KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ketika Jaksa Penuntut Justru Memihak dan Pro terhadap Terdakwa, sementara Kewenangan Menuntut Dimonopoli Kejaksaan, Penuntutan Pidana sebagai Sarana Mencuci Dosa Pelaku Kejahatan

ARTIKEL HUKUM
Apa jadinya, bila Jaksa Penuntut Umum justru menjadi pembela perilaku jahat pelaku kejahatan yang dituntut oleh sang Jaksa Penuntut, bukankah hal demikian menjadi “conflict of interest”, mengingat Jaksa Penuntut melakukan upaya penuntutan mewakili serta (semestinya) demi kepentingan korban pelapor, mengingat Kejaksaan memonopoli kewenangan menuntut? Apakah tidak mungkin, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum menjelma sarana “mencuci dosa” para Terdakwa? Seperti apa sajakah, “moral hazard” dibalik kewenangan monopolistik menuntut yang selama ini menjadi kewenangan tunggal Kejaksaan, serta apakah masih ada relevansi monopolistik mengakses keadilan pidana bagi korban tindak kriminal demikian?
Negara, dalam hal ini diwakili oleh institusi Kejaksaan, mewakili pihak sipil selaku korban pelapor dalam mendakwa dan menuntut pelaku kejahatan ke hadapan pengadilan perkara pidana. Namun, sifatnya adalah sebuah tawaran, opsional, ataukah linear menjadi kewenangan monopolistik lembaga Kejaksaan untuk mengakses peradilan pidana bagi seorang warga korban pelapor? Jika kita masih memakai semangat kolonial penjajah era Kolonial Belanda, dimana pemerintah Kolonial Belanda yang mencoba membungkam aksi-aksi perlawanan rakyat jajahan, menjadi wajar dan tidak mengherankan bila Kejaksaan yang dibentuk pemerintah kolonial tersebut yang memonopoli. Namun, di era demokrasi ini, menjadi tidak lagi relevan ketika hak mengajukan tuntutan pidana masih diemban secara monopolistik oleh kalangan Kejaksaan.
“Momok” kewenangan monopolistik Kejaksaan, menjelma kekuasaan yang mutlak dan absolut, sekalipun Lord Acton telah pernah mengingatkan : “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Sudah sejak lama, kewenangan monopolistik menuntut pihak lembaga Kejaksaan hendak “digugat” oleh rakyat sipil selaku korban pelapor, dimulai dari kekecewaan Suciwati, istri almarhum Munir sang aktivis, yang menilai dakwaan Jaksa disusun secara lemah, dibiarkan membuka celah bagi Terdakwa untuk meloloskan diri dari dakwaan, serta tidak optimal menuntut.
Berlanjut pada kasus pidana penipuan yang korbannya ialah klien dari penulis. Namun, pihak Kejaksaan justru menuntut agar sang pelaku dinyatakan oleh Majelis Hakim sebagai “terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, namun perbuatan Terdakwa tersebut bukan dalam ranah pidana melainkan sebagai ranah perdata, sehingga Terdakwa dinyatakan ‘lepas dari segala tuntutan hukum’.” Dalam tingkat Pengadilan Negeri, sang Terdakwa divonis sebagai sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan, dengan amar putusan berupa pidana penjara selama sekian tahun lamanya. Namun, dalam tingkat banding yang diajukan oleh pihak Terdakwa, putusan Pengadilan Negeri dianulir oleh Pengadilan Tinggi, dan “Mengadili Sendiri : Menyatakan Terdakwa LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (onslag van recht vervolging).”
Penulis selaku Konsultan Hukum sang klien, kemudian bertanya pada yang bersangkutan, apakah pihak Kejaksaan mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi demikian? Sang klien hanya menjawab dengan nada satiris : “Jika yang dituntut Kejaksaan ialah agar Terdakwa dilepaskan, apa tidak menjadi aneh jika putusan Pengadilan Tinggi menyatakan Terdakwa dilepaskan, masih juga Kejaksaan mengajukan kasasi? Jika seluruh isi tuntutan Jaksa sudah dikabulkan Hakim Pengadilan Tinggi, atas dasar apa lagi Kejaksaan masih juga akan mengajukan kasasi? Pihak Kejaksaan bahkan tidak pernah meminta input dari korban pelapor, seperti apakah mereka akan merumuskan pasal-pasal dakwaan ataupun vonis hukuman dalam tuntutan. Jelas bahwa pihak Jaksa Penuntut ada bermain kolusi dengan pihak Terdakwa sehingga membuat rumusan surat tuntutan yang seolah ‘mencuci kejahatan’ pihak Terdakwa. Dengan kata lain, tuntutan Jaksa justru menguntungkan pihak Terdakwa itu sendiri, dan secara kontradiktif bertentangan dengan kepentingan warga korban pelapor.”
Sang klien lalu bertanya kepada penulis, yang tersentak atas penjelasan demikian oleh sang klien, apakah mungkin bila Undang-Undang Kejaksaan diajukan uji materiil (judicial review) ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI? Jawaban penulis klise saja, dimana Mahkamah Konstitusi RI kerap membuat putusan yang menguntungkan posisi hukum para Hakim Konstitusi itu sendiri, seperti ketika secara “ultra petitum” mengamputasi kewenangan Komisi Yudisial untuk mem-supervisi kalangan kehakiman yang oleh Mahkamah Konstitusi RI dinyatakan pula Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi Mahkamah Konstitusi RI selain terhadap Mahkamah Agung RI dan jajaran dibawahnya. Begitu pula berbagai putusan-putusan kontroversial yang mana semestinya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi justru ditolak dan yang semestinya ditolak justru dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI seperti uji materiil berantai yang diajukan oleh Setya Novanto, sang mega koruptor, hingga jual-beli amar putusan yang menjerat para Hakim Konstitusi seperti Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Karenanya, Mahkamah Konstitusi RI bukanlah bagian dari solusi, namun bagian dari masalah itu sendiri eksistensinya.
Pihak Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, diberitakan menuntut secara amat ringan kedua pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, dengan dakwaan yang sangat ambigu karena justru memihak pihak Terdakwa, seperti menyatakan menyiram secara tidak disengaja ke arah wajah dengan air keras yang dibawa dari Mabes POLRI (mungkinkah?), telah meminta maaf pada korban pelapor (jika meminta maaf, mengapa melarikan diri selama sekian tahun), dan satu mata korban menjadi buta sementara mata satunya lagi tersisa daya penglihatan hanya sebatas 40% disebut Jaksa sebagai penganiayaan dengan luka ringan (bukan luka berat), status para Terdakwa yang merupakan personel aktif Kepolisian justru dianggap sebagai hal yang meringankan kesalahan alih-alih sebagai faktor yang memperberat kesalahan akibat melawan tanggungjawab dan kewajibannya untuk menegakkan hukum dan melindungi masyarakat bukan sebagai agen / aktor kejahatan itu sendiri.
Kedua pihak Terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, dituntut (oleh Kejaksaan yang tidak pernah berkoordinasi dengan pihak Korban Pelapor) masing-masing satu tahun penjara dipotong masa tahanan. Dimanakah efek jera bagi pelaku kejahatan lainnya, seolah negara lewat Kejaksaan hendak mempertontonkan dan memberikan teladan kepada publik, bahwa “hukum tumpul ke atas, sementara hukum yang sama akan tajam ke bawah”. Seolah-olah pejabat negara bebas untuk berbuat kriminal, sementara bila orang lemah dan orang kecil menjadi salah sendiri bila menjadi korban kejahatan para pemegang kekuasaan negara.
Dengan dakwaan yang demikian rendah dan lemah, lebih baik bagi perasaan pihak korban pelapor bila kedua Terdakwa tidak pernah didakwa sama sekali, hanya sekadar menjadi persidangan “formalistis” guna “mencuci tangan” institusi Kepolisian (pencitraan telah berhasil “mengungkap” tindak kriminal, meski kedua Terdakwa membuat laporan pengakuan yang diragukan oleh Korban Pelapor) serta untuk menutupi jejak pelaku kejahatan yang sebenarnya (aktor intelektual) ketika kedua Terdakwa didakwa hingga berkekuatan hukum tetap sebagai upaya pengalihan isu pemegang kekuasaan yang menjadi otak kejahatan penyiraman air keras kepada Korban Pelapor yang telah banyak membongkar skandal mega korupsi para petinggi dan pejabat POLRI (Kepolisian Republik Indonesia).
Segala pengakuan Terdakwa, penyidikan, hingga proses penuntutan, hanyalah sandiwara belaka karena pihak Penyidik hingga Penuntut tidak pernah transparan kepada pihak Korban Pelapor yang menjadi saksi mata langsung tindak kriminal yang dialami olehnya, dimana Korban Pelapor juga merupakan seorang investigator yang paham betul teknik-teknik investigasi yang benar di institusi penyidik Kepolisian. Akan lebih adil bagi pihak Korban Pelapor, bila pelaku kejahatan yang sebenarnya diberi ganjaran dengan Hukum Karma saja, dan tanpa pernah ada Terdakwa “gadungan” yang dijadikan “bumper” untuk “mencuci dosa” sang aktor intelektual yang paling bertanggung-jawab atas insiden yang jelas-jelas disengajakan dan direncanakan demikian. Karena, adalah tidak wajar, bila mengaku tidak sengaja, mengapa kejadian demikian telah direncanakan terlebih dahulu, air keras yang telah dipersiapkan terlebih dahulu ke daerah kediaman sang korban, air aki manakah juga yang bisa membuat beton melepuh, seketika itu pula para pelakunya “tancap gas” dan melarikan diri tanpa memeriksa keadaan korban ataupun melarikannya ke rumah sakit untuk mendapat penanganan secara segera.
Itulah yang disebut sebagai pencitraan, dimana citra POLRI sempat meningkat di mata rakyat ketika POLRI mengklaim telah menemukan atau berhasil mengungkap pelaku kejahatan yang menyiram wajah Novel Baswedan dengan air keras. Begitupula ketika kedua Terdakwa divonis pidana, seolah negara telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam melindungi rakyat, sekaligus menjadi teladan bagi para penjahat bahwa negara akan melindungi pelaku kejahatan, lewat dakwaan dan tuntutan yang lemah. Tidak menjadi mengherankan, bila Novel Baswedang “menggugat” Presiden Joko Widodo, “Seperti inikah penegakan hukum yang Pak Presiden bentuk dan usung?” Bahkan sang presiden RI ini berulang-kali bungkam terhadap permintaan Tim Pencari Fakta yang sudah sejak lama meminta agar dibentuk penyidik dan penuntut independen yang “ad hoc” diluar POLRI dan Kejaksaan agar imparsial dalam menyelesaikan kasus yang telah lama berlarut-larut tanpa titik terang ini.
Mari kita petakan berbagai skenario yang mungkin terjadi terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dengan tuntutan berupa masing-masing satu tahun penjara bagi para pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan yang sama-sama merupakan aparatur penegak hukum (dimana sang korban adalah ujung tombak dan tulang punggung penegakan hukum anti korupsi di Republik Indonesia):
1. Terdakwa divonis pidana penjara 15 tahun penjara, maka Terdakwa akan mengajukan banding;
2. Terdakwa divonis pidana penjara kurang dari 1 tahun penjara atau bahkan dibebaskan, maka Kejaksaan akan mengajukan upaya hukum banding;
3. Terdakwa divonis pidana penjara sebagaimana tuntutan maksimum Jaksa Penuntut Umum, yakni 1 tahun penjara dalam tingkat Pengadilan Negeri, maka apakah Kejaksaan akan mengajukan upaya hukum banding ataupun kasasi bila baik Pengadilan Negeri ataupun pengadilan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi menjatuhkan vonis pidana penjara 1 tahun kepada para Terdakwa?
Betul bahwa Majelis Hakim perkara pidana, secara preseden, dibolehkan untuk memutus secara “ultra petitum” atas tuntutan sanksi pidana penjara yang diajukan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum, semisal Pengadilan Negeri menjatuhkan vonis pidana penjara 15 tahun penjara, sekalipun Kejaksaan hanya menuntut selama 1 tahun penjara bagi para Terdakwa. Namun, ketika dalam tingkat Banding, Pengadilan Tinggi menganulir putusan Pengadilan Negeri dan merevisi sanksi hukuman menjadi sebatas 1 tahun penjara, maka apakah pihak Kejaksaan akan mengajukan upaya hukum Kasasi? Jika seluruh tuntutan maksimum yang diminta Jaksa Penuntut Umum telah dikabulkan seluruhnya oleh Majelis Hakim, maka atas dasar apa pihak Kejaksaan mengajukan Kasasi?
Itulah, pemidanaan sebagai sarana “cuci tangan” (kemunafikan) dan pencitraan, “cuci dosa” yang sangat murah sekaligus “picisan”, sandiwara murahan ala “opera sabun” yang kian melukai perasaan korban maupun nurani rakyat jelata, mengumbar kemunafikan dan “libido” kebiadaban para pemangku kekuasaan di republik ini. Lebih baik biarkan kasus kriminal yang menimpa sang Korban Pelapor selamanya menjadi misteri, dimana pihak POLRI tidak berhak untuk mendongkrak citra “semu” dengan berbagai itikad artifisial yang diragukan ketulusan terlebih kejujurannya dalam menegakkan hukum terlebih untuk diharapkan mampu mengungkap kebenaran.
Penulis secara pribadi, tidak jarang mengalami kejahatan sebagai korban, mulai dari korban penyerobotan tanah, sengketa hak cipta, penganiayaan, penipuan, tidak dibayarkannya fee jasa profesi, pemerasan oleh Aparatur Sipil Negara, pengabaian / penelantaran oleh pihak berwajib, dan berbagai modus kejahatan lainnya, secara demikian masif dari bangsa kita sendiri yang mengaku-ngaku sebagai “beragama” (penjajahan oleh bangsa sendiri). Namun disaat bersamaan, baik penulis maupun keluarga penulis lebih memilih untuk tidak menempuh upaya hukum seperti gugatan perdata ataupun tuntutan pidana, karena hukum kita korup, aparatur penegak hukum kita korup, polisi kita korup, jaksa kita korup, hakim pengadilan kita pun tidak kalah korupnya, bahkan pengelola penjara kita tidak kalah korup sebagaimana korup-nya para kriminal di republik ini layaknya kalangan “profesi preman” semacam pelaku aksi-aksi premanisme yang ternyata dipelihara oleh pemegang kekuasaan.
Bukan hanya pihak penulis dan keluarga penulis yang memilih untuk menyerahkan proses hukum para pelaku kejahatan yang selama ini kerap menjahati penulis dan keluarga penulis kepada hakim dan eksekutor dari Hukum Karma, namun rata-rata masyarakat kita yang juga setidaknya pernah mengalami kejahatan serupa, memilih untuk tidak melaporkan atau melaporkan akan tetapi ternyata tidak ditindak-lanjuti oleh polisi alias diabaikan dan ditelantarkan—alias merugi dua kali, rugi sebagai korban kejahatan, juga rugi waktu dan rugi perasaan ketika laporan / aduan tidak disikapi sebagaimana mestinya seolah “tebang pilih”. Negara kita benar-benar tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat.
Jika seluruh pelaku kriminal di negeri kita dibekuk dan diproses pidana sebagaimana mestinya, dapat dipastikan berbagai penjara kita tidak akan sanggup menampung para narapidana yang sangat produktif sekali dicetak dari dan di tengah-tengah masyarakat kita sendiri, dan dapat dipastikan pula hampir seluruh polisi kita, jaksa kita, hakim kita, pejabat negara kita, tidak jarang turut menjadi terhukum yang dijebloskan ke balik jeruji penjara, dimana bahkan separuh dari hampir tiga ratus juta penduduk kita di Indonesia akan turut berstatus “penjahat kriminil” bernama narapidana—seolah sebagai “prestasi” yang patut dibanggakan? Agamais, namun kriminal, ataukah mungkin bangsa kita memiliki “double personality”?
Apakah bisa menjadi alasan pembenar maupun alasan pemaaf, ketika kuasa hukum para Terdakwa menyatakan bahwa mata Novel Baswedan sang Korban Pelapor, menjadi buta karena salah penanganan medik? Jika benar demikian, pertanyaan utamanya ialah : memangnya si pelaku ada bentuk tanggung-jawab seperti segera mengobati atau mengevakuaski korban ke rumah sakit yang kompeten untuk ditangani? Sang pelaku justru seketika itu tancap gas dan menjadi “tabrak lari”, sebelum kemudian bersembunyi setelah melarikan diri selama bertahun-tahun lamanya.
Causa prima”-nya adalah penyiraman yang dikategorikan sebagai “sengaja sebagai kepastian” (mata pasti akan buta disiram air keras ataupun air aki), setidaknya dapat digolongkan sebagai sebentuk “sengaja sebagai kemungkinan” (dapat membutakan, karena memang pelakunya tidak memberi pertolongan medik apapun sebagai pertolongan pertama pada “kecelakaan” yang dibuat oleh sang pelaku secara direncanakan demikian).
Itu adalah argumentasi “sesat” lawyer dari para Terdakwa yang tidak punya hati nurani, baik sang lawyer maupun para Terdakwa, seolah adalah salah sang Korban itu sendiri karena tidak menangani lukanya sendiri dengan baik sekalipun itu perbuatan para Terdakwa, sekalipun telah dituntut dengan tuntutan yang demikian minim oleh pihak Jaksa Penuntut Umum. Rupanya, itulah cerminan representasi hasil didikan personel organik selama sepuluh tahun di tubuh POLRI, yang diberikan kepercayaan oleh para korps Kepolisian pada POLRI untuk menghukum “penghianat” (karena menjadi pegiat / penyidik anti korupsi)? Bila para Terdakwa adalah personel pilihan POLRI untuk menghukum “penghianat”, maka dapat kita bayangkan personel “sampah” yang bersemayam di tubuh POLRI. Berarti, bagi mereka melindungi koruptor di tubuh POLRI, menjadi “pahlawan” di mata POLRI? Rupanya, itulah definisi POLRI atas asas “akuntabilitas”, “transparansi’, dan “penegakan hukum” (baca : “hukum rimba”).
Sekalipun tuntutan Jaksa Penuntut Umum telah demikian menyayat hati, tuntutan pidana penjara maksimal satu tahun penjara yang membuat iri hati para pelaku “maling ayam”, masih juga para personel aktif POLRI tersebut mendiskreditkan Novel Baswedan selaku Korban. Jika para Terdakwa benar-benar menyesali perbuatannya, mengapa justru menyalahkan pihak Korba? Apa itu yang disebut sebagai tulus dan betul-betul meminta maaf kepada Korban? Pernyataan personel POLRI yang menjadi Terdakwa demikian dipekeruh oleh kalangan profesi pengacara yang jauh dari kesan “etis” dalam membela klien-nya, menambah parah luka batin sang Korban, seolah mata yang menjadi buta belum cukup menjadi siksaan bagi Korban perbuatan Terdakwa dan institusi yang berdiri kokoh-angkuh di belakang aksi para Terdakwa.
 Jika betul-betul menyesali perbuatannya, mengapa para Terdakwa seketika itu juga kabur melarikan diri selepas melakukan aksi yang menurut mereka “tidak sengaja”, sampai betahun-tahun lamanya? Jika benar-benar tidak sengaja, maka menjadi janggal bila para pelakunya justru melarikan diri seketika itu juga. Jika benar-benar bertanggung-jawab, mengapa para Terdakwa tidak seketika itu juga langsung membawa Korban ke rumah sakit untuk diberi pertolongan medik, alih-alih kabur melarikan diri—sehingga, keseluruh aksi “actus reus” para pelakunya demikian jelas-jelas mengindikasikan niat batin (mens rea) berupa KESENGAJAAN untuk mencelakai, “sengaja sebagai maksud / kepastian”, pasti buta bila mata Korban disiram air keras lalu kabur begitu saja para pelakunya tanpa diberi pertolongan secara sesegera mungkin.
Yang memiliki beban tanggung-jawab untuk membawa evakuasi ke rumah sakit, apakah Korban itu sendiri (bagaimana mungkin, Korban yang mata dan wajahnya tersiram air keras, mengevakuasi dirinya sendiri ke rumah sakit lengkap dengan biaya dari saku sendiri?), keluarga korban, atau para pelaku itu sendiri yang PALING BERTANGGUNG-JAWAB untuk itu? Mengapa seolah, kesemua itu menjadi tanggung-jawab pihak Korban yang sudah dikorbankan masih juga menjadi korban putar-balik logika moral, dimana pelakunya bebas dan berhak untuk kabur dan melarikan diri begitu saja dari tanggung-jawab terhadap keselamatan korbannya?
Rupanya, itulah SOP yang berlaku bagi para personel POLRI alias hasil didikan POLRI selama ini ketika terjadi tindak pidana semacam penyiraman air keras ke wajah warganegara yang seyogianya dilindungi Kepolisian, justru pihak korban yang dipersalahkan, dan disaat bersamaan para pelaku kriminalitas yang dibela POLRI? Apakah seperti itu, sumpah jabatan di tubuh POLRI beserta jajaran dibawahnya? Jika memang begitu adanya, maka dapat kita sebutkan bahwa POLRI beserta jajaran dibawahnya merupakan “musuh” segenap rakyat, menjadi aktor kejahatan itu sendiri yang bahkan diberi kewenangan monopolistik untuk menyandang senjata api dan untuk memborgol.
Disebutkan, motif para Terdakwa ialah “sakit hati” (membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian),  yang disampaikan Terdakwa sangat terkait dengan kerja Novel Baswedan sang Korban, selama sang Korban bertugas dan mengabdi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bila Korban tidak pernah mengenal para Terdakwa, maka apakah mungkin para Terdakwa “sakit hati”? POLRI bukan milik para Terdakwa, dan yang disidik Korban selaku petugas KPK juga bukan para Terdakwa.
Bila para petinggi POLRI tidak “sakit hati” kepada Korban, mengapa para Terdakwa yang “bukan siapa-siapa” di POLRI, merasa “sakit hati” untuk dan atas nama POLRI? Apakah para Terdakwa pernah mendapat Surat Kuasa dari POLRI untuk membenci dan untuk “sakit hati” sosok Novel Baswedan? Jika yang terakhir disebutkan ini adalah fakta yang ada, maka sejatinya para Terdakwa sedang mewakili institusi POLRI beserta pada penguasa pada institusi tersebut untuk “membungkam” sang petugas KPK.
Sehingga, aktor intelektualnya “di balik layar” tidak lain ialah para petinggi POLRI itu sendiri. Adalah mustahil, bila para Terdakwa “sakit hati” karena urusan pribadi dengan sang Korban, karena Novel Baswedan menyatakan tidak pernah kenal para Terdakwa. Rupanya, itulah wujud “fight back” para koruptor yang berseragam dan berkuasa di tubuh POLRI, dimana koruptor ternyata lebih “galak” daripada korbannya, lebih “galak” daripada aparatur penegak hukum anti korupsi, terlebih akan lebih “galak” daripada rakyat sipil. POLRI seolah hendak memberi kita selaku publik, sinyalemen komunikasi secara tidak langsung : JANGAN MACAM-MACAM TERLEBIH COBA-COBA MENGUSIK POLRI, SESALAH DAN SEKOTOR APAPUN TUBUH POLRI, ATAU ANDA AKAN MENJADI NOVEL BASWEDAN KEDUA. HANYA POLRI DAN POLISI YANG BOLEH MENGUSIK RAKYAT, NAMUN TIDAK SEBALIKNYA.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.