Hikikomori Tidak Pernah Menyakiti Orang Lain, Manusia yang Menjadi Predator yang Menyakiti dan Memangsa Sesamanya Barulah Penyakit Sosial yang Sesungguhnya

LEGAL OPINION
Question: Hikikomori disebut sebagai penyakit sosial atau manusia “tidak normal”? Mengapa masyarakat kita yang suka berada di luar rumah, namun lebih aktif menipu dan merugikan orang lain, disebut sebagai manusia “normal”? Mengapa, orang-orang yang tidak pernah menyakiti ataupun merugikan orang lain, disebut sabagai “anti sosial”, sementara para koruptor yang memiliki banyak relasi dan kerabat, disebut sebagai memiliki “kecerdasan bersosialisasi”? Mengapa seolah menjadi seorang Hikikomori adalah sebuah kejahatan? Hikikomori barulah buruk dan negatif, sepanjang menjadi beban bagi orang lain atas pilihan hidupnya sendiri. Ada seorang tetangga, yang sudah diketahui warga sekitar merupakan koruptor, memiliki banyak harta namun bersumber dari uang kotor, dan dirinya tidak jarang merendahkan martabat seorang hikikomori. Bukankah yang semestinya lebih merasa malu dan memalukan ialah perbuatan si koruptor itu sendiri, mengapa seolah korupsi lebih terhormat daripada menjadi seorang hikikomori?
Masyarakat kita sendiri yang membuat kaum hikikomori menjadi seorang hikikomori, tidak nyaman hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak mampu menghargai harkat dan martabat sesama manusia, dapat sewaktu-waktu dilukai dan dirugikan tanpa ada rasa bersalah dari pelakunya, sehingga kaum hikikomori lebih memilih menghindar dan menarik diri dari masyarakat semacam ini, tidak ingin lagi disakiti dan trauma. Hikikomori adalah sebagai akibat, sehingga terjadinya bukan semata karena faktor keinginan atau dorongan internal seorang hikikomori. Hikikomori termasuk kaum minoritas, adakah sistem hukum kita di Indonesia mengakomodasi kepentingan, suara, serta aspirasi dan perlindungan bagi kaum hikikomori?
Brief Answer: Tampaknya, kita perlu memandang fenomena “hikikomori” sebagai suatu pilihan hidup masing-masing individu, kecuali terdapat adanya unsur keterpaksaan sehingga menarik diri dari tengah-tengah masyarakat guna melindungi dirinya dari perilaku buruk masyarakat sekitarnya. Sama halnya, dengan mereka yang memilih hidup selibat sebagai seorang bhikkhu, sebagai contoh, bukanlah hal yang tabu ataupun melanggar kodrat sosial seorang manusia, semua itu menjadi pilihan hidup masing-masing. Yang hidup berumah-tangga tidak berhak untuk menghakimi kalangan yang hidup selibat, dan sebaliknya yang hidup selibat menghargai pilihan hidup mereka yang berumah-tangga.
Penulis setuju bahwa fenomena sosial “hikikomori” merupakan sebentuk “akibat” (wujud kekecewaan terhadap masyarakat, sehingga merasa tidak aman berada bersama orang lain, biasanya dipicu oleh efek traumatik akut eksternal diri bersangkutan), bukan sebagai “sebab”, karena ada sebab yang memicu atau mendahului keputusan untuk “menarik diri dari aktivitas / kegiatan sosial”. Sebagaimana fenomena anak “punk” di Amerika Serikat, sebagai respons sikap mereka yang mencoba “mendobrak dan memberontak terhadap budaya kemapaman”, seringkali bermula dari kehidupan “broken home” sebagai pemicu utamanya anak-anak muda menjelma anak “punk” yang kerap bersosialisasi dengan kawan-kawan sebaya dan sekaumnya secara meng-cluster diri disamping sukar diatur, dimana mereka memaknai gerakan “punk” mereka sebagai kebebasan bereskpresi.
Fenomena “hikikomori” merupakan cerminan atau pertanda ada yang keliru pada sistem pendidikan kita, pola asuh dalam keluarga, hingga teladan yang kontradiktif antara ucapan dan perilaku kalangan agamawan kita, hingga otoritas negara yang dipandang lebih memikirkan kepentingan pribadi para elit-elit politik. Pada satu sisi, mereka yang hidup dalam pola hidup “hikikomori”, bisa jadi merupakan hasil “korban” diskriminasi masyarakat kita, “korban” dalam pola asuh keluarga, “korban” gaya pendidikan formal kita yang penuh kontroversi dan kurang memberdayakan, hingga sistem hukum kita yang kurang mengakomodasi suara-suara maupun aspirasi yang diluar “mainstream”.
Namun tidak pernah ada penelitian resmi di Indonesia, apakah para warga yang hidup dalam cara hidup “hikikomori” demikian merupakan kaum minoritas ataupun sebaliknya, sejauh ini belum pernah terdapat kajian saintifik ataupun statistik perihal fenomena “hikikomori” di Indonesia, kecuali di Jepang yang telah cukup baik memetakan warga mereka dari fenomena ini, bahkan kecenderungannya konon kian tinggi pada era modern.
Mengatur hak-hak serta perlindungan bagi kaum “hikikomori”, bukanlah menjadi solusi jangka pendek terlebih sebagai jalan keluar untuk jangka panjang. Sama seperti kaum marginal, isu terkait gender, ataupun kaum difabel, diskriminasi dapat tetap terjadi sekalipun telah banyak produk hukum yang mengatur. Kaum difabel ataupun terkait gender, tidak lagi dapat diubah keadaan fisiknya. Namun fenomena “hikikomori” sejatinya tidak perlu terjadi bilamana tingginya tingkat kejahatan dan penyalah-gunaan kepercayaan tidak kerap terjadi di tengah-tengah suatu bangsa, sehingga mereka akan lebih menyukai dunia luar dan dunia bebas di luar sana ketimbang menghindari “serigala-predator berwujud manusia yang berkeliaran di luar sana”.
Sehingga, sebagai kesimpulan untuk sementara dan sejauh ini, bukanlah faktor hukum yang dapat mengakomodasi kepentingan kaum “hikikomori”, namun kesadaran kolektif-komunal masyarakat kita itu sendiri untuk mulai lebih “humanis” guna menghindari anak-anak muda kita kian menarik diri dari lingkungan pergaulan dan sosial. Meski demikian, yang pertama-tama perlu kita lakukan ialah kita mulai mengakui bahwa fenomena “hikikomori” tidak mustahil akan dapat dengan mudah kita jumpai terjadi pula di Indonesia, untuk kemudian melakukan analisa untuk menemukan solusi berupa perbaikan kultur serta pembenahan wajah masyarakat kita agar lebih “humanis” bagi sesamanya.
PEMBAHASAN:
Memang perlu kita akui, sukar sekali memilah atau membuat pemilahan berupa pengkotak-kotakan, manakah yang dapat disebut sebagai “sosial” dan “asosial”. Masyarakat di Indonesia sangat masif sekali atas perilaku “korup” di kesehariannya, bukan hanya terjadi oleh kalangan pejabat negara, bahkan lingkup Ketua Rukun Tetangga di lingkungan pemukiman kita, hingga seseorang yang telah kita kenal lama sebagai teman, atau bahkan sekelas “office boy” maupun para pedagang “kaki lima”, tidak jarang dan tidak tertutup kemungkinan akan melakukan hal-hal “corrupt” terhadap kita atau terhadap orang lain, sehingga bila ukuran apa itu “sosial” memakai paramater budaya hidup mayoritas warga kita, bisa jadi sikap “korup” dianggap sebagai perilaku “sosial”, sementara bagi orang-orang yang memilih untuk menjaga integritas serta moralitasnya dengan tidak melakukan perbuatan “korup”, akan seketika itu juga dianggap “melawan arus” dan “aneh sendiri”, sehingga akan dinilai sebagai “asosial”.
Apakah itu “hikikomori”? Penjabarannya dapat kita temukan dalam berita bertajuk “Hikikomori: Ketika Banyak Orang Jepang Mengasingkan Diri”, Oleh Tony Firman, 29 Januari 2019, https:// tirto .id/hikikomori-ketika-banyak-orang-jepang-mengasingkan-diri-dfgu, diakses pada tanggal 22 Juni 2020,
Ratusan ribu remaja sampai dewasa Jepang menarik diri dari pergaulan sosial dan mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Bagi Hide, masalah besar dimulai ketika dia berhenti sekolah. Lantas, dia hilang dari pergaulan sosial, dan memilih untuk mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan. Sepanjang hari yang ia lakukan cuma tidur dan duduk menonton TV.
“Aku mulai menyalahkan diri sendiri, dan orang tua juga menyalahkanku karena tidak pergi ke sekolah. Tekanan mulai menumpuk,” kata Hide kepada BBC 2013 silam. “Lalu, lambat laun, aku menjadi takut untuk keluar dan takut bertemu orang. Dan kemudian aku tidak bisa keluar dari rumahku.”
“Aku memiliki semua jenis emosi negatif,” ujarnya lagi. “Kemarahan, kesedihan karena memiliki kondisi ini, takut terhadap masa depan, dan kecemburuan terhadap orang-orang yang menjalani kehidupan normal.”
Kisah serupa dituturkan oleh Matsu. Dia ingin menjadi programer dan bekerja di perusahaan mapan. Namun sang ayah yang seorang seniman dan punya usaha sendiri ingin agar putra sulungnya itu meneruskan jejaknya. “Dia bilang jangan menjadi karyawan yang digaji.”
Sikap keras sang ayah membuat Matsu terpukul dan terpuruk. Dia menjadi sangat marah manakala melihat adiknya bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Maka dia turut mengurung dan mengasingkan diri dari kehidupan sosial.
Hide dan Matsu sama-sama melakukan apa yang disebut hikikomori. Ini adalah istilah untuk menyebut orang-orang yang menghindari kontak pribadi atau sosial dan hidup dalam pengasingan sendiri untuk jangka waktu yang lama, setidaknya enam bulan. Fenomena ini merebak di Jepang pada 1990-an.
Pada awal dekade 1990, Tamaki Saito, seorang psikiater yang mengamati fenomena hikikomori, terkejut dengan banyaknya orang tua yang mencari bantuan menangani anak-anak mereka yang mogok sekolah dan mengurung diri selama berbulan bulan bahkan bertahun-tahun. Para remaja ini kerap berasal dari keluarga menengah atas. Ketika itu, penderitanya hampir selalu laki-laki berusia sekitar 15 tahun.
“Pikiran mereka tersiksa,” kata Saito yang menulis buku How to Rescue Your Child From Hikikomori (2002). “Mereka ingin keluar, mereka ingin berteman atau mencari cinta, tetapi mereka tidak bisa.”
Bahkan pada medio 1980, Saito sudah menangani pasien yang punya ciri-ciri hikikomori: pria muda yang tampak lesu, tidak komunikatif, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar. Ketika itu, Saito belum punya julukan bagi kondisi tersebut. Awalnya Saito mendiagnosis pengasingan diri ini sebagai jenis depresi, gangguan kepribadian, atau skizofrenia. Seiring bertambahnya waktu, jumlah pasien dengan gejala serupa makin banyak. Akhirnya Saito memakai istilah hikikomori, dan dengan cepat istilah itu tersebar hingga menjadi rujukan populer.
Pada September 2016, Kantor Kabinet Jepang merilis hasil survei mereka yang menyatakan ada sekitar 541 ribu orang usia 15-39 tahun di Jepang yang melakukan pengasingan sosial akut. Sekitar 35 persennya telah mengisolasi diri selama tujuh tahun atau lebih. Jumlah hikikomori memang menurun ketimbang tahun 2010 yang jumlahnya mencapai 696 ribu orang.
Namun yang harus dicatat adalah: mereka yang mengasingkan diri lebih dari tujuh tahun justru malah meningkat. Ditambah, survei ini tidak mencakup mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 39 tahun. Diperkirakan angka hikikomori lebih besar daripada hasil survei, apalagi mengingat banyak orang yang menyendiri itu tidak mengakses lembaga medis atau organisasi pendukung lainnya sehingga luput dari pendataan.
Prediksi GQ Magazine, tahun 2030 Jepang bakal menerima ledakan hikikomori berusia lanjut ketika banyak dari mereka menginjak usia 60 tahun atau lebih. Hikikomori usia lanjut bakal punya masalah baru karena mereka kehilangan orang tua dan kerabat terdekat yang selama ini menjadi tumpangan hidup. Selain makin menyulitkan upaya pengembalian hikikomori ke lingkungan sosial, pemerintah Jepang patut khawatir jika generasi penerus negeri Sakura banyak dihuni hikikomori.
Selain itu, makin ke sini, hikikomori tidak hanya didominasi oleh pria. Naohiro Kimura, seorang penyintas yang kini mendirikan portal Hikikomori News memperkirakan rasio orang yang terkucil dari lingkungan sosial hampir sama antara wanita dan pria. "Banyak yang mulai menyadari bahwa ada cukup banyak hikikomori yang merupakan ibu rumah tangga," ujarnya.
Usai Perang Dunia II, Jepang yang kalah perang dan harus hancur lebur kena hantam bom atom, harus memulai segalanya dengan kerja lebih keras. Hasilnya, penduduk Jepang yang tumbuh besar di era itu dianggap “kaku” serta hanya tahu soal kerja keras dan dapat gaji. Akibatnya, semacam ada gegar generasi. Yang muda menganggap generasi tua miskin imajinasi, tak punya kreativitas, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan zaman baru. Sedangkan generasi tua melabeli yang muda sebagai anak-anak lembek dan mudah patah.
Bahkan hingga akhir 1990 di Jepang, depresi tidak diakui sebagai suatu kondisi yang butuh penanganan khusus. Malahan, depresi hanya dianggap alasan seseorang agar bisa cuti dari pekerjaan. Ini lantas menjadi salah satu muara yang menyebabkan hikikomori. Big Think pernah menyinggung bagaimana kehidupan sosial di Jepang yang disiplin dan penuh tekanan, bisa membuat seseorang yang melakukan beberapa kesalahan dapat berujung pada sikap menarik diri dari pergaulan sosial.
Sedangkan Saito yang telah merawat lebih dari 1.000 pasien hikikomori menyebutkan bahwa masalah pemicu hikikomori biasanya adalah hubungan antara orang tua dan anak. Misalkan anak kerap ditekan agar nilai akademisnya bagus, sukses di karier, jadi panutan adik, hingga diikutkan berbagai macam les.
Namun ada beberapa upaya untuk menyelesaikan masalah hikikomori ini. Salah satunya digagas oleh Noki Futagami dari New Start, sebuah organisasi non-profit yang bergerak mendampingi para hikikomori.
Hikikomori mungkin menyerupai sebuah “cangkang” tempat berlindung. Tugas utama kita adalah agar membuat dunia luar mereka menjadi tempat yang aman bagi mereka untuk menjelajah tanpa rasa takut atas ancaman apapun. Begitu pula kian tidak ramahnya ruang-ruang publik seperti kian minimnya ruang terbuka hijau untuk tempat berekreasi, kian tidak ramahnya kondisi jalanan umum dari kendaran bermotor yang memadati atau melaju secara serampangan dan penuh polusi, hingga tingginya aksi kriminalitas, disamping tidak ramahnya kondisi trotoar jalan kita bagi pejalan kaki.
Untuk memahami apa itu “hikikomori” serta cara menanggulanginya, maka mau tidak mau kita perlu memahami faktor-faktor penyebabnya. “Potret Orang Jepang dengan Hikikomori, Sindrom Antisosial & Mengurung Diri di Rumah”, oleh : Nita Hidayati, 11 April 2020, https:// www. 99 .co/blog/indonesia/sindrom-hikikomori-jepang/, diakses pada tanggal 22 Juni 2020:
Hikikomori (ひきこもり or 引き籠り) Berasal dari bahasa Jepang yang artinya mengurung diri. Orang-orang ini terdiri dari remaja dan dewasa yang mengurung dirinya seharian di dalam rumah. Ciri-cirinya dari orang yang melakukan hikikomori ialah sebagai berikut:
- Menghabiskan waktunya setiap hari mengurung diri di dalam kamar.
- Tidak pernah mau bersosialisasi dan selalu menjauhkan diri dari dunia luar.
- Mengurung diri hingga enam bulan lebih.
Di Jepang sendiri, jumlah penduduk hikikomori sudah mencapai jutaan. Dalam laporan Wall Street Journal, tercatat ada sebanyak 500 ribu hingga 2 juta orang hikikomori.
Selain di Jepang, ternyata sindrom antisosial ini juga ditemukan di negara-negara maju lainnya. Seperti Amerika Serikat, Hong Kong, hingga Spanyol, dengan rentang usia yang sama beragam.
Pengidap hikikomori, umumnya adalah para remaja dengan rentang usia 15 hingga 25 tahun dengan jenis kelamin laki-laki. Tetapi, ada juga beberapa kasus hikikomori yang dilakukan oleh pria paruh baya. Dalam beberapa kasus ekstrem, hikikomori dilakukan oleh beberapa orang dengan tingkat intelegensi yang tinggi atau profesi tertentu.
Ada beberapa penyebab mengapa seseorang melakukan hal ini. Faktor-faktor tersebut bisa disebabkan oleh lingkungan sekolah, keluarga atau bahkan individu itu sendiri.
1. Lingkungan Sekolah.
Jika seseorang sering di-bully atau mendapatkan perundungan, apalagi sampai disertai penyiksaan fisik, maka dapat memengaruhi psikologinya.
Pada tahap tertentu korban perundungan akan berusaha melarikan diri dari lingkungan sekolahnya. Bagi mereka, berdiam di rumah merupakan cara terbaik dan aman untuk terhindar dari pelaku dan bahkan untuk menghindar dari dunia sosial.
Pada beberapa kasus yang ekstrem seorang pelajar bisa bunuh diri karena gagal ujian atau tidak sanggup memenuhi ekspektasi nilai akademik. Padahal mungkin mereka sudah berusaha dengan belajar.
Tekanan dari lingkungan sekolah dan keluarga atau bahkan standar dirinya sendiri ini juga dapat membuat seseorang jadi mudah stres dan depresi. Jika tidak membunuh diri, menjadi hikikomori pun ditempuh untuk melarikan diri dari dunia yang sesungguhnya.
2. Penyebab Hikikomori dari Keluarga.
Orang tua yang terlalu memanjakan seorang anak dapat menjadi salah satu penyebab anak tidak ingin meninggalkan rumah. Orang tua yang kerap melarang anak untuk bermain di luar juga dapat membuat anak tumbuh menjadi takut dan mudah stres. Sehingga anak merasa sangat terlindungi di rumah dan tidak mau keluar dari zona nyamannya.
3. Lingkungan Sosial Menjadi Salah Satu Penyebab Hikikomori.
Lingkungan sosial juga memberikan pengaruh pada diri seseorang. Sebagian pelaku hikikomori banyak yang tidak memiliki kepercayaan pada orang-orang. Hal ini disebabkan karena adanya penolakan dan berbagai ekspektasi yang tidak sesuai antara pikiran dan kenyataan yang ada.
4. Penyebab Hikikomori dari Diri Sendiri.
Stres dan depresi merupakan salah satu tanda seseorang memerlukan pertolongan. Hikikomori adalah salah satu tindakan dari rasa stres dan depresi seseorang untuk menjauh dari sekitar.
Terdapat sebuah “plesetan” peristilahan, manusia sebagai “homosapiens” menjelma “hikikomori” sang “homesapiens”. Selengkapnya dalam “Kisah ‘Hikikomori’, Mereka yang Menarik Diri dan Hidup di Kamar”, oleh : Elin Yunita Kristanti, 19 Jul 2013, https: //www. liputan6 .com/global/read/643388/kisah-hikikomori-mereka-yang-menarik-diri-dan-hidup-di-kamar, diakses pada tanggal 22 Juni 2020:
Di Bumi yang sedemikian luas, yang menawarkan beragam pengalaman, ternyata ada ratusan ribu, bahkan jutaan orang yang memilih mengurung diri di dalam rumah, hingga puluhan tahun lamanya. Menjadikan kamar sebagai dunianya. Mereka menarik diri dari lingkungan, atau dalam Bahasa Jepang: hikikomori.
Pemicunya ada beragam. Bisa karena nilai sekolah yang jelek atau patah hati. Atau tak kuat dan tak mampu menanggung harapan serta tuntutan besar orang tua dan masyarakat. Namun, penarikan diri berakar dari trauma. Dan kekuatan sosial bisa membuat mereka makin lama berada di dalam kamar.
“Pikiran mereka tersiksa. Mereka ingin keluar, kembali ke dunia. Ingin berteman atau memiliki kekasih, tapi mereka tak mampu,” kata Tamaki Sato.
Orang tua pun ikut menderita menghadapi kondisi itu. Salah satunya Yoshiko. Putranya secara bertahap menarik diri dari masyarakat saat berusia 22 tahun. Awalnya, ia masih suka berbelanja. Tapi semenjak itu bisa dilakukan online lewat internet, ia tak lagi pernah keluar rumah. Kini, putranya itu berusia 50 tahun. Sudah paro baya.
“Kupikir putraku kehilangan daya, bahkan untuk menginginkan sesuatu, untuk melakukan apa yang ia ingin lakukan,” kata perempuan sepuh itu. “Mungkin dulu ia punya sesuatu yang ingin dilakukan, tapi kupikir, aku yang telah menghancurkannya.”
Dan ternyata, itu tak hanya terjadi di Jepang. Kepada BBC sejumlah menceritakan pengalamannya, menarik diri dari dunia.
“Aku menarik diri dari masyarakat sejak 12 tahun lalu. Hingga kini belum pulih, aku masih menghabiskan waktuku sendiri. Aku tak bekerja, tidak ke luar rumah, dan bertahan hidup dari jaminan sosial,” kata Nicholas dari Massachusetts, AS.
Dia mengatakan, masalah utama yang dihadapi orang-orang sepertinya adalah ketakutan luar biasa menghadapi kegagalan -- meski itu belum terjadi.
Sementara, Darren, asal London mengaku tak punya harga diri, kepercayaan diri, dan tak punya teman. Masalah yang menderanya sejak sekolah dasar. Meski tetap bekerja demi bertahan hidup, Daren menghabiskan waktu luangnya di kamar. Memendam iri pada orang lain, yang menurutnya, menjalani hidup dengan mudah.
Di usia 43 tahun ini ia masih tinggal bersama orangtuanya. “Jika mereka memaksaku pindah, satu-satunya cara adalah menempatkan jasadku di kantung mayat.”
Bahkan seseorang pensiunan dosen astrofisika pun merasakan hal yang sama. Inisialnya P, asal California. Ia mengaku tak bisa bergaul dan tak punya teman. Di masa mudanya, ia melarikan diri dengan belajar sains dan matematika.  Dan kini, “Aku merasa, dalam jangka panjang, aku akan hidup dan mati di jalanan,” kata dia.
Sementara, Watila, dari Tamil Nadu, India mengaku, penarikan diri awalnya menjadi jalan keluar baginya, tapi membuat tubuhnya susut hingga 9 kilo. Ia tahu benar, jika diteruskan, pasti dia segera mati.
Watila pun mulai membaca buku-buku yang membuatnya tertawa, main Facebook, game, dan mulai membuka diri dan mengakui kondisinya pada sejumlah teman. Bantuan dan doa pun berdatangan. “Namun, langkah pertama, yang terpenting bagiku saat itu, adalah bertekad dan mengatakan, ‘aku ingin keluar dari kegelapan ini,” kata dia. (Ein)
Bagaimanakah yang menjadi perspektif seorang “hikikomori”? Secara sederhana mungkin dapat diterangkan dalam artikel sumber https:// japanesestation .com/lifestyle/life-relationship/hikikomori-fenomena-penyakit-sosial-di-kalangan-remaja-jepang, diakses pada tanggal 22 Juni 2020:
Mungkin orang akan menganggap hikikomori itu sama dengan otaku. Namun sebenarnya berbeda. Otaku adalah orang yang memiliki minat atau hobi yang berlebihan sehingga mereka mengabaikan kegiatan yang lain, tapi mereka masih berinteraksi dengan keluarga atau teman di dunia nyata. Seperti penggemar komik yang berlebihan, atau orang yang suka dengan model kit secara berlebihan. Namun semua hikikomori itu otaku, karena pelarian dari beban mereka adalah dengan memfokuskan diri pada hal yang mereka sukai agar mereka tidak teringat akan sakitnya pergaulan sosial itu.
Ada tulisan yang nyatakan bahwa ada hikikomori yang sebenarnya anak berbakat dalam bidang olahraga namun tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkannya di sekolah. Seperti pepatah jepang, paku yang menonjol akan dipalu untuk menjadi seragam. Di Jepang, keseragaman adalah utama, penampilan dan respek (postur tubuh atau muka) adalah penting, maka pemberontakan akan kompetisi dilakukan dengan menarik diri.
Semakin tua seseorang hikikomori, semakin kecil kemungkinan dia bisa berkompeten di dunia luarnya. Bila setahun lebih hikikomori, ada kemungkinan dia tidak bisa kembali normal lagi untuk bekerja atau membangun relasi sosial dalam waktu lama, menikah misalnya. Beberapa tidak akan pernah meninggalkan rumah orang tuanya. Pada banyak kasus, saat orang tuanya meninggal atau pensiun akan menimbulkan masalah karena mereka tanpa kemampuan kerja dan sosial minimal – bahkan untuk membicarakan masalahnya dengan orang lain atau (kepada) kantor pemerintah. Hikikomori memang salah satu masalah bagi Jepang, setelah lebih dari satu dekade sebelumya menikmati kemajuan ekonomi yang luar biasa.
Siapakah yang paling patut dipersalahkan atas fenomena “hikikomori”? Selengkapnya sebagaimana dalam “Satu Juta Orang Terserang Penyakit Misterius”, Reporter : Sandy Mahaputra, https:// www. dream .co.id/news/satu-juta-orang-terserang-penyakit-misterius-150713n.html, diakses pada tanggal 22 Juni 2020:
Krisis sosial dan kesehatan mengganggu hampir satu juta orang Jepang. Salah satunya disebut sebagai hikikomori. Penderita hikikomori, sebagian besar pemuda, memiliki kelainan dengan menarik diri dari pergaulan sosial. Mereka biasanya mengisolasi diri di kamar tidur, dalam beberapa kasus hingga bertahun-tahun.
Salah satu dari beberapa ahli hikikomori di Jepang, Takahiro Kato, pernah menderita kondisi ini saat masih menjadi mahasiswa. Namun sekarang dia bekerja untuk mencegah kondisi aneh itu berpengaruh secara luas pada generasi berikutnya.
Kato, yang sedang meneliti hikikomori dengan tim ahli di Universitas Kyushu di Fukuoka, mengatakan ia melihat kasus hikikomori begitu parah sehingga beberapa orang di usia 50-an menarik diri dari masyarakat selama lebih dari 30 tahun.
Ia mengatakan penderita, yang menolak melakukan kontak dengan teman-teman dan bahkan keluarga, sering kali adalah para pemuda yang ‘cerdas dan mampu’. Hal ini akan berpengaruh dan menjadi masalah bagi ekonomi Jepang.
“Saya khawatir tentang hal itu karena, sekarang sekitar satu persen dari populasi Jepang terjangkit hikikomori atau kondisi yang menyerupainya,” kata Kato kepada Daily Mail Australia. Mayoritas setelah mereka lulus pascasarjana sehingga berdampak pada ekonomi.
“Beberapa penderita hikikomori adalah lulusan universitas terkenal sehingga kasus ini sangat menyedihkan,” kata Kato.
Salah satu penderita hikikomori yang kini sudah sembuh adalah Yuto Onishi, 18, asal Tokyo. Dia mengurung diri di kamarnya selama hampir tiga tahun sebelum dia sembuh setelah menjalani perawatan enam bulan lalu.
Onishi menghabiskan hari-harinya tidur dan ketika malam dia lebih banyak browsing internet dan membaca manga Jepang. Onishi benar-benar tidak berbicara dengan siapa pun. Onishi mengatakan dia yakin kondisinya dipicu oleh insiden di SMP ketika ia gagal menjadi ketua kelas.
“Setelah mengalaminya, Anda akan kehilangan realitas. Saya tahu itu kondisi yang abnormal tapi saya ingin berubah. Lebih aman seperti sekarang,” kenang Onishi.
Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang mendefinisikan hikikomori sebagai orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam masyarakat, terutama bekerja atau belajar, dan tidak memiliki hubungan non-keluarga dekat. Gejala mereka terlihat selama enam bulan atau lebih.
Kato mengatakan dia yakin faktor lingkungan berkontribusi terjadinya hikikomori, dengan sebagian besar kasus terjadi dalam keluarga kelas menengah.
“Kami sangat jarang menemukan hikikomori di keluarga miskin. Jadi lingkungan kelas menengah dan keluarga kelas menengah, memiliki risiko tinggi terkena hikikomori,” katanya.
Kebanyakan studi kasus hanya terfokus pada aspek psikologis, tapi hikikomori bukan hanya tentang penyakit mental. Pengobatan untuk penderita hikikomori memerlukan pembangunan kembali kemampuan komunikasi sebagai langkah pertama, karena beberapa tidak berbicara dengan orang yang dicintai selama bertahun-tahun.
Pendekatan terapi utama adalah psikoterapi - terutama kelompok psikoterapi karena banyak penderita hikikomori tidak berkomunikasi dengan orang lain sehingga mereka perlu memiliki pengalaman komunikasi dalam kelompok,” kata Kato.
Cukup menarik menyimak pendapat dari Ariroza Sunjay, perihal fenoemna “hikikomori”, dalam https:// id.quora .com/Pernakah-Anda-bertemu-seseorang-yang-mengalami-hikikomori-Bagaimana-cara-menyembuhkannya-agar-orang-tersebut-bisa-kembali-berfungsi-secara-sosial, diakses pada tanggal 22 Juni 2020:
Saya sebetulnya kurang begitu tahu bagaimana jawabannya. Tapi saya akan coba jawab sejauh pengetahuan saya. Hikikomori singkatnya adalah menarik diri dari kehidupan sosial. Artinya, penderita Hikikomori cenderung menjauhi pergaulan dan hubungan sosial. Banyak penyebabnya, tapi kebanyakan berupa pilihan dari si orang tersebut yang memang memilih menarik diri.
Menurut saya, sebagai seorang awam, Hikikomori bisa jadi sebuah bentuk aksi dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi dunia nyata. Bisa jadi karena dunia baginya terlalu kejam dan menindas tanpa ampun, atau bahkan dia merasa tidak mampu untuk menyesuaikan diri dalam pergaulan masyarakat yang penuh kepalsuan, sehingga ia menarik diri.
Beberapa kasus dijumpai, penderita Hikikomori ini sebetulnya masih bisa bergaul di dunia maya. Mereka masih bermain bersama, berselancar di internet, namun tidak dengan pergaulan dari dunia nyata.
Menurut saya, satu-satunya cara mengembalikan mereka ke lingkungan sosial adalah dengan mengembalikan dulu kepercayaan diri mereka terhadap diri mereka sendiri. Menghargai mereka, tidak merundung mereka, dan mendengarkan aspirasi mereka mungkin awal yang baik untuk dapat membawa kembali mereka ke arena pergaulan sosial.
Selain itu, teman baik yang selalu ada juga diperlukan selain tentunya peran orang terdekat seperti keluarga yang terus mendampingi dan menyemangati. Tidak ada yang mampu mengubah kebiasaan penderita Hikikomori selain dirinya sendiri. Harus dimulai dari niat untuk kembali ke sosial, disertai dengan dukungan dari orang-orang terdekat, dan penghargaan atas usaha-usaha yang telah mereka lakukan. Kalau mereka telah merasa dianggap di dalam masyarakat, sudah barang tentu mereka akan kembali menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Semoga membantu menjawab meskipun sedikit.
Senada dengan itu, sebagaimana dituliskan dalam : https:// www. wattpad .com/739873170-psychology-disorders-hikikomori/page/3, diakses pada tanggal 22 Juni 2020:
Biasanya faktor yang paling mempengaruhi hikikomori adalah kehidupan sosial saat di sekolah, seperti : sering di Bully. Bagi Mereka, dunia akan terasa jauh lebih aman jika tidak melangkah ke luar rumah.
Penyebab dari lingkungan sosial. Pengaruh dari lingkungan yang tidak disukai dan dirasa tidak memberi kontribusi positif buat diri juga bisa membuat seseorang lebih memilh untuk menutup dirinya dari dunia luar. Sebagian pelaku hikikomori merasa tidak memiliki kepercayaan pada orang-orang (lost faith in humanity), hal ini biasanya terjadi karena adanya penolakan dan berbagai ekspektasi yang tidak cocok antara pemikiran dengan kenyataan yang ada. Rasa stres dan depresi berlebih, adalah salah satu tanda seseorang membutuhkan pertolongan.
Hindari faktor pemicunya, atau setidaknya minimalisasi faktor-faktor pemicunya, dengan mulai memperbaiki wajah kehidupan sosial kita agar lebih “citizen friendly”, meniadakan praktik perundungan, berlaku adil, bersikap humanis terhadap sesama, saling menghargai dan menghormati harkat dan martabat masing-masing, tidak saling menipu kepercayaan yang diberikan oleh orang lain, tidak saling melukai, tidak saling merugikan, serta tidak saling menyakiti namun saling menjaga dan saling melindungi. Terdengar klise, namun tiada cara yang lebih efektif dari itu.
Jadikan negeri kita sebagai bangsa yang ramah terhadap sesama warganegara, dimulai dengan membangun komunitas bangsa yang ramah bagi sesamanya, keluarga yang hangat bagi setiap anggota keluarga, lingkungan kerja dan pendidikan yang menerapkan sistem meritokrasi, pemerintah yang perlu dapat dipercaya oleh rakyatnya, dan sesama rakyat sipil yang saling menghormati tanpa saling merugikan satu sama lain. Tidak jarang, kaum Hikikomori mengalami gunjangan batin / trauma ketika mendapati orang-orang terdekatnya sendiri menyakiti dan melecehkan diri yang bersangkutan, sehingga memicu dirinya secara akumulasi untuk mulai menarik diri dari keluarga maupun masyarakat, dengan berpikir bahwa jika orang-orang terdekatnya sendiri menyakiti dirinya, maka itu artinya dunia ini bukanlah tempat yang aman bagi dirinya (unsecure).
Singkatnya, ialah dengan mulai menjadi bangsa yang egalitarian, dapat saling dipercaya, mampu saling menghargai harkat dan martabat satu sama lain, menutup setiap bentuk-bentuk aksi intoleran dan radikalisme, menerima keberagaman, dan mengendepankan semangat keadilan bagi setiap warganegara tanpa terkecuali. Dengan cara begitulah, fenomena “hikikomori” dapat diminimalisir, karena dunia luar begitu tampak indah dan penuh keamanan serta kehangantan yang menggoda untuk dijelajahi tanpa merasa terancam untuk hidup ditengah-tengahnya.
Karenanya, bukan masalah ada atau tidaknya regulasi pemerintah perihal fenomena “hikikomori”, karena tidak semua hal dapat ditangani dengan produk hukum, namun oleh wajah sosial-kemasyarakatan kita itu sendiri. Sekali lagi, “homesapiens” adalah “akibat”, bukan sebagai “sebab”. Demikianlah perihal “hikikomori”, korban dari wajah masyarakat kita yang jauh dari wajah-wajah “humanis”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.