Benar sebagai Benar, Salah sebagai Salah, Itulah yang Disebut sebagai Sikap RASIONAL

ARTIKEL HUKUM
Apa jadinya, seolah pelaku pembuat kesalahan atau bahkan seorang Terdakwa berkata publik, agar tidak “menyalah-nyalahkan” siapapun (tidak terkecuali untuk tidak “menyalah-nyalahkan” sang Terdakwa itu sendiri)? Lalu, menjadi salah siapa, salah korban kejahatan karena menjadi korban kejahatan? Adalah memang tugas pekerjaan dan tugas seorang Jaksa Penuntut Umum untuk “menyalah-nyalahkan” seorang Terdakwa, sebagaimana adalah tugas seorang penyidik Kepolisian untuk “menuduh” dan “menyalah-nyalahkan” seorang Tersangka, sebagaimana pula adalah memang dapat dimaklumi bila seorang Pengacara disewa oleh Terdakwa untuk “membenar-benarkan” perbuatan kliennya di persidangan, serta memang merupakan tugas dan tanggung-jawab seorang Hakim untuk menyatakan “yang benar sebagai benar”, dan yang “salah sebagai salah”, sama halnya memang sudah menjadi tugas seorang Algojo untuk mengeksekusinya.
Namun, mengapa kita tidak pernah menuduh seorang Penyidik ataupun seorang Jaksa, sebagai telah ber-“negative thinking” terhadap seorang Tersangka? Bukankah adalah hak seorang Tersangka, untuk diberlakukan asas “presumption of innocence”? Atau sebaliknya, pernahkah kita menuding seorang Pengacara sebagai telah ber-“positive thinking”, sekalipun telah demikian terang-benderang kejahatan yang dilakukan oleh sang klien?
Adalah wajar dan menjadi hak bagi setiap unsur rakyat untuk mengkritik pemerintah yang memerintah, sebagaimana juga adalah dapat dimaklumi fungsi serta peran sebuah lembaga pers maupun lembaga swadaya masyarakat guna mengawasi jalannya roda pemerintahan agar tidak melenceng dari jalur yang semestinya (prinsip negara “demokratis”, kontrol sosial oleh masyarakat). Bahkan, disebutkan pula, partai oposisi menjadi penyeimbang yang penting bagi berlangsungnya roda pemerintahan yang akuntabel oleh fraksi dari partai yang sedang berkuasa. Sehingga, menjadi oposan bukanlah sesuatu yang tabu sifatnya, itulah yang kerap kita sebut dengan istilah otokritik.
Tanpa fungsi “kritik sosial” oleh warga masyarakat, maka menjadi bolehlah bagi seorang Adolf Hitler atau Lenin untuk berseru dan berkomentar lantang : “Wahai rakyat jelata, Anda telah negative thinking terhadap pemerintahan yang saya jalankan. Tutup mulut Anda, bekukan otak Anda, dan duduk manis saja menerima segala kebijakan pemerintah! Jangan seperti nyamuk dan lalat pengganggu yang mengganggu telinga saya. Brendel media dan pers, brendel mulut rakyat!
Rakyat bukanlah sekadar penonton, namun stakeholders dari negara itu sendiri—unsur-unsur “kedaulatan” sebuah negara, terdiri dari : adanya rakyat (populasi penduduk), pemerintahan yang efektif memerintah, serta teritori. Kebetulan, Indonesia mengusung konsep “kedaulatan rakyat”, artinya titik-tumpunya dititik-beratkan kepada rakyat, oleh rakyat, serta untuk rakyat itu sendiri. Ketika rakyat hanya didudukkan sekadar sebagai “penggembira” atau sebagai “objek” belaka, yang hanya dapat pasrah menerima perlakuan pemerintah, maka itulah yang disebut dengan praktik “k0munistik”. Itukah yang Anda inginkan, pemerintah yang anti kritik dan hanya bersedia di-dewa-dewakan layaknya Korea Utara?
Adalah sungguh sukar bila tidak dapat dikatakan sebagai “mustahil” untuk bersikap “positive thinking” hidup di tengah-tengah Bangsa “Agamais” bernama Indonesia, sekalipun bangsa ini mengusung konsep negara “halal lifestyle”. “Positif thinking” terhadap pemerintah, sama artinya rakyat menjadikan / membiarkan dirinya menjadi “mangsa empuk” birokrasi dan elit-elit politik yang “korup” yang diragukan niatnya ketika menjabat dan memerintah. Sementara bersikap “positive thinking” terhadap sesama rakyat sipil, dapat dipastikan berujung sebagai korban penipuan maupun “penyalah-gunaan”—atau, apakah hanya penulis seorang diri yang selalu mendapati fakta atas praktik empirik demikian akibat “terkondisikan” serta “terasosiasikan” lewat pengalaman pada keseharian penulis sebagai warga yang bersentuhan langsung dengan bangsa ini?
Thomas Hobbes (1588-1679) menggambarkan kehidupan umat manusia sebagai serigala bagi sesamanya (dengan semboyan yang sangat terkenal : “homo homini lupus”). Kita hidup di dunia fana, dunia manusia, bukan di dunia alam dewa dimana semua manusia dan pemerintahannya berisi makhluk-makhluk dewata yang suci dan mulia perilaku dan karakternya, demikian ideal namun utopia. Sementara itu menurut Sang Buddha, manusia di Alam Dunia Manusia bernama Bumi ini terdiri dari tiga jenis kriteria makhluk, antara lain terdiri dari : “Manusia-Dewa” (manusia dengan sifat-sifat dewata), “Manusia-Manusia” (yakni manusia yang humanis), serta “Manusia-Hewan” (alias manusia yang perilakunya sangat menyerupai seekor hewan, bisa menyerupai hewan jinak yang bodoh maupun hewan buas dan beringas haus akan darah).
Homo homini lupus est”, peribahasa Latin yang mencoba menggambarkan suatu kondisi sosial-masyarakat, dimana “manusia adalah serigala bagi sesama manusianya”. Sebagai antitesisnya, kemudian terbit istilah “Homo Homini Socius” yang bermakna bahwa “manusia adalah teman bagi sesama manusianya”, atau “manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya” sebagaimana pertama kali dicetuskan oleh Seneca. Namun adagium bantahan demikian sebagaimana yang disebut pada urutan kedua, nyatanya tidak berlaku di Indonesia.
Sebagai contoh, Anas Urbaningrum, salah seorang petinggi Partai Politik di Indonesia bernama “Demokrat”, ketika ditetapkan statusnya sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sesumbar dirinya akan “gantung diri di Monas (Monumen Nasional) jika terbukti korupsi”, dan seketika itu juga dirinya mengadakan “open house” silahturami dengan para koleganya yang ternyata sangat antusias berkunjung dan bersosialisasi dengan sang koruptor. Sang koruptor, memiliki kepandaian / kecerdasan dalam bersosialisasi (EQ), memiliki banyak rekan dan relasi, namun ternyata perilakunya “merampok nasi dari piring rakyat yang lebih miskin daripada sang koruptor”, dibalik segala ucapan manisnya, dibalik perilakunya yang seolah bersahabat, dibalik busananya yang terkesan beradab. Patutlah kita menyebutnya sebagai, “Homo Homini MUNAFIKUN”.
Mereka yang menyatakan, agar kita selaku sesama rakyat tidak “menyalah-nyalahkan” pihak pemerintah ataupun sesama rakyat sipil atas berbagai kericuhan yang terjadi di negara kita, sejatinya telah terjebak dalam kutub ekstrim bernama “positive thinking” (pola berpikir yang kelewat / membuta pada sudut pandang positif yang seringkali disusupi anasir berupa pengharapanan ataupun fantasi) terhadap sesama rakyat sipil maupun terhadap pemerintahan yang berkuasa.
Sementara mereka yang senantiasa “membenar-benarkan” perilaku dan kebiasaan sesama rakyat sipil maupun kebijakan pemerintahannya, terjebak pula pada sikap “negative thinking” (yakni suatu cara berpikir yang terlampau negatif) terhadap pihak-pihak yang mencoba mengkritik pihak pemerintah ataupun mencela kebiasaan dan perilaku sesama anak bangsa. Lihatlah, sebagaimana dapat para pembaca saksikan sendiri, istilah-istilah demikian menjadi sangat bias, relatif, serta multitafsir, sehingga dapat saling dipertukarkan sesuai kebutuhan serta bisa saja pihak-pihak yang “menyalah-nyalahkan” tidak sedang ber-“negative thinking”, namun sejatinya tengah ber-“positive thinking”.
Terdapat gradasi abu-abu di zona tengahnya, yang oleh penulis disebut sebagai “cara berpikir rasional yang realistis” (rationalistic / realistic thinking) yang tidak terjebak pada “logika biner” yang dipaksakan untuk memilih angka “0” ataukah angka “1” seolah tanpa tersedia opsi lainnya. Itulah ketika, yang “salah dinyatakan sebagai salah”, yang “benar dinyatakan sebagai benar”, secara apa adanya, tanpa sifat subjektivitas, tanpa tendensius, tanpa “tedeng aling-aling”, tanpa justifikasi diri, tanpa pembenaran diri, namun bersikap transparan dan akuntabel secara “apa adanya” (as it is, just the way you are). Namun, kita tidak sedang membahas selera, karena selera sangatlah subjektif : cantik dan indah bagi Anda, belum tentu demikian bagi atau di mata orang lain.
Jangan menyalah-nyalahkan, tapi juga jangan menutup-tutupi kesalahan, itu baru sikap yang mencerminkan sifat “fairness”, bukan seketika berpihak pada pihak pemerintah apapun kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya. Apa merupakan suatu hal yang salah atau dapat dicela secara moralitas, ketika kita “menyalah-nyalahkan”? Keliru artinya keliru, sebuah kesalahan tidak dapat diputar-balik menjadi benar adanya lewat aksi “putar balik fakta”—dimana sikap “rasional” itu sendiri bermaka “berpijak pada realita”.
Apakah kalangan hakim pun juga akan kita sebut sebagai tengah “menyalah-nyalahkan”? Rakyat selalu berhak “menyalah-nyalahkan” pihak pemerintah maupun terhadap perilaku sesama rakyat. Yang disebut sebagai “buruk”, ialah ketika yang salah justru “dibenar-benarkan”, hal demikian barulah seolah mencoba melawan realita. Salah katakan salah, benar katakan benar. Salah sebagai salah, benar sebagai benar. Tidak diperbolehkan mengutarakan apa yang salah, sama artinya dengan praktik “pembungkaman”—dimana hak untuk beraspirasi dan berekspresi sudah lama diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia yang paling dasar.
Apakah keliru dan dapat dicela, “menyalah-nyalahkan yang salah”? Ada yang lebih buruk dan sejatinya paling patut untuk di-cela oleh para bijaksanawan, yakni “membenar-benarkan apa yang salah. Etika sopan-santun Ketimuran di Indonesia, cenderung pada etika sopan-santun yang “tidak sehat” serta menyimpang dari awal maskud tujuannya. Betapa tidak, korban tindak kejahatan yang melakukan komplain, disebut-sebut sebagai “tidak sopan”, “tidak santun”, dan “berisik”—seolah-olah perilaku pelakunya yang berbuat kejahatan kepada para korbannya, adalah sopan, santun, dan patut? Suatu tudingan yang tidak pada tempatnya, salah alamat, serta salah target; namun itulah juga yang kerap terjadi dalam kenyataan di negeri ini.
Upaya, ucapan / komentar / pendapat, atau sikap-sikap yang “membenar-benarkan apa yang tidak patut untuk dibenarkan”, sama artinya menjadi agen kejahatan atau setidaknya mengambil andil menjadi bagian dari keburukan itu sendiri. Hal semacam itu, dapat disetarakan dengan upaya “pembungkaman”. Karenanya, mengkritik kebijakan pemerintah, wajib dimasukkan sebagai “Hak Asasi RAKYAT” dalam Konstitusi Republik Indonesia, atau setidaknya membebankan sikap terbuka terhadap kritik oleh rakyatnya sebagai “Kewajiban Asasi NEGARA”.
Membenarkan, apa yang akan dibenarkan (?), itulah permasalahan utamanya. Menyalahkan, apa yang hendak disalahkan (?), itulah juga permasalahan utamanya—sehingga, bukan perihal “menyalah-nyalahkan” ataukah “membenar-benarkan” yang menjadi masalah utamanya, namun substansi dari apa yang disalahkan atau yang dibenarkan. Prinsip dasar sederhana demikian, sejatinya tidak perlu sampai harus penulis uraikan, karena senyatanya setiap manusia dewasa memiliki “akal sehat” untuk dapat berpikir secara logis dengan akal sehatnya sendiri secara mandiri serta berdikari. Apakah, “menyalah-nyalahkan”, di-tabu-kan? JIka demikian adanya, mengapa juga “membenar-benarkan”, dibolehkan dan dipersilahkan? Bukankah praktik demikian menjurus pada suatu “standar berganda” yang tidak berimbang?
Sungguh sukar, bersikap dan menjadi warga yang “santun” hidup di tengah-tengah bangsa yang penuh disiplin ritual keagamaan lengkap dengan atribut busana agama bernama Indonesia ini, lengkap dengan “tempat ibadah” yang berdiri dengan hanya berjarak seratusan meter satu sama lainnya disertai ayat-ayat yang membahana bersahut-sahutan, terlebih untuk ber-“positive thinking”—setidaknya, dari berbagai pengalaman pribadi penulis selama hampir separuh abad lahir dan tumbuh besar di republik ini. Idealnya, seluruh permukaan Bumi ini merupakan “tempat ibadah”, dimana para umat manusia perlu berperilaku beradab serta “Tuhanis” (yang mana semestinya lebih luhur dan lebih agung daripada sekadar “Humanis”).
Seolah-olah, menjadi orang baik dan “positive thinking” harus siap-siap menjadi “mangsa empuk” manusia-manusia “Made in Indonesia” yang benar-benar menggambarkan apa yang disebut sebagai “homo homini lupus”—terbukti, otoritas Lembaga Pemasyarakatan sampai harus memberlakukan kebijakan “Obral Remisi” akibat overload Narapidana yang sudah ber-“lumut” maupun Narapidana-Narapidana “junior” yang menyusul sebagai penghuni baru tanpa pernah absen barang sehari pun membanjiri berbagai ruang dengan sel-sel jeruji pada berbagai penjara yang ada.
“Situasi kondisional”, memiliki kekuatan untuk mengkondisikan atau membentuk pola berpikir suatu warga pada suatu waktu di suatu negara—setidaknya, berbagai fenomena sosial rakyat kita yang selalu berulang sepanjang waktu secara konsisten, menjadikan penulis menarik kesimpulan bahwa memang itulah budaya pada bangsa di negeri ini. Ketika budaya suatu bangsa demikian menjadikan orang-orang baik dan yang senantiasa positif cara berpikirnya sebagai “mangsa empuk” yang selalu dijadikan sasaran dan target buruan untuk “diterkam” dan “dimakan”, maka kemudian bukan salah kita, ketika kita selaku rakyat belajar untuk melepas kebiasaan berpikir-positif kita, dan mulai menggantikannya dengan cara berpikir baru agar dapat “survive”, yakni “negative thinking” demi melindungi diri kita agar tidak menjadi korban “tangan-tangan usil dan nakal” milik orang lain, yang dalam terminologi hukum lebih populer dengan istilah “prepare for the worst case” yang tidak lain tidak bukan ialah “negative thinking” itu sendiri.
Sungguh sangat diragukan, bila masih dapat kita jumpai pihak-pihak yang mengaku atau mengklaim bahwa dirinya senantiasa hidup dengan gaya “positive thinking” di republik bernama Indonesia ini—kecuali dirinya “bodoh tulen”, bodoh yang tulen sifatnya. Kita dapat belajar dari sang “anjing (milik) Pavlov”, yang dalam ilmu psikologi kemudian dikenal dengan istilah sebagai teknik membentuk pola perilaku lewat pembiasaan pada sebuah kondisi yang ter-“asosiasi”-kan.
Ketika sang anjing milik Pavlov oleh majikannya dibiasakan diberi stimulus berupa bunyi denting lonceng sebelum diberikan makanan, maka seiring waktu akan terbentuk / terkondisikan lewat pembiasaan dan asosiasi, ketika dikemudian hari lonceng dibunyikan sekalipun makanan belum disiapkan, sang anjing ternyata terstimulus dengan meneteskan air liurnya. Konsep-konsep turunan seperti “reward and punishment”, mendasari postulatnya dari teori “anjing Pavlov”, yakni meng-kondisikan lewat teknik “asosiatif”. Kurang-lebih demikianlah ilustrasi sederhananya. Anjing “bodoh”, meski senyatanya umat manusia tidak lebih cerdas dari sang anjing milik Pavlov.
Negara kita sendiri, bersikap “negative thinking” terhadap rakyatnya sendiri—sehingga sejatinya bukan petinggi negara kita yang patut diragukan, rakyat dan sesama rakyat kita sendiri sejatinya patut diragukan. Sebagai contoh, bantuan sosial tunai maupun non-tunai yang disalurkan pemerintah, tidak pernah “tepat sasaran”, mengingat dana-dana bantuan pemerintah kerap di-korup oleh “oknum-oknum” bernama sesama rakyat sipil—suatu “pekerjaan rumah” yang tidak pernah kunjung usai, “berita basi” yang terus berulang, dimana oknum pelakunya ialah sesama rakyat jelata. Begitupula ketika pemerintah menyiapkan begitu banyak “lembaga pemasyarakatan” (lebih populer kita kenal dengan julukan “sel penjara”) maupun “rumah tahanan”, yang ternyata juga setiap tahunnya selalu dilaporkan “overload” dari para penginap “hotel rodeo” dimaksud, seolah demikian menarik minat sehingga berlomba-lomba menjadi penghuni di dalamnya.
Bahkan, rezim Undang-Undang “Anti Korupsi” kita berbobot-topang pada strategi pola berpikir “negative thinking”—Tidak percaya? Betapa tidak, Terdakwa tindak pidana korupsi diwajibkan untuk membuktikan sumber pendapatan dari perolehan harta kekayaan miliknya, lewat konsep “beban pembuktian terbalik” (shifting the burden of prove). Tidak dapat atau gagal membuktikan sumber kekayaannya didapatkan dari cara-cara legal, artinya sang Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Apakah kita, selaku rakyat, kemudian menunjuk-nunjuk pihak Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tipikor sebagai telah “menyalah-nyalahkan” sang pejabat negara yang dihukum karena tuduhan korupsi? Justru akan menjadi sebentuk “standar ganda”, bila diluar ruang pengadilan tindak pidana korupsi, kita dilarang untuk “tidak sopan” karena mengkritik pihak pemerintah ataupun sesama sipil yang berperilaku tidak patut dan tercela (alias layak untuk dicela). Menurut Anda, apakah pelaku kejahatan seperti penipuan atau penggelapan, berkata pada korban pelapornya, “Anda janganlah menyalah-nyalahkan orang lain dan jangan pula menyalah-nyalahkan saya. Anda sendiri yang bodoh sehingga dapat tertipu oleh saya. Anda salahkan saja diri Anda sendiri”?
Mengapa dalam konsep evolusioner dari konsep hukum tata negara “Trias Politica”, kemudian berkembang konsep “Check and Balancing” ketimbang membiarkannya dengan konsep “Separation of Power”? Karena memang antar lembaga negara perlu saling mengawasi dan memberikan teguran. Adalah tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Inspektorat Jenderal setiap instansi negara untuk mencari-cari “kesalahan” (alias “menyalah-nyalahkan” apa yang memang salah). Justru, adalah sebentuk praktik korupsi ter-cela itu sendiri ketika pihak auditor dari BPK justru “menutup-nutupi” dan “membenar-benarkan” apa yang salah dan apa yang diketahuinya sebagai salah ataupun apa yang ditemukannya sebagai keliru ataupun juga dengan tidak mencari-cari kesalahan apa yang semestinya ia cari letak kesalahannya—yang mana memang sudah menjadi tugas, tanggung-jawab, serta wewenangnya.
Justru karena penulis adalah Warga Negara Indonesia (insider), maka penulis memiliki hak untuk membuat testimoni berdasarkan pengalaman pribadi secara “apa adanya”, sebagai berikut : Negeri Indonesia ini, baik Pemerintah maupun Rakyatnya, sama-sama patut diragukan motifnya, niatnya, serta itikadnya. Negeri ini tidak pernah kekurangan modus-modus kejahatan, dimana daya kreativitas pelakunya justru digunakan untuk merugikan warganegara lainnya.
Republik ini juga tidak pernah memiliki masalah pada sumber daya alam—sebagai contoh, Indonesia tergolong negeri “maritim” penghasil tangkapan laut terbesar kedua di dunia, ikan sebagai sumber protein hewani yang kaya akan gizi pendukung kecerdasan dan pertumbuhan, namun ternyata penduduk bangsa kita amat sangat minim tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk, karena bangsa kita sendiri sadar betul bahwa baik nelayan maupun para pedagang kita di pasar tradisional adalah orang-orang “tidak jujur” karena selalu menggunakan bahan kimia pengawet beracun guna mengawetkan ikan tangkapan di kapal maupun ikan jualan mereka sebagai pengganti cara tradisional berupa es balok.
Seolah-olah, adalah “dosa” bila melihat dan membiarkan adanya bunga liar maupun buah-buahan tumbuh di tepi jalan tanpa dipetik. Seolah-olah, adalah “dosa” bila membiarkan seorang gadis cantik berjalan tenang seorang diri tanpa diganggu, digoda, dilecehkan dan untuk kemudian di-“gauli”. Seolah-olah, adalah “dosa” ketika kita menyaksikan hewan liar seperti tupai dan burung-burung melompat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan bebas dan riang tanpa ditangkap dan disangkarkan.
Tidak sampai dua minggu penulis merasa gembira karena sepasang tupai muncul di pohon kediaman penulis di Kota Jakarta, suatu pemandangan langka yang tidak pernah lagi penulis temui selain satu kesempatan itu, namun tidak lama berselang sang tupai telah dalam kondisi tersangkarkan oleh penduduk lain. Percaya atau tidak, pada area dalam halaman kediaman penulis berdiri pohon buah-buahan yang sedang berbuah dan ranum, ternyata warga setempat berani mencuri buah-buahan tersebut menggunakan galah dari tengah jalan umum, DI SIANG BOLONG, dan SEKALIPUN DIAWASI serta DITEGUR PERILAKUNYA OLEH PEMILIK RUMAH namun TETAP ASYIK MENCURI, TANPA RASA TAKUT ATAUPUN MALU, sekalipun dirinya setiap harinya serta sedang bekerja sebagai tukang bangunan yang artinya dirinya bukan tidak mampu membeli buah-buahan yang tidak seberapa harganya.
Senikmat itukah, buah hasil curian di mata bangsa ini? Seorang pengemis saja, tidak mencari makan dengan cara merampok terlebih mencuri DI TENGAH SIANG BOLONG DENGAN PEMILIK RUMAH YANG MENGAWASI DAN MENEGUR—masih memiliki “harga diri” serta “Kode Etik Pengemis”. Penulis menyebutnya sebagai perilaku yang lebih hina daripada pengemis. Mengapat tidak sekalian saja, yang bersangkutan tidak perlu lagi bekerja dan cukup mencari makan dengan cara mencuri?
Sama halnya, seolah-olah adalah “dosa” bila tidak menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis selaku Konsultan Hukum untuk memperkosa profesi konsultan semudah bermain handphone pada tangan mereka—sehingga bahkan penulis terpaksa “menyembunyikan” nomor kontak kerja maupun email profesi penulis pada website profesi resmi milik penulis ini sendiri sekalipun berbagai peringatan telah dicantumkan pada sekujur tubuh website ini secara demikian tegas, namun “belum apa-apa sudah melanggar dan memerkosa profesi penulis” (bagai membalas air susu dengan “perkosaan”, sungguh biadab. Murid yang “terkutuk” dan patut “dikutuk”). Menurut Anda, apakah patut dan dapat diwajarkan, melecehkan profesi seseorang yang jelas-jelas sedang mencari nafkah, semudah bermain handphone dan menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi konsultan?
Disaat bersamaan, uniknya, Bangsa Indonesia tergolong bangsa yang “pengecut”, hanya berani menjadikan “mangsa empuk” orang-orang baik, menjadikan “sasaran empuk” orang-orang yang lugu dan polos, menjadikan “buruan empuk” orang-orang yang berhaluan “ahimsa” (tanpa kekerasan, sehingga jelas tidak akan membalas kekerasan dengan kekerasan, karenanya menjadi “buruan empuk”), menjadikan “korban empuk” orang-orang yang lebih lemah daripada mereka.
Jika memang berbagai warga di bangsa ini demikian berani dan jantan, mengapa bukan justru menantang beduel orang-orang yang lebih besar tubuhnya dan lebih jahat daripada mereka sendiri? Mengapa tidak menantang berduel di atas ring tinju, alih-alih melawan satu orang dengan cara berkeroyokan bahkan menggunakan senjata tajam. Bahkan, yang paling tidak dapat kita terima secara akal sehat maupun “Kode Etik Manusia Beradab”, setelah berbuat kejahatan masih pula mengharap bersih suci dari segala “dosa”, bahkan juga mengharap “masuk surga”?
Jika demikian yang terjadi, maka penulis telah bersiap-siap dalam siaga penuh untuk menggugat “Tuhan” yang justru seolah “buta” (dari luka-luka fisik dan batin para korban) dan “tuli” (dari doa-doa orang “terzolimi”) karena memasukkan orang-orang jahat ke dalam surga—alih-alih ke dalam sel penjara. Bila di dunia manusia, orang-orang jahat dijebloskan ke penjara, mengapa dalam “Hukum Tuhan” orang-orang jahat justru dimasukkan ke “hotel mewah” bernama “surga”? Inilah yang penulis sebut sebagai cara berpikir “rasional”, akarnya dari akal sehat itu sendiri, bukan “menyalah-nyalahkan” ataupun “membenar-benarkan” apa atau siapapun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.