Kiat Penting Menyusun Memori Banding / Kasasi, Idealnya Surat Memori / Kontra Memori Dibuat TEBAL ataukah TIPIS?

LEGAL OPINION
Question: Ketika hendak membuat surat “memori banding” ataupun “kontra memori banding” karena pihak lawan juga sama-sama mengajukan banding (upaya hukum) terhadap putusan Pengadilan Negeri, sebaiknya dibuat secara “tebal” dengan segudang dalil atau bagaimana, cukup sedikit saja? Sebenarnya ini memang masalah klasik bagai duri dalam daging, namun apakah artinya tidak dapat dipertanyakan bahaya dibalik setiap opsi yang ada, semisal konsekuensinya yang paling logis untuk dapat diterangkan?
Konon, saat tingkat kasasi ke Mahkamah Agung, para Hakim Agung lebih menyukai “memori kasasi” yang “tipis” saja, apa betul begitu? Banyak sekali kecacatan dan kejanggalan dalam putusan Pengadilan Negeri, yang ingin disinggung dan dituangkan ke dalam “memori banding”, namun (konsekuensinya) akan menjadi sangat “tebal”. Disini menjadi sangat dilematis dari sisi psikologis, bahkan sejak sebelum menyusun outline dalil dalam draf memori.
Semisal, hakim Pengadilan Negeri dalam putusannya membuat pernyataan yang tidak ada di kontrak yang menjadi objek sengketa, seolah terkesan hanya mengutip atau sekadar menyadur “mentah-mentah” dalil-dalil yang disampaikan pihak tergugat (tanpa benar-benar membutkikan dalil gugatan maupun dalil bantahan dengan cross-chek terhadap alat bukti), itu sudah merupakan bukti konkret persangkaan adanya kolusi antara hakim dan pihak tergugat. Apakah tentang isu ini juga sebaiknya disinggung dalam “memori banding”? Rasanya sayang sekali bila tidak disinggung dan dipermasalahkan kembali isu ini.
Brief Answer: Tidak menjadi relevan apakah draf surat Memori Banding, Memori Kasasi, Memori Peninjauan Kembali, maupun sebaliknya Kontra Memori Banding dan sebagainya, disusun secara “tebal” ataukah secara “tipis” saja, namun panduan utama yang dapat SHIETRA & PARTNERS kemukakan ialah : cukup masukkan dalil yang terpenting, dalil paling esensial, paling signifikan, serta paling tidak menyisakan ruang kelemahan barang setitik pun.
Telah banyak terjadi, sebagaimana pengalaman SHIETRA & PARTNERS maupun dari penuturan para klien, disamping ribuan putusan yang telah dan pernah SHIETRA & PARTNERS eksaminasi, terdapat satu “pola” yang terus berulang dalam praktik peradilan sehingga menjadi indikasi nyata tidak terbantahkan adanya unsur potensi kolusi antara hakim pemeriksa dan pemutus perkara terhadap salah satu pihak yang saling bersengketa di pengadilan, baik pada tingkat gugat-menggugat di Pengadilan Negeri, pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi, maupun pada tingkat Kasasi tidak terkecuali Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung RI, terletak pada celah yang ternyata dibuka oleh pihak pembuat “Memori” ataupun “Kontra Memori” itu sendiri—sehingga terkesan seolah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Kurang lebih seperti berikut modus yang berhasil SHIETRA & PARTNERS petakan dari berbagai putusan yang sudah-sudah dengan pola kolusi yang selalu serupa : Sebagai contoh pihak Penggugat / Tergugat hendak mengajukan upaya hukum Banding dengan disertai surat bernama “Memori Banding”. Di dalam “Memori Banding”, pihak Pembanding berniat memasukkan seluruh keberatannya secara berpanjang-lebar, dengan sebagai contoh, menuangkan sepuluh butir pokok keberatan. Dari kesepuluh dalil pada butir-butir pokok keberatan yang tertuang dalam “Memori Banding”, pihak Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi kemudian secara seketika langsung melompat atau meloncat pada butir ke-10 dan menyatakan dalil tersebut lemah serta tidak berdasar, mematahkannya, kemudian secara serta-merta mementahkan permohonan Banding dengan menyatakan menolak permohonan Banding yang diajukan oleh Pemohon Banding—sebuah antiklimaks yang prematur sebenarnya.
PEMBAHASAN:
Terdapat bahaya laten dibalik membuat butir-butir berisi dalil yang demikian masif, bilamana salah satu dalil pada butir-butir yang dituangkan ke dalam “Memori Banding” memang mengandung cacat atau kelemahan yang substansial, maka seolah-olah menjadi momentum alias kesempatan bagi “hakim nakal” untuk memanfaatkan celah tersebut guna “mencari-cari kesalahan”, dimana seketika itu juga “mematahkan”-nya dan menolak upaya hukum yang telah susah-payah diajukan oleh pihak Pembanding.
Tiada kewajiban dalam hukum acara, baik dalam hukum acara pidana maupun dalam hukum acara perdata, bagi sang hakim pemeriksa dan pemutus perkara untuk memeriksa dan mempertimbangkan seluruh dalil-dalil dalam “Memori Banding” ataupun sebaliknya “Kontra Memori Banding”, secara satu per satu, halaman per halaman, dan lembar per lembar. Sang “hakim nakal” dapat langsung melompat pada butir dalil yang paling mengandung kelemahan, dan seketika dengan mudah menyanggahnya, dimana seketika itu pula seluruh dalil-dalil pada kesembilan butir lainnya dianggap seolah-olah “tidak pernah ada” dan ditelantarkan /diabaikan begitu saja (sang hakim seolah “menutup mata”).
Sekalipun sejatinya kesembilan butir dalil lainnya sangat kuat sifatnya, bahkan tidak dapat dibantahkan olah seorang “hakim nakal” yang kerap “berjungkir-balik” secara akrobatik sekalipun, namun akibat terdapat “setitik nila rusak susu sebelanga”, maka hal demikian akan dimanfaatkan dengan baik oleh perilaku sang “hakim nakal” untuk cukup secara seketika berfokus mementahkan dan mematahkan dalil pada butir terlemah demikian, secara melompat seketika itu juga pada butir dengan dalil terlemah (secara sengaja “dicari-cari” oleh sang hakim) yang terkandung dalam “Memori Banding” maupun “Kontra Banding”.
Artinya, yang telah membuka celah ialah pihak penyusun “Memori Banding” atau “Kontra Banding” itu sendiri, dimana putusan yang “disponsori” oleh kolusi sang hakim pemeriksa dan pemutus perkara mendapat momentumnya berkat teknik “setitik nila rusak susu sebelanga”. Tidak penting, apakah butir dengan dalil terlemah demikian terdapat di tengah bundel dokumen “Memori Banding” ataukah ditempatkan pada urutan butir terakhir, karena sang hakim dapat secara seketika melakukan aksi “akrobatik” dengan cara mem-“by pass” dengan melompati serta melewati kesembilan butir dalil yang terkuat dan tidak dapat atau setidaknya sukar untuk terbantahkan, untuk seketika menuju kepada butir dalil nomor ke sepuluh dan mengkritiknya, meruntuhkannya, dan mematahkannya secara “sadistik” dan “berdarah dingin” tidak kenal ampun.
Teknik yang paling digemari kalangan “hakim nakal” demikian, berlaku pula dalam tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali, entah terhadap surat “Memori Kasasi” maupun terhadap “Kontra Memori Kasasi”. Karenanya, idealnya serta yang paling SHIETRA & PARTNERS rekomendasikan ialah bukan perihal tebal atau pendek-singkatnya surat “Memori” dirancang, disusun, serta dibuat, namun lebih kepada strategi efektifitasnya terkait “dalil yang paling FUNDAMENTAL” untuk dielaborasi serta diberdayakan secara optimal secara terfokus dan spesifik.
Sebagai contoh, sejatinya bila memang terdapat sepuluh buah calon butir dalil yang dinilai potensial, dapat dirancang strategi berupa menyortir dan memilih cukup tiga butir dalil pilihan yang terkuat, dimana tidak dapat dibantah dengan cara apapun baik oleh pihak lawan maupun oleh pihak hakim pemeriksa dan pemutus itu sendiri—dimana bila masih juga berani dibantah, maka akan tampak “aneh sendiri” dan “melawan arus hukum”.
Yang terpenting yang paling utama ialah, bila tiga butir dalil paling esensial pilihan tersebut kemudian dikabulkan dan tidak dapat dibantah oleh pihak manapun, namun karena sifatnya adalah butir-butir dalil pilihan yang paling esensial serta substansial disamping fundamental sifatnya, akibatnya sangat krusial serta sangat signifikan, yakni dapat membalikkan keadaan dari sebelumnya diposisikan sebagai pihak yang “dikalahkan” pada tingkat peradilan sebelumnya, menjadi berbalik “dimenangkan” pada tingkat peradilan saat kini.
Karenanya, sepuluh butir dalil atau sebanyak apapun butir dalil yang potensial untuk dituangkan ke dalam surat upaya hukum, sekalipun menggoda kita untuk menyinggung dan membahasnya untuk disuguhkan kepada hakim pemutus, bila dibandingkan dengan satu atau dua butir dalil yang sangat kuat sekaligus FUNDAMENTAL (tidak lagi terbuka ruang bantah-membantah), sangat esensial, serta sangat signifikan (dampak akibatnya bila dikabulkan), maka bobot satu atau dua butir dalil yang sangat esensial menjadi lebih berbobot dan lebih bernilai ketimbang “segudang” butir dalil yang kurang signifikan.
Semisal, bila kesepuluh butir dalil yang dituangkan ke dalam “Memori” ataupun “Kontra Memori” ternyata diakui, dibenarkan, dan disetujui oleh Majelis Hakim pada peradilan tingkat saat kini, namun karena sifatnya kurang esensial, kurang signifikan, maka belum tentu akan berdampak pada berubahnya posisi pengaju upaya hukum secara kontras dari “kalah” menjadi “menang”.
Karenanya, perlu dipertimbangkan bobot dari dalil-dalil yang diajukan, apakah signifikan atau tidaknya sekalipun dikabulkan—sementara resikonya sangat tidak sebanding, yakni membuka celah “setitik nila rusak susu sebelanga” bila ternyata berbagai butir keberatan mengandung dalil-dalil yang dapat dipatahkan dan dibantah secara sumir saja oleh pihak lawan atau sang “hakim nakal”.
Karena itu pula, kerelaan diri untuk melakukan “sortir” menjadi penting (terkadang, energi serta perhatian yang dibutuhkan untuk melakukan “sortir dalil” ternyata menuntut waktu, daya analisa, dan pemikiran yang tidak kalah keras dan menantang dibanding dengan menyusun dalil sebanyak apapun), sekalipun memang banyak kejanggalan dalam proses persidangan yang melanggar tertib hukum acara.
Namun, bila kita merasa adanya kesukaran dalam membuat pembuktian atas keseluruh dalil-dalil yang dimuat dalam surat “Memori” secara “segudang”, dapat menjelma “bumerang” yang sangat kontraproduktif—dimana sekalipun ternyata dibenarkan dan disetujui Majelis Hakim, belum tentu hasil atau dampaknya sangat signifikan untuk merubah keadaan dari “DITOLAKNYA GUGATAN” menjadi menjelma “DIKABULKANNYA GUGATAN”—itulah yang disebut sebagai dalil yang kurang substansial dan kurang esensial sekalipun dibenarkan dan dikabulkan oleh hakim, karena sifat pokok dalilnya kurang fundamental.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.