Kode Etik Segala Profesi, TRANSPARANSI kepada Konsumen / Pengguna Jasa

ARTIKEL HUKUM
Memang mengherankan, ketika Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) kita banyak diisi oleh tenaga pengajar “teoretis” ketimbang tenaga pengajar “praktisi”, sehingga para peserta didik SMK kita tidak pernah “siap pakai” ketika memasuki dunia kerja sebagai angkatan kerja terbuka. Mengapa para pengelola SMK kita tidak secara transparan saja, membuka pendaftaran siswa baru dengan spanduk besar “Sekolah Menengah TEORI” ketimbang “Sekolah Menengah KEJURUAN”—sehingga para lulusannya pun ketika melamar pekerjaan tidak mengaku-ngaku sebagai tenaga terampil lengkap dengan izasah SMK, alih-alih izasah SMT.
Jika SMK kita hendak diperpanjang masa sekolahnya menjadi empat tahun lamanya hingga peserta didiknya dapat diluluskan, sama artinya empat tahun siswa SMK kita diwajibkan untuk berjibaku mempelajari teori, yang alangkah lebih elok bila SMK cukup selama satu tahun lamanya namun murni terjadi “transfer of knowledge” berupa keterampilan prastis yang dapat dipraktikkan, “practicable” (able to be done or put into practice effectively), sehingga menjadi mampu menghasilkan, berkarya, ataupun memproduksi secara produktif dan mandiri, bahkan sebagai wirausahawan karena telah memiliki bekal atau modal berupa keterampilan.
Terlebih ironis ketika pemerintah membuat program pelatihan bagi para angkatan kerja yang belum atau tidak lagi memiliki pekerjaan, seolah masyarakat / tenaga kerja kita yang telah melewati masa studi selama puluhan tahun mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Utama, hingga Universitas / Perguruan Tinggi, belum cukup juga menjadi sarana untuk menumbuhkan jiwa-jiwa berwujud tenaga terampil yang berketerampilan, sehingga masih juga perlu dibekali pelatihan-pelatihan semacam itu.
Teori yang dikemas dengan sebutan sebagai “pelatihan”, tetap saja teori, sehingga hanya memperlama masa studi pembelajaran teori, hingga mencapai separuh dari umur hidup sang angkatan kerja sejak pertama kali mengenyam kursi Sekolah Dasar, sehingga tidak mengherankan bila sangat minim kalangan pengusaha mandiri di Indonesia, karena hanya pandai berteori ketimbang mengaplikasikannya. Kurikulum yang disebut sebagai “parktikum”, tetap saja kurikulum teori, bila pendekatannya ialah teoretis belaka. Tiada yang dapat kita kelabui maupun “curangi” disini, dapat kita saksikan sendiri kondisi ekonomi dan angkatan kerjanya saat kini di Indonesia sebagai bukti nyata wajah lembaga pendidikan formal kita.
Sehingga, menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, selama ini apa sajakan yang diajarkan kepada para peserta didik kita di negeri ini oleh para guru-guru kita? Alangkah lebih elok bila kurikulum pendidikan formal kita yang sudah sejak lama perlu direvisi menjadi berbasis praktik ketimbang menjejali teoreti kepada para siswanya, dengan embel-embel kompetensi alias kompeten dibidang teori semata. Ternyata, program pelatihan yang diadakan oleh pemerintah, lagi-lagi hanya formalistis yang menjadi proyek “mengada-ada” guna berpesta-pora menghabiskan anggaran negara itu sendiri, demi keuntungan penyedia pelatihan yang menjadi rekanan pemerintah yang lagi-lagi substansinya ialah teori ketimbang keterampilan praktis.
Bahkan, kita dapat belajar keterampilan praktis secara otodidak dari video-video tutorial yang dapat diakses secara bebas oleh siapa pun tanpa biaya apapun, semisal sebagaimana dapat kita temukan dalam “Youtube” yang kaya akan berbagai channel pengetahuan dan keterampilan mulai dari kegiatan bertukang, memasak, menjahit, berbisnis, dan lain sebagainya—sungguh suatu workshop yang lengkap. Bukan berapa lama kita bersekolah dan berkuliah, namun berapa banyak dari masa studi itu kita isi dengan menempa keterampilan praktis dengan ilmu-ilmu terapan, bukan ilmu-ilmu teoretik. Cukuplah masa usia wajib belajar kita di negeri ini diminimalisasi hingga separuhnya, namun dioptimalisasi untuk keterampilan dan pengetahuan praktik yang dapat diaplikasikan dan dipraktikkan secara nyata, sehingga peserta didik lebih berdaya, lebih percaya diri, lebih mandiri, serta lebih terampil untuk dapat disebut sebagai tenaga “siap pakai”.
Sama tidak jujurnya dengan kalangan penyelenggara Perguruan Tinggi Ilmu Hukum kita di Tanah Air, yang mana para Sarjana Hukumnya selama ini lebih banyak dijejali teori dan disulap untuk menjelma menjadi “tape recorder” bunyi pasal Undang-Undang yang dibacakan oleh sang dosen di ruang perkuliahan (meski bisa dibaca sendiri oleh siapapun, bahkan oleh para orang awam dibidang hukum di luar sana), sehingga para lulusannya lebih layak disebut sebagai “Sarjana Undang-undang” ataupun “Sarjana Teori” ketimbang “Sarjana Hukum”.
Ironis? Namun itulah fakta realitanya yang penulis jumpai sendiri dalam kenyataan di lapangan. Karenanya, tiada mengherankan bila tiada satu pun fresh graduate Sarjana Hukum kita yang siap pakai dalam dunia kerja, meski mereka harus menempuh studi Strata Satu Fakultas Hukum selama empat tahun lamanya—apa sajakah yang diajarkan oleh para dosen fakultas hukum kita di Indonesia, sehingga empat tahun berkuliah tiada satu pun lulusan mereka yang “siap pakai” dalam dunia kerja, terlebih untuk dapat disebut sebagai “terampil”. Bukankah itu saja, sudah menjadi bukti tidak terbantahkan betapa gagal sistem Pendidikan Tinggi Hukum kita di Tanah Air?
Terlebih tidak jujur kalangan penyelenggara Pendidikan Tinggi Hukum Strata Dua maupun Strata Tiga, para mahasiswa yang mengikuti program studi Magister maupun Doktoral Hukum, justru akan lebih banyak membuang-buang waktu untuk membahas dan menghafal teori ketimbang keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, seolah-olah buku-buku teori hukum belum begitu banyak di luar sana, yang sejatinya dapat dibaca sendiri secara otodidak, bahkan oleh kalangan non-hukum.
Sehingga menjadi mengherankan, ketika seseorang berniat untuk membayar mahal dan membuang-buang waktu guna menempuh studi Magister maupun Doktoral Ilmu Hukum, mengingat mereka hanya akan lebih banyak membuang-buang waktu demi sekadar TEORI, seolah masa sekolah formal mereka mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Utama dan Universitas, belum cukup banyak teori mereka lahap dan hafalkan untuk diujukan, tanpa faedah berarti yang dapat diaplikasikan secara nyata.
Tiada “kursus” yang lebih “genit” daripada Universitas maupun Perguruan Tinggi Ilmu Hukum, dimana “kursus” selama empat tahun bahkan ditambah sekian tahun lamanya untuk jenjang strata kedua dan ketiga, belum juga dapat menghasilkan tenaga profesi hukum yang terampil dalam dunia kerja, nasibnya hanya berakhir sebagai seorang “pencari kerja” (jobseeker) bukan sebagai “produsen” dibidang jasa hukum. Bahkan, kursus menjahit yang benar-benar mengajarkan para peserta kursus untuk menjahit, tidak perlu sampai memakan waktu selama bertahun-tahun lamanya hingga para peserta kursus dapat mandiri dan berpraktik sendiri serta memproduksi secara swadaya sebagai tenaga terampil.
Belum cukup dengan segala teori tersebut? Seseorang tidak perlu menempuh studi formal pada Perguruan Tinggi Ilmu Hukum berbiaya mahal serta membuang-buang waktu sekadar untuk mempelajari teori dan menghafal bunyi pasal peraturan perundang-undangan. Kita semua, baik Anda maupun penulis, tanpa terkecuali, dapat membaca dan mempelajarinya sendiri secara otodidak, sehingga praktis kalangan mahasiswa hukum kita membayar mahal biaya perkuliahan serta “biaya waktu” semata demi gelar Sarjana Hukum, Magister Hukum, hingga Doktor Hukum belaka. Tidak sedikit, penulis mengenal kalangan yang bergelar Magister Hukum lulusan dari universitas cukup ternama, namun dari segi kapasitas otak dan daya analisa hukum, tumpul sama sekali. Penulis secara pribadi, baru mempelajari dan mengenal apa itu hukum yang “real”, jauh setelah lulus dari Fakultas Hukum pada Universitas.
Bila kalangan dokter dan apotek / farmasi yang bersikap jujur, akan secara transparan (keterbukaan informasi) memberikan hak informasi bagi konsumennya maupun calon konsumen, semisal dalam kemasan obat dicantumkan informasi bahwa obat dimaksud memiliki manfaat apakah, namun disaat bersamaan juga memberikan peringatan sebagai hak informasi konsumen perihal efek sampingnya bila dikonsumsi. Sifat transparansi demikian, seolah hendak berkata kepada kalangan penyedia barang ataupun produsennya : Jangan hanya mengumbar manfaatnya bila dikonsumsi oleh konsumen, namun juga sebutkan secara jantan, secara terbuka, secara jujur, secara apa adanya, secara gamblang, secara utuh, secara eksplisit, apa yang menjadi kerugian, mudarat, konsekuensi, serta akibat sampingan dari mengkonsumsinya.
Hendaknya kita tidak meniru langkah para politisi kita, yang mengumbar janji saat berkampanye, namun tidak pernah menyebutkan “efek samping” bila mereka sampai terpilih sebagai kepala daerah maupun sebagai anggota legislatif. Kesemua calon dalam pemilihan umum tersebut selalu memasang wajah bak “malaikat” dalam baliho yang terpampang di setiap ruas jalan, lengkap dengan segala slogan-slogan “pro” terhadap rakyat, tanpa ada satu pun “efek samping” yang dicantumkan, sesuatu yang menurut penulis patut disebut sebagai “to good to be true”. Lebih baik bagi kita bila memilih seorang calon yang berkata dalam kampanye : “Bila Anda memilih saya, maka saya hanya akan korupsi uang rakyat senilai lima miliar rupiah saja, tidak lebih!”—ketimbang memilih calon yang “to good to be true”, yang bisa jadi akan korupsi lebih dari sang calon yang terbuka soal niat jahatnya untuk berkorupsi. Kini Anda lihat, buka-bukaan adalah hal yang positif bagi rakyat dan kita semua. Masyarakat kita merasa malu memakai pakaian terbuka, sehingga berbusana serba tertutup. Namun mengapa, untuk urusan kebiasaan ber-korupsi, masyarakat kita sama sekali tidak memiliki kebiasaan untuk malu berbuat curang dan jahat seperti demikian?
Tidak terkecuali, jasa yang disediakan oleh kalangan penyedia jasa hukum, perlu sedari awal dimuka mengkomunikasikan serta memberi edukasi kepada sang klien selaku pengguna jasa, bahwa selalu terdapat konsekuensi yuridis dari aksi berupa suatu gugatan, semisal “membuka aib” sendiri, berpotensi “digugat balik”, merusak hubungan / relasi secara permanen dimana bisa saja dimitigasi lewat cara-cara non-litigasi, potensi “menang di atas kertas”, hanya memperkaya sang pengacara lewat “success fee” mulai dari tingkat gugatan di Pengadilan Negeri, Banding, Kasasi, hingga Peninjauan Kembali terlepas dari fakta kerapkali putusan berakhir dengan nasib “non executeable”, hingga terdapat “social and political cost” semisal seperti seorang pekerja yang menggugat perusahaan tempatnya bekerja kemungkinan besar sukar mencari pekerjaan baru.
Pernahkah kesemua “efek samping” niat untuk mengajukan gugatan demikian, disampaikan oleh pengacara Anda? Tentu saja, iming-iming serta hembusan “angin surga” menjadi kunci sukses dinasti bisnis hukum kalangan advokat / lawyer kita untuk “menggaet” klien dan memperkaya pundi-pundi saku sang pengacara. Tiada satupun kalangan pengacara kita di Tanah Air, yang bersemboyan “hukum adalah ilmu tentang prediksi”—karena itu sama artinya hendak menenggelamkan bisnsis beracara sang pengacara (mencari-cari dan membuat-membuat perkara, yang tidak layak diperkarakan pun akan tetap diperkarakan atau setidaknya mencari-cari perkara), dimana bila sang pengacara secara lugas dan jujur berkata kepada sang klien : “Prediksi hukum memberikan saya analisa bahwa Anda akan kalah karena Anda punya andil serta kontribusi kesalahan paling signifikan dalam masalah hukum ini ketimbang lawan Anda. Bagaimana, apakah Anda masih bersedia menjadikan saya sebagai pengacara keluarga Anda?” Maka dapat dipastikan sang calon klien akan seketika itu juga “angkat kaki”. Kebetulan, Kode Etik Advokat kita di Tanah Air, tidak menjadikan sikap “transparan” sebagai bagian dari etika profesi Advokat, karenanya para pengacara kita tidak melanggar Kode Etik Advokat, meski melanggar Kode Nurani.
Karenanya, yang ada ialah “ilmu tentang tebar pesona dan tebar harapan palsu”. Bayangkan, tidak sedikit kalangan debitor kita di Tanah Air, mengajukan gugatan terhadap kreditornya sendiri tatkala sang debitor cidera janji (wanprestasi) untuk melunasi atau setidaknya mencicil hutang secara tepat waktu, dengan tentunya memakai dana pinjaman dari sang kreditor untuk membayar biaya jasa sang pengacara. Namun, ketika kita mencoba lebih logis dan memakai akal sehat, patut kita bertanya kepada sang pengacara : “Apakah dengan mengajukan gugatan, artinya debitor tidak lagi diwajibkan membayar segala hutang tertunggak alias dibebaskan dari segala kewajiban untuk melunasi hutang?
 Hal ini sama seperti modus kalangan tenaga medis kita yang ternyata tidak sedikit yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan secara tidak beretika, semisal pasien berupa ibu mengandung yang seyogianya dapat bersalin secara normal, menjadi korban modus eksploitasi kalangan kedokteran dengan menjelmakan sang pasien menjadi pasien bedah caesar. Bahkan, tidak jarang, atau mungkin pernah kita alami sendiri, sang dokter secara sengaja memberikan hasil analisa / diagnosa medik palsu hasil rekayasa, demi mengeksploitasi faktor ekonomi sang pasien.
Dengan kata lain, bukan kalangan pengacara yang satu-satunya menjadi kalangan profesi yang sangat tidak etis dalam berprofesi, kalangan dokter maupun produsen farmasi pun tidak terkecuali—yang tampaknya kita semua tentunya pernah mengalami sendiri secara langsung betapa tidak berkesannya beberapa kalangan tenaga medik kita di Tanah Air, sehingga tidak mengherankan bila tidak sedikit masyarakat kita memilih berobat ke negara tetangga, dengan semata satu harapan : kejujuran tenaga medik di negara asing masih lebih jujur dan dapat diandalkan perkataannya, lebih penuh perhatian, dan lebih berdedikasi bagi kebaikan pasien. Semua ini bukanlah wacana ataupun mitos, namun selalu terjadi layaknya budaya kalangan medik kita di Tanah Air yang memang nyata-nyata kurang berempati kepada pasien.
Bila kita tidak kompoten pada suatu bidang, katakanlah secara terbuka bahwa bukan disitu letak kompetensi kita. Semisal bila Anda adalah seorang Konsultan Hukum yang menyediakan jasa konseling seputar hukum, adalah mustahil seorang Sarjana Hukum paling berpengalaman manapun yang dapat menguasai seluruh bidang disiplin ilmu hukum. Hukum kontemporer kita di Indonesia, sudah sangat jauh berbeda dengan keadaan hukum dua dekade lampau, dimana pada dua dekade lampau hukum bentukan negara masih sangat sederhana sifatnya, tidak menyerupai “rimba belantara hukum” seperti sekarang ini.
Tidak dapat dibenarkan lagi, berspekulasi dengan nasib klien pengguna jasa sebagai taruhannya terlebih sebagai “kelinci percobaan” akibat sang pengacara sedang bereksperimen terhadap kliennya sendiri dengan tidak memakai prediksi sebelum mengajukan upaya hukum atas nama / mewakili sang klien. Terlebih buruk lagi kalangan Hakim Konstitusi kita pada Mahkamah Konstitusi RI, kesembilan Hakim Konstitusi seolah menguasai betul seluruh bidang disiplin ilmu hukum, sehingga merasa berani membuat amar putusan terhadap permohonan uji materiil terhadap undang-undang yang dimohonkan masyarakat, baik untuk ditolak ataupun dikabulkan, sekalipun kalangan Hakim Agung kita di Mahkamah Agung RI telah lebih realistis dengan menerapkan sistem “Kamar” semisal Kamar Perdata, Kamar Pidana, Kamar Pajak, Kamar Militer Kamar Tata Usaha Negara, dan sebagainya, sehingga sang Hakim Agung lebih terspesialis dibidang yang dikuasainya masing-masing demi tercipta putusan yang setidaknya paling mendekati keadilan. Apakah Hakim Konstitusi kita, pernah secara transparan saat membacakan putusan, bahwa mereka sebenarnya tidak kompeten pada bidang ilmu hukum yang diajukan uji materiil oleh sang pemohon?
Sesukar itukah, hidup secara transparan? Mengapa, seolah untuk dapat disebut sebagai seorang profesional yang profesional, justru seolah harus berupaya menutup-nutupi sesuatu? Sejatinya, transparansi adalah sumber reputasi dan harga diri, disamping jati diri. Benar sebagai benar, salah sebagai salah. Hitam sebagai hitam, putih sebagai putih, serta abu-abu sebagai abu-abu. Ada sebagai ada, tiada sebagai tiada. Bersikap transparan bukanlah aib untuk ditabukan. Karena itulah, kita perlu menumbuhkan budaya baru pada kebudayaan kita bersama, bahwasannya bersikap transparan perlu menjadi rambu etika apapun profesi yang kita tekuni.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.