berdarah yang telah menghantui umat manusia selama puluhan tahun, tidak kunjung ditemukan vaksin maupun terbentuk antibodi alaminya?
Mohon ingatlah selalu, sekalipun Anda menjaga rumah Anda bersih dari air yang menggenang, nyamuk pembawa virus demam berdarah dapat saja mendatangi dan hinggap “bertamu” ke rumah Anda dan menginfeksi anggota keluar Anda, berterimakasih pada tetangga Anda yang “jorok” pola hidupnya—karena kita hidup saling berbagi ruang dan sumber daya, kecuali kita hidup seorang hidup di tengah-tengah hutan bersama para monyet yang bergelantungan di atas pohon. Sebelum semua terlambat, bila dahulu pada era Orde Baru rakyat-lah yang melakukan revolusi terhadap pemerintahan Orde Baru, maka pada rezim COVID-19 ini tampaknya pemerintah-lah yang perlu merevolusi para rakyatnya yang mem-bandel. Namun, ketika Mr. Presiden PLIN-PLAN telah melakukan press release, menyatakan pada publik agar kita berdamai dengan COVID-19 dan hidup berdampingan dengannya, maka itulah pertanda bahwa negeri terkasih kita telah mengalami DEADLOCK, SKAT MAT, GAME OVER, karena seorang Kepala Negara PANTANG untuk menarik kembali ucapannya di depan publik, namun disaat bersamaan tidak pantang untuk menyerah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.