Atasi Akar Kejahatannya, Bukan Jalan Pintas Membakar Lumbung Padi untuk Mengatasi Tikus di Dalamnya

ARTIKEL HUKUM
Terkadang, pemidanaan bukanlah cara paling utama untuk mengatasi kejahatan dan tindak kriminil yang timbul di tengah-tengah masyarakat, namun menjadi upaya terakhir (ultimum remedium)—kecuali sifat kejahatan dari pelakunya menyerupai kanker stadiun akhir yang telah menggerogoti sekujur tubuh sang pelaku. Berulahnya kembali para residivis di tengah masyarakat, merupakan cerminan gagalnya hukum mendidik kepatuhan warga negaranya. Cara paling utama serta paling pertama untuk mencegah timbulnya benih-benih kejahatan, ialah lewat faktor pendidikan serta pencerahan. Sayangnya, ketika dogma-dogma dalam suatu ajaran agama justru menjadi justifikasi untuk melakukan kejahatan bagi pelakunya, sehingga perbuatan buruk bukan lagi hal yang patut di-“tabu”-kan, maka itulah bahaya terbesar sekaligus ancaman bagi peradaban umat manusia.
Lebih buruk lagi, ketika pelakunya mengaku-ngaku sebagai korban yang “ter-zolimi”, bahkan masih juga tanpa rasa bersalah ataupun rasa malu, kembali berulang-kali melukai dan mendiskreditkan korban-korbannya. Terlebih buruk lagi, ketika pelakunya selalu gagal untuk melakukan introspeksi diri, bersikukuh dirinya benar dan masih juga mendiskreditkan korbannya, tanpa rasa takut menanam benih-benih karma buruk yang kelak akan dituai dan diwarisi oleh dirinya sendiri—itulah, yang oleh Sang Buddha dijuluki sebagai orang-orang “dungu” karakternya karena pandangan matanya diliputi oleh “kekotoran batin” yang demikian tebal.
Kita, manusia yang hidup di-era modern ini, telah begitu banyak “ketergantungan”, ketergantungan atas gula, atas televisi, atas internet, atas listrik, atas minyak goreng, atas bawang merah dan bawang putih, atas handphone, dan begitu banyak ketergantungan kita si manusia modern ini ketimbang para nenek-moyang kita beberapa abad yang lampau. Menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, seolah belum cukup menderita dengan segala ketergantungan demikian, tidak sedikit diantara orang-orang dewasa kita yang menambah derita dengan menceburkan dirinya sendiri ke dalam ketergantungan “berbuat jahat” hingga mencandu obat-obatan terlarang dan produk nik0tin, hidup sebagai seorang “pecandu” yang secara tidak langsung namun secara perlahan merusak struktur neuron pada otak mereka sehingga dari semula orang yang “kalem” akan secara gradual berubah sifat-tabiatnya menjadi “brutal”, “beringas”, serta “liar” (barang-barang madat yang melemahkan kesadaran, dalam istilah Buddhisme, yang menjadi latihan disiplin diri untuk dihindari dalam salah satu “sila” dalam Pancasila Buddhistik)—sehingga tidak mengherankan bila tidak sedikit diantara mereka yang disebut-sebut berubah karakternya 180 derajat setelah menjadi pecandu. Sebaliknya, yang disebut sebagai “manusia bebas” bukan artinya bebas untuk menjadi pecandu banyak kesenangan duniawi, namun bebas dari segala keinginan (“freedom from wanting”, bukan “freedom to wanting”).
Dalam berbagai kisah riwayat hidup Buddha Gaotama, Sang Buddha tidak mengatasi masalah dengan cara “membunuh” masalah itu, namun lewat didikan serta pencerahan Sang Buddha meluruskan apa yang sebelumnya “bengkok”, menerangi apa yang sebelumnya kelam, dan mengungkap apa yang sebelumnya terselubung, salah satu contohnya dapat diilustrasikan lewat kisah hidup seorang pembunuh aksi berantai berdarah dingin bernama Agulimāla yang hendak mengoleksi seribu buah jari manusia dari seribu manusia yang akan dibunuh olehnya, dimana pada target keseribu sang Agulimāla ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, maka muncul-lah Sang Buddha di tengah jalannya sang Agulimāla dalam perburuannya agar dapat menghindari karma buruk besar karena membunuh orangtuanya sendiri.
Namun, bukan artinya Sang Buddha menyerahkan nyawa-Nya untuk menjadi pengganti sang ibu dari Agulimāla yang menjadi target selanjutnya dari sang Agulimāla. Melukai atau bahkan membunuh seorang Buddha, merupakan golongan “garuka kamma”, buah karma buruknya paling besar daripada kejahatan apapun, karenanya Sang Buddha selalu mencoba meloloskan diri dari pengejaran yang dilakukan oleh Agulimāla sang pembunuh berdarah dingin yang ditakutkan oleh masyarakat kala itu, agar Agulimāla tidak terperosok dalam kejahatan yang lebih besar lagi. Pada akhirnya, para manusia yang semula memusuhi Sang Buddha, berbalik menjadi murid-murid Sang Buddha, lewat ajaran yang mencerahkan dan membuta mata mereka dari “kekotoran batin” (kilesa) yang selama ini menutupi mata mereka.
Bagaimana jika Anda memiliki anak yang “badung”, apakah anda kita tersebut akan kita lempar ke “tong sampah” atau kita masukkan kembali ke dalam rahim? Mendidik anak, terutama sebagai orangtua kita perlu mendidik diri kita sendiri terlebih dahulu. Mendidik, artinya kita perlu telah terlebih dahulu mendisiplinkan diri serta terdidik, barulah kita berhak mendidik lewat teladan, bukan sekadar ucapan dan slogan-slogan penuh kemunafikan. Tidaklah mungkin orang buta diharapkan untuk menuntun orang-orang buta lainnya, itulah prinsip utamanya.
Ketika berbagai lembaga pemasyarakatan kita (penjara) sepanjang tahunnya selalu dikabarkan overload dari narapidana yang menghuninya (berita “basi” yang terus berulang), hingga otoritas negara kita melakukan kebijakan “obral remisi” masa tahanan, maka itu bukanlah cerminan kegagalan hukum dalam mengatur dan memberi ancaman bagi pelakunya, namun adalah wujud kegagalan fungsi edukasi serta pendidikan agama maupun para pendidik kita yang selama ini lebih menekankan pada faktor rituil ketimbang perilaku yang humanis antar sesama warga—sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha, bahwa ritual tidak akan pernah dapat men-suci-kan sang pelaku ritual, terlebih untuk men-suci-kan orang lain.
Agulimāla Sutta – On Agulimāla
MN 86 (PTS M ii  97)
Demikianlah yang telah saya dengar. Di suatu saat Sang Bhagavā berdiam di taman milik Anāthapiṇḍika di hutan Jeta, Sāvatthi.
Saat itu ada seorang bandit di wilayah Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala bernama Agulimāla. Dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung.
[The name “Agulimāla” is an epithet meaning “garland (mala) of fingers (anguli).” He was the son of the brahmin Bhaggava, a chaplain to King Pasenadi of Kosala. His given name was Ahisāka, meaning “harmless one.” He studied at Takkasilā, where he became his teacher’s favourite. His fellow students, jealous of him, told the teacher that Ahisāka had committed adultery with his wife. The teacher, intent on bringing Ahisāka to ruin, commanded him to bring him a thousand human righthand fingers as an honorarium. Ahisāka lived in the Jalini forest, attacking travellers, cutting off a finger of each, and wearing them as a garland around his neck. At the time the sutta opens he was one short of a thousand and had made a determination to kill the next person to come along. The Buddha saw that Agulimāla’s mother was on her way to visit him, and aware that Agulimāla had the supporting conditions for arahantship, he intercepted him shortly before his mother was due to arrive. Ahimsa, was a Buddhism concept.]
Kemudian Sang Bhagavā, di pagi hari, setelah mengenakan jubah dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk mengumpulkan dana makanan (piṇḍapāta). Ketika Beliau telah berkeliling untuk ber-piṇḍapāta di Sāvatthi dan telah kembali dari piṇḍapāta setelah menyelesaikan makanNya, Beliau merapikan tempat beristirahat / tidurNya. Dengan membawa jubah dan mangkukNya, Beliau pergi berjalan menuju ke tempat Agulimāla berdiam.
Para penggembala sapi, penggembala kambing, dan petani melihat Beliau berjalan menuju ke tempat Agulimāla berdiam dan mereka berkata, “Jangan pergi ke jalan tersebut, petapa. Di jalan tersebut ada bandit bernama Agulimāla, seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Orang-orang telah melalui jalan itu dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 10, 20, 30, bahkan 40 orang, tetapi mereka semua jadi korban Agulimāla.” Ketika hal tersebut dikatakan, Sang Bhagavā tetap melanjutkan perjalanannya tanpa berkomentar sepatah katapun.
Untuk kedua kalinya, ..... Untuk ketiga kalinya, para penggembala sapi, penggembala kambing, dan petani melihat Beliau berjalan menuju ke tempat Agulimāla berdiam dan berkata, “Jangan ..... Ketika hal tersebut dikatakan, Sang Bhagavā tetap melanjutkan perjalanannya tanpa berkomentar sepatah katapun.
Agulimāla, sang bandit, melihat Sang Bhagavā dari kejauhan sedang berjalan mendekat. Ketika dia melihatNya, dia berpikir, “Ini luar biasa! Ini menakjubkan! Orang-orang telah melalui jalan ini dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 10, 20, 30, bahkan 40 orang, tetapi mereka semua telah jatuh ke tanganku. Tetapi sekarang, petapa ini datang sendiri, tanpa teman, seperti didorong oleh takdir. Mengapa aku tidak membunuhnya? Agulimāla kemudian mengambil pedang dan perisainya, mengenakan busur dan tempat anak panahnya, dan mengikuti Sang Bhagavā dari belakang.”
Kemudian Sang Bhagavā mengeluarkan kesaktianNya sehingga Agulimāla, sang bandit, walaupun telah berlari sekencang-kencangnya, tidak dapat mengejar Sang Bhagavā yang sedang berjalan dengan normal. Kemudian sang bandit Agulimāla berpikir, “Ini luar biasa! Ini menakjubkan! Sebelumnya aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai gajah yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai kuda yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai kereta yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap seekor rusa yang cepat; tetapi sekarang, walaupun aku telah berlari sekencang-kencangnya, aku tidak dapat mengejar petapa ini yang berjalan dengan normal.” Dia berhenti dan kemudian berteriak kepada Sang Bhagavā, “Berhenti, petapa! Berhenti, petapa!
Saya telah berhenti, Agulimāla, kamu juga berhenti.”
Kemudian sang bandit Agulimāla berpikir, “Para petapa ini, para putra suku Sakya adalah pembicara kebenaran, menekankan kebenaran; tetapi petapa ini, walaupun masih berjalan, dia berkata, ‘Saya telah berhenti, Agulimāla, kamu juga berhenti.’ Mengapa aku tidak bertanya kepadanya?”
Kemudian sang bandit Agulimāla berkata kepada Sang Bhagavā dengan sebuah syair:
“Ketika kau sedang berjalan, petapa, kau berkata, ‘Aku telah berhenti.’
Tetapi ketika saya telah berhenti, kau berkata, ‘Saya belum berhenti.’
Sekarang saya bertanya kepadamu, Oh petapa, apa maksudnya:
Kamu telah berhenti dan aku belum berhenti.”
Agulimāla, Saya telah berhenti untuk selama-lamanya,
Saya telah meninggalkan kekerasan kepada semua makhluk.
Tetapi, kamu tidak punya kendali kepada semua makhluk,
Itulah maksudnya, Aku telah berhenti dan kamu belum berhenti.”
“Oh, akhirnya seorang petapa, seorang bijaksana yang mulia,
Datang ke hutan ini demi aku.
[MA explains that Agulimāla had just realised that the monk before him was the Buddha himself and that he had come to the forest for the express purpose of transforming him.]
Setelah mendengar syairMu yang mengajarkanku Dhamma
Saya akan meninggalkan kejahatan untuk selamanya.”

Setelah berkata demikian, sang bandit mengambil pedang dan senjatanya
Dan melemparkannya ke jurang.
Sang bandit bernamaskara di kaki Sang Bhagavā,
Dan di sana, saat itu juga, ia meminta untuk ditahbiskan.
Yang Tercerahkan, Sang Bijaksana yang penuh belas kasihan,
Guru dari dunia dan seluruh dewanya,
Berkata kepadanya, “Datanglah, bhikkhu.”
Dan demikianlah dia menjadi bhikkhu.
[MA: By virtue of his merit from past lives, Agulimāla acquired the bowl and robes through the spiritual power of the Buddha as soon as the Buddha said, “Come, bhikkhu.”]

Kemudian Sang Bhagavā pergi melanjutkan perjalanan menuju Sāvatthi bersama bhante Agulimāla sebagai asistennya. Setelah melakukan perjalanan secara bertahap, Beliau akhirnya sampai di Sāvatthi, dan di sana Beliau tinggal di taman milik Anāthapiṇḍika di hutan Jeta, Sāvatthi.
Saat itu ada banyak sekali orang yang berkumpul di pintu istana bagian dalam dari Raja Pasenadi. Sangat ribut dan berisik, mereka berteriak-teriak, “Tuan, sang bandit Agulimāla berada di wilayah kekuasaanmu; dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Raja harus menaklukkannya!”
Kemudian di tengah hari, Raja Pasenadi dari Kosala dengan mengendarai kereta kuda pergi meninggalkan Sāvatthi bersama lima ratus pasukan berkuda menuju ke taman milik Anāthapiṇḍika.  Dia mengendarai kereta kudanya sampai sejauh jalan yang mungkin dilalui oleh kereta, kemudian dia turun dari keretanya dan melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki untuk bertemu Sang Bhagavā. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Ada apa, Maha Raja? Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menyerangmu, atau para Licchavī dari Vesāli, atau para raja agresif yang lainnya?”
“Bhante, Raja Seniya Bimbisara dari Magadha tidak menyerang saya, begitu juga dengan para Licchavī dari Vesāli, atau para raja agresif yang lainnya. Tetapi, ada seorang bandit di wilayah kekuasaanku bernama Agulimāla, dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Saya tidak akan pernah bisa menaklukkannya, Bhante.”
“Maha Raja, seandainya kamu melihat Agulimāla telah mencukur rambut dan bewoknya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi – menjadi bhikkhu; dia menghindari pembunuhan makhluk hidup, mengambil barang yang tidak diberikan, dan ucapan bohong; dia hanya makan satu kali, melaksanakan kehidupan suci, menjalankan sila, dan bertingkah laku baik; apa yang akan kau lakukan kepadanya?”
“Bhante, kami akan memberi hormat kepadanya, atau bangun dari duduk untuknya, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan untuk mengatasi sakit; atau memberikan perlindungan sesuai hukum kepadanya. Tetapi, Bhante, dia adalah orang yang tidak bermoral, seseorang yang sifatnya jahat, bagaimana dia bisa mempunyai pengendalian diri dan moralitas?”
Pada saat itu bhante Agulimāla sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā, kemudian Sang Bhagavā menjulurkan tangan kananNya dan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala, “Maha Raja, ini dia Agulimāla.” Raja Pasenadi langsung ketakutan, panik, dan merinding. Mengetahui hal tersebut, Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Jangan takut, Maha Raja, jangan takut. Tidak ada yang perlu kau takuti darinya.”
Maka, ketakutan, kepanikan, dan perasaan merinding sang Raja pun mereda. Dia kemudian mendatangi bhante Agulimāla dan berkata, “Bhante, apakah Yang Mulia adalah Agulimāla?”
“Benar, Maha Raja.”
“Bhante, apa marga ayah bhante? Apa marga ibu bhante?”
“Ayah saya marganya Gagga, Maha Raja; ibu saya marganya Mantāī.”
“Semoga bhante Gagga Mantāīputta bahagia. Saya akan menyediakan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk bhante.”
Saat itu bhante Agulimāla adalah seorang bhikkhu yang tinggal di hutan, makan dari hasil piṇḍapāta, pemakai jubah dari kain buangan, dan hanya menggunakan tiga helai jubah (satu set). Dia menjawab, “Cukup, Maha Raja, tiga jubahku sudah lengkap.”
Raja Pasenadi kemudian kembali kepada Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepada Beliau, dia duduk di satu sisi dan berkata, “Luar biasa, Bhante, ini adalah hal yang luar biasa di mana Sang Bhagavā dapat menundukkan yang tidak bisa ditundukkan, menenangkan yang tidak tenang, dan menuntun ke Nibbāna mereka yang belum mencapai Nibbāna. Bhante, kami sendiri tidak dapat menaklukkannya dengan kekerasan dan senjata, tetapi Sang Bhagavā dapat menaklukkannya tanpa kekerasan dan senjata. Sekarang, Bhante, kami harus pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”
“Sekarang adalah waktunya, Maha Raja, melakukan hal yang kau pikir tepat.”
Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah melakukan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dengan memposisikan Sang Bhagavā selalu berada di sebelah kanannya, dia pergi.
Suatu ketika, di pagi hari, bhante Agulimāla setelah mengenakan jubahnya dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat beliau ber-piṇḍapāta dari rumah ke rumah di Sāvatthi, dia melihat seorang wanita sedang kesakitan karena kesulitan dalam proses melahirkan anaknya.
Ketika beliau melihat hal ini, beliau berpikir, ”Betapa menderitanya para makhluk! Sungguh!, betapa menderitanya para makhluk!”
Setelah beliau menyelesaikan piṇḍapāta-nya dan telah kembali ke vihara, setelah menyelesaikan makannya beliau pergi menemui Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepadaNya, dia duduk di satu sisi dan berkata, “Bhante, di pagi hari setelah saya mengenakan jubah, dengan membawa mangkuk dan jubah luar saya pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat saya ber-piṇḍapāta dari rumah ke rumah di Sāvatthi, saya melihat seorang wanita sedang kesakitan karena kesulitan dalam proses melahirkan anaknya. Ketika melihat hal tersebut, saya berpikir, ”Betapa menderitanya para makhluk! Sungguh!, betapa menderitanya para makhluk!”
“Bila demikian Agulimāla, pergilah ke Sāvatthi dan katakan kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan, saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!”
“Bhante, tidakkah saya melakukan kebohongan dengan disengaja, karena saya telah melakukan banyak pembunuhan dengan disengaja?”
“Bila demikian, Agulimāla, pergilah ke Sāvatthi dan katakan kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan sebagai seorang Yang Mulia (Ariya), saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!”
[Even today this utterance is often recited by Buddhist monks as a protective charm (paritta) for pregnant women close to their time of delivery.]
“Baik, Bhante,” jawab bhante Agulimāla. Setelah beliau pergi ke Sāvatthi, beliau berkata kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan sebagai seorang Yang Mulia (Ariya), saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!”  Kemudian, wanita tersebut dan anaknya menjadi baik.
Bhante Agulimāla lalu menarik diri dari keramaian, berdiam sendiri, rajin, penuh semangat dan tekad yang kuat. Dalam waktu singkat, bhante Agulimāla di dalam kehidupan ini juga merealisasi langsung dengan pengetahuan supernormalnya, tujuan akhir dari kehidupan suci yang menjadi tujuan para perumah tangga yang meninggalkan kehidupan duniawi – menjadi bhikkhu. Dia menyadari, “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani dengan sempurna, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjadian.” Dan bhante Agulimāla menjadi salah satu di antara para Arahat.
Suatu ketika, di pagi hari, bhante Agulimāla setelah mengenakan jubahnya dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat itu seseorang melempar bongkahan tanah dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuh bhante Agulimāla, orang lain lagi melempar ranting kayu / tongkat dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuhnya, orang lain lagi melempar ranting batu dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuhnya.
Kemudian, bhante Agulimāla dengan darah yang bercucuran dari kepalanya, mangkuknya yang pecah, dan jubah luarnya yang sobek, pergi menemui Sang Bhagavā. Sang Bhagavā yang melihatnya datang dari kejauhan berkata kepadanya, “Tahanlah, brahmana! Tahanlah, brahmana! Kau mengalami buah dari karma yang akan membuatmu tersiksa di neraka selama bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun.”
[MA explains that any volitional action (kamma) is capable of yielding three kinds of result: a result to be experienced here and now, i.e., in the same life in which the deed is committed; a result to be experienced in the next existence; and a result to be experienced in any life subsequent to the next, as long as one’s sojourn in samsara continues. Because he had attained arahantship, Agulimāla had escaped the latter two types of result but not the first, since even arahants are susceptible to experiencing the present-life results of actions they performed before attaining arahantship.]
Kemudian, ketika bhante Agulimāla pergi menyendiri untuk bermeditasi, dia mengalami kebahagiaan (kedamaian) dari pembebasan; dia mengekspresikannya dengan mengucapkan seruan dalam bentuk syair.
[Several of the verses to follow also appear in the Dhammapada. Agulimāla’s verses are found in full at Thag 866-91.]
Siapapun yang dulu hidup dalam kelengahan
Dan kemudian tidak lengah lagi,
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Dia yang menebus perbuatan jahat yang dilakukannya
Dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik,
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Bhikkhu muda yang mengabdikan
Usahanya pada Ajaran Sang Buddha
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Khotbah Dhamma
Semoga mereka menjalankan sungguh-sungguh Ajaran Buddha
Semoga mereka berteman dengan orang-orang baik dan damai
Yang menuntun orang lain untuk menerima Dhamma

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Dhamma di saat yang tepat
Dari mereka yang membabarkan kesabaran,
Dan mereka yang memuji kebaikan,
Dan semoga mereka hidup sesuai dengan Dhamma.

Karena pasti mereka tidak akan mencelakaiku,
ataupun orang lain,
Setelah mencapai kedamaian tertinggi
mereka akan melindungi yang lemah ataupun kuat.

Pembuat irigasi mengarahkan aliran air,
Pembuat anak panah meluruskan batang anak panah,
Tukang kayu membentuk (memprofil) kayu,
Orang bijaksana menjinakkan dirinya sendiri.

Ada beberapa yang dijinakkan dengan pukulan,
Beberapa dengan tongkat kendali dan beberapa dengan cambukan;
Tetapi tanpa tongkat kayu atau senjata apapun,
Aku dijinakkan oleh Orang yang demikian.

Pelaku tanpa kekerasan” adalah namaku (Ahimsaka),
Walaupun sebelumnya aku adalah pelaku kekerasan.
Sekarang aku sesuai dengan namaku,
Karena aku tidak menyakiti siapapun.

Seorang bandit aku sebelumnya
Yang dikenal sebagai si Agulimāla (Kalung-jari).
Tersapu oleh banjir besar,
Aku berlindung pada Sang Buddha.

Berlumuran darah tanganku sebelumnya
Yang dikenal sebagai si Agulimāla (Kalung-jari).
Melihat dan mengambil perlindungan padaNya
Pendambaan untuk menjadi dihancurkan.

Telah melakukan banyak perbuatan yang mengarah
Pada kelahiran kembali di alam menderita,
Sekarang, aku menerima akibatnya
Karenanya, bebas dari hutang aku memakan makananku.

Mereka yang dungu, bodoh
Terbelenggu oleh kelengahan,
Tetapi mereka yang bijaksana menjaga semangat
Sebagai harta terbaik.

Jangan menyerah pada kelengahan
Begitu juga pada kesenangan dari objek indra,
Tetapi bermeditasilah dengan penuh semangat
Untuk mencapai kebahagiaan sempurna.

Bertumbuhlah, jangan menurun
Ini adalah nasihat baik dariku.
Dari semua Dhamma yang dikenal manusia
Aku telah mendapatkan yang terbaik.

Bertumbuhlah, jangan menurun
Ini adalah nasihat baik dariku.
Tiga pengetahuan telah kucapai
Dan instruksi Sang Buddha telah dilaksanakan.
Karena Sang Buddha memahami, untuk mengatasi tikus yang bersarang di dalam lumbung padi, bukanlah lumbung padi itu yang harus dibakar. Akar-akar kejahatan dalam diri seseorang yang harus diatasi, bukan memenjarakan atau membunuh orang jahat tersebut. Tidak jarang, orang-orang jahat menjadi jahat karena “terkondisikan” oleh keadaan dan latar-belakang hidupnya yang kurang beruntung.
Terlebih jahat, bila aparat penegak hukum maupun hakim di pengadilan, masih penuh oleh kekotoran batin karena gagal untuk mengawasi serta mengatasi kekotoran batinnya sendiri, namun diharapkan untuk dan hendak untuk menghukum seorang penjahat, penjahat itu sendiri namun berseragam dan memegang kekuasaan, lebih berbahaya dari penjahat berbahaya mana pun. Demikianlah untuk kerap kali kita renungkan, dan mulai berupaya “menaklukkan” diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih PayahHak CiptaHak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.