Tidak Perlu Menegur Pelaku Kesalahan, akan LEBIH GALAK Mereka daripada Korbannya

ARTIKEL HUKUM
Tidak Perlu Memberi Teguran, Mereka Akan dan Pasti LEBIH GALAK daripada Kita selaku Korbannya, SESALAH APAPUN PERBUATAN MEREKA, bahkan Iblis pun Takut dengan Bangsa Indonesia, sebuah Negeri dimana Iblis Takut pada Manusia, karena Wataknya Lebih Iblis daripada Iblis
Tiada catatan sejarah ataupun kisah, dimana sang Iblis ternyata “lebih galak” daripada Tuhan, ketika Tuhan mencoba memberikan teguran pada sang Iblis yang berperilaku buruk. Karena, sekalipun sang Iblis adalah seorang iblis, dirinya akan selalu mengakui bahwa perilakunya buruk dan layak untuk dicela, tanpa pernah merasa perlu untuk berkelit, membantah, melawan, berkilah seribu satu alasan, menyewa pengacara di persidangan yang digelar oleh “Raja Neraka”, bahkan mencoba membungkam dan menganiaya yang menegur perilaku jahat sang Iblis.
Sang Iblis bahkan mengakui secara terbuka, dirinya adalah “anak nakal” (bad boys)—dimana bahkan “Raja Neraka” yang menyidangkan sang Iblis pun memberikannya pujian sebagai “tidak berbelit-belit dan berterus-terang dalam proses persidangan”. Terhadap setiap dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut di neraka, seluruh tuduhan yang dialamatkan oleh Jaksa kepada sang Iblis, diakui sepenuhnya dan seutuhnya, tanpa sedikit pun berkelit, berbelit, ataupun berkilah dan berdalih. “Yes, I am a BAD BOY, Sir! Absolutely indeed, I am a very very bad evil.
Did you feel guilty, right now?” tanya sang Raja Neraka.
No, because I am a BAD BOY! Such a BAD BOY I am,” jawab sang Iblis dengan sigap dan jujur, apa adanya penuh kemantapan. “Please give me a sentence, jail in hell.”
Itulah sebabnya, sang Iblis berhak untuk protes kepada Raja Neraka, jika dirinya hingga kini masih juga mendekam di neraka, karena dirinya layak mendapat keringanan hukuman oleh sebab tidak pernah berbelit-belit di persidangan layaknya manusia-manusia di Indonesia yang bahkan akan senantiasa dan dapat dipastikan akan LEBIH GALAK daripada sang “Raja Neraka” sekalipun—atau bahkan “Raja Neraka” sekalipun akan takut mengadili “manusia Indonesia” (humans Made in Indonesia), karena LEBIH GALAK daripada yang memberi teguran, yang konon, bahkan penghuni neraka pun berkeberatan ketika “manusia Indonesia” ditempatkan pada sel-sel di neraka.
No, please Do Not, NO Indonesian people, please! We cann’t live in peace in hell, if there is Indonesian people in our peacefull-hell...!” Bahkan sang Iblis pun berkeberatan dan baru mengajukan komplain ketika Raja Neraka hendak menyidangkan dan memberi vonis bagi “manusia Indonesia” untuk ditempatkan menjadi teman sekamar sang Iblis pada sel-nya di neraka. Bahkan sipir di neraka pun dibuat pusing tujuh keliling oleh sikap-sikap “manusia Indonesia” selama mendekam di penjara, karena sang sipir selalu digoda untuk diberi uang suap—meski sudah jelas-jelas, Rupiah (uang manusia) tidak laku dan tidak ada harganya di neraka.
Sial, keluarga di Bumi tidak membakarkan ‘uang orang mati’ untuk saya, sehingga saya tidak dapat menyuap sipir penjara neraka agar saya diberi ruang karaoke dan ruang spa di sel saya, atau agar diizinkan pelesir ke Rumah Makan Nasi Padang,” protes si “manusia Indonesia”. “Ini melanggar hak asasi penghuni neraka! Saya ingin mengajukan Banding! Tolong panggilkan pengacara saya. Sial, di neraka tidak ada sinyal seluler, dan keluarga di Bumi tidak membakarkan handphone untuk saya! Mungkin sekarang istri saya sudah kawin lagi, sialan!
Menurut Anda, apakah ulasan di atas tersebut adalah sebuah lelucon? Sama sekali tidak, ini adalah tulisan yang penuh keseriusan sekalipun sedikit ditambahkan “bumbu-bumbu” ke-jenaka-an. Karena itulah, layak bila sang iblis kita anugerahkan julukan penuh pujian sebagai seorang “jentelmen”, karena dirinya justru akan memberi jawaban ketika ditegur kesalahannya, “Iya, memang betul, saya akui perbuatan saya buruk dan saya telah berbuat kejahatan ini dan kejahatan itu, bla bla bla...
Namun, jangan pernah harapkan “manusia Iblis” di Indonesia berperilaku sama otentiknya dengan sang Iblis, karena “manusia Indonesia” adalah “iblis yang menuntut untuk disebut-sebut sebagai malaikat”. Tahukah Anda, apa yang sebenarnya dipikirkan oleh sang Iblis ketika menghadapi sidang oleh Raja Neraka, sehingga dirinya memilih untuk berterus-terang alih-alih berbelit-belit tidak mengakui? Justru ia tahu, dan sadar, percuma mencurangi Hukum Karma, percuma mencurangi hidup, percuma mencurangi kebenaran dan fakta, sehingga strategi yang paling cerdas dan paling cerdik ialah berterus-terang agar hukuman vonis penjara di neraka bagi sang Iblis dapat menjadi rendah. Sebaliknya, itulah sebabnya dan mengapa “manusia Indonesia” disebut-sebut sebagai manusia jahat yang “bodoh”, karena dengan berkelit dan berbelit-belit, dirinya justru membuat kesalahan baru (lihat artikel penulis sebelumnya yang berjudul “kesalahan marathon”), dengan konsekuensi menerima vonis hukuman yang “diperberat”.
Raja Neraka mengetuk palu hakimnya keras-keras, TOK TOK TOK..!!!Anda telah banyak membuang-buang waktu berharga saya, ‘manusia Indonesia’, sehingga calon penghuni neraka lainnya mengantri panjang menunggu disidangkan hanya karena Anda yang begitu berbelit-belit! Anda pikir saya bodoh dan kurang kerjaan? Jika begitu, Anda yang bodoh, karena berpikir dapat mencurangi Hukum Karma, itulah kabar buruk untuk Anda. Sebaiknya Anda mulai berdoa agar keluarga Anda membakarkan untuk Anda ‘uang orang mati’,” protes sang Raja Neraka dengan tidak sabar menyudahi persidangan, dan mendapat dukungan dari para calon penghuni neraka lainnya yang telah mengantri hingga sepanjang berkilo-kilo meter panjangnya menunggu untuk disidangkan.
Lagi-lagi sang “manusia Indonesia” membantah dan berulah dengan mengajukan protes saat diseret oleh sipir neraka menuju sel tahanan bagi sang calon penghuni neraka baru tersebut, “Tuhan telah bersikap tidak adil kepada saya! Saya minta keadilan, saya DIZOLIMI! Tuhan, engkau akan saya Gugat! Tunggu saja tanggal mainnya! Tuhan, engkau akan menyesal karena membiarkan saya dipenjara di neraka!” Mendadak muncul suara gelegar guntur di langit, Tuhan bersabda, “CAPEK DEH..., lagi-lagi ‘manusia Indonesia’ berulah, seolah yang salah bisa jadi benar dengan bersikap ‘LEBIH GALAK’. Mungkin ada bagusnya setiap ‘manusia Indonesia’ dibuat bisu, agar tidak ada telinga orang lain yang sakit harus mendengarkan geliat-geliut ‘manusia Indonesia”. Anda setuju dan sependapat?
Berikut perpaduan karakter seseorang yang akan sangat sulit kita hadapi di kenyataan. Apa jadinya, bila orang yang “dungu” namun senantiasa bersikap “arogan”? Apa jadinya, bila orang yang “tidak waras” namun senantiasa memiliki watak yang “jahat”? Apa jadinya, bila orang yang “serampangan” (berbuat kesalahan secara sengaja maupun lalai) namun senantiasa berperilaku “lebih galak daripada orang yang memberi teguran” atau “lebih galak dari korbannya yang melakukan protes / perlawanan”? Apa jadinya, bila yang “serakah” namun senantiasa mempertontonkan / memamerkan “kekuatannya”? Apa jadinya, bila orang yang “tidak punya malu” namun senantiasa pamer perbuatan-perbuatan “putar-balik fakta” atau bahkan “maling teriak maling”?
Suatu bangsa yang mengklaim dirinya serta berperilaku sebagai bangsa “agamais”, lengkap dengan segala ritual serta atribut keagamaannya, semestinya memiliki perilaku beradab serta humanis untuk di-pertontonkan kepada publik, dalam pengertian mau dan akan bersedia untuk ditegur dan mendapat teguran bila berbuat kesalahan—tanpa perlu berkilah dengan 1001 alasan ataupun pembenaran diri yang “konyol” (sudah jelas salah, masih juga berkilah, bukankah itu cerminan perilaku / watak yang dangkal, seolah dapat mengubah fakta dirinya “bodoh juga jahat”?). Begitupula konsep Negara Demokratis, teguran dan ditegur atau menegur seseorang yang berperilaku tidak patut, adalah suatu keniscayaan, bukan seseuatu hal yang perlu ditabukan—artinya, watak Bangsa Indonesia sama sekali atau bahkan JAUH DARI SIFAT-SIFAT DEMOKRATIS.
Ketika dalam realitanya, menegur kesalahan seseorang agar dirinya berterima kasih karena diingatkan agar melakukan instrospeksi serta memperbaiki dirinya serta agar tidak merugikan atau menyakiti pihak lain, justru mendapat respons berupa sikap reaktif-defensif berwujud “anti kritik”, “arogan”, serta “biadab”, maka sejatinya bangsa tersebut “tidak dapat lagi diperbaiki” karena memang selama ini mereka selalu berusaha menutup diri dari serta tiada keinginan untuk memperbaiki dirinya.
Bentuk-bentuk teguran, dianggap sebagai “angin lalu” atau bahkan dianggap sebagai bentuk penghinaan atau bahkan diartikan sebagai tantangan untuk ajang pamer kekerasan fisik. Jika “manusia Indonesia” hendak membalas teguran dengan adu argumentasi-logis, maka itu terpuji dan patut dipuji. Akan tetapi fakta realita di lapangan menunjukkan sebaliknya, yang mereka andalkan pada akhirnya selalu saja OTOT dan KEKERASAN FISIK sebagai respons atas teguran. Menegur “manusia Indonesia”, siap-siaplah wajah kita yang babak-belur dianiaya—tanpa mau menyadari, bahwa itu artinya si pelaku telah melakukan dua buah kesalahan secara seketika dan sekaligus, kesalahan semula ditutupi dengan kesalahan baru, seolah dengan cara demikian dapat mengelabui “Hukum Karma” yang mencatat setiap peristiwa secara detail dan tanpa dapat dicurangi oleh upaya-upaya semacam “LEBIH GALAK” yang bodoh nan konyol demikian.
Ketika suatu anggota masyarakat yang mempertontonkan perilaku “anti kritik” demikian, maka itu dinamakan “oknum”. Akan tetapi ketika terjadi suatu pola tersistematis yang merata terjadi di mana-mana di negeri kita, baik di sudut-sudut perkotaan maupun di perkampungan, perilaku-perilaku seperti “lebih galak daripada pihak yang memberi teguran”, “kian menyakiti korbannya”, “alih-alih meminta maaf dan memperbaiki diri justru kembali melecehkan orang lain”, maka itu menjadi cerminan karakter yang menjelma budaya suatu bangsa bersangkutan, bukan lagi sebatas “anomali sosial”.
Seolah, kini yang menjadi identitas atau jati diri Bangsa Indonesia, ialah bangsa “anti kritik”sesalah apapun perbuatan mereka, tercela seperti apapun perbuatan mereka, seburuk apapun perbuatan mereka, sehina apapun perbuatan mereka, sejahat apapun perbuatan mereka, terluka seperti apapun korban mereka, sesakit apapun korban mereka, se-berhak apapun korban mereka memberi teguran serta komplain, maka sang pelakunya akan seketika (seolah) secara mekanistik reaktif dengan bersikap “lebih galak”, dan membiarkan korbannya menderita luka atau kerugian tanpa adanya penebusan kesalahan—dan seolah-olah “dosa dapat dihapuskan” semudah sang pelakunya berdoa kepada Tuhan, dimana jelas-jelas Tuhan lebih akan memilih untuk berpihak kepada korban yang teraniaya.
Mereka (bangsa dimaksud), karenanya, dikodratkan untuk selamanya terjerat dalam “kebodohan”, “arogansi”, “tiada akan pernah dapat memperbaiki diri”, “hidup berkubang dalam kejahatan”, “melarat dalam buah karma buruk, bagai kesuburan tanah yang menjelma padang pasir”, “mata yang tertutup kekotoran batin demikian tebal”, “tidak lagi terselamatkan akibat dosa telah menggunung”, “bagai harimau bagi sesamanya”, “lebih menakutkan daripada iblis” (bahkan sang Iblis pun takut pada ‘manusia Indonesia’), “lebih mengerikan daripada robot pembunuh”, dimana menjadi mengherankan pula bila kita tidak merasa letih berhadapan dan hidup di tengah-tengah bangsa dengan karakter mental alias budaya “anti kritik” yang penuh arogansi serta sikap serampangan “mau menang sendiri” serta “mau benar sendiri” demikian, apapun kondisi luka dan kerugian yang diderita oleh korbannya.
Bahkan, untuk hal-hal yang demikian krusial dan sudah jelas-jelas keliru, menegur mereka pun akan berbuah bumerang-kontraproduktif bagi kita yang mencoba untuk menegur perilaku atau perbuatan sengaja (dolus) ataupun perbuatan abai (culpa) mereka. Karenanya, kita akan lebih memilih untuk membiarkan perbuatan-perbuatan jahat dan perbuatan-perbuatan keliru mereka, karena kita seketika telah mengetahui dari sifat kolektif masyarakat (bangsa) kita, bahwa kita PASTILAH akan mendapati kenyataan sang pelaku yang diberi teguran akan LEBIH GALAK daripada pihak yang memberi mereka teguran—lebih buruk lagi, dan tidak jarang terjadi, sang pelaku akan menantang berkelahi, memperparah keadaan dengan sengaja menambah keruh situasi, atau bahkan mempertunjukkan arogansi bak dirinya “kebal” dari segala hal, “kebal dosa”, “kebal hukum”, termasuk “kebal malu”.
Kesadaran kolektif bangsa kita yang kini telah terbentuk menyerupai kristalisasi batu yang kokoh, telah membuat kita memilih untuk tidak lagi berani menegur kesalahan maupun perilaku buruk seorang “manusia Indonesia”, karena kita telah sadar betul, menegur perilaku buruk “manusia Indonesia” sama artinya menambah luka apa yang telah terluka, menambah sakit apa yang telah sakit, dan menambah kerugian apa yang telah terugikan. Maka, demi kebaikan kita sebagai korban “manusia Indonesia”, lebih baik biarkan bangsa ini berkubang dalam kolam lumpur kejahatan yang kian dalam, kian dalam, dan kian dalam lagi hingga tidak lagi dapat tertolongkan karena menjelma bagai “kanker akut stadiun empat”, dimana bahkan Raja Neraka pun pastilah tidak luput dari sikap LEBIH GALAK sang “manusia Indonesia” yang merasa dirinya selama ini di-“bekingi” Tuhan.
Sebagai contoh, bila menurut Anda situasi atau keadaannya masih juga belum sebegitu genting dan penting seperti wabah pandemik Virus Corona yang menular dan mematikan, namun masih tidak sedikit warga kita di luar sana yang “bergentayangan” di tengah-tengah masyarakat tanpa mengenakan masker (yang bisa berbahaya bagi orang lain, tidak penting apakah dirinya hendak menantang maut atau tidak), parkir di depan pintu masuk toko dan pemilik kendaraan berjejalan tetap di depan pintu masuk toko sehingga menyulitkan pengunjung lain untuk masuk guna membeli bahan kebutuhan pokok (tiada perhatian dan kesadaran pemilik kendaraan akan keselamatan pengunjung lain terutama “protokol kesehatan” physical distancing), bahkan kasir pada ritel minimarket modern yang masih juga meminta agar para pembeli berdesak-desakkan (alih-alih petugas kasir meminta pembeli lainnya untuk tertib mengantri sambil menjaga jarak satu meter minimal antar pengunjung) dan masih pula memaksakan diri agar para konsumennya berdesak-desakkan dalam ruang tertutup yang dipenuhi berbagai barang yang sejatinya ruang daerah kasir menjadi genting untuk dibebaskan dari segala barang dagangan yang menumpuk agar pembeli yang mengantri dapat diberi ruang untuk saling menjaga jarak satu sama lain, kita seketika menjadi apatis apakah akan ada gunanya kita memberi teguran dan menegur, disamping kita menyadari betul potensi resiko PASTILAH mereka yang ditegur AKAN LEBIH GALAK daripada pihak yang memberi teguran—afirmasi atas hipotesis penulis tersebut selalu menemui kebenarannya di lapangan, dimana selama ini teguran halus sekalipun justru disikapi sebagai sebuah ancaman dan tantangan bagi mereka untuk membatah dan bersikap arogan, apapun gender mereka, tanpa pengecualian kecuali anak-anak Indonesia yang masih bocah yang masih dapat dididik dan “dibentuk” moralitasnya lewat teguran ketika mereka bertindak keliru.
Seolah masyarakat kita belum cukup terdidik untuk menilai apakah substansi teguran beralasan atau tidaknya untuk diindahkan dan diapresiasi, seketika itu juga direspons secara reaktif (seolah telah menjadi semacam mekanisme mekanistik akibat pola kebiasaan yang telah menjadi “budaya”), semata karena tiadanya kemauan diri bangsa kita untuk memperbaiki diri. Telinga mereka, seolah dirancang hanya bersedia untuk mendengar pujian dan dukungan atas perilaku mereka, seburuk apapun perilaku mereka (dimana diluar pujian maka akan diartikan atau dianggap sebagai sebentuk tantangan untuk berkelahi), sekalipun Sang Buddha telah berpesan, bahwa sahabat yang baik akan menegur kita ketika kita berbuat keliru demi kebaikan diri kita sendiri dan demi kebaikan bagi orang lain.
Bangsa ini ibarat sedang melaju di jalan tol bebas hambatan (karena “anti kritik”, karenanya mereka melaju dengan pedal gas akselerasi diinjak penuh NAMUN TANPA DISERTAI PEDAL DESELERASI alias REM), namun bukan menuju surga, akan tetapi melaju dalam kecepatan penuh menuju NERAKA. Bahkan, mereka tidak memiliki kaca spion untuk melihat dan menyadari adanya pengemudi lain di belakang atau di samping kanan maupun kirinya, bahkan juga tiada memiliki kaca spion guna melihat kondisi penumpangnya, apakah para penumpangnya menjerit-jerit memberi tahu ada jurang di depan agar sang pengemudi menginjak pedal rem atau agar berbalik arah.
Pernah terjadi, serta tidak mustahil akan kembali terjadi / terulang kembali, dan benar-benar terjadi lebih dari satu kali kejadian menurut pemberitaan beberapa waktu lampau, seorang pengemudi bus melajukan busnya secara ugal-ugalan, sekalipun para penumpangnya telah berteriak-teriak secara histeris menegur dan meminta agar pengemudinya melambankan laju kendaraan sang pengemudi bus, namun ternyata sang pengemudi tidak menghiraukan teguran penumpangnya, atau bahkan kian membuat sengaja bagai “banteng mengamuk” (disengajakan berbuat berkebalikan dari teguran, adalah cerminan arogansi) menambah kecepatan laju bus yang dikemudian olehnya, sehingga benarlah apa yang paling dicemaskan oleh para penumbang bus tersebut, bus terperosok masuk ke dalam jurang, sang supir melarikan diri setelahnya dan sebagian penumpang bus tewas dimana sebagian selebihnya terluka berat atau patah tulang dan gegar otak.
Meski demikian, menurut Anda, adalah demi keberuntungan serta demi kebaikan siapakah, bila teguran yang baik substansinya dialamatkan kepada kita baik atas kesalahan yang kita lakukan secara disengaja ataupun karena kelalaian kita? Menurut Anda, siapakah yang paling dirugikan, bila orang lain serta masyarakat kita menjadi tidak lagi merasa berguna dan tiada manfaat menegur dan memberi kita teguran, ketika kita melangkah di jalan yang keliru?
Menurut Anda, demi keberuntungan serta demi kebaikan siapakah, bila kita membuka diri ditegur, disadarkan, serta melakukan introspeksi diri guna perbaikan diri? Menurut Anda, siapakah yang paling dirugikan bila orang lain serta masyarakat kita hanya membiarkan kita setiap harinya melakukan kesalahan, menimbung kebodohan, “menggali lubang kubur sendiri”, atau bahkan tenggelam dalam kejahatan yang tidak lagi dapat dihentikan?
Menurut Anda, demi keberuntungan serta demi kebaikan siapakah, bila kita tidak bersikap “anti kritik”, mau mengakui kesalahan, terbuka dari kritik serta teguran, menghindari perbuatan tercela, menjadi tahu kesalahan-kesalahan kita, belajar dari kesalahan, serta melakukan penebusan atas kesalahan diri kita? Menurut Anda, siapakah yang paling dirugikan bila orang lain serta masyarakat kita tidak lagi bersedia atau bahkan takut untuk memberi teguran, membiarkan kita terus-menerus membuat kesalahan baru (yang cepat atau lambat kita akan tertimbun oleh Karma Buruk se-gunung oleh perbuatan kita sendiri), serta membiarkan saja kita hidup dalam kebodohan diri sendiri yang meliputi serta menggerogoti diri kita?
Ketika para korban-korban kita bahkan menjadi takut (atau belum “apa-apa sudah takut sendiri” akibat “kesadaran kolektif bahwa Bangsa Indonesia ialah bangsa ANTI KRITIK”) untuk menyuarakan ketidak-sukaan, telah dirugikan, telah disakiti, atau betapa terganggunya mereka atas perilaku kita, menjadi apatis untuk menyampaikan protes mereka atas sikap “tidak tahu aturan” kita, menjadi bungkam untuk memberitahukan rasa sakit dan luka mereka akibat perbuatan kita, menjadi kesulitan untuk menyampaikan apa yang menjadi hak mereka dan apa yang menjadi kewajiban kita, menjadi berat untuk menyampaikan apa yang benar dan apa yang salah untuk kita dengar, maka itulah yang disebut sebagai bangsa “sampah”.
Bangsa yang menyerupai “sampah”, hanya layak mengisi “TONG SAMPAH”—bagaimana mungkin, seorang “sampah” merasa layak atau bahkan terjamin memasuki alam “surga” setelah kematian menjelang, cepat atau lambat? Jika memang alam “surga” dapat dimasuki oleh para manusia “sampah” demikian, maka “surga” tidak ubahnya “TONG SAMPAH”, dimana bahkan sang manusia “sampah” akan lebih galak daripada “Tuhan”.
Pernah terjadi, seorang supir memarkir kendaraan truknya di pinggir jalan, dan ketika penulis melintas berjalan kaki di samping kiri jalan dimana terdapat truk terparkir di samping jalan yang penulis lintasi, ternyata sang supir sedang asyik menghisap bakaran tembakau di atas kursi pengemudi dimana puntungnya yang membara dibiarkan terjulur keluar dari kaca pintu yang terbuka hampir menyundut mata penulis yang berjalan melintas. Penulis yang kemudian melintas, di depan truk kemudian hanya berdiri menatap sang supir “gila juga jahat” tersebut, tanpa berkata-kata karena penulis sadar pastinya sang supir akan LEBIH GALAK, namun baru menatap seperti itu saja sang supir sudah seketika reaktif memasang badan hendak menantang untuk berkelahi.
Luar biasa, sungguh-sungguh bangsa yang sudah akut kekotoran batinnya, dimana bahkan seorang Buddha hanya dapat memberi pencerahan kepada manusia yang sedikit diliputi kekotoran batin pada matanya, dimana “manusia Indonesia” tidak dapat lagi terselamatkan akibat kekotoran batin yang demikian tebal menutupi mata mereka, sehingga menjelma “tidak lagi dapat diperbaiki”—seseorang hanya dapat diperbaiki ketika diri mereka bersedia membuka diri untuk perbaikan diri, dan itulah yang tepatnya tidak dimiliki oleh “manusia Indonesia”. Maka biarlah mereka kian terperosok dan tenggelam dalam kebodohan yang menggerogoti dan kejahatan yang tidak lagi dapat dihentikan. Biarlah Hukum Karma yang menjadi hakim serta eksekutornya, penulis tidak perlu mengambil resiko yang pastinya berupa dianiaya dan kembali disakiti oleh pelakunya.
Sungguh bangsa yang tidak dapat lagi dikoreksi, karena selalu gagal untuk bercermin, tidak bersedia mengakui kesalahan, selalu merasa benar, merasa telah “suci” terjamin “masuk surga”, “anti kritik”, sigap-reaktif-responsif “LEBIH GALAKterlepas dari siapapun yang sebetulnya bersalah dan apapun perilaku diri pelakunya, menutup diri untuk dikoreksi dan tidak bersedia mengintrospeksi diri, tumpul dalam nurani (atau bahkan buta-nurani sama sekali), sekalipun perilakunya benar-benar tercela, jahat, buruk, menyakiti, tidak adil, melukai, dan hina. Menurut Anda, siapa yang sebetulnya telah merugi? Terserah Bangsa Indonesia saja-lah, bangsa yang gemar membangkang, yang benar disalahkan sementara yang salah justru dibenarkan. Bangsa yang aneh namun nyata.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.