Hukum Tertinggi Bangsa Beradab : TIDAK MEREMEHKAN & TIDAK MENYEPELEKAN

ARTIKEL HUKUM
Bagi kita, sebuah boneka usang mungkin tidak memiliki nilai, namun tidak bagi pemilik boneka usang tersebut yang memiliki nilai sejarah dan kenangan tidak ternilai harganya. Karenanya, kita memiliki kewajiban untuk menghormati sudut pandang mereka yang paling memiliki kedekatan dengan sebuah nilai intrinsik atas suatu hal. Tidak ada hal yang remeh dan tidak ada hal yang sepele, dimana seseorang hanya berhak untuk meremehkan dan menyepelekan dirinya sendiri. Hanya orang-orang dangkal yang tidak berpikiran jauh ke depan dengan segala konsekuensi logisnya yang menyepelekan segala sesuatunya, lengkap dengan segala konsekuensi—setidaknya, itulah kesimpulan dari hasil observasi penulis ketika mengamati berbagai fenomena sosial baik via pemberitaan dengan suatu pola yang selalu serupa maupun pengamatan langsung di keseharian, entah pada lingkungan sekolah pendidikan, lingkungan peribadahan, lingkungan kerja, lingkungan pemukiman, hingga lingkungan jalan umum kita di Indonesia.
Bila Anda memiliki kebiasaan meremehkan hal-hal “kecil”, artinya Anda tidak memiliki kepekaan ataupun kesadaran terhadap faktor “detail”—sehingga artinya pula Anda tidak akan mampu menekuni bidang-bidang membutuhkan “detail” seperti bidang usaha “event organizer” terlebih sebagai seorang “legal drafter”. Sentuhan kecil, dapat membuat perbedaan yang berarti, itulah semboyan mereka yang membuat perbedaan dengan sentuhan-sentuhan kecil lewat perhatian pada aspek “detail”. Pabrikan atau manufaktur chip komputer maupun handphone, menjadikan nanoteknologi sebagai “tulang punggung” kecanggihan teknologi mereka, dimana semakin kecil ukuran nanoteknologi yang mereka gunakan, maka semakin berharga produk yang mereka hasilkan. Semakin kecil, semakin berharga, bukan semakin sepele.
Apa jadinya, seorang pembuat vaksin ataupun kalangan farmasi tidak memperhatikan hal-hal mendetail, kemudian mengakibatkan banyak kemudaratan bagi banyak pasien pengguna obat ataupun vaksin, lantas pihak produsennya dapatkah semudah berkilah dengan membuat pernyataan klise : “Itu hanya kesalahan pada hal-hal sepele, tidak perlu dibesar-besarkan (sekalipun dampaknya dari hal ‘sepele’ menjadi petaka bagi para masyarakat).” “Sepele” bagi Anda, belum tentu “sepele” bagi orang lain, yang disaat bersamaan Anda sedang “menyepelekan” kehidupan, keselamatan, hak-hak, serta martabat milik orang lain. Apa jadinya bila pengelola bandara maupun jalan tol, meremehkan satu lubang kecil pada landasan maupun jalan yang mereka kelola?
Sel kanker mulanya muncul sebagai hal “kecil”, maka ia kerap disepelekan. Silent killer berupa produk bakaran tembakau, gejala dan penyakitnya muncul perlahan-lahan, karenanya ia diremehkan dan kerap disepelekan. Sifat mencandu dari zat-zat adiktif semacam nikotin maupun zat-zat adiktif lainnya seperti obat-obatan terlarang, dianggap hal “sepele” sehingga bahkan justru “ditantang” dan “menantang” diri sendiri untuk mencoba-coba, sebelum akhirnya benar-benar terjerat dan terpenjara dalam kondisi mencandu untuk seumur hidup—sekalipun dirinya kemudian divonis dokter menderita kanker stadium akut, ternyata tetap saja tidak bisa melepas kebiasaannya menghisap produk bakaran tembakau. “Sepele”, pada mulanya, namun semua hal besar selalu datang dari hal-hal “sepele”, tidak terkecuali sebuah petaka.
Sebagai contoh, apakah “bullying” maupun “cyber bullying” adalah sesuatu hal yang tampak “sepele”? “Sepele” bagi siapakah? Bagi pelakunya pastilah sikapnya tampak “sepele”, namun tidak pernah bagi korbannya. Jika “sepele”, mengapa tidak sedikit beredar kabar berita bahwa para korban “bullying” maupun “cyber bullying” berakhir tragis hidupnya dengan membunuh diri sendiri? Jangan pernah memakai perspektif pelaku aksi “bully”, namun kita perlu mencoba memakai sudut pandang seorang korban aksi perundungan demikian. Ketika kita mencoba menempatkan diri kita pada sisi atau kedudukan sang korban, barulah kita akan menyadari bahwa tidak ada satupun kata-kata dibalik aksi “bullying” yang “sepele” sifatnya—yang ada ialah menyelepelakan perasaan dan luka hati sang korban, serta meremehkan dampak akibatnya bagi sang koran itu sendiri.
Bagi Anda, yang gemar bermain lelucon, mungkin mengatakan “Ada BOM di pesawat ini”, adalah sebuah lelucon “sepele”. Namun, lelucon demikian tidak pernah dan tidak dapat disepelekan oleh otoritas bandara maupun bagi para penumpang lainnya. Anda tidak dapat berdiri di depan hakim pada persidangan maupun ketika dihadapkan ke hadapan Raja Neraka, bahwa Anda hanya sedang melontarkan gurauan konyol yang “sepele”. Anda mungkin akan memprotes, mengapa saya dipenjara hanya karena lelucon “sepele” demikian? Maka sang Raja Neraka pun berhak menjawab, “Neraka hanyalah hal ‘sepele’, mengapa Anda begitu rewel serta manja seperti kanak-kanak?” Ketika Anda menyepelekan perasaan orang lain, maka orang lain pun berhak untuk menyepelekan perasaan Anda (prinsip resiprositas).
Sebagai contoh lainnya, orang-orang yang bukan warga sekitar tidak akan memahami (bukan tidak dapat memahami atau berempati, namun tiadanya kemauan untuk itu) kekhawatiran warga sekitar pada sebuah pemukiman yang melakukan komplain keras terhadap aksi segelintir pihak yang mengalih-fungsikan wilayah pemukiman sebagai tempat usaha berskala besar secara ilegal. Apakah berusaha secara ilegal, di tengah-tengah pemukiman padat penduduk, adalah hal “sepele”? Itu adalah perspektif orang luar (outsider), yang bisa jadi hanya sekadar melintas lalu merasa berhak menghakimi komplain warga-warga sekitar terhadap terjadinya alih fungsi tata-ruang wilayah pemukiman demikian.
Tidak lama berselang, benar-benar terjadi, bahkan sudah dapat diprediksi sebagai konsekuensi logisnya, gudang milik sang pelaku usaha ilegal demikian mengalami kebakaran, tepat di tengah malam, membuat panik para tetangga yang cemas bila kebakaran merembet dan menjalar ke rumah-rumah milik tetangga yang saling berbatasan. Para warga pemukim yang lanjut usia mengalami serangan jantung ringan akibat terkejut dan rasa takut menjadi korban api yang merembet dari tempat usaha sang pelaku usaha ilegal yang secara tidak bertanggung-jawab serta tidak tinggal di wilayah tersebut bahkan tidak menyediakan alat pemadam api yang layak. Kemana-semuakah, orang-orang yang sebelumnya membuat komentar menghakimi seolah-olah membuka tempat usaha ilegal adalah “hal sepele” untuk diberikan komplain?
Bukanlah kewajiban ataupun tuntutan bagi warga luar untuk menjaga benar-benar keselamatan lingkungan pemukiman mereka. Namun, adalah hak serta kepentingan warga pemukim setempat yang telah tinggal dan menghuni selama hampir separuh abad lamanya selaku stakeholder atas lingkungan pemukiman mereka maupun atas keselamatan tempat tinggal dan hak atas hidup tenang tanpa gangguan apapun, untuk melakukan segala perlawanan terhadap apa yang bagi warga luar dipandang sebagai “hal sepele”, bahkan ketika sang pelaku usaha dan para anak-buahnya hanyalah warga pendatang yang tidak tinggal pada pemukiman tersebut.
Mengapa juga, warga luar merasa berhak untuk menjadi bak “hakim kesiangan” yang bahkan tidak pernah diminta oleh warga setempat yang paling berhak serta paling berkepentingan, untuk menghakimi kepentingan serta aspirasi warga sekitar? Selalu terbukti, komentator yang “sok kuasa menghakimi” demikian, tidak pernah muncul dan tidak pernah tampil saat “the worst case” benar-benar terjadi—mereka hanya pandai berkomentar serta “menghakimi namun selalu salah alamat alias tidak pada tempatnya”.
Tepat kiranya bila kita membuat sebuah postulat, bahwa : yang tidak bersedia bertanggung-jawab atas komentar dan penghakimannya, maka dilarang untuk “ikut campur”, dilarang pula untuk berkomentar, serta terlebih dilarang pula untuk menghakimi orang-orang / warga yang selama ini menjadi stakeholders. Siapa pun bisa berkomentar, semudah bermain permen karet dalam mulut atau memainkan tuts pada gadget di tangan mereka, bahkan orang-orang yang tidak berpendidikan pun bisa berkomentar demikian produktifnya seolah lebih ahli ketimbang pakar yang lebih tekun meneliti, sekalipun tanpa pernah diminta. Dimana jugakah letak sukarnya melontarkan komentar, terlebih komentar tanpa pertimbangan yang cermat alias komentar yang tidak arif dan tidak bijaksana selain didasarkan pada pemikiran spekulatif belaka yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan?
Sama halnya, siapapun bisa “sok jago” mengatur-ngatur orang lain, namun ternyata dirinya sendiri kerap gagal untuk mengatur dirinya sendiri. Tidak terkecuali, semua orang akan dengan senang hati melakukan aksi “penghakiman” sekalipun tanpa diminta, bak “jagoan kesiangan”, namun ironisnya tidak mencerminkan sikap yang adil, yang mana dirinya akan menjadi hakim yang buruk bila menjabat sebagai seorang hakim—beruntunglah orang-orang semacam ini hanya bernasib sebagai orang-orang “kelas bawah”, yang mana tidak mengherankan bila nasib mereka berakhir seperti demikian, sama dangkalnya martabat diri mereka seperti cara berpikir mereka yang dangkal.
Sepele ya, kemanakah batang hidung Anda saat tempat usaha ilegal di lingkungan pemukiman kami ini, kemudian benar-benar mengalami kebakaran? Tunggu sampai lingkungan kediaman Anda yang mengalami kebakaran akibat ulah pelaku usaha ilegal di lingkungan perumahan padat penduduk, maka orang lain akan berhak untuk membalas komentar Anda, bahwa itu adalah ‘Hal SEPELE!’
Telah jutaan penduduk dunia dilaporkan oleh ratusan otoritas negara setempat sebagai telah menjadi penderita terjangkit Corona Virus Disease (COVID-19) yang menular serta mematikan, dimana telah ratusan ribu jiwa penderitanya dari berbagai belahan dunia dilaporkan pula bertumbangan satu per satu. Namun, ternyata masih banyak saja masyarakat kita di Indonesia yang merasa lebih pandai dan lebih tahu ketimbang para pekerja medis, membuat komentar kepada publik secara tidak bertanggung-jawab yang pada pokoknya ialah “menyepelekan” serta “meremehkan” ancaman dibalik wabah pandemik (outbreak) COVID-19, dengan menyatakan dirinya tetap sehat sekalipun secara sengaja menantang sang virus dengan “berkeliaran” di luar rumah dalam kerumunan dan tanpa mengenakan masker atau alat pelindung diri apapun (klaim “over-acting” yang berlebihan sehingga membuat klaim dirinya menjadi tampak irasional seketika itu juga di telinga para audiens), ditengah-tengah telah banyak sekali testimoni para mantan penderita, bahwa sekalipun kemudian dinyatakan sembuh dari infensi COVID-19, ternyata efek sampingnya tetap membekas paska dirawat serta berbiaya sangat mahal.
Tidak pernah ada hal yang sepele, itulah postulat paling utama yang menjadi prinsip primair dari bangsa beradab. Orang-orang “kelas bawah” pun hanyalah kalangan-kalangan “sepele”, yang tidak pernah perlu diperhatikan pemerintah, sekadar penggembira saat pesta demokrasi, bukankah demikian? Apakah bangsa kita, Republik Indonesia, telah tergolong “beradab”? Itulah pertanyaannya, yang akan sangat tepat dijawab lewat kasus nyata. Berikut yang dapat terjadi dari hal-hal yang “sepele”, sebagai bayaran mahal atas sebuah sikap yang “meremehkan”, sebagaimana penulis kutip dari pemberitaan yang terjadi di Solo, https:// www. wartaekonomi .co.id/read289801/gegara-benang-layangan-pengendara-motor-tewas, diakses pada tanggal 16 Juni 2020, apakah yang selama ini menyatakan sepele” terhadap berbagai benang layangan yang dibiarkan dan ditelantarkan menjuntai di tengah jalan oleh orang anak-anak yang bermain layangan, akan tampil untuk mengambil tanggung-jawab atas tragedi berikut:
Seorang pengendara sepeda motor tewas karena benang layangan yang menjuntai di jalan menjerat lehernya. Peristiwa tragis itu tepatnya di Jalan Tangkuban Perahu, Mojosongo, Jebres, Solo, Jawa Tengah, Kamis 11 Juni 2020.
Korban sendiri berinisial YBS (21), warga Kelurahan Sumber, Banjarsari, Solo. Lehernya tersayat benang layangan yang melintang di tengah jalan. YBS terjatuh dari sepeda motor ... berpelat nomor ... yang dikendarainya. Pemuda itu langsung dilarikan ke RSUD dr ... Solo dan meninggal di rumah sakit tersebut.
Sementara saksi mata yang juga warga sekitar lokasi kejadian, ... menerangkan pada Kamis sekitar pukul 14.30 WIB, korban terlihat mengendarai sepeda motor melintas dari selatan ke utara dengan kecepatan sedang di jalan menanjak tersebut.
Setibanya di depan kantor pos setempat, korban tiba-tiba terjatuh karena lehernya terjerat benang layangan yang menjuntai di jalan. Menurut Agus, benang itu panjangnya sekira 5 meter.
“Benang layangan nyangkut di kabel, waktu siang belum ada, tahu-tahu benangnya sudah di kabel. Korban dievakuasi pakai mobil pikap yang diberhentikan orang di jalan,” kata ... yang rumahnya di seberang lokasi kejadian.
Menurutnya korban terjatuh hingga motornya menabrak pagar kantor pos. Korban sempat bangun dan berdiri untuk melepas benang layangan yang menjerat lehernya.
Tapi kemudian korban terjatuh lagi, kemungkinan karena darah yang keluar dari tubuhnya banyak. Saat itu, korban sempat diajak komunikasi oleh warga dan dia mengaku pekerja bengkel di dekat lapangan Mojosongo.
Agus menjelaskan senar yang menjerat leher korban ada dua jenis yang disambungkan menjadi satu. Yang satu jenis senar biasa dan satunya lagi senar gelasan warna putih, tajam, tak bisa diputus oleh Agus.
Kesimpulan, layangan maupun bermain layangan, bukanlah hal “sepele” ketika dilakukan di tengah-tengah pemukiman penduduk. Segala hal, yang dilakukan bukan pada tempatnya, bukanlah hal “sepele” yang dapat kita remehkan. Namun, tampaknya, masyarakat kita telah dibiasakan menyepelekan segala sesuatunya, bahkan sejak kita duduk di bangku sekolah. Contoh lainnya, tidak banyak diantara masyarakat kita baik yang berusia muda maupun yang telah dewasa, bersedia untuk menyadari bahaya bermain petasan saat merayakan tahu baru.
Banyak dilaporkan media, burung-burung tewas akibat asap bakaran petasan yang bertebaran di udara, begitupula fakta empirik genting rumah kita dan kualitas udara yang menyeruap masuk melalui ventilasi menjadi penuh tumpukan debu “tebal” serta tidak layak dihirup ketika beristirahat di dalam rumah maupun saat tertidur, bahkan penulis yang menderita sakit asma ringan sampai harus mengenakan masker saat tidur pada malam tahun baru.
Terlebih ironis, tiada yang memperhatikan nasib para warga lanjut usia (lansia), yang rentan terkena serangan penyakit jantung akibat suara ledakan petasan yang kapan akan mengeluarkan suara ledakan hanya diketahui oleh mereka yang memainkan “rudal mini” tersebut itu sendiri, terlebih-lebih bila sang lansia mengidab penyakit lemah jantung dan mudah terkejut sekalipun butuh beristirahat serta menderita penyakit jantung. Sungguh, masyarakat modern kita amat sangat tidak bersahabat terhadap kalangan lansia, terlebih diharapkan untuk berempati terhadap kondisi dan masalah yang dialami para lansia. Mungkin, karena masyarakat kita memandang remeh dan menyepelekan eksistensi kalangan lansia kita.
Sedari anak bangsa kita di Indonesia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, tanpa kita sadari mental-mental “menyepelekan” dan “meremehkan” ditanamkan lewat kurikulum pendidikan kita yang jauh dari kata “sarat makna”. Contoh, buku-buku teks pelajaran yang dahulu pernah kita enyam saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, disebutkan bahwa Copernicus sebagai orang pertama yang tercatat dalam sejarah sebagai penemu karena menemukan berbagai benua selain benua tempat asal kelahirannya serta menemukan bahwa dunia ini berbentuk bundar. Selesai sampai disitu saja, demikian sepelekah itu terdengarnya?
Kini, penulis mencoba mengajak para pembaca untuk merenungkan secara lebih komprehensif dengan pendekatan yang kontras dengan pendekatan semula sebagaimana yang diuraikan pada buku-buku teks pelajaran formalistik “kering” makna serta “minim” kesan demikian. Bayangkan, bila Anda adalah sang penjelajah, sang Copernicus yang agung nan pemberani, berangkat mengarungi samudera luas penuh ombak badai yang mengancam di depan sana, tinggi ombak yang mencapai belasan meter, keadaan penuh ketidak-pastian, ketakutan ketika menemui makhluk-makhluk raksasa di bawah air (yang kini kita kenal sebagai ikan paus), logistik yang tidak dapat dikalkulasi karena mereka tidak dan belum mengetahui ada apakah atau tiada apapun-kah di depan sana selama mereka terus mengarungi samudera luas selama berbulan-bulan ini?
Kita perlu juga memahami konteks zaman Copernicus, sang petualang. Saat itu, seluruh penjalajah dan para nakhoda kapal berasumsi serta berkeyakinan bahwa bumi tidak berwujud bundar, terlebih keyakinan keagamaan pada era itu masih meyakini bahwa bumi berbentuk datar, dimana Anda akan jatuh bagai air terjun ketika Anda mencapai tepian dunia. Apakah ada jaminan Copernicus akan menemukan dan mencapai daratan kembali? Siapa yang akan tahu. Apakah logistik tim ekspedisi sang Copernicus, akan mencukupi kebutuhan mereka? Siapa yang tahu. Apakah mereka akan terombang-ambing tanpa kepastian untuk selamanya? Siapa yang tahu. Kemanakah perahu ini akan membawa mereka bila mereka akan terus mengarungi samudera dalam garis lurus, apakah akan menuju “tepi dunia” atau justru akan kembali ke samudera semula? Siapa yang tahu.
Buku-buku teks pelajaran formal kita, telah membiasakan kita meremehkan sebuah proses panjang perjuangan para pendahulu kita. Pertualangan hebat nan penuh resiko sang Copernicus, direduksi makna serta sejarahnya hingga hanya sebatas satu paragraf pada satu lembar halaman pada buku-buku teks ilmu pengetahuan yang “kering” makna serta “miskin” kesan demikian. Sama halnya, ribuan pihak selama ini telah menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi maupun email kerja penulis sekalipun mereka menyadari bahwa penulis mencari nafkah sebagai seorang penjual jasa konseling seputar hukum, dengan tujuan semata untuk “memperkosa” profesi penulis semudah memainkan handphone pada jemari tangan mereka.
Mereka membalas “air susu dengan perkosaan”, dimana berbagai ulasan hukum pada website yang penulis asuh ini dibangun dari tidak terhitung lagi pengorbanan waktu, pengorbanan biaya, pengorbanan tenaga, serta pengorbanan pikiran yang perlu penulis curahkan—tetap saja, mereka membalasnya justru dengan “pelecehan” dan “perkosaan”.
Dari fenomena yang masif terjadi penulis alami serta apa yang selama ini dapat kita observasi dari feneomena-fenomena sosial-kemasyarakatan kita, ternyata terdapat satu pola yang seragam secara sistematis terdapat dalam “mental kolektif” bangsa kita, entah karena faktor genetik-kah, atau memang itulah budaya bangsa kita, yakni : kerap dan terbiasa meremehkan perasaan orang lain, baik lewat perbuatan warga kita, ucapan warga kita, maupun pikiran-pikiran tidak bertanggung-jawab warga kita. Sikap-sikap miskin empati, selalu bermula dari sikap minimnya kepedulian.
Kita, faktanya, tidak pernah punya hak untuk meremehkan perasaan individu lainnya, terlebih menyepelekan perilaku dan ucapan kita terhadap orang lain, karena orang lain yang akan menjadi pihak korban atau yang mengalami kerusakan atau setidaknya menderita luka, baik luka fisik, luka kepemilikan properti, atau luka pada aspek batiniah. Ketika kita menyepelekan hak-hak orang lain, dan disaat bersamaan meremehkan perilaku kita, baik lewat ucapan, perbuatan, maupun pikiran, sejatinya kita tidak layak lagi disebut sebagai bangsa “beradab”, namun masih sebagai bagian dari bangsa “biadab” yang “terbelakang” pola berpikirnya, sama serakahnya dengan seekor hewan yang tidak berbudaya.
Ketika kita meremehkan akibat / dampak dari perbuatan kita (baik lewat perbuatan lahiriah, pikiran, maupun ucapan), maka sama artinya kita sedang menyepelekan perasaan / luka / kerugian / gangguan yang diderita dan dialami oleh orang lain yang menjadi korban perilaku kita. Sebaliknya, ketika kita menyepelekan hak-hak maupun perasaan dan martabat orang lain yang menjadi korban perilaku kita (baik karena sengaja maupun karena lalai), sejatinya kita sedang meremehkan tindak-tanduk perbuatan kita terhadap individu lainnya—sehingga menjelma manusia “serampangan” yang tidak mampu menghormati dan menghargai eksistensi orang lain lengkap dengan perasaan dan harga diri / harkat-martabat masing-masing individu.
Pepatah menyebutkan, kita mungkin tidak akan tergelincir akibat batu besar, namun akibat meremehkan batu kerikil yang kecil, tidak jarang kita terpeleset olehnya. Simak pelajaran akibat meremehkan hal-hal “kecil” yang tampak sepele, dimana bahkan seorang pakar virus menyebutkan bahwa virus yang telah mati dan terbawa oleh angin di udara, ketika terhirup oleh pernafasan seorang manusia sebagai inang, ia akan kembali hidup dan aktif di dalam sel-sel tubuh sang manusia yang menjadi inang. Bukankah itu adalah kisah horror nyata yang tidak bisa tidak menakutkan? Jangan pernah menyepelekan, baik itu hal besar maupun hal kecil, sekalipun itu sekecil virus yang tidak kasat-mata.
Tiada hal yang “sepele”, demikian pelajaran dari virus “purba” yang hidup kembali sejak mati satu abad lampau berikut ini, sebagaimana penulis kutip dari berita berjudul “Sampar 1918 Bangkit dari Kubur”, https:// koran. Tempo .co/read/ilmu-dan-teknologi/92298/sampar-1918-bangkit-dari-kubur?, edisi 22 Januari 2007, diakses pada tanggal 17 Juni 2020:
“Karakter virus flu 1918, yang menewskan 50 juta orang, mirip flu burung.
WINNIPEG — Tujuh ekor macaque di Kanada ini pasti menjadi monyet paling nahas di dunia. Mereka tinggal di Laboratorium Mikrobiologi Nasional Kanada di Winnipeg dengan tugas utama : diberi virus flu paling berbahaya yang dikenal manusia. Flu 1918 yang menewaskan 20—50 juta jiwa dalam setahun.
Para ahli mikrobiologi dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, dan Dinas Kesehatan Masyarakat Kanada menghidupkan kembali virus maut dengan cara mirip pembuatan dinosaurus dalam film Jurassic Park. Darwyn Kobasa, peneliti dari Dinas Kesehatan Masyarakat Kanada, yang meminpin riset terhadap monyet, mengatakan, “Riset ini memberikan sebagian jawaban penting masalah virus influenza, dan potensi mereka menciptakan sampar.”
Jadi, setelah virus itu bisa dihidupkan kembali, mereka mencoba terhadap tikus percobaan. Reaksi pada tikus mirip seperti yang dilaporkan dalam catatan perawatan korban flu 1918. Tapi tikus bukan manusia, mungkin saja ada perbedaan. Tahap berikutnya diuji coba kepada makhluk yang mirip manusia : monyet.
Saat ini baru pada tahap bagaimana reaksi tubuh primata setelah terkena virus maut itu. Dalam sehari setelah virus diberikan, gejala mulai muncul. Virus itu tumbuh dengan cepat, begitu pula kekebalan tubuh para monyet. Cairan kekebalan tubuh ini diproduksi dengan sangat berlebih sehingga akhirnya malah membanjiri paru-paru dengan cairan. Akibatnya korban tak ada bedanya dengan tenggelam di laut. Ia tidak bisa bernapas.
Tapi para ahli masih bingung bagaimana ia bisa tumbuh cepat. “kami masih belum tahu bagaimana ini terjadi,” kata Yoshihiro Kawaoka, pemimpin riset di Universitas Wisconsin, seperti dilaporkan jurnal Nature pekan lalu.
Dalam delapan hari, kondisi para monyet sudah sangat buruk dan mereka harus disuntik mati sebelum kian parah dan sekarat.
Analisis di Universitas Wisconsin di Madison meneyebutkan salah satu komponen sistem kekebalan tubuh, yang disebut RIG-1, agaknya terlibat di sini. RIG-1 ini mestinya bertugas mengatur jumlah protein kekebalan tubuh agar pas dengan besar ancaman.
Saat virus menyerang, jumlah RIG-1 lebih sedikit sehingga protein kekebalan tubuh bereaksi tanpa kendali yang akhirnya membunuh tubuh sendiri.
Cara sampar 1918 ini mematikan mirip flu burung yang sedang menyerang dunia, termasuk Indonesia. “Kita melihat virus 1918 yang diinfeksikan kepada monyet sama dengan virus H5N1,” kata Kawaoka.
Tentu saja ada bedanya. “Virus 1918 memang berbeda dengan jenis virus flu yang lain,” kata Kawaoka. Perbedaan utamanya adalah “flu 1918 sangat cepat berpindah dari manusia satu ke manusia lainnya. sedangkan flu burung relatif lambat. Jika proses awal diketahui, Kawaoka berharap bisa mengetahui bagaimana proses pada awal infeksi terjadi sehingga sistem pengendalian pertahanan tubuh rusak. “Kita mungkin bisa masuk dan menghentikan reaksi itu,” katanaya.
Bukan hal mudah menghidupkan kembali virus flu 1918. Meski korban tewas mencapai puluhan juta jiwa, sulit mencari jaringan tubuh korban dengan baik. Ketika sampar melanda dunia pada 1918, virus belum dikenali. Butuh belasan tahun sebelum virus influenza diidentifikasi. Para ahli menggunakan korban flu yang dimakamkan di Alaska. Di wilayah dekat kutub itu, korban flu dimasukkan kulkas, badannya tak sepenuhnya rusak. Gennya masih bisa dilacak. Setelah virus jadi, nasib nahas menunggu tujuh ekor macaque.
Bila hal “kecil” sekecil virus dalam ilustrasi berupa kisah di atas belum cukup menakutkan, kisah horror mengerikan serupa juga dilaporkan dalam pemberitaan bertajuk “Jutaan Tahun Sudah Membeku, Siapa Sangka Penyakit Mematikan yang Terkubur di Es ‘Bangkit Lagi’ untuk Mengancam Dunia Ketika Es Mulai Mencair”, Muflika Nur Fuaddah, 18 April 2020, https:// intisari. grid .id/read/032111597/jutaan-tahun-sudah-membeku-siapa-sangka-penyakit-mematikan-yang-terkubur-di-es-bangkit-lagi-untuk-mengancam-dunia-ketika-es-mulai-mencair?page=all, diakses pada tanggal 17 Juni 2020:
Ketika virus berevolusi, begitu juga kemampuan manusia untuk merawat dan mengendalikannya.
Tetapi sekarang ada kekhawatiran bahwa bakteri yang diperkirakan telah diberantas dari dunia dapat bangkit kembali dan mengancam Bumi karena perubahan iklim.
Saat suhu bumi naik, area besar tanah beku beku mulai mencair. Dalam beberapa kasus, tanah ini telah membeku selama ribuan tahun. Para ahli khawatir tanah yang sekarang mencair ini mengandung bakteri dan virus yang telah tidak aktif selama ribuan tahun. Begitu terbangun, virus ini bisa terbukti mematikan.
Empat tahun lalu di salah satu tempat paling terpencil di dunia - Siberia - seorang bocah lelaki berusia 12 tahun meninggal karena antraks. Dia bukan satu-satunya yang terinfeksi, 20 orang lainnya juga harus dirawat di rumah sakit karenanya.
Tapi dari mana penyakit yang telah lama mati bisa muncul lagi? Ada kecurigaan bahwa mati karena terinfeksi antraks lalu membeku di bawah es selama 75 tahun - sampai gelombang musim panas tiba. Panas melelehkan lapisan es yang menutupi mayatnya dan antraks lepas dan hidup kembali.
Antraks diyakini telah meresap ke dalam tanah yang mencair sebelum menemukan jalannya ke pasokan air dan kemudian rantai makanan manusia.
Lebih dari satu juta rusa mati karena antraks pada awal 1900-an dan ada ribuan tempat beku yang menjadi kuburan mereka. Para ilmuwan khawatir ini bisa menjadi awal dari virus yang mematikan yang diperkirakan sudah lama mati dan bisa bangkit serta mengancam.
Karena lapisan es telah membeku selama ratusan, jika tidak ribuan tahun, ia menjadi tempat yang sempurna bagi bakteri untuk bertahan hidup. Mungkin ada banyak kengerian sekarang mulai terbangun di bawah tanah beku bumi. Termasuk flu Spanyol yang menewaskan hingga 50 juta orang antara tahun 1918 dan 1920, wabah pes dan cacar.
Kuburan massal di Alaska, yang beku sejak wabah flu Spanyol yang mematikan, telah mengungkap fragmen DNA dari penyakit tersebut. Dan ada kekhawatiran ada banyak area pemakaman beku yang menjadi tempat peristirahatan korban cacar dan wabah pes di Rusia.
Namun, ada beberapa kabar baik - tidak semua virus dapat bertahan jika dibekukan dalam waktu yang lama. Yang paling mungkin untuk “bangun” adalah mereka yang datang dari spora.
Secara mengerikan, ini termasuk beberapa penyakit paling mematikan yang pernah dikenal manusia, termasuk antraks dan botulisme, yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan kematian. Dan segera setelah hidup kembali, virus-virus itu sangat menular.
Pencairan permafrost yang membangunkan virus yang telah mati bukan satu-satunya ancaman bagi manusia. Ketika es Kutub Utara mencair dan lautan naik, daerah-daerah luas yang sebelumnya tidak dapat diakses dengan perahu sekarang dapat dicapai. Meskipun ini menawarkan lokasi penambangan baru dan cadangan bahan bakar, itu juga mematikan.
Jika permafrost, yang tetap tidak tersentuh sejak zaman kuno, tiba-tiba diakses, virus mematikan bisa bebas. Salah satu yang paling menakutkan dikenal sebagai virus raksasa, yang sangat besar sehingga dapat dilihat dengan mikroskop normal dan hampir mustahil untuk dihancurkan. Bahkan penyakit yang membunuh manusia Neanderthal dalam jumlah besar bisa dilepaskan.
Ahli biologi evolusi di Universitas Aix-Marseille di Prancis Jean-Michel Claverie mengatakan kepada BBC : “Kemungkinan bahwa kita dapat terinfeksi virus dari Neanderthal yang telah lama punah menunjukkan gagasan bahwa virus dapat ‘diberantas’ dari planet adalah salah, dan memberi kita rasa aman yang salah.”
“Inilah sebabnya persediaan vaksin harus disimpan, untuk jaga-jaga.”
Permafrost bukan satu-satunya tempat bakteri mematikan ini terbengkalai - mircrobe berusia 50.000 tahun ditemukan di dalam kristal di tambang di Meksiko oleh para peneliti NASA pada 2017. Segera setelah mereka dilepaskan dari penjara kristal mereka, mikroba mulai menggandakan diri secara instan.
Bisa jadi, COVID-19 merupakan virus “purba” yang sama seperti yang sebelumnya pernah menjangkiti para nenek-moyang kita ribuan tahun lampau, yang kini kembali bangkit dari kuburnya dan hidup kembali, dalam arti yang sesungguhnya, sekalipun manusia modern telah menjadi kian lemah daya tahan tubuhnya akibat proses evolusi sejak kecanggihan teknologi memanjakan hidup manusia yang kian hari kian mengalami ketergantungan terhadap kecanggihan teknologi.
Bukanlah suatu kemustahilan, namun niscaya, virus mematikan adalah hasil bentukan “by design”, oleh manusia, bukan “design by nature”. Bisa jadi pula, tidak tertutup kemungkinan, COVID-19 adalah virus “purbakala” yang sudah lama mati, namun dihidupkan kembali oleh tangan-tangan manusia di ruang laboratorium, sebagaimana dapat kita lihat kemungkinannya dalam berita bertajuk “Ilmuwan buat virus serupa virus Flu Spanyol”, 12 Juni 2014, https:// www. antaranews .com/berita/438667/ilmuwan-buat-virus-serupa-virus-flu-spanyol, sebagaimana diakses pada tanggal 17 Juni 2020:
Washington (ANTARA News) - Para ilmuwan menggunakan fragmen dari virus flu unggas untuk membuat virus yang serupa dengan virus Flu Spanyol, penyebab pandemi influenza tahun 1918, wabah paling parah yang tercatat pernah terjadi.
Hasil studi para peneliti Amerika Serikat menunjukkan bahwa pandemi parah seperti tahun 1918, yang membunuh sekitar 40 juta orang di seluruh dunia, kemungkinan bisa muncul lagi di masa depan, demikian menurut para peneliti yang dipimpin oleh Yoshihiro Kawaoka dari University of Wisconsin-Madison.
Para ilmuwan meneliti data induk publik, mereka mengidentifikasi delapan gen dari virus flu unggas yang diisolasi dari bebek liar yang memiliki kesamaan genetik luar biasa dengan penyusun virus 1918.
Mereka menggunakan teknik yang disebut rekayasa balik genetik untuk membangkitkan virus yang asam amino penyusun proteinnya hanya berbeda tiga persen dari virus penyebab wabah tahun 1918.
Pengujian menunjukkan bahwa virus itu lebih patogen pada tikus dan musang dibandingkan dengan virus flu unggas biasa tapi tidak lebih patogen dari virus flu tahun 1918 dan tidak menular ke musang melalui udara seperti umumnya virus influenza.
Namun, virus serupa virus flu tahun 1918 itu mengalami mutasi pada tujuh asam amino dalam sejumlah kecil protein kunci dan menyebar secara efisien dari binatang ke binatang, menunjukkan bahwa itu berpotensi menyebabkan pandemi, kata para peneliti.
Virus yang dihasikan menunjukkan bahwa “bahan genetik untuk patogen mematikan dan kemungkinan mematikan ada di alam dan bisa bergabung menjadi virus semacam itu”, demikian laporan para peneliti di jurnal Amerika Serikat, Cell Host & Microbe.
Karena virus-virus flu unggas di alam hanya butuh sedikit perubahan untuk beradaptasi ke manusia dan menyebabkan pandemi, penting untuk memahami mekanisme yang terlibat dalam adaptasi dan mengidentidikasi kunci mutasi supaya kita bisa mempersiapkan diri lebih baik,” kata Kawaoka dalam satu pernyataan.
“Temuan riset seperti ini membantu kita menilai risiko wabah dan bisa memberikan kontribusi untuk surveilans rutin virus influenza,” katanya seperti dilansir kantor berita Xinhua pada Rabu (11/6).
Studi penularan dilakukan di bawah kondisi yang dirancang khusus dengan pengamanan tinggi, menggunakan pengamanan biologi sepadan di University of Wisconsin-Madison dengan persetujuan Komite Biosafety universitas.
Sebelumnya Kawaoka telah dikritik karena kreasinya mengubah virus flu burung H5N1, yang mengakibatkan moratorium penelitian selama setahun dua tahun lalu.
Dalam artikel yang diterbitkan di PLOS Medicine bulan lalu, Marc Lipsitch dari Harvard University dan Alison Galvani dari Yale University menyatakan percobaan seperti yang dilakukan Kawaoka bisa menyebabkan pandemi buatan manusia jika virus itu secara sengaja atau tidak sengaja keluar dari laboratorium.
Percobaan semacam itu menimbulkan “risiko signifikan terhadap kesehatan masyarakat, mungkin menimbulkan risiko tertinggi dari riset biomedis apapun,” tulis mereka.
Mereka juga menyatakan bahwa virus influenza strain H1N1 yang bertanggung jawab atas tingkat kesakitan dan kematian di seluruh dunia dari tahun 1977 ke 2009 diduga berasal dari kecelakaan laboratorium.
Bila menurut para pembaca, ulasan di atas belum cukup menakutkan, maka kita dapat menyimak bersama pemberitaan bertajuk “Gen Kunci Virus Flu Spanyol Menghantui”, https:// www. dw .com/id/gen-kunci-virus-flu-spanyol-menghantui/a-17702770, diakses pada tanggal 17 Juni 2020:
Virus flu burung di alam mengandung delapan gen kunci yang berpotensi menciptakan sebuah patogen serupa yang menyebabkan pandemi flu Spanyol yang mematikan.
Sebuah tim internasional virologis mengidentifikasi komponen genetik kunci pada virus influenza itik liar. Komponen gen ini mirip dengan virus pandemi Spanyol yang mematikan tahun 1918.
“Ada kumpulan gen di alam yang memiliki potensi menyebabkan pandemi parah di masa depan,” papar laporan penelitian itu yang ditulis peneliti utama Yoshihiro Kawaoka dari University of Wisconsin-Madison, yang karyanya diterbitkan dalam jurnal Cell Host and Microbe.
Flu Spanyol bertanggung jawab atas 40 juta kematian di seluruh dunia. Para ilmuwan menggunakan metode pembalikan genetik untuk menciptakan virus yang berbeda dari flu Spanyol dengan menggunakan hanya 3 persen dari asam amino untuk membuat protein virus.
Sebuah mutasi protein pada permukaan virus, misalnya, memungkinkan untuk melekat pada sel-sel organisme. Selain itu, mutasi protein tersebut dapat meningkatkan kemampuan virus untuk menginfeksi saluran pernafasan manusia.
Jangan pernah berpikir bahwa dengan terpaparnya kita oleh virus mematikan, maka anak dan cucu kita akan mewarisi benteng pertahanan diri lewat proses evolusi, karena hasilnya justru adalah kebalikannya. Simple is beautifull, namun yang kecil bukan artinya dapat diremehkan ataupun disepelekan, sebagaimana berita bertajuk “Virus corona dan pandemi flu Spanyol: Wabah pada 1918 menewaskan 50 juta orang, bagaimana perubahan dunia saat itu dan apa yang dapat dipelajari sekarang?”, 29 April 2020, https:// www. bbc .com/indonesia/dunia-52458628, diakses pada tanggal 17 Juni 2020:
Jika Anda belum pernah mendengar pandemi flu Spanyol sebelumnya, krisis virus corona saat ini kemungkinan akan membuat Anda menyadari adanya virus mematikan yang melanda dunia di permulaan abad ke-20 tersebut.
Wabah flu Spanyol menewaskan 40 sampai 50 juta orang dalam dua tahun, antara tahun 1918 dan 1920.
Para peneliti dan sejarawan meyakini sepertiga penduduk dunia, yang saat itu berjumlah sekitar 1,8 miliar orang, terkena penyakit tersebut.
Dalam riset jurnalis BBC World Service Fernando Duarte ketika menyusun tulisan ini, flu Spanyol tercatat menewaskan lebih banyak orang daripada Perang Dunia I.
Kini, ketika dunia tengah bergulat dengan krisis Covid-19, coba kita lihat kembali pandemi flu Spanyol, pandemi paling akhir yang membuat dunia lumpuh- seperti apa kondisi dunia setelah pandemi itu berakhir?
1921, dunia yang sangat berbeda. Sudah pasti banyak hal yang berubah dalam 100 tahun. Kedokteran dan ilmu pengetahuan saat itu lebih banyak memiliki keterbatasan dibandingkan saat ini dalam mengatasi penyakit.
Para dokter mengetahui mikroorganisme sebagai penyebab flu Spanyol dan penyakit dapat ditransmisikan antar manusia, tetapi mereka masih memandang penyebabnya adalah bakteri, bukan virus.
Pengobatan yang tersedia juga terbatas. Antibiotik pertama dunia misalnya, baru ditemukan pada tahun 1928. Vaksin flu pertama baru beredar untuk umum di tahun 1940-an. Sistem perawatan kesehatan universal belum ada. Bahkan di negara-negara kaya, sanitasi umum masih merupakan suatu kemewahan.
“Di negara-negara industri, sebagian besar dokter bekerja untuk diri mereka sendiri atau didanai oleh badan amal atau lembaga keagamaan, dan banyak orang tidak memiliki akses sama sekali,” kata Laura Spinney, penulis sains dan penulis buku 'Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and How it Changed the World.
Flu Spanyol menyerang dalam cara yang belum pernah disaksikan sebelumnya terkait dengan wabah flu, misalnya jika dibandingkan dengan pandemi 1889-1890 yang membuat lebih satu juta orang meninggal di dunia.
Korban terparah pada kelompok umur 20 sampai 40 tahun. Pria juga lebih banyak yang menjadi korban. Penyakit ini juga lebih menyerang negara-negara miskin. Kajian tahun 2020 yang dilakukan seorang peneliti Harvard University, Frank Barro memperkirakan sekitar 0,5% penduduk AS meninggal, sementara di India 5,2% penduduknya meninggal.
Wabah flu Spanyol tidak mengubah masyarakat secara besar-besaran, tetapi pandemi ini tetap mengguncang keseimbangan gender di sejumlah negara. Peneliti Texas A&M University, Christine Blackburn menemukan kekurangan tenaga kerja di AS membuka jalan bagi kaum perempuan.
Pada tahun 1920, Kongres meratifikasi Amendemen ke-19 yang memberikan hak pilih kepada perempuan AS. Para pekerja juga diuntungkan dengan peningkatan upah karena kelangkaan tenaga kerja. Di AS, upah di sektor manufaktur melonjak dari 21 sen per jam di tahun 1915, menjadi 56 sen di tahun 1920.
Warisan negatif bagi generasi baru. Penelitian di sejumlah negara menunjukkan bayi-bayi yang lahir dalam masa pandemi flu Spanyol lebih mudah tertular penyakit dan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk dipekerjakan.
Para peneliti juga meneliti bayi-bayi yang dilahirkan saat flu Spanyol mewabah, untuk mengetahui apakah mereka cenderung mengalami penyakit jantung dibandingkan anak-anak yang dilahirkan sebelum atau setelah pandemi.
Analisa di Inggris dan Brasil menunjukkan bayi-bayi yang lahir pada tahun 1918-1919 lebih kecil kemungkinan mendapatkan pekerjaaan atau berpendidikan universitas. Sejumlah teori mengisyaratkan stres yang dialami para ibu karena pandemi mempengaruhi pertumbuhan janin.
Data pendaftaran calon anggota militer AS menunjukkan pria yang dilahirkan pada tahun 1919, lebih pendek 1 mm dibandingkan laki-laki yang dilahirkan dari tahun 1916 sampai 1922 lainnya.
Pada tahun 1918, India sudah lebih seratus tahun dijajah Inggris. Flu Spanyol melanda negara itu pada bulan Mei 1918. Warga India lebih terkena pengaruh buruk dibandingkan penduduk Inggris. Tingkat kematian kasta rendah Hindu adalah 61,6 per 1.000 orang, sementara di antara penduduk Eropa adalah kurang dari 9 orang per 1.000.
Kelompok nasionalis India, di mana Mahatma Gandi termasuk di dalamnya, menggunakan persepsi yang muncul bahwa penjajah Inggris telah melakukan kesalahan dalam menangani krisis.
Kewaspadaan epidemi dan sistem kontrol baru diciptakan setelah pandemi 1918. Wabah ini juga mengedepankan pentingnya kerja sama internasional, meskipun dunia masih menghadapi masalah geopolitik pasca Perang Dunia I.
Tahun 1923, League of Nations, badan multilateral sebelum PBB, meluncurkan Health Organisation. Ini adalah badan teknis yang menciptakan sistem pengawasan baru epidemi dunia, yang dijalankan ahli kesehatan dan bukannya para diplomat. World Health Organization (WHO) baru didirikan pada tahun 1948.
Negara-negara memperbaiki bahkan menciptakan kementerian kesehatan pada tahun 1920-an. Kerusakan akibat wabah memicu kemajuan kesehatan masyarakat, terutama terkait dengan perkembangan kedokteran kemasyarakatan.
Tahun 1920, Rusia menjadi negara pertama yang mendirikan sistem kesehatan umum terpadu. Jennifer Cole, antropolog Royal Holloway University, London, mengatakan perang dan wabah menumbuhkan negara kesejahteraan di berbagai tempat di dunia. “Konsep kesejahteraan negara berasal dari konteks ini, karena banyaknya jumlah janda, anak yatim piatu dan cacat,” katanya.
Saat itu karantina wilayah dan penjarakan sosial efektif. Social distancing atau penjarakan sosial terbukti sangat penting pada masa pandemi flu tahun 1918.
Ada sebuah cerita yang sangat terkenal mengenai dua kota, pada bulan September 1918, kota-kota di AS mengorganisir pawai untuk mempromosikan obligasi perang. Dana hasil penjualannya akan dipakai untuk membantu perang yang sedang berlangsung.
Ketika flu Spanyol terjadi, Philadelphia tetap mengadakan pawai sementara St Louis memutuskan untuk membatalkannya. Sebulan kemudian, lebih dari 10.000 orang meninggal dunia di Philadelphia. Di St Louis warga yang meninggal di bawah angka 700 orang. Perbedaan ini menjadi bahan studi kasus yang menyatakan langkah menjaga jarak sosial adalah sebuah strategi dalam mengatasi wabah.
Analisa pada beberapa kota AS di tahun 1918 memperlihatkan tingkat kematian yang lebih rendah pada tempat-tempat yang sejak dini melarang pertemuan umum, teater tertutup, sekolah dan gereja.
Tim ahli ekonomi Amerika yang menganalisa lockdown 1918 menemukan kota-kota yang menerapkan langkah lebih ketat mengalami perbaikan ekonomi yang lebih cepat setelah wabah.
Namun, pandemi ini diperkirakan telah menewaskan hampir 700.000 orang Amerika. Dan salah satu alasannya, menurut ekonom Universitas Harvard Robert Barro, karena lockdown dibuka terlalu cepat.
“Kebijakan yang berlaku biasanya berlangsung sekitar 4 minggu - dan kemudian dilonggarkan karena tekanan publik,” katanya. Dia percaya hasilnya akan lebih baik jika kebijakan lockdown diberlakukan selama sekitar 12 minggu.
Pandemi yang dilupakan? Terlepas dari berbagai pelajaran ini, flu Spanyol bisa dipandang sebagai sebuah pandemi yang dilupakan. Sama seperti Covid-19, penyakit ini mengenai sejumlah orang terkenal: Presiden AS Woodrow Wilson dan PM Inggris Lloyd George jatuh sakit, sementara Presiden Brasil Rodrigues Alves meninggal (saat itu meninggal karena flu Spanyol).
Namun wabah ini tidak mendapatkan perhatian masyarakat sebesar perhatian pada Perang Dunia I. Ini karena sejumlah pemerintahan memang menyensor media yang melaporkan pengaruh pandemi saat perang. Karena tidak banyak diliput, krisis ini juga nyaris hilang di buku-buku sejarah dan budaya populer.
Salah satu pengecualiannya adalah lukisan Edvard Munch, “Self-Portrait with the Spanish Flu”, yang dilukis seniman Norwegia ini saat terkena wabah itu.
Sejarawan kesehatan Mark Honigsbaum mengamati bahwa edisi 1924 Encyclopaedia Britannica “bahkan tidak menyebutkan pandemi flu Spanyol dalam ulasannya tentang ‘tahun paling penting’ di abad ke-20”. Sementara buku-buku sejarah pertama yang membahas wabah itu baru muncul sekitar tahun 1968.
Kini virus corona sudah pasti membuat sejumlah orang mengingat kembali flu Spanyol.
Tiada luka pada fisik luar tubuh, maka apakah artinya derita dan kerugian yang dialami orang lain akibat perbuatan kita, menjadi hal “sepele” serta untuk kita “remehkan”? Tepat kiranya bila kita merujuk pemberitaan bertajuk “Covid-19: Kisah relawan penyintas kekerasan seksual di tengah pandemi, ‘Pelecehan itu kenanya di psikis, lukanya di batin’” https:// www. bbc .com/indonesia/indonesia-53043739, diakses pada tanggal 17 Juni 2020, memberitakan sebagai berikut:
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat pada masa pandemi Covid-19. Maraknya aduan kekerasan terhadap perempuan tak hanya dari ranah privat di lingkungan rumah tangga, namun juga kekerasan di ranah publik dan komunitas.
Seorang perempuan di Yogyakarta, Santi - bukan nama sebenarnya - mengaku mengalami pelecehan seksual dari rekannya di organisasi mahasiswa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Kejadian pahit itu dia alami ketika keduanya menjadi relawan sebuah organisasi yang mendistribusikan bantuan selama pandemi Covid-19.
Santi masih ingat malam itu pada April silam, ketika terduga pelaku berinisial RIA tiba-tiba menyentuh anggota tubuhnya, seperti “memeluk” dan “mencium” tanpa persetujuannya.
Santi yang sudah mengenal RIA sejak lama, mengaku “kaget” dan “takut” ketika mendapat perlakuan itu. Dia bingung hingga akhirnya mendapat bantuan lembaga pendampingan konseling kekerasan terhadap perempuan. Dia menghendaki RIA minta maaf dan tak mengulangi perbuatannya.
“Keinginan saya agar pelaku jera, buat organisasi yang dia ada di dalamnya itu mereka memberikan sanksi atau punishment buat dia,” tutur Santi dengan nada getir kepada wartawan di Yogyakarta yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Furqon Ulya, pada pertengahan Mei silam.
Sejumlah penyintas kasus dugaan kekerasan seksual UII Yogyakarta akan tempuh jalur hukum: ‘Saya merasa takut dan gugup’
KDRT meningkat selama pandemi Covid-19: Perempuan kian ‘terperangkap’ dan ‘tak dapat mengakses perlindungan’
Ancaman ‘kekerasan digital’ di aplikasi kencan
Dampak sosial ‘berlipat ganda’ bagi perempuan di masa pandemi Covid-19
Dia mengaku kecewa dengan perilaku RIA yang disebutnya melecehkan hak-hak perempuan dan bertolak belakang dengan dunia aktivisme yang selama ini digelutinya.
“Soalnya dia kan aktivis yang sudah biasa menyuarakan hak-hak perempuan, seharusnya juga sesuai apa yang disuarakan,’ imbuhnya kemudian.
Kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami Santi, adalah salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh Rifka Annisa, lembaga konseling kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta.
Direktur Rifka Annisa, Defirentia One Muharomah mengatakan situasi pandemi membuat perempuan kian rentan mengalami kekerasan. Mereka tak hanya berisiko terpapar virus, tapi juga berisiko menjadi korban kekerasan berbasis gender.
“Jadi perempuan mengalami beban risiko berkali lipat di masa bencana,” tegas One.
Merujuk laporan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) jumlah kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat selama pandemi karena kekhawatiran akan keamanan, kesehatan, dan uang meningkatkan tensi dan ketegangan akibat kondisi kehidupan yang sempit dan terbatas.
Merujuk data UNWomen, banyak negara melaporkan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan. Merasa takut dan risih. Santi yang mengaku pada saat itu dia merasa takut dan risih, mencari cara agar bisa keluar dari situasi itu dengan melakukan panggilan video dengan temannya.
Sukiratnasari, pendamping hukum kasus Santi menyebut apa yang dilakukan oleh RIA termasuk kategori pelecehan seksual karena menyentuh anggota tubuh tanpa persetujuan (consent). Apa yang dialami oleh Santi, menurut Sukiratnasari, dikategorikan pelecehan seksual sebab ketika RIA tak pernah menanyakan kepada penyintas apakah keberatan dengan perbuatannya atau tidak.
Defirentia One dari lembaga pendamping kekerasan terhadap perempuan Rifka Annisa menyebut consent memiliki tiga elemen, yaitu meminta izin sebelum melakukan tindakan ke seseorang (ask permission), menghargai apapun respons orang tersebut (respect) dan berpikiran positif (good feeling).
Apa itu consent? Secara teknis, lanjut Defirentia One, consent bisa ditunjukkan dengan kata-kata iya, yes, atau oke. “Tapi bukan berarti seseorang yang mengeluarkan kata-kata itu sudah pasti setuju, karena harus ada aspek good feeling,” jelas Defirentia One.
“Dan dalam beberapa kasus, kata ‘yes’ tidak diikuti dengan good feeling karena adanya tekanan yang tidak terlihat atau relasi kuasa sehingga seseorang tidak berdaya,” imbuhnya.
Consent, lanjut Defirentia One, harus positif dan entusiastik. Sehingga kalau bilang ‘yes’ tapi masih timbul rasa yang tidak enak, cemas, sungkan, takut, atau bingung, itu namanya bukan consent yang positif.
Jika kita mengalami hal tersebut, ya asertif segera sampaikan bahwa tidak nyaman,” katanya.
Langkah paling awal, lanjut Difirentia One, bagi yang mengalami kejadian tersebut bisa menolaknya secara tegas dan mengatakan kalau tidak setuju dengan tindakannya atau mengatakan bahwa tindakannya salah.
“Dan dalam relasi kuasa, kekerasan terjadi karena pelaku menyalahgunakan kuasanya untuk melakukan sesuatu yang melawan kehendak seseorang dan menimbulkan dampak negatif secara psikologis, fisik, seksual, sosial, dan bahkan ekonomi,” jelas One.
Mediasi berujung pengakuan. Mediasi antara penyintas dan terduga pelaku beberapa kali gagal karena RIA beberapa kali mengelak mengakui perbuatannya dan enggan meminta maaf. Bahkan, sempat timbul gesekan di tengah mediasi. Dalam perkembangan terbaru, Syafiatudina, pendamping RIA dalam kasus ini, mengatakan RIA telah mengakui perbuatannya.
Perempuan yang akrab disapa Dina ini mengatakan RIA telah meminta maaf atas tindakannya yang sudah menyakiti penyintas dan bertanggung jawab atas tindakannya dengan menyanggupi tuntutan dan mengikuti kesepakatan yang telah dibuat antara pihak penyintas dan RIA.
“Iya dia (RIA) mengakui,” kata Dina, “dan (RIA) berjanji tidak akan mengulanginya di masa mendatang”.
Dalam mediasi, kata Dina, disepakati ada tindakan yang mengarah pada pelecehan seksual.
“Yang terjadi adalah ada tindakan menyentuh bagian tubuh, dan itu mengarah pada pelecehan seksual, karena tidak melibatkan consent atau kesepakatan dan itu menciptakan trauma pihak pelapor (penyintas),” kata Dina.
Menanggapi respons RIA atas pelecehan seksual yang dia alami, Santi mengaku permintaan maaf saja belum cukup. “Pelaku harus benar-benar sadar kalau dia itu salah, dan benar-benar berjanji sama dirinya sendiri kalo nggak mengulangi lagi ke siapapun,” ujar Santi.
Harus ada sanksi tegas. Melihat masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi dan salah satu korbannya adalah seorang relawan, menurut Defirentia One, menyadarkan bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan seharusnya beririsan dengan masalah HAM lainnya.
Nah itu mereka banter kalau teriak soal HAM, soal korupsi, soal isu lingkungan, soal demokrasi, tapi HAM perempuan mereka abaikan,” ujar Defirentia One dengan nada heran.
“Dan yang terpenting juga adalah komitmen tindakan tegas pada pelaku untuk menjamin agar kejadian kekerasan seksual tidak berulang dan pemenuhan hak keadilan bagi korban,” ujar Defirentia One.
Defirentia One juga melihat pentingnya peran kontrol masyarakat atau dari komunitas secara luas sehingga kasus kekerasan terhadap perempuan tidak terus berulang.
“Jangan sampai ada pengabaian sehingga kasus-kasus kekerasan seksual selama masa pandemi menjadi semakin tersembunyi,” ungkapnya.
Dalam kasus RIA, selain aktif di relawan Covid-19 dan menjadi narahubung, RIA juga tercatat pernah menjabat sebagai ketua umum PC IMM AR Fakhruddin, dan aktivis di Social Movement Institute (SMI).
Hingga kini, dia masih tercatat sebagai anggota organisasi relawan tersebut. Namun, menurut Dina, RIA sudah mendapat sanksi berupa pencabutannya sebagai narahubung pada organisasi relawan itu. RIA juga diwajibkan mengikuti konseling wajib (mandatory counseling).
“RIA harus menjalankan mandatory konseling, agar dia sadar bahwa perbuatannya salah dan tidak mengulanginya lagi,” cetusnya.
Santi berharap setelah mengikuti konseling RIA dapat menerapkannya di kehidupannya, sehingga tak mengulangi pelecehan seksual yang dia lakukan agar tak ada lagi perempuan yang mengalami trauma seperti dirinya.
Jangan menganggap remeh hal kaya gini, soalnya pelecehan itu kenanya di psikis, lukanya di batin. Ini yang saya rasain selama ini,” tutur Santi.
Jangan pernah meremehkan terlebih menyepelekan perasaan orang lain yang menjadi korban dari perbuatan kita—singkatnya, jangan pernah meremehkan perbuatan diri kita sendiri ketika imbasnya ialah terhadap kepentingan, hak-hak, maupun perasaan orang lain. Bersikap penuh kewaspadaan dan pengendalian diri terhadap sikap diri kita sendiri, terutama atas pikiran yang penuh keserakahan, itulah pesan dari Sang Buddha lebih dari 2.500 tahun yang lampau.
Contoh lainnya, sikap meremehkan dan menyepelekan, semisal terhadap “kesiap-siagaan bencana”, bersumber dari sifat ketidak-pedulian atau absennya kepedulian masyarakat kita terhadap eksistensi dan hak-hak sesama warganegara. Sebagai ilustrasi sederhana namun sangat penting, pernahkah kita melihat gedung-gedung bertingkat di Indonesia yang menerapkan standar mendetail seperti mitigasi bencana gempa dan padamnya listrik dengan memasang lembaran film penahan kaca agar tidak pecah dan mengenai penghuni, memasang penerangan fluoresence penanda bercahaya pada anak tangga agar penghuni dapat segera mengevakuasi diri ketika terjadi padam listrik, menopang rak-rak buku maupun barang-barang besar seperti patung-patung agar tidak jatuh menimpa penghuni saat terjadi gempa, dan hal-hal detail lainnya?
Sekali lagi, sikat meremehkan dan menyepelekan, selalu bersumber dari sifat kurangnya kepedulian kita terhadap eksistensi dan hak-hak maupun martabat manusia lainnya. Kegagalan terbesar orang-orang jahat, diri mereka senantiasa “meremehkan” karma buruk yang mereka tanam dengan “meremehkan” perasaan maupun luka yang diderita korban dari perbuatan mereka, dan disaat bersamaan “menyepelekan” buah karma buruk yang akan mereka petik sendiri pada kehidupan berikutnya.
Ketika buah karma buruk berbuah saat waktunya matang, pahitnya buah karma buruk memang sudah selayaknya dipetik dan ditelan oleh sang pelakunya itu sendiri. Itulah sebabnya, Sang Buddha prihatin terhadap makhluk penghuni Alam Neraka, namun Sang Buddha tidak pernah bersedih untuk mereka, karena mereka sedang memetik buah dari perbuatan mereka sendiri, “You asked for it.”
Mereka hanya berhak menyalahkan perbuatan diri mereka sendiri, karena mereka gagal untuk menyelamatkan diri mereka sendiri, alih-alih menghindari perbuatan buruk dan menanam benih perbuatan bajik, mereka justru dengan gembira meremehkan perbuatan-perbuatan buruk yang tercela dan tidak terpuji, semata karena faktor keserakahan—perbuatan jahat jarang bersumber dari faktor kemiskinan, namun kerap terjadi akibat faktor keserakahan, dimana pelakunya “semakin kaya secara materi maka akan semakin serakah” (tidak mengenal kata puas), bahkan seolah tanpa memiliki rasa malu (terlebih rasa takut untuk berbuat jahat), masih juga “merampok hak-hak orang yang lebih miskin daripada pelakunya”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.