LEGAL OPINION
Question: Apakah “shareholder agreement” atau semacam “joint venture agreement” antar para pendiri suatu perusahaan (Perseroan Terbatas), pada suatu hari nanti salah satu pihak pendiri hendak menjual saham perusahaan ini kepada phak ketiga, maka apakah artinya isi klausul-klausul yang sebelumnya disepakati para pendiri dalam “shareholder agreement” ini, juga akan turut beralih kepada pembeli atau pemegang saham baru yang artinya menggantikan posisi atau kedudukan hukum pendiri lama terhadap pihak pendiri lainnya?
Juga jika pihak pendiri lainnya menjual saham perusahaan, apakah pihak ketiga yang membeli saham dari pendiri lainnya tersebut akan terikat pada “shareholder agreement” yang disepakati para pendiri saat kali pertamanya perusahaan didirikan? Bagaimana jika pada perusahaan ini nantinya, sudah tidak ada satu pun lagi diantara para pendirinya yang masih memegang saham karena telah dijual, apakah artinya pembeli atau pemegang saham baru menjadi terikat atau dapat menuntut pemegang saham lain berdasarkan isi pasal-pasal dalam “shareholder agreement” yang dahulu pernah disepakati dan dibentuk oleh para pendiri perusahaan?
Bagaimana pula bila satu orang pendiri, menjual separuh dari total saham miliknya kepada pihak pembeli, apakah pemegang saham baru ini juga artinya punya hak dan kewajiban yang sama dengan pihak pendiri dalam “shareholder agreement” tersebut? Sebelumnya, “shareholder agreement” itu sebetulnya apa, dan dimana letak kedudukan daya ikat hukumnya bagi para pendiri setelah perusahaan kemudian berdiri dan beroperasi dalam jangka panjang?
Brief Answer: Itulah salah-kaprah yang dalam realitanya selama ini banyak SHIETRA & PARTNERS jumpai persepsi serupa dari tidak sedikit kalangan pengusaha di Tanah Air, bahkan tidak sedikit kalangan Konsultan Hukum di Indonesia yang membuat kesan seolah sebuah “Shareholders Agreement” adalah akhir dari segalanya atau segalanya yang dapat mengikat sepanjang waktu para pemegang saham selama Perseroan Terbatas masih berdiri, sekalipun saham kemudian dialihkan kepada pihak ketiga sebagai pihak Pemegang Saham yang baru.
Seorang Legal Drafter yang terampil, tidak akan memaksakan agar Anggaran Dasar perseroan disesuaikan seperti isi kesepakatan dalam “Shareholders Agreement” yang “bebas sebebas-bebasnya” (asas kebebasan berkontrak), namun sebaliknya, substansi yang dapat diatur dan disepakati dalam “Shareholders Agreement” seyogianya dapat diakomodir dalam rumusuan pasal-pasal dalam Anggaran Dasar dan Pendirian Perseroan Terbatas—sehingga, dengan kata lain, rumusan dalam substansi “Shareholders Agreement” oleh para calon pendiri yang perlu menyesuaikan dirinya dengan draf / rancangan Anggaran Dasar dan Pendirian Perseroan Terbatas.
Model pendekatan yang seolah memutar-balik proses alur demikian, diperlukan agar “Shareholders Agreement” tidak menjadi kontradiktif dikemudian hari saat Perseroan Terbatas telah resmi terbentuk dan beroperasi—terlebih ketika saham kemudian dialihkan oleh pihak pendiri kepada para Pemegang Saham yang baru.
“Shareholders Agreement”, merupakan sebuah penjajakan / proposal / proyeksi sebelum Anggaran Dasar dan Pendirian suatu Perseroan Terbatas benar-benar resmi dibentuk, dimana substansi pada “Shareholders Agreement” kemudian dituangkan ke dalam Anggaran Dasar dan Pendirian dari Perseroan Terbatas, namun apa yang tidak dapat dituangkan atau tidak dapat diakomodir dalam rumusan format suatu Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, maka substansi dalam “Shareholders Agreement” hanya berlaku saat Perseroan Terbatas pertama kali didirikan, tidak ketika Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) berikutnya dikemudian hari diselenggarakan, maka Pemegang Saham “Mayoritas” yang memiliki kewenangan mutlak sekalipun keputusannya dalam RUPS menyimpangi substansi “Shareholders Agreement”—mengingat saham sifatnya dapat dijual / dialihkan kepada pihak ketiga pada suatu waktu dengan prosedur tertentu oleh para pendiri semula.
Ketika Anggaran Dasar dan Pendirian dari Perseroan Terbatas telah terbentuk, maka “Shareholders Agreement” sudah tidak lagi memiliki validitas apapun lagi untuk dapat mengikat para pihak yang kini menjadi pihak pendiri sekaligus para pemegang saham “perdana” suatu badan hukum Perseroan Terbatas. “Shareholders Agreement”, karenanya menurut sifat yuridisnya, tidak lagi mengikat para pihak setelah Anggaran Dasar dan Pendirian Perseroan Terbatas telah sah dan efektif terbentuk sebagai satu-satunya sumber hukum internal Perseroan Terbatas yang mengikat para Pemegang Saham disamping ketentuan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
Seringkali, “Shareholders Agreement” mengatur salah satunya ialah siapa yang memiliki kewenangan menunjuk / mengangkat Direksi dan Dewan Komisaris. Ketika substansi dalam “Shareholders Agreement” tersebut telah efektif mencantumkan siapa sajakah pejabat Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana disepakati para calon pendiri dalam “Shareholders Agreement”, maka dikemudian hari, semisal pada tahun berikutnya, Perseroan Terbatas dapat mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan maupun RUPS Luar Biasa (insidentil) dengan berita acara “merubah pejabat Direksi maupun Dewan Komisaris”, dimana yang berhak dan berwenang membuat keputusan ialah Pemegang Saham Mayoritas dengan “Hak Suara”—bukan lagi merujuk pada “Shareholders Agreement”.
PEMBAHASAN:
Salah satu kesepakatan dalam “Shareholders Agreement” yang sudah benar rumusannya dan dapat diakomodir dalam Anggaran Dasar dan Pendirian Perseroan Terbatas, ialah perihal komposisi perbandingan penguasaan jumlah saham antar para pihak pendiri, semisal komposisi 51 : 49 ataukah 50 % plus 1 lembar saham, dan model rancangan / rumusan komposisi lainnya, dimana akan tampak pihak manakah yang akan menjadi “Pemegang Saham Moyoritas” maupun “Pemegang Saham Minoritas”. Akan lebih kompleks, bila pihak calon pendiri lebih dari dua pihak. Namun, kesepkatan dalam “Shareholders Agreement” perihal komposisi penguasaan saham, dapat diakomodir dalam Anggaran Dasar dan Pendirian Perseroan Terbatas—sekalipun, dalam setiap kesempatan SHIETRA & PARTNERS selalu mengingatkan agar klien tidak pernah berinvenstasi pada Perseroan Terbatas yang tidak menjadikan dirinya “Pemegang Saham Mayoritas”, terkecuali menguasai saham dengan “Hak Suara Priviledge” yang tidak dimiliki “Pemegang Saham Mayoritas”.
“Shareholders Agreement”, dapat kita analogikan sebagai Perpanjian Pengikatan Jual Beli sebuah hak atas tanah, dimana produk hukum finalnya ialah Akta Jual-Beli antara penjual dan pihak pembeli. Produk yang paling mengikat secara sah dan efektif secara hukum, ialah substansi dalam Akta Jual-Beli yang merupakan finalisasinya, bukan lagi Perpanjian Pengikatan Jual Beli. Sama halnya, “Shareholders Agreement” dapat kita sebut sebagai “tiket sekali pakai” yakni saat pertama kali secara perdana mendirikan suatu Perseroan Terbatas oleh para pendirinya yang semula.
Logika sederhananya ialah, sebenarnya pertanyaan sudah terjawab dalam pertanyaan yang menjadi isu hukum itu sendiri, yakni bagaimana bila salah satu dari pihak pendiri menjual separuh sahamnya kepada pihak ketiga yang kini menjadi anggota Pemegang Saham (yang) baru, maka apakah artinya kewenangan pihak pendiri yang menjual separuh sahamnya kepada pihak ketiga tersebut, seperti kewenangan mutlak untuk menunjuk pihak Direktur Utama sebagaimana tertuang dalam “Shareholders Agreement” (yang dibuat sebelumnya oleh para calon pendiri), menjadi turut pula “diwarisi” atau beralih kepada pihak ketiga bersangkutan? Itu sama artinya satu subjek hukum pihak pendiri kemudian terpecah menjadi dua subjek hukum yang berhak untuk menunjuk dan mengangkat pihak Direktur Utama, sehingga menjadi mustahil dapat dimaknai bahwa sebuah “Shareholders Agreement” dapat tetap memiliki validitas paska Akta Anggaran Dasar dan Pendirian Perseroan Terbatas telah resmi terbentuk yang menjadi penanda berdirinya Perseroan Terbatas.
Karenanya, rumusan “Shareholders Agreement” yang baik dan benar, bukanlah mencantumkan Pihak Pertama ataupun Pihak Kedua yang berwenang menunjuk dan mengangkat Direksi ataupun Dewan Komisaris, namun menyepakati “klasifikasi saham”, mengingat sebuah badan hukum berupa Perseroan Terbatas “tertutup” (private company) yang bukan “Perseroan Terbuka” (go public) sekalipun, dapat mengatur perihal “Klasifikasi Saham”. “Klasifikasi Saham” yang paling sederhana ialah mengatur perihal pembagian dua jenis kriteria saham, yakni “Saham dengan Hak Suara” (untuk menghadiri kuorum dan voting dalam RUPS) dan “Saham tanpa Hak Suara” (saham yang hanya memberi hak pada pemegangnya berupa hak atas deviden hasil usaha).
Namun, dalam pembentukan “Shareholders Agreement”, “Klasifikasi Saham” dapat dibuat sedemikian ter-diversifikasi sesuai maksud dan tujuan para pendiri badan hukum, semisal antara para calon pendiri disepakati sebagai berikut : Pihak Pertama memiliki satu-satunya lembar saham dengan Hak Suara “Priviledge” (saham dengan Hak Suara untuk menghadiri dan memberi suara dalam RUPS, yang mengandung / disertai pula Hak Istimewa yang tidak dimiliki pemegang saham dengan Hak Suara lainnya) berupa menunjuk dan mengangkat Direktur Utama; sementara Pihak Kedua memiliki satu-satunya lembar saham dengan Hak Suara “Priviledge” untuk menunjuk dan mengangkat Komisaris Tunggal ataupun seluruh anggota pejabat pada Dewan Komisaris. Saham dengan kriteria Hak Suara “Priviledge” sedemikian itulah, yang kemudian akan dituangkan ke dalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas dengan kriteria “Klasifikasi Saham”.
Karenanya, menjadi tidak akan menimbulkan ambigu maupun kerancuan apapun, ketika saham Perseroan Terbatas dengan menyertakan pengaturan “Klasifikasi Saham” dalam Anggaran Dasarnya, hendak dialihkan atau dijual oleh para pendirinya kepada pihak ketiga, sekalipun pada suatu saat nantinya Perseroan Terbatas tidak lagi terdapat pihak pendiri semula dalam komposisi para pemegang saham. Pihak ketiga yang hendak membeli saham yang dimiliki para pendiri, dapat menentukan saham dengan klasifikasi apakah yang hendak mereka beli, apakah saham dengan “Hak Suara” umum, saham tanpa “Hak Suara”, ataupun saham dengan “Hak Suara” yang mengandung komponen “Priviledge” yang khusus seperti saham dengan suara tunggal dan mutlak untuk menunjuk dan mengangkat Direktur Utama (kriteria saham yang paling mahal harganya dan paling berharga dalam suatu Perseroan Terbatas).
Namun, barulah menjadi salah ketika apa yang disepakati dalam “Shareholders Agreement” tidak dituangkan atau tidak diakomodir dalam Akta Pendirian yang menjelma Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, karena Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas-lah, yang menjadi “Konstitusi” alias hukum tertinggi (“hukum otonom”) bagi internal para Organ Perseroan yang terdiri dari RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris. Karena, sebagaimana telah SHIETRA & PARTNERS singgung di muka, adalah hak Pemegang Saham Moyoritas dengan “Hak Suara” yang akan berhak menentukan dan membuat keputusan dalam forum RUPS, sekalipun mungkin dalam “Shareholders Agreement” disepakati bahwa yang berwenang menunjuk dan mengangkat Direktur Utama ialah pihak Pemegang Saham Minoritas dengan “Hak Suara”.
Karenanya, menjadi dapat kita pahami bahwa baik “Joint Venture Agreement” maupun “Shareholders Agreement” atau istilah perjanjian lainnya, yang sebelumnya pernah dibentuk dan disepakati oleh para pendiri badan hukum, tidak memiliki keberlakuan ketika saham kemudian dijual atau dialihkan kepada pihak ketiga, sehingga rekomendasi yang dapat direkomendasikan oleh SHIETRA & PARTNERS ialah seyogianya seluruh butir kesepakatan dalam “Shareholders Agreement” dituang serta diatur pula dalam Akta Pendirian (Anggaran Dasar dan Pendirian) Perseroan Terbatas, sehingga memiliki daya ikat kepada para Pemegang Saham untuk selanjutnya dan setelahnya, tidak terkecuali setelah saham dialihkan / dijual kepada pihak ketiga—dengan menyesuaikan butir-butir kesepakatan dalam “Shareholders Agreement” terhadap apa yang dapat diakomodir dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, semisal alih-alih seperti “Pihak Pertama berhak menunjuk dan mengangkat Direktur Utama” akan lebih tepat agar dapat dituangkan dan diakomodir ke dalam Anggaran Dasar dan Pendirian menjadi jenis-jenis “Klasifikasi Saham” dengan “Hak Suara” ber-“Priviledge” tertentu. Hal ini pun penting guna menghindari bibit sengketa yang bersumber dari “harapan semu” berangkat dari asumsi seolah “Shareholders Agreement” masih memiliki daya keberlakuan terhadap para Pemegang Saham (pendiri) setelah Akta Pendirian dibentuk dan disahkan.
Adapun dasar hukum bahwa “Shareholders Agreement” tidak berlaku bagi pemegang saham baru yang membeli atau menerima pengalihan saham dari para pendiri sebelumnya, tertuang secara eksplisit dalam norma hukum Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Namun, yang perlu kita ingat selalu, saham dapat dialihkan dan dijual kepada pihak ketiga, namun tidak dengan “Shareholders Agreement” yang hanya mengikat para pendiri Perseroan Terbatas saat hendak mendirikan badan hukum Perseroan Terbatas, dimana rumusan dalam Akta Pendirian (Anggaran Dasar dan Pendirian) disusun berdasarkan substansi “Shareholders Agreement” yang dapat diakomodir format sebuah Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas.
Perjanjian-perjanjian semacam “Joint Venture Agreement” ataupun “Shareholders Agreement”, sifat karakternya tidak bisa di-endosemen (endorsement) layaknya “surat berharga” yang dapat diperdagangkan secara “atas unjuk”, ataupun seperti layaknya sebuah subrogasi, sehingga sebagai kesimpulannya, menjadi jelas bahwasannya “Shareholders Agreement” tidak memiliki daya ikat terhadap pihak ketiga yang membeli saham dari salah satu atau dari para pemegang saham sebelumnya (yakni dari para pendiri yang semula pertama kali mendirikan Perseroan Terbatas).
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.