Notaris Pembuat Akta, sebagai Saksi ataukah Turut Tergugat dalam Gugatan Perdata?

LEGAL OPINION
Question: Biasanya ketika mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, terkait perjanjian dengan memakai akta otentik notaris, maka pihak notaris perlu turut ditarik sebagai pihak “Turut Tergugat”, yang mana bila tidak maka hakim pengadilan biasanya akan secara sumir menyatakan gugatan “tidak dapat diterima” dengan alasan “kurang pihak”. Apakah akan lebih baik, bila strateginya ialah tidak menjadikan pihak notaris sebagai “Turut Tergugat”, namun sebagai “saksi” (pemberi kesaksian) demi kepentingan pihak Penggugat (diajukan sebagai saksi oleh pihak Penggugat)?
Bukankah cara seperti ini akan jauh lebih menguntungkan baik pihak Penggugat maupun pihak notaris itu sendiri, karena kesaksian notaris ketika dihadapkan sebagai saksi menjadi memiliki kekuatan pembuktian berupa kesaksian dan pihak notaris pun akan senang karena cukup sekali hadir di persidangan dalam memberikan kesaksian, dibanding jika pihak notaris didudukkan sebagai pihak Turut Tergugat yang akan membuat persidangan menjadi berlarut-larut dan keterangan sang notaris dalam surat jawaban (atas gugatan) tidak dapat dikategorikan dengan kualitas sebagai seorang pemberi kesaksian. Hakim pun biasanya akan menilai yang lebih berbobot ialah keterangan saksi, terlebih saksi yang memberi keterangan secara “dibawah sumpah”.
Brief Answer: Selalu terkandung resiko, dibalik setiap potensi, salah satunya siasat guna meng-akali status notaris, apakah akan ditarik sebagai pihak “Turut Tergugat” ataukah cukup dihadapkan sebagai pihak saksi yang dapat memberikan kesaksian yang menguntungkan bagi pihak pengaju saksi, yakni pihak Penggugat itu sendiri.
Namun demikian resikonya ialah, ketika proses persidangan telah demikian memakan waktu serta tenaga, pada saat masuk proses acara pembuktian berupa keterangan saksi, ternyata bila sang notaris tidak hadir karena satu atau lain sebab, maka gugatan dapat menjadi mubazir karena pastilah pihak Tergugat akan mengajukan “eksepsi” terhadap surat gugatan dan dikategorikan sebagai “kurang pihak”, yakni tidak turut digugatnya notaris bersangkutan sebagai pihak “Turut Tergugat”. Disaat bersamaan, tiada juga gunanya menghadirkan pihak notaris pembuat akta sebagai seorang “saksi”, karena telah terdapat akta otentik (buatan notaris) itu sendiri sebagai alat pembuktian yang bersifat formil.
PEMBAHASAN:
Dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS, bila memang pokok sengketa dalam gugatan keperdataan ini tersangkut-paut dengan akta-akta atau perjanjian / kontrak yang dibuat secara notariil di hadapan notaris selaku “pejabat umum”, maka tiada gunanya menarik pihak notaris pembuat akta sebagai pihak “Turut Tergugat” maupun sebagai “saksi” pemberi kesaksian di persidangan. Mengapa demikian?
Seorang notaris, telah memiliki sumpah jabatan untuk hanya memasukkan keterangan yang benar dalam produk legal yang diterbitkan olehnya, berupa akta-akta otentik. Artinya, sifat kekuatan pembuktian formil sebuah akta yang diterbitkan oleh seorang notaris, sifatnya seketika menjadi otentik secara “demi hukum” (kekuatan pembuktiannya bersifat “sempurna” menurut hukum acara perdata). Karenanya, adalah suatu kesia-siaan ketika pihak notaris pembuat akta dihadapkan ke persidangan baik sebagai “Turut Tergugat” maupun sebagai seorang “saksi”.
Ketika seorang notaris, baik didudukkan sebagai seorang “Turut Tergugat” maupun sebagai seorang “saksi”, memberikan keterangan atau jawaban ataupun kesaksian yang berbeda atau membantah substansi maupun kebenaran akta yang dibuat olehnya sendiri, hal demikian sama artinya sang notaris mengakui bahwa dirinya telah melanggar sumpah jabatan dan disaat bersamaan mengakui bahwa dirinya telah melanggar Kode Etik Jabatan Notaris.
Dilematika pertama dalam problematika hukum acara perdata kita di Indonesia yang masih sangat mengendepankan semangat “formalistik” ialah, sekalipun terpenuhinya sifat format surat gugatan dengan menyertakan pihak notaris pembuat akta sebagai “Turut Tergugat”, maka pihak notaris selaku “Turut Tergugat” sebagaimana biasanya hanya akan membuat satu lembar surat jawaban, yakni berisi : “Dengan ini Turut Tergugat menyatakan tetap sebagaimana keterangan yang tercantum dalam akta”. Sang notaris tidak akan membantah atau mengakui lebih daripada itu, apapun model dan substansi surat gugatan maupun jawaban pihak Tergugat.
Hal demikian adalah logis, bila sang notaris dalam surat jawabannya selaku “Turut Tergugat” justru menyatakan yang bertentangan atau bahkan diluar apa yang telah tercantum dalam akta yang dibuat olehnya sendiri, sama artinya dirinya seolah sedang membantah dirinya sendiri serta membantah akta yang dibuat olehnya sendiri (sesuatu yang “tabu” bagi kalangan notaris). Karenanya pula, menjadi tidak logis bila praktik peradilan masih mewajibkan model surat gugatan yang mencantumkan pihak notaris pembuat akta sebagai “Turut Tergugat”—karena memang tiada faedahnya—bahkan dalam praktik, membuat proses gugatan menjadi berlarut-larut serta tidak efisien, sementara keberadaan akta otentik sejatinya telah cukup memadai berisi informasi hukum yang memiliki kekuatan pembuktian formil bagi rujukan sang hakim pemeriksa dan pemutus perkara ketika membedah pokok perkara suatu sengketa keperdataan, karena sifat sebagaimana namanya yakni ialah “otentik”.
Namun, akan terlebih menimbulkan “moral hazard” ketika seorang notaris pembuat akta justru didudukkan sebagai seorang “saksi” (pemberi kesaksian di persidangan dalam agenda acara keterangan saksi), alih-alih didudukkan sebagai seorang “Turut Tergugat”. Betul bahwa pihak notaris sekalipun akan lebih senang didudukkan sebagai sebatas seorang “saksi”, karena cukup sebanyak satu kali datang ke pengadilan, daripada harus mengikuti seluruh proses gugatan dari awal persidangan hingga ketika putusan dibacakan ketika didudukkan sebagai pihak “Turut Tergugat”.
Meski demikian, yang tidak boleh kita lupakan ialah, seorang “pejabat umum” seperti seorang notaris, karena sumpah jabatannya serta etika (bukan Kode Etik Profesi Notaris, karena Kode Etik Profesi Notaris lebih menyerupai Anggaran Dasar sebuah Perseroan Terbatas ketimbang mengurai rambu-rambu “Etika”), mewajibkan seorang notaris perlu untuk senantiasa memposisikan dirinya sebagai pihak yang netral, tidak berpihak, tidak menunjukkan keberpihakan, tidak di-“sponsori”, tidak parsial (namun imparsial), yang oleh karenanya sifat netralitas seorang notaris akan runtuh ketika dirinya bersedia dihadirkan ke hadapan persidangan sebagai seorang “saksi” oleh permintaan salah satu pihak yang saling bersengketa di hadapan persidangan, baik oleh permintaan pihak Penggugat maupun oleh permintaan pihak Tergugat.
Ketika seorang notaris bersedia dihadapkan ke persidangan sebagai seorang “saksi”, tentu akan menimbulkan “conflict of interest”, oleh sebab bagaimana pun berdasarkan sumpah jabatannya seorang “pejabat umum” tidak membela atau mempertahankan kepentingan pihak yang membayar jasa sang notaris untuk membuat akta otentik notariil, akan tetapi senantiasa perlu memposisikan dirinya sebagai pihak yang netral posisinya.
Ketika dirinya bersedia dihadapkan ke depan persidangan sebagai seorang “saksi”, sama artinya dirinya telah menunjukkan keberpihakan, dan melukai perasaan maupun keadilan pihak lawan pengaju saksi, karena bagaimana pun baik pihak Penggugat maupun Tergugat sama-sama pernah membuat kesepakatan serta perjanjian kontraktual menggunakan jasa sang notaris pembuat akta.
Ketika seorang notaris bersedia diajukan ke hadapan persidangan sebagai seorang “saksi”, sama artinya sang notaris tengah mencoreng citra profesi notaris di mata publik, menjelma menjadi tidak lagi memiliki integritas sebagai “pejabat umum” yang tidak memiliki keberpihakan dan senantiasa netral (idealnya). Ibarat “polisi bayaran”, “tentara bayaran”, atau bahkan “hakim bayaran”, seorang notaris hendaknya tidak terjerumus dan terjebak menjual integritas serta harga-dirinya menjadi “notaris bayaran” sekalipun memang dirinya sedang menjual jasa—namun menjual jasa pembuatan akta notariil, bukan “menjual diri” dengan seolah menjadi pihak yang membela salah satu pihak yang bersengketa di pengadilan sebagai saksi bagi pihak Penggugat maupun sebagai saksi pihak Tergugat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.