Ciri-Ciri Bank / Leasing RENTENIR

ARTIKEL HUKUM
Sebenarnya judul dalam artikel ini cukup mengecoh, karena sejatinya setiap lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan di Indonesia, baik “plat merah” maupun swasta nasional maupun asing, adalah RENTENIR—sekalipun telah mengantungi izin dari pemerintah, sekalipun diawasi oleh otoritas, dan sekalipun telah berpuluh-puluh tahun beroperasi dan atau bahkan telah menjadi perusahaan “terbuka” (Tbk.). Apa yang penulis sebutkan dalam paragraf pembuka ini, bukanlah sebuah tudingan, namun berdasarkan penuturan seorang mantan pekerja perbankan.
Fakta-fakta dalam uraian berikut di bawah ini, akan membuka mata kita betapa kita selama ini telah terkecoh oleh berbagai mekanisme hitung-hitungan “di atas kertas” yang diproyeksikan oleh berbagai perbankan maupun lembaga pembiayaan di Indonesia. Ingatlah selalu pesan dari penulis berikut ini, mereka adalah lembaga korporasi yang berorientasi semata “profit” untuk kian menggemukkan diri mereka hingga menjelma raksasa bisnis dan komersiel, mereka bukanlah seorang Sinterklas—bahkan seorang rentenir tidak akan pernah mampu menyaingi kemakmuran perbankan.
Awal mula gagasan hingga penulis memutuskan untuk mengurai wajah asli dibalik korporasi perbankan kita, baik perbankan konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR), sejatinya tidak ubahnya praktik rentenir sang “lintah darah” yang kian menjerat debitornya—dengan makna, semakin debitornya menunggak maka kian gemuk pundi-pundi sang “rentenir”, dan itulah tepatnya yang akan kita buktikan bersama lewat uraian di bawah ini, yakni bermula dari seorang klien yang demikian penuh percaya diri menyatakan bahwa pihak bank menurut mandat undang-undang perlu dengan segala cara mengatasi kredit macet. Namun, benarkah demikian?
Itu adalah pandangan “orang luar” (outsider), perspektif regulator yang tidak terlibat pada internal manajerial lembaga perbankan kita, dimana sebaliknya kontras dengan itu, persepsi mereka yang berkecimpung dalam dunia perbankan sebagai “pemain”, akan sangat jauh berbeda dari pandangan umum kita selaku orang luar. Terdapat sebuah “gap” atau disparitas persepsi di sini, antara “penonton” dan pihak “pemain”, itulah tepatnya yang akan kita bahas bersama.
Apakah ada di antara pembaca, yang berpikir atau berasumsi bahwa berbagai perbankan kita mencetak untung dengan cara mengambil selisih margin bunga antara bunga yang dibayar bagi “nasabah penabung”-nya dan bunga yang dibayar oleh “nasabah debitor”-nya? Jika memang seperti itu dan betapa naifnya kita bila lembaga-lembaga keuangan kita menjadi raksasa bisnis korporasi perbankan lewat selisih “margin bunga” semata, maka untuk apa berbagai perbankan kita membebani pula “debitor macet”-nya selain komponen bunga, yakni bertubi-tubi membebani unsur-unsur tambahan (yang bukan sebagai “penggembira”) seperti : “bunga berbunga”, denda, hingga pinalti? Bunga, hanya mampu menutupi biaya pegawai sang perbankan. Lantas, pebankan kita hidup dan menjadi besar, dari manakah? Itulah yang perlu kita sadari selaku masyarakat dan calon debitor, agar tidak “terkecoh”.
Faktanya, pihak internal perbankan justru amat menghendaki agar debitor macet (gagal bayar, menunggak cicilan, wanprestasi, hingga pailit). Betapa tidak, terutama ketika objek agunan selaku jaminan pelunasan piutang ternyata berupa objek tanah yang bagus-strategis dan “marketable” karena mudah dijual bak “kacang goreng”, pihak bank selaku kreditor tidak hanya akan dapat mengantungi “bunga” atas fasilitas kredit yang diberikan olehnya, akan tetapi secara drastis mendapat empat keuntungan secara sekaligus daripada “debitor lancar” yang hanya memberi keuntungan berupa pembayaran “bunga bulanan”, yakni atas komponen:
- bunga bulanan;
- “bunga berbunga” (menurut Albert Einstein, inilah akar penyebab debitor macet akan dikodratkan “macet selamanya”, karena skema “bunga berbunga” benar-benar akan dapat membuat total tunggakan hutang tampak “beranak-pinak” secara drastis dimana jumlahnya akan berlipat-ganda hanya dalam hitungan tahun, alias dengan bahasa yang lebih singkat : membuat atau telah merancang agar debitornya terjebak dalam “lingkaran-setan” macet permanen secara “by design” oleh pihak kreditornya itu sendiri;
- denda; dan
- pinalti.
Di luar negeri, praktik perbankan mereka tidak dikenal adanya komponen seperti “denda” dan “pinalti” bagi debitor yang menunggak, sehingga tidak mengherankan bila berbagai perbankan asing berbondong-bondong memasuki Indonesia dan menancapkan cengkeraman korporasi serakah-nya atas sumber-sumber ekonomi rakyat Indonesia. Tiada satupun perbankan merugi ketika beroperasi di Indonesia, kecuali terjadinya “fraud” internal pihak perbankan itu sendiri—terbukti, Bank Century tetap saja diminati perbankan asing dan kini telah diakuisisi.
Dari pengalaman penulis ketika menjadi konsultan beberapa kalangan debitor yang gagal melunasi hutangnya, akar penyebabnya bukan karena tidak dapat mencicil dan melunasi hutang, karena ternyata dari pembebanan keempat komponen yang ditetapkan dan dikalkulasi secara sepihak demikian oleh kreditornya, hutang seorang debitor akan menjadi berlipat-ganda (dalam arti yang sesungguhnya) dalam hitungan beberapa tahun menunggak sehingga menjelma “mustahil untuk dapat dilunasi oleh sang debitor”, benar-benar menyerupai sebuah praktik “lintah darat” yang dilegalkan oleh pemerintah, alias rentenir “kerah putih” ber-“izin” yang legal dan sahih beroperasi oleh otoritas pemerintahan kita—bahkan juga tidak “tersentuh” ketika debitornya menggugat praktik demikian ke hadapan pengadilan.
Bila Robert T. Kiyosakhi menyatakan bahwa meminjam uang dari bankir (perbankan) adalah solusi cerdas membangun bisnis, yakni lewat berhutang sebagai faktor produksi, mampu mencicil dan melunasi tepat waktu maka menjadi tidak masalah, dan perbankan akan “gigit jari” hanya mendapatkan porsi kecil keuntungan dari margin “bunga” atas kredit yang diberikan oleh sang kreditor. Namun, realita tidak seindah teori milik Robert T. Koyosakhi sang raja Real Estate di Amerika Serikat, yang semestinya mengetahui betul bahwa terjerat hutang oleh lembaga “rentenir” (ingat, semua perbankan adalah rentenir, setidaknya di Indonesia) adalah sebuah “mimpi buruk” bahkan “lingkaran setan” yang tidak akan pernah usai karena hutang menjadi berlipat-ganda dalam arti yang sesungguhnya akibat keempat komponen yang dibebankan oleh sang “bank rentenir”—dan itulah tepatnya, sumber-sumber keuntungan yang paling menggiurkan oleh berbagai lembaga keuangan kita di Tanah Air.
Karenanya, tiada resiko yang lebih tinggi daripada memutar modal usaha lewat meminjam hutang pada lembaga perbankan resmi maupun yang nonformal. Agunan dilelang, lalu sang debitor masih juga dipailitkan oleh sang perbankan, itulah potret wajah praktik perbankan kita di Tanah Air, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, masih juga harus mendapati kenyataan pahit jatuh ke dalam “lumpur-hidup” yang menghisap dan menenggelamkan.
Kemudian tiada ubahnya dengan “lembaga pembiayaan” kita yang lebih dikenal masyarakat sebagai perusahaan “leasing”. Berangkat dari pengalaman tidak sedikit klien dari penulis, ternyata terdapat satu buah pola yang selalu kongruen dan terus berulang atas praktik-praktik serupa berbagai lembaga pembiayaan yang beroprasi di Indonesia, yakni para perusahaan leasing kita akan lebih senang ketika konsumennya gagal bayar “cicilan” bulanan hingga terjerumus pada status “macet”.
Berhubung objek leasing masih atas nama perusahaan leasing (lessor), maka pihak perusahaan leasing berhak untuk seketika mengambil-alih objek leasing (leasing bermakna “sewa-beli”, alias sewa-menyewa dengan “hak opsi” diakhir masa sewa) dari tangan penguasaan penyewa-nya, untuk kemudian dijual dibawah tangan oleh pihak perusahaan leasing (ingat, tiada eksekusi Fidusia di sini, karena objek masih atas nama lessor) dengan harga yang jauh dibawah harga pasaran, sehingga sang penyewa akan tampak secara rekapitulasi tunggakan seolah masih memiliki banyak tunggakan tersisa (akibat objek leasing dijual secara dibawah-tangan dengan harga yang sangat jatuh (“by design” oleh pihak perusahaan leasing) sehingga seolah-olah sang perusahaan leasing masih memiliki hak tagih berupa sisa tunggakan dari penyewanya, sehingga berdasarkan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, status perusahaan leasing menjelma sebagai “Kreditor Konkuren” yang sewaktu-waktu bahkan berhak mempailitkan penyewanya atau mengajukan sita jaminan atas harta aset milik penyewanya yang menunggak biaya “cicilan” bulanan.
Faktor kedua yang sampai saat ini masih disasar oleh perusahaan leasing secara ilegal dari konsumen penyewanya, dengan asumsi konsumen “melek hukum” yang mengajukan gugatan masih lebih kecil jumlahnya daripada konsumen yang pasrah dibebani berbagai perhitungan nominal sepihak perusahaan leasing, ialah ketika sang penyewa objek leasing mengalami tunggakan atas “cicilan” bulanan yang gagal dibayarkan secara rutin, maka pihak leasing akan membebankan pula komponen “bunga” terhadap perhitungan total tunggakan bulanan berikutnya kepada sang konsumen.
Sekalipun, Mahkamah Agung RI telah membuat putusan dalam tingkat kasasi atas gugatan yang diajukan konsumen perusahaan leasing, sehingga menjadi preseden (kaedah norma hukum bentukan “best practice” praktik peradilan) bahwa ketika konsumen lembaga pembiayaan gagal membayar tagihan bulanan yang rutin untuk dibayarkan kepada perusahaan leasing, maka total tunggakan TIDAK DAPAT DIMASUKKAN KOMPONEN BUNGA TUNGGAKAN, karena, menurut pertimbangan hukum Mahkamah Agung RI, tagihan bulanan leasing sudah mengandung komponen “bunga” yang dikutip oleh sang lembaga leasing, sehingga akan menjadi tagihan “bunga berganda” ketika atas tunggakan “cicilan” bulanan masih juga dibebankan “bunga” oleh sang lembaga pembiayaan.
Sebagai contoh, ketika seorang warga mampu membeli dengan tunai lunas sebuah objek kendaraan bermotor berupa motor seharga nilai pasaran Rp. 15.000.000;00, sebagai contoh, maka ketika sang warga memilih untuk “mencicil” dengan memakai jasa yang ditawarkan oleh lembaga pembiayaan (leasing tunduk pada Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Pembiayaan, bukan tunduk pada Undang-Undang tentang Perbankan), maka ketika “cicilan” bulanan ditotal hingga lunas, bisa jadi total yang harus / telah dibayarkan oleh konsumennya ialah senilai Rp. 20.000.000;00—dimana selisihnya yakni Rp. 5.000.000;00 merupakan profit margin alias “bunga” itu sendiri. Dengan kata lain, sekalipun sang konsumen telah “mencicil” tanpa pernah sekalipun menunggak, tetap saja “cicilan” bulanan telah mengandung komponen “bunga” itu sendiri, secara disadari ataupun tidak disadari oleh konsumennya, yang tidak jarang marketing perusahaan leasing memberi iming-iming “tiada bunga jika tidak lalai mencicil”.
Gilanya konsep leasing, semisal total cicilan biaya “sewa-beli” leasing oleh konsumennya ialah Rp. 1.000.000;00 setiap bulannya untuk total jangka waktu “cicilan” mencapai 20 bulan. Ketika sang konsumen patuh dan tidak menunggak “mencicil” selama lima belas bulan, namun pada bulan ke-16 terjadi “cicilan macet”, maka sang perusahaan pembiayaan sahih dan legal untuk secara seketika menarik paksa objek leasing dari tangan konsumennya, karena objek leasing MASIH ATAS NAMA LESSOR, dimana serta mengingat status konsumennya masih tercatat sebagai “penyewa” (ingat kembali definisi leasing, yakni “sewa beli”, alias sejatinya sedang menyewa dengan status sebagai “penyewa” belaka).
“Hak opsi”, baru diberikan ketika konsumennya akan “mencicil” pada bulan terakhir masa sewa, barulah “hak opsi” (untuk membeli) berupa kepemilikan dapat membuat konsumennya beralih status dari “penyewa” menjadi sebagai “pemilik” objek leasing. Karenanya pula, adalah “konyol” serta “merugi sendiri” bila perusahaan leasing justru mengikat objek leasing dengan Fidusia, karena menurut Undang-Undang Fidusia, syarat objek benda bergerak untuk dapat diikat sebagai jaminan Fidusia, objek harus telah atas nama Debitor.
Fidusia, memiliki makna “kepercayaan”—disebut demikian, karena meski objek Fidusia adalah telah atas nama Debitor dan dibeli dengan menggunakan dana kredit pihak Kreditornya, namun objek Fidusia secara kepercayaan tetap dibolehkan untuk dikuasai oleh pihak Debitor sebagai faktor Modal Kerja. Karenanya, terdapat perbedaan prinsipil yang demikian kontras antara konsep hukum “Kredit” dan konsepsi “Leasing”. Ketika seorang Debitor diikat Fidusia atas objek “Kredit Kendaraan Bermotor”, sebagai contoh, maka pihak Kreditor tidak bisa secara sepihak menarik objek Kredit dan menjualnya, namun tunduk pada mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Fidusia maupun pelaksanaan eksekusinya.
Sebaliknya, seorang konsumen leasing tidak pernah mendapat perlindungan hukum apapun, selain hanya dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena objek leasing memang MUSTAHIL diikat dengan jaminan Fidusia, karenanya konsumen Leasing tidak pernah dapat berlindung pada Undang-Undang Fidusia—yang menjadi keistimewaan fasilitas “Kredit” pada perbankan. “Kredit”, ditawarkan oleh perbankan (lembaga keuangan), sementara “Leasing” ditawarkan oleh perusahaan pembiayaan. Karenanya, bila penulis ditanyakan “pilih mana ketika butuh mesin-mesin kendaraaan ataupun alat berat sebagai modal kerja, meminjam di bank (Kredit) ataukah pergi ke perusahaan leasing?”
Sudah demikian jelas jawabannya dalam ulasan singkat dalam artikel ini, seorang konsumen akan “merugi sendiri” bagai masuk ke “mulut harimau” ketika memilih lembaga pembiayaan bernama “leasing”, karena dirinya sama sekali tidak terlindungi oleh hukum ketika terjadi keadaan “macet”. Sebaliknya, adalah “bodoh” dari perspektif Lembaga Pembiayaan, bila objek leasing diikat dengan Fidusia—karena selain mustahil, juga hanya akan menjadi “bumerang” kontraproduktif bagi kepentingan sang perusahaan pembiayaan itu sendiri.
Ketika Anda selaku konsumen lembaga keuangan, mampu membayar cicilan kredit, itu kabar baik dan Anda diuntungkan sebagaimana penuturan Robert T. Kiyosakhi. Namun, yang tidak pernah dituturkan oleh sang tokoh, bagaimana bila terjadi “kredit macet”, apakah itu tidak menyerupai jeratan permanen terbelenggu oleh “bunga berbunga”, denda, dan pinalti yang MUSTAHIL untuk dapat dilunasi bahkan oleh anak dan cucu kita? Ingat pula, yang dapat diwariskan kepada ahli waris bukan hanya aktiva milik pewaris, namun juga passiva dan hutang.
Iming-iming selalu indah dan manis semanis ucapan dan warna bibir marketing perbankan maupun perusahaan leasing, proyeksi selaku ideal, namun jangan pernah lupakan untuk menyiapkan skenario “prepare for the worst”, dengan memahami bahaya laten dibalik fasilitas Kredit yang menyerupai “jika tidak melunasi maka dipailitkan oleh kreditornya atau agunan dilelang eksekusi” menjadi suatu kepastian, bukan lagi sebuah keniscayaan.
Pilihan terbaik dan terbijak, tentu saja, ialah untuk tidak pernah terjerat dalam hutang-piutang, tidak memberi hutang juga tidak berhutang—itulah pesan penuh kearifan dari para sesepuh kita di masa lampau yang ternyata kian relevan pada era kontemporer ini. Kerja tenang, mati pun tenang. Ingatlah selalu, harta tidak dibawa mati, bahkan akan menjadi bibit seteru diantara para ahli waris kita, namun HUTANG SELALU DIBAWA MATI.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.