Perbedaan antara EVOLUSI dan SELEKSI ALAM

ARTIKEL HUKUM
Virus penyebab flu, sudah lama dikenal oleh para kakek-nenek dan buyut kita, namun mengapa kita sebagai generasi penerusnya tidak juga kebal terhadap flu? Masih saja tidak sedikit diantara masyarakat kita yang mencampur-adukkan antara konsepsi “evolusi” terhadap konsep tentang “seleksi alam”, bahkan masih mengartikan “seleksi alam” atau yang berjulukan “the survival of the fittest” sebagai bermakna “siapa yang kuat maka dirinya-lah yang akan bertahan”—suatu salah-kaprah yang fatal, mengingat esensi dibalik teori Charles Darwin perihal “survival of fittest” bukan bermakna “siapa yang kuat maka ia yang bertahan”, namun siapa yang mampu beradaptasi maka ialah yang akan keluar sebagai pihak yang terus eksis melangsungkan hidupnya di muka Bumi ini.
Sekalipun benar bahwa Darwin yang menjadi pencetus teori “survival of the fittest”, namun demikian adalah “tidak pada tempatnya” ketika kita kemudian mencampur-adukkan antara makna konsep “evolusi” dan “seleksi alam”. Keduanya saling terkait dalam suatu jalinan relevansi tertentu, namun maknanya tidak dapat saling-dipertukarkan satu sama lain. Timbul pertanyaan penting sekaligus sensitif di tengah-tengah masyarakat kita yang “melek literasi” namun ternyata tidak berbanding lurus dalam kemampuan bernalar mereka, sebagai contoh atas pertanyaan berikut : “Apakah evolusi selalu berbanding lurus secara linear dengan upgrade terhadap daya tahan dan kemampuan fisik maupun kapasitas otak umat manusia si homo sapiens?
Singkat kata dari esensi pertanyaan di atas ialah, apakah evolusi identik dengan peningkatan kapasitas daya tahan dan daya “survival” tubuh kita? Jawaban dalam artikel singkat ini akan mengejutkan para pembaca, karena mengandung analisa yang diluar dugaan orang kebanyakan yang terlampau begitu “percaya diri” terhadap suatu mekanisme alamiah bernama “evolusi” yang selama ini konotasinya di kepala kita ialah identik dengan “upgrade diri”—suatu asumsi yang sangat berbahaya dan “kelewat percaya diri”.
Banyak yang percaya, serangan wabah seperti pandemik virus menular mematikan seperti Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) adalah suatu momen dimana umat / ras manusia akan melakukan “upgrade diri” lewat evolusi, dimana “ia yang kuat maka ia-lah yang akan bertahan” sehingga seolah generasi penerus kita ialah hasil “seleksi alam” yang lebih kompeten, lebih kuat secara daya tahan fisik, serta lebih berkualitas dari segi bobot imunitas yang oleh para pakar disebut dengan istilah “the hard immunity”—suatu spekulasi yang menurut penulis ialah “kelewat spekulatif” serta “kelewat berani”, yang mana ketika semua spekulasi tersebut ternyata meleset, maka semuanya “sudah sangat terlambat” untuk memutar haluan kebijakan dan pendekatan terhadap sang virus mematikan, dimana nasib umat manusia menjadi ajang “pertaruhan”-nya.
Sebelumnya, mari kita perjelas terlebih dahulu perbedaan paling prinsipil yang kontras antara “evolusi” dan “seleksi alam”. Logikanya, yang lolos seleksi alam ialah mereka yang lebih kuat, lebih kompeten, lebih adaptif, dan mereka yang memiliki kelebihan-kelebihan dibanding manusia rata-rata—termasuk mereka yang lebih cerdas dari segi kecerdasan intelektual (IQ). Jika memang demikian adanya, mengapa hingga saat kini sekalipun telah demikian tuanya umur sejarah garis keturunan “homo sapiens”, “homo erectus”, serta “homo-homo” lainnya, masih juga kita jumpai manusia-manusia dengan IQ dibawah rata-rata atau yang biasa kita kenal dengan julukan “down syndrome”? Semestinya, mereka tidak lolos seleksi alam, karena seleksi alam hanya akan mendorong naluri para “gadis purba” untuk memilih, menyeleksi, menikahi, dan memiliki keturunan dengan “pria purba” yang kuat serta cerdik.
Artinya, terdapat sesuatu yang keliru dalam tataran logika milik orang awam kebanyakan yang selama ini terlampau menyederhanakan kompleksitas teori evolusi lewat “lompatan logika” yang salah waktu dan salah tempat terhadap konsepsi “seleksi alam”, karena fakta empiriknya manusia masih saja mewarisi berbagai penyakit keturunan yang semestinya terputus lewat proses “seleksi alam” ini.
Sadarkah Anda, “seleksi alam” berupa kaum gadis yang pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada pria yang “unggul” (sesuai konteks zamannya) ketika melangsungkan garis keturunan, adalah sebentuk versi lain dari “holocaust / genosida selektif” itu sendiri, karena manusia-manusia yang dikategorikan tidak “unggul” akan tersisih dan hilang dari “peredaran”? Tiada yang idealis-utopis ketika kita membicarkan “seleksi alam”, terlebih perihal “evolusi” sebagaimana akan dikupas secara cukup “kelam” lewat fakta-fakta empirik di bawah ini.
Kedua, “seleksi alam” semestinya hanya menyisakan mereka yang mampu mengalami “upgrade diri”, namun fakta realitanya, “evolusi” pada era modern membuat tubuh umat manusia kian mengalami degradasi mengarah pada “downgrade diri” akibat ketergantungan pada teknologi sederhana, hingga teknologi mesin uap mekanis, maupun hingga ke tahap kecanggihan teknologi kendaraan bermotor dan elektrikal dimana ketergantungan manusia terhadap teknologi membuat terjadinya “downgrade diri” dari segi kapasitas daya tahan tubuh / fisik. Memangnya, menurut Anda, bagaimana para “pria purba” melakukan kompetisi antara para pria jantan di masa mereka, dengan memamerkan deretan kendaraan bermotor “kuda besi” mewah mengilap milik mereka? Mereka saling “adu otot” dalam arti harafiah yang sebenarnya, guna memenangkan hati “gadis purba” idaman mereka—sehingga jangan gunakan logika atau kacamata milik “gadis modern ala mall” pada konteks zaman purbakala. Setidaknya, “gadis purba” cukup puas diberikan hadiah bunga mawar liar yang dipetik oleh sang “pria purba” bertubuh macho-jantan.
Pada era purbakala atau yang biasa kita sebut sebagai “zaman batu”, manusia “klasik” yang menjadi nenek-moyang kita betul bahwa masih melangsungkan proses “evolusi” berupa penguatan fisik alias “upgrade daya tahan dan kekuatan fisik”, karena (konon) para “wanita purba” hanya menyukai dan memfavoritisasi “pria purba” yang kuat dari segi fisik seperti berbadan besar dan kekar, mampu berburu dan mengejar kijang-rusa, mampu bertarung dengan harimau ganas bertarif panjang, mampu bergulat dengan gajah-marmut, hingga mampu menggotong batu perkamen seperti dalam kisah kartun “Asterix dan Obelix”.
Namun, saat era berubah menjadi era dengan kecepatan digital dimana motor penggeraknya ialah listrik-elektrikal dan minyak bumi sebagai bahan bakar mekanistiknya hingga tenaga nuklir sebagai pendorong laju pergerakan mobiliasi manusia, “wanita modern” melakukan “seleksi alam” dengan hanya memilih “pria modern” yang makmur dari segi ekonomi—sekalipun bisa jadi sang pria memiliki tubuh yang lemah, penyakitan, ringkih, dan mudah jatuh sakit. Klise, namun itulah realita masa kini—selamat datang dalam dunia modern, dan ucapkan selamat tinggal pada “logika purba”.
Karenanya, mengidentikkan “evolusi” dengan “upgrade diri”, merupakan logika zaman purbakala yang sudah tidak relevan untuk dipakai pada era modern ini alias secara salah waktu “masih berpola pikir secara terbelakang”. Bahkan, pada era yang kian canggih ini, para gadis-gadis muda lebih menyukai pria-pria yang memiliki wajah-perangai feminim layaknya seorang perempuan yang jauh dari kesan maskulin, memakai anting, wajah yang mulus tiada bekas-bekas luka atau lecet, tangan yang tiada bekas tanda-tanda pertarungan dengan hewan buas, rambut yang tersisir rapih, berbaju mulus tanpa satupun benang yang kusut, memakai pengharum tubuh, bahkan mungkin juga memakai lipstik dan bedak (?), sehingga menjadi kontras dengan versi zaman purbakala, pria yang kian maskulin kian digemari dan menjadi idola / pujaan paling populer para gadis-gadis muda yang serba histeris ketika berjumpa di panggung (versi konser purba, tentunya).
Tampaknya, dan celakanya, pemerintah serta rakyat kita justru menggunakan logika zaman purbakala tersebut ketika menghadapi serangan wabah seperti pandemik COVID-19, seolah hendak berkata, biarkan saja rakyat kita terpapar COVID-19, agar semua rakyat kita memiliki daya tahan serta imunitas yang lebih “hard—tiada yang lebih celaka daripada spekulatif dengan memakai logika zaman “batu” ini oleh pemerintahan kita di era modern ini. Apakah menurut Anda, semua lelucon “konyol” ini tidaklah lucu dipertontonkan oleh pemerintah kita terhadap rakyatnya sendiri?
Kembali pada postulat pertama seperti yang sempat penulis singgung di awal, ketergantungan umat manusia di era modern ini terhadap kemudahan hidup yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi, mengakibatkan umat manusia ber-“evolusi’ berupa “downgrade” daya tahan dan kapasitas fisik—karenanya pula, “mutasi-engineering” dapat direkayasa dengan faktor merancang kebiasaan hidup warga negara suatu negara, semisal memanjakan warganya dengan mobilisasi penduduk tanpa gerak kaki berupa berjalan, sama artinya melemahkan kualitas fisik lahiriah generasi penerus yang akan menjadi penduduknya.
Yang selama ini menjadi cara kerja atau mekanisme yang bekerja dibalik “evolusi”, ialah suatu sifat yang bernama “adaptif—artinya, ketika umat manusia tidak lagi mendapati adanya tuntutan untuk memiliki kepadatan tulang yang padat, tubuh yang kokoh, otot yang sekeras baja, stamina yang super untuk mengejar mangsa buruan, perut yang mampu mencerna makanan tidak higienis, hingga ketajaman mata dalam menargetkan mangsa buruan di hutan, maupun kekuatan fisik menghadapi panas dan dinginnya cuaca tanpa tempat berteduh yang memadai, hingga juga tuntutan untuk menimba air dari sumber air di kejauhan menuju kediamannya yang sering kali dibatasi oleh bukit-bukit dan gunung-gunung, akibatnya “evolusi” membawa umat manusia ke dalam suatu garis yang bernama “penurunan daya tahan tubuh fisik” sebagai hasil evolusinya. Sebelum nenek-moyang kita mengenal konsep bertani, mereka hidup dari berburu, dan sama sekali tidak memahami tentang ancaman parasit dan cara merebus daging mentah hasil buruan mereka hingga matang, namun nenek-moyang kita mampu bertahan hidup (akan tetapi kita saat kini yang telah mengalami penurunan daya tahan tubuh fisik”, jangan pernah menirunya).
Kabar “buruk” untuk sebagian kalangan orangtua yang “over protective”, seorang pakar virus (virolog) di Indonesia mengakui tanpa sedikit pun membantah, bahwa rata-rata korban jiwa COVID-19 ialah mereka yang selama ini merawat dirinya dengan pola gaya hidup serba “higienis” sehingga daya tahan dan daya tangkal virus dalam tubuhnya tidak terbentuk akibat kurang terpajan virus dan bakteri sepanjang hidupnya hingga usia dewasa—itulah ketika, ajaran tentang pentingnya higienis yang diajarkan kepada kita selama di bangku sekolah menjadi kontraproduktif terhadap tujuan “seleksi alam” dalam kaitannya dengan “evolusi upgrade”. Ironisnya, anak-anak zaman modern lebih kerap bermain di dalam ruang bersih dengan mesin berupa televisi dan konsol video game, bukan bermain-main di kolam berlumpur layaknya kakek-nenek mereka.
Betul bahwa nenek-moyang kita juga mengalami serangan wabah mematikan. Namun perlu kita ingat betul dan tidak boleh kita lupakan, nenek-moyang kita masih melangsungkan evolusi berupa “upgrade diri”, dimana bahkan mereka mampu bertahan mengkonsumsi air dan makanan yang tidak higienis tanpa resiko terserang diare akut. Karenanya, bahkan wabah mematikan semacam COVID-19 sekalipun, tidak akan membuat nenek-moyang kita punah karena memiliki bekal berupa modal tubuh fisik yang kuat dan kian menguat antibodinya. Celakanya, COVID-19 melanda umat manusia modern dikala sedang terjadi “downgrade diri” secara menukik akibat mekanisme “evolusi-adaptif” (sesuai gaya hidup semesta-manusia) itu sendiri.
Bila merujuk pada sejarah, sejarah “evolusi downgrade diri” sejatinya mulai terjadi ketika era “manusia nomaden” mulai beralih menjadi “manusia bertani” yang tinggal menetap. Kemudian mengalami “evolusi downgrade diri” yang lebih dramatis ketika manusia mulai mengenal apa yang kita sebut sebagai “rumah permanen”, dimana mereka terlindungi dari hewan buas liar yang dahulu kala membuat nenek-moyang kita selalu menaruh waspada sehingga panca-indera nenek-moyang kita demikian tajam, peka, senantiasa terasah, serta tangguh—sekalipun nenek-moyang kita mungkin asing ketika diminta “cuci tangan sebelum makan”.
Ketika seluruh umat manusia mulai diperkenalkan pada konsep “rumah permanen”, kian runtuhlah daya tahan fisik manusia menuju “evolusi downgrade diri”. Konsep rumah permanen, sudah ada sejak ribuan tahun lampau, yang artinya proses “evolusi” manusia selama ribuan tahun ini pula bergerak dalam bentuk kurva yang bergerak menurun ke bawah setelah sempat menanjak keatas yang pada puncaknya pada era sebelum / pra dikenalnya konsep rumah permanen dari batu dengan plester dari semen.
Kemampuan manusia modern untuk berburu, kalah jauh bila dibanding dengan dominasi nenek-moyang kita dalam menaklukkan keganasan alam. Manusia modern, berkat “evolusi” (ingat selalu, “evolusi” dapat mengarah pada “upgrade” maupun “downgrade”), kian “cengeng”, lemah, manja, serta ketergantungan pada berbagai hal berupa hal-hal eksternal dirinya seperti kendaraaan bermotor, listrik, dan alat-alat otomatisasi-mekanistik lainnya. Nenek-moyang kita mencukupi kebutuhan gizi dan nutrisinya dengan makanan-makanan yang sangat sederhana proses pengolahannya atau bahkan tanpa pengolahan sama sekali, bahkan tanpa mencucinya terlebih dahulu. Sebaliknya, anak-anak muda zaman modern, akan mengeluh dan menuntut “ayam goreng kriuk, jika tidak maka ogah makan”. Namun juga, jangan pernah sebagai “manusia modern”, makan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan, karena daya tahan tubuh kita telah mengalami kondisi “downgrade” dari sejak era gaya hidup modern kita kenal.
Jika nenek-moyang kita masih dapat menyaksikan ulah dan tingkah-polah kita dari atas langit jauh di sana, maka pastilah mereka akan terkekeh-kekeh menertawai kita, generasi penerus mereka yang hidup di era modern digitalisasi ini, sebagai manusia-manusia “cengeng” serba “canggung” yang manja, pengeluh, pemalas, dan “perengek” disamping “lemah”. Ruang-ruang kamar dan dapur manusia modern, penuh sesak oleh berbagai botol-botol berisi berbagai kapsul suplemen makanan, sementara nenek-moyang kita tiada memiliki ketergantungan terhadap kesemua produk-produk penyebab ketergantungan demikian, fisik mereka tangguh, tidak se-“payah” fisik kita manusia zaman kini.
Untuk memudahkan pemahaman agar para pembaca mampu membedakan antara konsepsi “evolusi” dan “seleksi alam”, tepat kiranya penulis mengilustrasikan seekor spesies hewan bernama buaya. Buaya, merupakan salah satu Dinosaurus yang masih tersisa dan masih eksis bertahan hingga masa kini, yang mampu bertahan melewati “seleksi alam” ketika dinosaurus-dinosaurus temannya yang lain gagal untuk bertahan sekalipun lebih kuat dan lebih besar tubuh fisiknya ketimbang sang “dinosaurus buaya” si amfibi yang “kalem-kalem sama buasnya dengan T-rex” ini.
Namun, jangan bayangkan nenek-moyang buaya pada era Jurassic dahulu jutaan tahun lampau, ialah seekor “kadal” raksasa dengan panjang hanya satu atau dua meter panjangnya seperti buaya masa kini. Buaya pada era Jurassic, berukuran RAKSASA. Namun, demi melangsungkan strategi bertahan guna menghadapi “seleksi alam”, tuntutan inilah yang kemudian membuat anak-cucu buaya purba menyusutkan bobot tubuhnya menjadi kian mengecil secara gradual hingga akhirnya berevolusi secara berangsur-angsur menjelma menjadi buaya “versi mini” yakni seperti buaya-buaya yang saat kini dapat kita saksikan di kebun binatang. Kian mengecilnya volume tubuh buaya modern, membuat mereka berhasil bertahan dari “seleksi alam” ketika T-rex dan dinosaurus yang lebih kuat dan lebih besar lainnya justru gagal melewati dan gagal lolos dari “seleksi alam” era “ICE AGE”. Itulah tepatnya, perbedaan utama antara “seleksi alam” dan “evolusi”—keduanya memiliki relevansi, namun tidak saling berjalan linear. Gilanya “seleksi alam”, ia tidak selalu identik menyeleksi manusia yang lemah, terkadang perlu menjadi “kecil” / mengecil untuk dapat bertahan melewati “seleksi alam”.
Ada harga yang harus kita bayarkan dibalik kenyamanan hidup berkat kemajuan teknologi. Semakin tinggi ketergantungan kita selaku bagian dari umat manusia pada kemajuan teknologi yang memanjakan, semakin kita kehilangan sifat karakteristik nenek-moyang kita, berupa kekuatan fisik. Tidak heran, bila orang-orang jenius lebih memilih berjalan kaki untuk bepergian sekalipun mereka memiliki kendaraan pribadi—mungkin akibat insting naluri warisan nenek-moyang yang masih mengendap pada otak para orang-orang jenius membuat mereka merasakan adanya kegentingan untuk terus melangsungkan serta melestarikan daya tahan tubuh yang kuat warisan nenek-moyang mereka. Hal ini bukanlah mitos, namun fakta yang terjadi sebagai ciri khas orang-orang jenius. Orang-orang Jepang, membiasakan diri untuk terus berjalan kaki dalam aktivitas kesehariannya, sejauh apapun lokasi yang mereka tempuh, adalah dalam rangka melangsungkan / melestarikan daya tahan tubuh warisan nenek-moyang mereka kepada generasi penerus. Anda boleh juga percaya ataupun tidak, orang-orang jenius setiap harinya selalu mandi dengan air dingin, sekalipun memiliki alat pemanas air dalam kediamannya. Anda boleh percaya ataupun tidak, orang-orang jenius sangat paranoid, penuh kekhawatiran (yang kadang berlebihan sifat kecemasannya), tidak lain akibat residu naluri warisan nenek-moyang yang hidup pada era / zaman rumah non-permanen dimana sewaktu-waktu binatang buas bisa datang mengintai dan mengancam keselamatan keluarganya.
Postulat kedua yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan, sekaligus sebagai pesan yang henda penulis sampaikan kepada para pembaca yang budiman, ada bahaya dibalik kemajuan teknologi bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pada satu sisi, kemajuan teknologi memudahkan hidup umat manusia yang kian cenderung menjadi malas serta lemah namun “serba sibuk” (jika tidak “sok sibuk”), namun pada sisi lain kemajuan teknologi membuat umat manusia menjadi ketergantungan pada faktor-faktor di luar dirinya seperti kendaraan bermotor, mesin-mesin mekanistis-terotomatisasi, dan lain sebagainya. Semakin besar ketergantungan umat manusia pada kemajuan teknologi, maka “evolusi manusia” yang berlangsung ialah “evolusi downgrade diri”—itulah bayaran mahal yang harus kita bayar sebagai bayarannya, yang sialnya, akan diwarisi oleh generasi penerus kita, bukan oleh diri kita.
Pada akhirnya, menurut prediksi penulis, mengingat kecenderungan tren daya tahan fisik manusia yang kian merosot dari kurva kelangsungan hidup sejarah umat manusia sejak zaman prasejarah, pada akhirya daya tahan fisik warisan nenek-moyang kita akan benar-benar punah pada beberapa generasi setelah kita yang hidup di era masa kini, ketika umat manusia benar-benar demikian mengalami ketergantungan terhadap teknologi, dimana kesemuanya menjadi serba terkomputerisasi, dimana gerak fisik menjadi sangat amat minim, sehingga “evolusi” membuat mereka menjadi lemah, tulang seperti “kerupuk”, gigi menyerupai spons yang tidak kuat mengunyah tulang (kita menyukai makanan semacam kerupuk atau snack, ada kemungkinan nenek-moyang kita memiliki kebiasaan memakan pula tulang-tulang hewan buruan), mata yang besar seperti ikan namun rabun, pertandingan tinju dan sepak bola tiada lagi yang berminat karena tiada pemain yang sanggup berlaga dalam kompetisi, kulit yang setipis kulit bawang (bahkan pembuluh darah dan jantung mereka dapat terlihat dari balik kulit, sehingga CT-Scan ataupun photo-rontgent tidak lagi dibutuhkan), sekalipun kapasitas otak mereka bertambah sekian “CC”, dan sekalipun mereka berhasil bertahan melewati “seleksi alam” (berkat dibantu teknologi canggih), namun ketika generasi mereka diserang Virus Flu yang bagi kita saat kini tidaklah mematikan, namun akan membuat mereka tidak hanya meriang, namun juga tewas seketika.
Itulah cara ketika, umat manusia menemui kepunahannya, warisan kekuatan fisik nenek-moyang mereka, benar-benar telah sirna tak tersisa akibat generasi masa kini tidak melestarikan warisan-warisan ketahanan / daya tahan dari nenek-moyang kita di “zaman batu”, suatu warisan yang jauh lebih berharga ketimbang kemajuan teknologi apapun, karena itulah yang akan dapat membuat kita bertahan dari serangan wabah saudara-saudara COVID-COVID lainnya dikemudian hari. Percaya atau tidak, mari kita buktikan sendiri dan menjadi bagian dari sejarah bagi para generasi penerus kita. Jika memang harapan tentang hard immunityakan terjadi sebagai solusinya, maka mengapa Virus HIV maupun Virus penyebab penyakit Demam Berdarah yang telah menghantui umat manusia selama puluhan tahun, tidak kunjung ditemukan vaksin maupun terbentuk antibodi alaminya? Kita perlu selalu mengingat, evolusi dapat membuat manusia menjadi lebih kuat ataupun lebih lemah. Namun, bukan hanya manusia yang berevolusi. Sang virus pun turut berevolusi bersama perjalanan sejarah umat manusia, bahkan evolusinya (mudah ber-mutasi) jauh lebih cepat dan lebih masif ketimbang manusia, menjadi lebih jinak atau sebaliknya menjadi semakin ganas, semakin patogen, semakin menular, serta semakin mematikan. Mungkinkah ini akhir dari peradaban umat manusia menjelma hegemonitas makhluk yang berukuran tidak lebih besar dari sel kulit kita? Sama seperti ketika kita menemukan fakta bahwa dunia ini ternyata berbentuk bundar, bukan sebaliknya, semua adalah keniscayaan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.