Kebohongan Terbesar (Pengelabuan) Otoritas Bursa Efek Pasar Modal

LEGAL OPINION
Question: Bursa Efek Indonesia saat mengkampanyekan jual-beli saham, mengatakan kepada publik agar tertarik membeli saham di bursa efek, bahwa (seolah) kita dapat menjadi pemilik perusahaan dengan cara membeli saham yang mereka jual di pasar modal. Sebenarnya secara hukum pandangannya seperti apa, kedudukan dari seorang pembeli saham di pasar modal terhadap perusahaan yang kita beli sahamnya yang listing di bursa efek ini?
Brief Answer: Menjadi pemegang saham dengan membeli saham “tanpa hak suara”, tidak dapat disebut sebagai “pemilik” dari sebuah Perseroan Terbatas. Saham-saham yang “dilantaikan” pada bursa efek (pasar modal), hanya berjenis saham “TANPA hak suara”. Fungsi saham dengan “hak suara” ialah untuk dapat mengikuti / hadir dalam kuorum RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) serta sebagai hak istimewa untuk mengeluarkan suara saat voting dalam forum RUPS guna menentukan arah serta kebijakan perseroan seperti untuk menentukan sisa bagi hasil usaha (deviden), penunjukkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris, dan meminta laporan pertanggung-jawaban Direksi maupun Dewan Komisaris, serta untuk merumuskan program kerja perseroan tahun berikutnya.
Tidaklah krusial dan tidak relevan, sebanyak apapun seorang investor telah membeli dan memiliki saham pada suatu Perseroan Terbatas, namun bila saham yang dibeli dan dimilikinya ialah sebatas saham “TANPA hak suara”. Tiada saham dengan “hak suara” yang ditawarkan dalam suatu bursa efek (pasar modal), mengingat sifat dari saham dengan “hak suara” hanya berjenis saham dengan “atas nama” yang sukar diperjual-belikan secara bebas karena terdapat mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas seperti kewajiban untuk mendapat persetujuan RUPS serta terlebih dahulu menawarkannya kepada para pemegang saham internal Perseroan Terbatas—sehingga sifatnya “rigid” (sukar untuk diperjual-belikan, terlebih untuk di-gadai-kan), tidak “liquid” selayaknya saham pada bursa efek yang mudah untuk dilepas, dijual, dan dialihkan layaknya sebuah surat berharga.
PEMBAHASAN:
Perseroan Terbatas yang menawarkan sahamnya kepada publik (“go public”), disebut sebagai Perseroan Terbatas “terbuka”, yang biasanya dapat kita kenali dengan ciri khas berupa tambahan / gelar nama “PT. ... , Tbk.”. Terbuka disini bermakna, sahamnya terbuka untuk dialihkan dan diperjual-belikan bahkan untuk digadaikan. Akan tetapi, bukan berarti seluruh saham PT. Tbk. dimaksud bersifat “tanpa nama” alias “TANPA hak suara”.
Biasanya, “PT. Tbk.” ini mengenal dua jenis klasifikasi saham dalam Anggaran Dasarnya, yakni saham “SERI A” dan saham “SERI B”, dimana saham-saham dalam kategori “SERI A” merupakan saham-saham dengan “hak suara” bagi para pemegang sahamnya sekaligus saham berjenis “atas nama”, sementara saham-saham dalam klasifikasi “SERI B” adalah saham-saham “TANPA hak suara” yang diperjual-belikan dalam bursa efek (pasar modal). Khusus terutama terhadap saham-saham “SERI B”, sebanyak apapun dimiliki oleh pembeli saham, tidak memberikan hak istimewa bagi pemegangnya seperti untuk menghadiri kuorum RUPS, terlebih untuk memberikan suara dalam voting keputusan RUPS—karenanya, tidaklah benar bila dibuat suatu kesan seolah bahwa membeli saham Perseroan Terbatas pada bursa efek diartikan menjadi bagian dari pemilik Perseroan Terbatas bersangkutan (suatu slogan promosi yang tidak etis disamping menyesatkan masyarakat, dalam arti yang sesungguhnya).
Otoritas pengelola Bursa Efek tidak pernah memberikan sosialiasi secara utuh kepada masyarakat, dengan kata lain terdapat isu yuridis serta fakta hukum terkait saham-saham yang diperjual-belikan di pasar modal, sehingga segala informasi formal demikian sifatnya parsial yang cenderung membuat kesan palsu alias mengecoh. Namun, bila kita secara terbuka menyatakan yang sebenarnya disamping konsekuensi pembelian terhadap saham-saham “TANPA hak suara”, membuat kita mulai menyadari bahwa kedudukan pembeli saham pada bursa efek lebih menyerupai kedudukan seorang “Kreditor Konkuren” ketimbang sebagai salah satu pemilik Perseroan Terbatas.
Karenanya, pembeli atau pemegang saham “SERI B” demikian, sejatinya hanya berkedudukan sebagai pemodal belaka yang tidak ubahnya kreditor pemberi kredit maupun pembeli obligasi (yang juga diperjual-belikan di pasar modal), surat utang jangka pendek (Medium Term Note) ataupun instrumen keuangan lain sebagainya, tidak dapat disebut sebagai “investor” karena tidak menjadi “pemilik” atau “turut memiliki” perseroan dimaksud. Barulah dapat disebut sebagai “pemilik” atau “turut memiliki” suatu Perseroan Terbatas, ketika pemegang sahamnya memiliki “hak suara” serta dapat menentukan arah kebijakan seperti determinasi terhadap rencana kerja yang akan dijalankan oleh pengurus perseroan, tidak terkecuali menentukan haluan jalannya arah perseroan lewat mekanisme RUPS.
Namun, bukan berarti pada Perseroan Terbatas “tertutup” (non-“Tbk.”) tidak dapat mengenal klasifikasi saham layaknya suatu Perseroan Terbatas “terbuka” (Tbk.). Sebelumnya, SHIETRA & PARTNERS pernah “membidani” sebuah Perseroan Terbatas “tertutup” di Indonesia, dalam merancang komposisi pemegang saham yang cukup unik, yakni berupa “klasifikasi saham” dengan susunan sebagai berikut: 1.) satu dan satu-satunya saham dengan “hak suara”; dan 2.) ribuan saham “TANPA hak suara”. Menurut para pembaca, saham dengan jenis / kriteria manakah yang lebih bernilai dan berharga, apakah dinilai dari kuantitas jumlah lembar saham ataukah klasifikasi saham itu sendiri?
Pembeli saham Perseroan Terbatas “go public” yang tergolong pemegang saham “TANPA hak suara”, dapat belajar dengan menganalogikan contoh kasus Perseroan Terbatas “tertutup” (private) yang pernah SHIETRA & PARTNERS “bidani” pada contoh ilustrasi di atas, dengan konsekuensi sebagai berikut. Yang berhak untuk mengikuti kuorum serta memberikan suara saat voting dalam RUPS, hanyalah seorang dan satu-satunya saham dengan kriteria dengan “hak suara”, sementara ribuan pemegang saham “TANPA hak suara” hanya sekadar menjadi “pemegang saham tanpa makna”—bahkan tidak perlu diundang untuk mengikuti RUPS terlebih untuk memberikan suara dalam voting forum RUPS.
Praktis, jalannya roda perseroan ditentukan oleh satu dan satu-satunya pemegang saham dengan “hak suara” tersebut, secara mutlak dan suara bulat, karena memang hanya dirancang ada satu dan satu-satunya saham dengan kriteria dengan “hak suara”. Karenanya, Perseroan Terbatas secara aturan hukum saat ulasan ini disusun, memang wajib didirikan dan dijalankan mininal oleh 2 (dua) pemegang saham. Namun, tiada ketentuan hukum bahwa saham dengan kriteria “hak suara” wajib dimiliki oleh dua subjek hukum pemegang saham yang berbeda—namun bisa saja dikuasai oleh satu orang dan satu-satunya pemegang saham, hal mana telah terbukti dapat terjadi dalam praktik dan mendapat pengesahan dari otoritas dibidang pendaftaran badan hukum Perseroan Terbatas.
Pelajaran paling utama dari contoh kasus di atas, bila Anda adalah seorang investor yang berniat menanamkan modal pada suatu entitas badan hukum di Indonesia sekaligus ingin mengontrol jalannya perseroan guna memastikan dana pemodalan tidak menguap percuma, maka mekanisme yang paling SHIETRA & PARTNERS rekomendasikan bukanlah menyasar saham-saham yang “dilantaikan” pada pasar modal, namun akuisisi terhadap saham-saham dengan “hak suara”, baik terhadap Perseroan Terbatas “terbuka” maupun Perseroan Terbatas “tertutup”. Sehingga, sasaran yang paling layak untuk dituju ialah menyasar klasifikasi saham itu sendiri, bukan perihal sebanyak apa saham yang akan dibeli dan dimiliki, entah dengan membeli saham yang telah eksis dari pemegang saham yang ada ataupun membeli saham “portepel”.
Kelemahan utama saham “TANPA hak suara”, ialah tidak selalu identik akan menerima deviden rutin setiap tahunnya dari Perseroan Terbatas, terutama ketika pemegang saham mayoritas (dengan “hak suara”) ataupun ketika Perseroan Terbatas dengan komposisi yang hanya memiliki satu dan satu-satunya saham dengan “hak suara” tidak menjalankan prinsip “good corporate governance” seperti praktik “transfer pricing” (profit shifting), sehingga sekalipun sejatinya operasional Perseroan Terbatas ketika menjalankan usahanya mencetak banyak laba usaha namun selalu melaporkan “merugi” dalam laporan keuangan setiap tahunnya, sehingga tidak merasa memiliki kewajiban untuk membagikan deviden bagi para pemegang saham, sehingga praktis pemegang saham “TANPA hak suara” tidak jarang tidak pernah menerima apapun sepanjang tahunnya sekalipun Perseroan Terbatas beroperasi dan berusaha cukup ramai setiap tahunnya selama puluhan tahun eksis dan melebarkan sayap.
Jika dapat kita buat ringkasan, saham terbagi menjadi dua nilai, yakni “nilai intrinsik” serta “nilai ekstrinsik”. Nilai saham yang dapat meningkat tinggi di pasar modal, merupakan “nilai ekstrinsik” semata. Namun, saham yang paling berharga justru terletak pada “nilai intrinsik”-nya, yakni tidak lain tidak bukan ialah jenis klasifikasi saham itu sendiri. Tiada yang lebih berharga dari saham dengan “hak suara”, sebanyak apapun seseorang menguasai saham “TANPA hak suara”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.