ARTIKEL
HUKUM
Orang
Bijaksana Pendapatnya Penuh Pertimbangan secara Berimbang dan Adil, sementara
Orang Kerdil Berkomentasr secara Parsial dan Dangkal
Secara ilmu “psikologi karakter”
maupun dari perspektif ilmu sosiologi dan antropologi terapan non-teoretis,
sebenarnya mudah saja “mengukur” dan “menilai” kualitas sumber daya manusia
suatu bangsa juga untuk “men-jengkal” kedangkalan maupun kedalaman daya pikir
seseorang individu, yakni semudah menyimak kualitas komentar-komentar dan
pendapat yang mereka lontarkan atas suatu kejadian atau atas suatu fenomena
sosial di seputar kita. Orang-orang besar, memiliki satu pola yang sama dan
khas sifatnya, yakni tidak pernah mengomentari hal-hal “tetek-bengek”,
sementara orang-orang dangkal selalu mengomentari hal-hal yang “remeh-temeh”
dan tidak berfaedah lengkap dengan lelucon-lelucon yang tidak cerdas serta cenderung
melecehkan orang lain—seolah dengan cara demikian diri mereka akan tampak sebagai
individu yang cerdas, namun sejatinya hanya kian mempertontonkan kekerdilan cara
berpikir yang bersangkutan.
Kedangkalan dalam membuat pertimbangan (atau bahkan patut disinyalir tidak
memiliki pertimbangan sama sekali sebelum berkomentar), menghasilkan
komentar-komentar dangkal oleh orang-orang “dangkal”. Tipikal orang-orang
“dangkal”, mereka akan cenderung tidak mampu mengendalikan diri mereka untuk
tidak secara seketika membuat komentar-komentar “penghakiman” tanpa bersedia
menyelidiki dan menghimpun informasi secara lebih utuh dan lebih akurat untuk
dianalisa sebelum membuat penilaian—semata komentar dilakukan secara “subjektif”
sesuai selera yang menjadi preferensi diri yang bersangkutan semata selaku “orang
luar” (outsider).
Niccolo Machiavelli ketika menuliskan bukunya yang kontroversial (di mata
kita di masa kini) berjudul “The Prince”,
dinilai sebagai tokoh yang mendukung para penguasa lalim yang diktator, tanpa
mau menyadari bahwa ketika sang tokoh penulis ini menulis bukunya, negaranya
sedang mengalami pelemahan akibat pemimpin yang tidak tegas. Karl Marx yang
mengusung konsep proletar sebagai basis kekuatan negara, hanya menjadi betul
tatkala kondisi dunia masih sama seperti ketika Eropa masih digerakkan oleh
mesin uap. Begitu pun ketika k0munisme yang tumbuh dan berbasiskan ketika buruh
tani menjadi segalanya (yang mungkin benar pada masanya), apakah masih relevan ketika
dunia saat kini bergerak pada roda ekonomi industrial? Adam Smith dengan teori “tangan-tangan
tidak terlihat” yang menggerakkan mekanisme pasar, perlu dilihat relevansinya dengan
era dimana Smith bertumbuh besar, dimana mekansime pasar masih sangat
sederhana, belum terpikirkan olehnya dan belum muncul model-model ekonomi
seperti monopoli, oligopoli, kartel harga, dan berbagai persaingan usaha tidak
sehat lainnya.
Dengan demikian, fakta-fakta “empirik-situasional” berupa latar-belakang,
pengalaman pribadi tokoh pencetusnya, serta kondisi dan situasi yang
melingkupinya, merupakan faktor-faktor internal para pemikir tersebut yang
seringkali tidak terpikirkan oleh mereka yang hidup di luar dunia mereka
(faktor eksternal, dari kacamata kita selaku “penonton” atau sebagai “komentator”).
Disini, tercipta ruang “gap” pemisah yang tegas yang akan sangat berbahaya bila
kita tidak penuh pertimbangan sangat mendukung atau menolak suatu gagasan
maupun atas suatu realita lapangan.
Sebagai contoh, belum lama sebelum ulasan ini disusun, beredar berita
menggemparkan bahwa terdapat seorang remaja gadis berusia lima belas tahun,
mengaku di hadapan polisi penyidik bagaimana dirinya membunuh dan memasukkan
jenasah bocah yang menjadi tetangganya sendiri ke dalam lemari di kamar sang
gadis, dimana sang gadis menceritakan secara detai dan demikian tenang
bagaimana dirinya membunuh dan menyembunyikan mayat si bocah, bahkan sempat
tidur semalaman di kamar itu bersama lemari yang dipenuhi jenasah bocah
tetangganya yang dibunuh olehnya. Komentar-komentar warga “netizen” secara
seketika mencuat, dengan satu buah “penghakiman” senada, bahwa sang gadis
adalah seorang “psikopat”, tidak lain tidak bukan, begitu mereka memberi penilaian.
Sebaliknya, seorang sosiolog dan psikolog yang baik, tidak akan pernah
secara sempit melihat sebuah peristiwa dan fenomena sosial yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat kita. Setelah seorang psikolog anak melakukan
pendampingan terhadap sang gadis pelaku pembunuhan sadis tersebut, barulah
terkuak latar-belakang peristiwanya secara lebih holistik. Ternyata, sang gadis
menderita trauma dan depresi akut, menjadi korban pelecahan seksuil oleh kedua
pamannya secara berulang-kali sebanyak sembilan belas kali, bahkan pernah pula
diikat oleh pacarnya sendiri, dan kini sang gadis dalam kondisi hamil. Sang gadis memang adalah remaja yang “bermasalah” (yang mungkin juga disadari oleh sang gadis itu sendiri, menjadi “korban keadaan” yang sama sekali tidak dikehendaki olehnya), namun apa yang menjadi AKAR MASALAHNYA, dan itulah masalah utama yang perlu kita pertanyakan terlebih dahulu sebelum terlampau cepat membuat kesimpulan secara prematur.
Sang gadis, tidak dapat melampiaskan rasa tidak berdaya yang dialami
olehnya, tidak dapat melawan karena diancam oleh kedua pamannya sendiri, dan
disaat bersamaan terluka bahkan mengandung janin dalam rahimnya hasil
pemerkosaan yang dialami olehnya, bahkan menjadi korban pengancaman video
pemerkosaan yang dialami olehnya akan disebar-luaskan oleh orang-orang dekatnya
sendiri tersebut. Alhasil, dirinya hanya dapat melampiaskan segala
ketidak-logisan dunia orang dewasa sebagaimana yang dialami olehnya tersebut,
kepada orang lain yang lebih lemah darinya, yakni seorang bocah kecil teman
main yang merupakan tetangganya sendiri.
Dengan melihat secara lebih utuh kondisi dan situasi dilematis
yang dialami oleh sang gadis pelaku pembunuhan sadis demikian, menjadi tahulah
kita bahwa dirinya disaat bersamaan juga merupakan korban, korban
keadaan, korban pemerkosaan, serta korban ketidak-adilan sosial yang mana
pelakunya ialah orang-orang terdekatnya sendiri yang semestinya melindungi diri
sang gadis. Ketika kita yang berada pada posisi sang gadis, mungkin kita akan
melakukan “kegilaan” lain yang jauh lebih irasional dan lebih “berdarah-darah”.
Ada kalanya, korban kejahatan menjadi pelaku kejahatan dikemudian hari,
sebagaimana kerap terjadi pada korban-korban “s0d0mi”, dan bukan merupakan
mitos.
Dengan mengetahui dan memahami secara mendalam perasaan serta
pengalaman-pengalaman yang dialami oleh sang gadis, kita menjadi dapat menaruh
simpati alih-alih semata menghakimi dan mengutuk sang gadis. Disini, kita perlu
menempatkan perspektif kita bukan hanya sebagai orang luar yang memiliki jarak,
namun juga kedalam alam batin sang gadis, yakni sebentuk “keprihatinan”. Apapun
itu, perbuatan sang gadis adalah keliru dan tetap keliru, pembunuhan maupun
penganiayaan tidak dapat dibenarkan untuk alasan apapun.
Namun, terlepas dari kesemua itu, tiada akan pernah terjadi anomali
mental sang gadis bilamana dirinya tidak terlebih dahulu menjadi korban
kejahatan yang sangat tidak logis oleh orang-orang terdekatnya sendiri—disini,
masyarakat yang menjadi aktor kejahatannya itu sendiri, menjadi pemicunya,
serta menjadi sumber ketidak-adilan yang paling terutama. Karenanya, seringkali
faktor kriminal bersifat multi-factor, kerangkanya menjadi demikian kompleks,
dan jarang sekali bersifat linear, bahkan kita kerap menjadi kesulitan
untuk menentukan dan menilai, siapakah pelaku kejahatan yang sebenarnya?
Bila kita tarik lebih jauh, tidak jarang perilaku kriminil bermula dari
faktor pendidikan dalam keluarga yang sangat tidak memadai atau bahkan teladan
orangtuanya sendiri yang mempertontonkan aksi-aksi ilegal kepada anak-anaknya
sehingga digugu dan ditiru. Namun biarlah disiplin ilmu viktimologi dan
kriminologi yang akan menelitinya secara lebih mendalam, sekalipun menurut
hemat penulis, antara kriminologi dan viktimologi adalah dua bidang disiplin
ilmu dalam satu keping mata uang yang sama dan tidak terpisahkan satu sama
lain.
Karenanya, siapakah yang paling patut kita “gugat” atas peristiwa
pembunuhan yang dilakukan oleh sang gadis? Sang gadis, orang-orang terdekat
sang gadis, ataukah pemerintah yang gagal untuk memberikan perlindungan bagi
para warganya? Menurut hemat pribadi penulis yang mencoba untuk memahami “alam
batin” sang gadis, yang terutama patut kita “gugat” terlebih dahulu ialah para
warga kita yang terlampau mudah melontarkan komentar-komentar penghakiman yang
tidak mengetahui duduk perkara sebenarnya namun merasa berhak semudah itu
melontarkan pernyataan-pernyataan menyudutkan serta penghakiman yang “salah
pada tempatnya”. Bahkan, bila kita tarik benang-merah secara lebih jauh, para
penanggung-jawab dibidang pendidikan serta para pemuka agama juga patut kita
tunjuk sebagai pihak yang turut atau bahkan paling bertanggung-jawab.
Pelajaran yang dapat kita tarik dari kasus ironis-dilematis yang dialami
oleh sang gadis, ialah sebuah teguran keras bagi kemampuan kita untuk menentukan
manakah yang merupakan “sebab”, dan manakah yang merupakan “akibat”,
tanpa salah menempatkannya serta tanpa mencampur-adukkan ataupun
mempertukarkannya secara salah tempat. Karenanya, yang disebut dengan
komentar bernada “penghakiman” ialah ketika seseorang berkomentar tidak secara
proporsional karena gagal menempatkan konteksnya mana yang merupakan “sebab”
dan mana yang merupakan “akibat”, serta kemudian secara serampangan
menunjuk sebuah peristiwa dengan penampakan luarnya sebagai suatu “sebab”.
Sebagai contoh, seorang ibu dari seorang anak yang mengidap sindrom
“autis”, dikenal sebagai kalangan ibu yang “dingin” perangai serta pembawaannya.
Itu adalah persepsi kita selaku “orang luar” yang tidak pernah mengalami
situasi, latar-belakang kehidupan utuh, maupun berbagai pengalaman-pengalaman
dan kondisi psikis yang melingkupi kehidupan sang ibu dengan anaknya yang
“autis”. Sekali kita mengetahui betapa berat perjuangan seorang ibu dalam
merawat anak yang “autis”, kita barulah akan mengetahui bahwa sifat “dingin”
sang ibu ternyata adalah “akibat”, bukan sebagai “sebab”.
Sama seperti ketika seorang anak yang dalam kesehariannya harus
menghadapi perilaku orangtuanya yang “kekanakan”, sang anak akan cenderung
tumbuh dengan kepribadian yang “keras” dan mudah “tersulut” dari segi
emosionalnya. Menurut Anda, manakah yang merupakan “sebab”, serta manakah yang
merupakan “akibat” dari contoh peristiwa sederhana ini? Bila Anda menyatakan
bahwa sifat “keras” sang anak adalah sebagai “akibat”, bukan sebagai “sebab”,
tampaknya Anda telah memahami dengan baik penuturan penulis dalam ulasan ini.
Sama seperti ketika pemerintahan Jerman saat kini yang sangat amat
melindungi data-data pribadi warga negaranya, lengkap dengan segudang regulasi
yang keras serta tegas mengatur perihal privasi dan perlindungan terhadap
data-data personal setiap penduduknya, tanpa terkecuali, yang kini menjadi
kiblat arah perkembangan hukum perlindungan data pribadi individu yang paling
holistik dari segi regulasi maupun kemajuannya untuk dipelajari oleh berbagai
negara mancanegara, banyak diantara masyarakat kita di Indonesia yang masih
“belum melek” dan tidak mau menyadari arti pentingnya data-data pribadi, bahkan
diumbar ke media sosial tanpa menghiraukan bahaya dibaliknya, data-data pribadinya
maupun data-data pribadi pihak lain.
Orang-orang dangkal di Indonesia tidak akan mampu memahami latar-belakang
atau pertimbangan dibalik pembentukan regulasi terkait perlindungan data pribadi,
karena dua faktor, yakni : Pertama, karena belum timbul kesadaran kolektif
bangsa sebagaimana pengalaman Bangsa Jerman ketika menghadapi era genosida yang
terjadi saat Jerman masih terpecah dua antara Jerman Barat dan Jerman Timur
dimana hidup seorang diktator bernama Adolf Hitler yang menjadi motor penggerak
“etnic cleansing” berdasarkan ras di
jerman. Faktor kedua, karena masyarakat kita tidak mau mengatahui sejarah
kehidupan Bangsa Jerman yang pernah “mencicipi” pahitnya sejarah genosida dan
tidak ingin pengalaman serupa dikemudian hari menimpa anak dan cucu mereka di
Jerman, karenanya kini data-data personal menjadi sesuatu yang sangat sensitif
di Jerman dan sangat dilindungi oleh otoritas pemerintah mereka.
Namun demikian, apakah artinya bangsa kita di Indonesia perlu terlebih
dahulu “mencicipi” pengalaman genosida serupa seperti yang pernah dialami oleh
Bangsa Jerman, barulah kita akan menyadari dan mengakui arti pentingnya
perlindungan serta penghormatan terhadap data-data pribadi seorang warga dimana
membocorkan data-data pribadi warga lainnya akan disamakan dengan kejahatan
pembunuhan? Bagi yang berkomentar dan menyatakan bahwa pernyataan penulis
bahwasannya membocorkan data-data pribadi milik warga lain sama artinya
dengan kejahatan pembunuhan, berarti belum memahami secara saksama bahwa
“upaya melindungi data-data pribadi setiap warga secara mutlak” adalah
“akibat”, bukan merupakan “sebab”.
Begitupula seorang atasan di kantor yang sering tampak “marah-marah”
sehingga kerap dijuluki sebagai “pemarah”, “ketus”, dsb; sebagai penjelasannya hanya
ada dua kemungkinan disini : Kemungkinan pertama, sang atasan memang sudah
“gila” (tidak jarang kita temukan demikian). Kemungkinan kedua, para pegawainya
kelewat “bodoh” untuk dipekerjakan (tidak kalah jarangnya kita jumpai), namun
sang atasan akibat beban moril tidak tega memecat karyawan-karyawan bodohnya (sebab),
sehingga sebagai dampaknya (akibat) sang atasan menjadi melampiaskan
kondisi “terjepit”-nya terebut dengan ekses berupa sikap yang “pemarah”.
Orang luar, besar kemungkinan akan seketika menuding bahwa sang atasan
adalah orang “tidak waras” (kemungkinan pertama). Namun, mereka yang pernah
terlibat pada kondisi internal kantor atau perusahaan yang dijalankan oleh sang
atasan, akan mengetahui latar-belakang serta kondisi pengalaman-situasional
yang setiap harinya dirasakan dan dialami oleh sang atasan. Tiada yang lebih
meletihkan dan menguras emosi daripada menghadapi orang-orang “bodoh”
(kemungkinan kedua).
Demikian halnya masyarakat Indonesia kerap dituding pemerintahnya sendiri
sebagai kerap “mengemplang” pajak. Cobalah Anda sebutkan, sebagai evaluasi kita
atas pembelajaran berharga hari ini, sikap fenomena warga masyarakat yang
“emoh” membayar pajak kepada negara, apakah sebagai “sebab” ataukah sebagai
“akibat” belaka? Atau ketika program-program serta kebijakan yang dicanangkan
pemerintah, justru mendapat penolakan serta pertentangan dari sebagian warga,
manakah yang menjadi “sebab”, serta manakah yang merupakan “akibat”-nya?
Cobalah renungkan dan pertimbangkan kembali, mengapa juga kita masih
perlu membayar pajak bagi pemerintah negeri bernama Indonesia ini, bilamana
tatkala wabah pandemi penyakit menular mematikan menyerang negeri beserta
rakyatnya secara merata, untuk satu bulan pertama secara merata memberikan
bantuan pokok bagi seluruh warga masyarakatnya pun pemerintah kita mangaku / mengklaim
“tidak mampu”. Lantas, untuk apa selama ini kita selaku warga selama puluhan
tahun membayar pajak, hanya untuk memperkaya segelintir elit-elit pemangku
kekuasaan di republik ini?
Begitu pun ketika kita harus berhadapan dengan para Aparatur Sipil Negara
yang demikian rajin melakukan pemerasan dan pemungutan liar dengan
menyalah-gunakan kekuasaan monopolistiknya, apakah kita masih harus juga
diwajibkan membayar pajak setelah menguras saku kantung kita atas berbagai
pungutan liar tidak manusiawi demikian? Negara tidak pernah benar-benar hadir
di tengah masyarakat, maka untuk apa pula negara ini didanai dari uang pajak
yang bersumber dari rakyat?
Sama seperti ironisnya Negara Indonesia yang notabene merupakan negara
kepulauan-bahari serta sebagai negara kedua terbesar di dunia dalam hal
penghasil ikan tangkapan dari laut setelah China, namun konsumsi per kapita
warga di Indonesia terhadap ikan justru lebih rendah ketimbang negara-negara
lainnya di Asean, menjadi pertanyaan bagi kita bersama, mengapa fenomena sosial
demikian ibarat “tikus mati di ladang gandum”, bahkan menjadi pengimpor produk
hewani seperti ternak sapi? Yang manakah yang menjadi “sebab”, serta yang
manakah yang merupakan “akibat”?
Orang-orang dangkal akan semudah berkomentar secara tanpa banyak
memikirkan berbagai faktor dan pertimbangan lainnya, bahwa orang Indonesia
“tidak suka makan ikan”. Sebaliknya, orang-orang yang betul-betul terpelajar
dan terdidik, akan menyadari betapa masyarakat kita, sekalipun warga yang
tinggal dan bermukim di pesisir, cenderung menghindari konsumsi ikan karena
mengetahui betul watak karakter para nelayan kita yang bukan tidak ingin merugi
mengambil resiko ikan tangkapan membusuk di tengah lautan, namun akibat
terlampau serakah tidak bersedia membeli es batu untuk mengawetkan ikan
tangkapan dan alih-alih memilih cara aman para nelayan kita memilih jalan
instan-pintas dengan menggunakan bahan-bahan pengawet yang berbahaya bagi
kesehatan konsumennya sendiri. Tidak sedikit penulis mendengar langsung
penuturan warga pesisir, bahwa mereka menghindari konsumsi ikan tangkapan
nelayan kita, bukan karena tidak menyukai konsumsi ikan, namun karena faktor
kesehatan atas resiko ikan berpengawet yang berbahaya di pasaran Indonesia.
Sebagai penutup, serta sebagai evaluasi kita atas pemahaman kita bersama
atas kemampuan memilah mana yang merupakan “sebab” serta mana yang merupakan
“akibat”, guna menilai sendiri sudah atau belum matangnya kita untuk mampu
berpikir dan membuat penilaian secara sederhana, berikut salah satu contoh
ilustrasi konkret yang penulis himpun dari tengah-tengah masyarakat kita, dari
suatu tempat di wilayah pemukiman di Kota Jakarta:
Ternyata, terdapat dua jenis komentar dari warga yang melintas dan
melihat spanduk yang bernada “melecehkan” demikian, dimana rata-rata warga kita
seketika akan membuat komentar secara dangkal (tanpa pertimbangan situasi
dan kondisional dimana spanduk tersebut terpampang) berupa turut
mendiskreditkan pihak warga yang disebut-sebut dalam spanduk tersebut, dan
itulah yang menjadi respons mayoritas warga masyarakat kita di Indonesia, yang
artinya juga bahwa warga masyarakat kita masih cukup “dangkal” pola berpikirnya
karena tidak mampu memiliki “sense of
justice” bahkan turut melecehkan dan mem-“bully” warga sekitar akibat terhasut spanduk provokatif pamer
kekuasaan tirani demikian terhadap warga yang telah bermukim selama lebih dari
empat puluh tahun lamanya di pemukiman tersebut oleh pihak pengusaha ilegal dan
anak buahnya yang tidak tinggal di pemukiman tersebut (pendatang).
Komentar jenis kedua dari segelintir kecil warga, terutama warga setempat
bertetangga yang merasakan langsung dampaknya, ialah turut prihatin atas
arogansi dan sikap mempertontonkan kekuasaan sang pelaku usaha ilegal yang
merasa “kebal hukum” akibat mampu menyuap pejabat Kelurahan setempat sehingga
dilindungi oleh para pejabat di negeri yang serba “korup” ini dimana hukum
diperjual-belikan, sementara setiap harinya ratusan kurir datang dan parkir,
mulai dari mobil box hingga mobil kontainer dan truk berukuran raksasa yang
diparkir justru persis di depan pagar rumah-rumah warga sekitar akibat tiadanya
tempat parkir yang disediakan oleh sang pelaku usaha ilegal demikian (tidak
bertanggung-jawab, memanggil ratusan kurir setiap harinya namun tidak bersedia
menyediakan tempat parkir yang layak), berdiri di tengah-tengah pemukiman warga
yang peruntukannya bukan untuk tempat usaha, jalan yang sempit bahkan masih
juga dijadikan tempat parkir liar mobil-mobil pribadi milik sang pelaku usaha,
hingga aksi penganiayaan-premanisme secara berkeroyokan terhadap warga sekitar
yang berkeratan dan ketika melakukan komplain.
Namun seperti yang telah penulis utarakan sebelumnya, orang-orang
dengan komentar dangkal, adalah ciri utama yang khas dari orang-orang “dangkal”
(sehingga sejatinya mereka sangat mudah dikenali wataknya dari kedangkalan
komentarnya, bukan dari kedalaman pendapatnya, bagai mampu kita ukur dengan sebuah
penggaris milik anak Sekolah Dasar). Karenanya, menjadi tidak mengherankan bila
mereka yang berkomentar secara dangkal demikian, ternyata memiliki profesi yang
sama dangkalnya, yakni driver ojek atau petugas kebersihan. Tidak mengherankan
bila profesi mereka begitu mengenaskan, hanya bisa menjadi “tukang”, tanpa
pernah bisa menjadi seorang pujangga ataupun menjadi seorang negarawan. Bila
mereka menjadi seorang hakim, tentunyalah mereka adalah hakim yang “buruk”—dan
itulah juga sebabnya mengapa mereka tidak pernah dapat menjadi seorang hakim.
Orang-orang bodoh, dilarang untuk berkomentar, menjadi suatu “akibat”.
Sementara, yang menjadi latar-belakangnya, ialah bahwa orang-orang bodoh
cenderung membuat komentar-komentar secara “dangkal” tanpa pertimbangan secara
cermat atas suatu kondisi dan situasi yang melatar-belakanginya (“sebab”).
Orang-orang dangkal akan menyatakan, pelanggaran terhadap tata-ruang wilayah
seperti dialih-fungsikannya wilayah perumahan / pemukiman padat penduduk
menjadi suatu tempat usaha berskala besar, adalah hal “sepele”. Hanya pengusaha bodoh, yang tidak menyadari bahwa kutukan dari satu orang warga, sudah terlampau banyak.
Sebaliknya, orang-orang bijaksana akan melihat bahaya dibalik pelanggaran
dan kegiatan usaha ilegal demikian, terutama ketika terjadi benturan sosial
terutama dari segi aksi-aksi parkir liar, kegaduhan, sampah, polusi, hingga
kebakaran gudang milik sang pelaku usaha yang merembet ke rumah-rumah milik
warga. Fakta juga menunjukkan realitanya, yang menyatakan komentar “hanya hal
sepele” terhadap penolakan warga atas usaha ilegal demikian, hanya dapat
berakhir dengan menerima nasibnya sebagai seorang “ojek online”—sesuatu yang
sama sekali tidaklah mengherankan—dan untunglah mereka hanya berakhir sebagai
seorang “ojek online”, bukan sebagai hakim di pengadilan.
Pada akhirnya, tempat usaha tersebut benar-benar mengalami kebakaran
hebat di tengah malam pada gudang miliknya yang berdiri di tengah pemukiman
padat penduduk sang warga, dan paniklah warga-warga sekitar. Kemanakah mereka
yang selama ini meremehkan usaha ilegal tersebut sebagai “hal sepele” atau yang
selama ini berkomentar “miring” terhadap warga yang disebut-sebut dalam spanduk
demikian, sekalipun mereka semua dapat melihat sendiri kondisinya bahwa tempat
usaha ilegal tersebut berdiri di tengah-tengah pemukiman warga padat penduduk,
jalan yang sempit, bahkan sang pelaku usaha sama sekali tidak membangun tempat
parkir (saking serakah-nya sang pelaku usaha ilegal yang menyerupai kriminal
karena bersama anak buahnya berani menganiaya warga yang melakukan komplain)
sehingga wajar bila terjadi parkir liar oleh ratusan kurir-kurir panggilan sang pelaku
usaha ilegal mulai dari truk kontainer raksasa, mobil box, disamping penuh sesaknya dengan mobil-mobil sang pelaku usaha ilegal, hingga ratusan kurir ojek online, secara tidak bertanggung-jawab, menjadikan jalan umum hingga halaman kediaman rumah warga sebagai lahan parkir liar tanpa membuat tempat parkir khusus bagi kurir-kurir yang dipanggilnya, bahkan hanya sang pelaku usaha ilegal tersebut yang memarkir kendaraan pribadinya di jalan umum yang mana seharian menyempitkan jalan milik umum warga, secara serakah tidak membuat tempat parkir di atas tanah atau dalam bangunannya meski banyak ruang kosong di dalamnya, sekalipun tanah miliknya demikian luas membeli tanah hingga satu deretan jalan, alias semakin banyak tanah dimiliki sang pelaku usaha ilegal justru sifat serakahnya kian menjadi-jadi, terjadi di depan rumah-rumah warga (pemukiman) yang tidak jarang menimbulkan konflik para kurir dengan
warga pemilik rumah akibat kendaraan milik warga tidak bisa leluasa masuk dan
keluar rumah milik sang warga itu sendiri?
Warga setempat yang mengalami dampaknya selama ini atas usaha ilegal
demikian, sementara negara hanya bersembunyi tanpa menampilkan batang-hidungnya
ketika warga melakukan komplain, dan bukan pula pihak orang-orang luar yang
bukan merupakan warga setempat yang terkena dampak langsungnya. Sama halnya,
yang paling mengetahui perasaan serta kondisi dan situasi lengkap dengan
latar-belakang peristiwa utuh, adalah pihak korban itu semata, bukan orang lain
yang biasanya hanya pandai dan terampil dalam hal menjadi komentator yang turut
menghakimi dan mem-”bully”, sama
pandainya dengan komentator pertandingan sepak bola yang tampak selalu lebih
pandai ketimbang para pemain bola di lapangan yang dikomentari olehnya.
Cobalah kita minta para komentator tersebut untuk “bermain” di lapangan,
dan mari kita bersiap-siap untuk melontarkan kritik serta komentar pedas penuh
tawa melecehkan bagi sang komentator. Barulah menjadi aneh, jika Bangsa Indonesia
masih menjadi “macan Asia”, sepanjang kualitas Sumber Daya Manusia bangsa kini
masih sedangkal ini. Jangankan berharap untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa
lain yang menjadi tetangga kita, kita bahkan saling menyakiti dan merugikan
hidup dan kehidupan sesama anak bangsa, seolah kita tidak pernah dapat hidup
tanpa merugikan orang lain—itulah ciri kedua bangsa “kerdil” nan-dangkal.
Terdidik artinya, secara kreatif mampu berusaha mencari nafkah dan hidup
tanpa merugikan orang lain, serta tanpa merampas nasi dari piring milik orang
lain, atau sebaliknya bahkan masih juga merampas dan merampok hak orang-orang yang
lebih miskin dari pelakunya? Sia-sia-lah, ketika seseorang yang mengaku-ngaku terdidik,
namun gagal untuk memilah mana yang menjadi “sebab” serta mana yang menjadi “akibat”.
Seekor anjing menggigit bokong seseorang manusia karena ekornya terinjak, menurut
Anda apakah peristiwa tersebut dikategorikan sebagai “sebab” ataukah sebagai “akibat”? Penulis adalah seorang non-nasionalis (“akibat”) karena sedemikian masif serta seringnya menjadi korban perilaku rakyat jelata kita sendiri bahkan untuk ukuran rakyat penjual di pasar tradisional yang ternyata menjual ayam berperwarna tekstil, tahu dan ikan berpengawet kimia berbahaya bagi kesehatan, hingga untuk ukuran seorang penjual air kelapa yang menjual air kelapa palsu secara tidak jujur kepada konsumennya sendiri yang membayar dan mengharap menjadi sehat namun ternyata dirusak kesehatannya (“sebab”).
Faktanya, hanya sebagian kecil diantara warga kita di Indonesia yang
mampu menjawabnya dengan benar—atau, mereka tahu jawaban yang benar, namun berpura-pura
tidak mengakuinya, dan yang disebut paling akhir itulah yang menjadi dugaan
terbesar dari penulis secara pribadi. Mengharap menjadi “Macan Asia”? Masih
jauh dari harapan. Pekerjaan rumah bangsa ini masih banyak (arogansinya),
menumpuk (hutangnya), menggunung (kebodohannya), dan men-debu (kekotoran
batinnya). Mampukah Anda membantahnya? Yang sudah jelas terang-benderang, hanya
akan membuat Anda tampak konyol bila masih mencoba untuk membantahnya seolah Anda dan audiens Anda kurang kerjaan.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.