ARTIKEL HUKUM
Fenomena “Permisi, Paket!... BERISIK!!!”
Sebelum wabah pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) melanda sejumlah negara termasuk Indonesia, praktik pada berbagai instansi pemerintahan masih sangat kuno (terbelakang), tidak canggih meski era digital telah lama kita kenal, konvensional, manual, bertele-tele, disesaki salinan dokumen yang menyerupai “prosedur sekedar demi memuaskan kecentilan prosedur belaka”, serta berbelit-belit dan membuang waktu alias tidak efisien, tidak tepat guna, serta tidak efektif.
Sebagai contoh, ketika kita selaku warga hendak mengurus administrasi kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) setempat, banyak sekali persyaratan birokratis yang sejatinya tidak perlu dijadikan sebagai salinan dokumen prasyarat, karena semua data penduduk senyatanya telah teregister terpusat pada pihak Dukcapil itu sendiri, namun kita selaku warga pemohon masih juga dipersyaratkan berbagai fotokopi dokumen yang membuang-buang waktu, biaya, serta pemborosan sumber daya alam. Belum lagi sistem pengantrian yang memakan waktu (petugas loket sangat minim, sekalipun pegawai Suku Dinas Catatan Sipil demikian banyak), memboroskan energi karena harus tetap datang ke kantor instansi pemerintah meski bisa dilakukan secara daring (online), dan harus datang mengambil dokumen yang masih berupa “kertas fisik” sekalipun hanya berupa “surat keterangan”.
Praktis, sesaat sebelum wabah COVID-19 merebak, hanya Kementerian Hukum dan HAM RI yang telah menerapkan sistem demikian canggih dan digital, dimana bahkan untuk ukuran Surat Keputusan Menteri Hukum berupa pengesahan Anggaran Dasar dan perubahannya, dikirim dalam bentuk softcopy digital kepada masyarakat / pihak pendiri Perseroan Terbatas, untuk bisa dicetak sendiri secara mandiri karena mengandung tanda tangan elektronik pejabat berwenang Kementerian Hukum yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian yang sah secara hukum.
Begitu pula data perseroan, kita selaku warga yang hendak melakukan “due legal dilligence” tidak perlu direpotkan untuk mendatangani kantor Kementerian Hukum, untuk mengantri ataupun membayar dan untuk mendapatkan dokumen “data perseroan”, namun kesemua itu cukup dilakukan secara “online”. Namun tampaknya berbagai instansi pemerintah lainnya belum semaju dan seprogresif cara berpikir para penyusun kebijakan di Kementerian Hukum.
Namun, pertanyaan utamanya tetap saja : Jika Kementerian Hukum sejak lama, sudah bisa menerapkan sistem administrasi dan perizinan secara digital, mengapa tidak diterapkan oleh seluruh administrasi pemerintah? Bukan karena tidak mampu, namun penulis menengarai ada unsur kepentingan politis, sehingga para Aparatur Sipil Negara yang paling bertanggung-jawab perihal hal demikian merasa lebih menguntungkan bagi kepentingan segelintir pihak yang berkuasa dan menjadi celah “modus” untuk melakukan pungutan liar kepada warga pemohon layanan publik yang semestinya berhak diterima setiap warga tanpa terkecuali.
Begitupula ketika kita selaku warga hendak membayar pajak tahunan kendaraan bermotor, seolah dan terkesan diperumit selayaknya mengantri “sembako”, harus mengurus secara manual dan datang langsung ke kantor otoritas pajak tahunan kendaraan bermotor. Padahal, bahkan sejak saat sebelum COVID-19 merebak, para kalangan “debt collector” mampu mendeteksi kendaraan-kendaraan yang menunggak cicilan yang simpang-siur di jalan umum cukup dengan mengetik nomor polisi kendaraan bermotor pada handphone sang “debt collector”. Sehingga, selalu sukar dipahami, mengapa warga pembayar pajak kendaraan bermotor yang kemana pun berkendara harus dibebani kewajiban membawa dokumen seperti lembar tanda bukti bayar pajak Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) kendaraan sekalipun senyatanya dan sejatinya telah benar-benar membayar pajak tahunan kendaraan yang dilajukan olehnya.
Sehingga, mengapa aparatur kepolisian kita masih juga menuntut cara kerja dan proses manual yang tidak “paperless” berupa lembaran tanda bukti bayar pajak tahunan kendaraan yang biasanya dilampirkan pada STNK ketika kita mengemudikan kendaraan di jalan umum. Begitupula ketika kita mendatangani kantor “pelayanan” pembayaran pajak kendaraan bermotor, polisi yang semestinya bertugas dan digaji dari “uang (milik) rakyat” (jangan pernah menggunakan istilah “uang negara”, sehingga terkesan “bos” dari para polisi tersebut ialah atasan mereka di kantor pemerintahan, bukan rakyat pembayar pajak) untuk melindungi dan mengayomi rakyat, justru menjadi “aktor / agen kejahatan” itu sendiri dengan melakukan berbagai pungutan liar (pemerasan) dengan kedok uang untuk “map” plastik, fotokopi dokumen dengan biaya mencapai “satu bungkus nasi padang” yang sangat diluar kewajaran, hingga tidak membolehkan warga untuk membawa dokumen fotokopi sendiri, bahkan hingga pungutan liar cetak plat nomor kendaraan tanpa kuitansi resmi (praktik demikian terjadi di markas / sarang / kandang yang penuh / dikelola pihak kepolisian, sehingga kantor polisi memang menyerupai atau identik dengan “sarang penyamun”.
Sebagaimana dapat kita saksikan sendiri, banyak praktik kecurangan di kantor-kantor pelayanan umum yang dikelola pihak Kepolisian, salah satu lainnya pada kantor pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), dimana tes praktik dibuat sesukar mungkin untuk mampu lolos bagi peserta yang belum terbiasa dengan kendaraan uji, menjadi modus untuk meminta warga pemohon untuk mengikuti kursus mengemudi “formalitas” berbiaya hampir satu minggu Upah Minimum Kota kalangan pekerja swasta, yang terdapat masih dalam satu kompleks kantor pembuatan SIM yang pastilah terdapat kolusi dengan pihak pejabat Kepolisian yang menyelenggaran ujian SIM. Semua fakta demikian, semua sudah sama-sama tahu dimana penulis menjadi salah satu saksi matanya yang melihat dan mengalami langsung, sebagaimana juga pastilah pernah para pembaca lihat dan alami sendiri kebenarannya—sehingga bukan merupakan sebentuk tuduhan, akan tetapi sebagai sebentuk “testimoni” warga yang menjadi “konsumen” pelayanan publik yang minta dilayani oleh para polisi “korup” yang merasa belum cukup mendapat jaminan gaji bulanan dari “uang rakyat”.
Padahal, jauh sebelum wabah COVID-19 merebak, telah lama kantor-kantor perusahaan swasta kita mengenal apa yang disebut dengan arsip “paperless” berupa database pada server, pada eksternal harddisk, atau pada perangkat penyimpan data lainnya, dimana kapasitas harddisk dewasa kini bahkan sejak satu dekade lampau telah demikian besar kapasitasnya untuk mampu menampung miliaran data digital hasil scan dokumen, begitupula kecepatan dan akurasi resolusi scan perangkat semacam scanner, bahkan lebih cepat kinerjanya ketimbang mesin fotokopi, selalu menjadi pertanyaan besar bagi penulis : mengapa berbagai kantor dan instansi pemerintahan tersebut, tidak menggunakan saja metode perkantoran dan administrasi yang “paperless” serta lebih efisien dan lebih efektif, sehingga tidak membebani masyarakat?
Ataukah, semua itu adalah proyek “akal-akalan” yang sengaja dibuat-buat dan cara manual yang dipaksakan untuk tetap dilestarikan demi kepentingan pemilik tempat fotokopi yang menerapkan harga mahal di kompleks yang dikelola kepolisian tersebut? Karenanya patut kita sinyalir, apakah semua ini adalah modus, sebagai proyek akal-akalan guna memeras dan mengeksploitasi rakyatnya sendiri (yang semestinya dilayani dan dilindungi dari modus-modus kejahatan para penjahat), seolah sang Aparatur Sipil Negara maupun para polisi tersebut bekerja tanpa digaji dan tidak lebih aman posisinya ketimbang pekerja swasta yang bisa dengan mudah sewaktu-waktu diputus hubungan kerja dan seolah san gPegawai Negeri Sipil tersebut tidak digaji dari “uang rakyat”?
Ketidak-elokan paling utama dari para Pegawai Negeri Sipil maupun aparatur penegak hukum kita yang merasa diri mereka digaji dari “uang negara” bukan dari “uang rakyat”, ialah ketika para Aparatur Sipil Negara kita tersebut mengabaikan dan menelantarkan warga sipil yang berhak untuk mendapat pelayanan publik sebagaimana mestinya tugas dan kewajiban atau tanggung-jawab yang bersumber dari kewenangan “monopolistik” mereka, atau bahkan menjadi “agen kejahatan” itu sendiri seperti mempersulit guna melakukan pemerasan (pungutan liar) berkedok prosedur yang tidak logis, tetap saja kita selaku rakyat dan warga sipil tidak diperkenankan untuk seketika memecat mereka. Karenanya, penting sekali manajemen pemberdayaan Aparatur Sipil Negara menerapkan sistem manajerial berupa evaluasi kinerja berbasis meritokrasi layaknya sistem pada perusahaan swasta, yakni sistem kinerja menentukan apakah sang Aparatur Sipil Negara tetap berhak menerima “uang rakyat” berupa gaji bulanan atau sebaliknya, di-“pecat” dan di-putus hubungan kerjanya.
Kini, banyak kalangan yang menilai terdapat sisi positif dibalik dampak pandemik COVID-19, yakni menjadi momentum bagi kita untuk berbenah, melakukan evaluasi ulang, pengkajian secara lebih cerdas dan lebih tepat guna, disamping kita menjadi lebih paham akan bahaya yang sebelumnya kita remehkan dan abaikan atau sepelekan semacam ancaman laten dibalik droplet sebagai medium penularan virus dan bakteri antar manusia, menjadi lebih paham tentang virus dan cara penularannya, lalu mendorong (lebih tepatnya memaksa) inovasi oleh para pejabat pada berbagai instansi pemerintah dalam layanan publik, tanpa lagi dapat mengandalkan cara-cara konvensional yang terbuka lebar ruang kolusi dan korupsi.
Setidaknya, scanner dan perangkat harddisk sudah demikian lazim pada berbagai perkantoran dimana biaya scanner maupun harddisk lebih murah ketimbang ribuan rim lembar kertas fotokopian yang tidak ramah lingkungan terhadap keberlangsungan ekosistem di bumi. Tetapi, kini para penanggung-jawab pada instansi pemerintahan kita dipaksa dan merasa terpaksa, untuk berubah dan mau mengikuti perkembangan zaman serta berinovasi.
Terbukti, kini Dukcapil dan berbagai instansi pemerintah lainnya ternyata mampu dan sanggup mengubah SOP mereka ketika dihadapkan kepada warga pemohon layanan publik, sehingga menjadi pertanyaan besar pula bagi kita bersama : Mengapa baru sekarang ini inovasi dan sistem digitalisasi diterapkan, meski sejatinya sanggup diterapkan lama sebelum wabah merebak? Ternyata, bukan perihal masalah mampu atau tidak mampu, namun selalu terbentuk oleh fakta adanya unsur ketidak-mauan dan ketidak-seriusan para penyelenggara negara kita.
Sisi positif berikutnya, bila dahulu kala para eksekutif pada instansi pemerintah kita kerap meeting pada hotel berbintang mewah (seolah berbagai kementerian kita tidak pernah memiliki ruang meeting yang cukup mewah dan memadai), kini dipaksa menghemat anggaran “uang (yang menjadi hak bagi) rakyat” dengan cukup melalui mekanisme teleconference, pertemuan secara daring dari jarak jauh. Kini, akibat kebiasaan para instansi kita memboroskan anggara dan “uang rakyat”, barulah kita selaku rakyat rasakan saat kini, pemerintah mengaku tidak memiliki banyak dana cadangan untuk menghadapi wabah.
Meski demikian, bukan berarti kemajuan teknologi tidak memiliki sisi negatif—ia selalu menyerupai pedang “bermata dua”, pada satu sisi memiliki kebaikan namun pada sisi lain mengandung bahaya laten bila tidak digunakan secara arif dan bijaksana. Contoh paling sederhana yang mungkin saja tidak jarang para pembaca alami, pernahkah Anda simak dan perhatikan, betapa kian maraknya pemesanan / pengiriman barang dan makanan via daring (“ojek online”, Ojol), ketika tiba di depan kediaman penerima paket, secara seketika membunyikan klakson secara keras-keras tanpa mau menyadari bahwa hal demikian mengganggu warga setempat dalam radius beberapa ratus meter berkat “polusi suara” olehnya, sembari berteriak keras-keras : “PERMISI, PAKET!... PERMISI, PAKET!!!”
Alhasil, para warga penghuni sekitar menjadi terganggu kedamaian dan kenyamanan hidupnya, setidaknya bertanya-tanya paket untuk kita-kah, dan melangkah ke depan halaman rumah untuk melihat siapa gerangan yang hendak dituju sang pengirim paket, kemudian hanya untuk mendapati fakta kecewa bahwa sang kurir pengirim paket justru hendak mengirim paket kepada tetangga kita, namun “polusi suaranya” telah menerobos sekat batas pagar puluhan rumah di sekitarnya, merembes ke dalam dan memasuki pekarangan rumah para tetangga hingga mendekam ke dalam gendang telinga para warga sekitar.
Rupanya, begitulah praktik “etika Ketimuran” yang menjadi ciri khas Bangsa Indonesia, yakni : minim empati (terlebih simpati dan tenggang rasa, bahkan yang mayoritas meminta diberi toleransi oleh yang minoritas), miskin kepedulian, arogan, korup, pamer kekuasaan, gemar membantah dan memutar-balik fakta (sekalipun bukti telah demikian jelas di depan mata), moral yang rusak (bahkan tidak jarang “beracun”), hukum “otot” yang berlaku bukan keluhuran karakter, dan “akan lebih galak bila ditegur”—fakta yang selalu berulang pada hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat di republik yang sudah hampir satu abad merdeka dari penjajahan Hindia Belanda ini, namun telah hampir satu abad pula lamanya kita dijajah oleh anak bangsa kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.