Yang Selama Ini Hidup dari Pedang, akan Mati dari Pedang, Sudah Selayaknya dan Seadilnya Demikian

ARTIKEL HUKUM
Menurut Anda, para pembaca yang budiman dan yang sangat penulis “kasihi” (yang terkadang juga penulis “kasihani”, karena sebetulnya banyak diantara ulasan dan artikel yang penulis tulis, sejatinya dapat dipikirkan oleh Anda sendiri secara akal-sehat dan nurani kata-hati kita masing-masing secara mandiri serta berdikari, tanpa perlu penulis ajarkan dan beritahukan), dapat lolos dari penghukuman atas segala sikap buruk, kejahatan, ataupun “dosa-dosa” kita, adalah sebentuk kemujuran atau keberuntungan dan keuntungan bagi diri kita? Kecuali bila “urat malu” Anda telah putus, tiada orang beradab yang merasa bangga dapat “bermain curang” dan menjadi “buronan” yang melarikan diri dari penghukuman “Karma” atas perbuatan kita sendiri.
Hutang tetap saja hutang, kejahatan tetap saja kejahatan, fakta tetap saja fakta, sejarah tetap saja sejarah, melukai tetap saja melukai, menyakiti tetap saja menyakiti, merugikan tetap saja merugikan, penipuan tetap saja penipuan, dimana tidak lagi menjadi relevan apakah Anda masih mengingatnya atau telah melupakannya, mengakuinya atau mengingkarinya, hendak bertanggung-jawab atau melarikan diri, “perfect tense” tetap saja “perfect tense”, dan “action” tetap saja “action”.
Janganlah menyerupai kalangan penipu, bersedia “menipu”, namun tidak pernah bersedia “tertipu” dikemudian hari. Penipu sudah selayaknya dan sepatutnya tertipu. Yang hidup dari menipu sudah seadilnya mati karena tertipu, bukankah demikian? Pernah terjadi, seorang buronan kasus korupsi bernama Sony Yulianto, ditangkap KPK setelah melarikan diri lalu diadili dan dihukum pidana karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Setelah menjalani masa hukuman, sang koruptor (koruptor tetap saja koruptor, tidak pernah ada istilah mantan koruptor seperti seorang “seorang penipu tetap saja penipu” tiada istilah “mantan penipu”) kemudian alih profesi menjadi penyedia jasa konstruksi.
Kini, sang koruptor bernama Sony Yulianto mengikuti tender yang diadakan pemerintah, namun sang koruptor “dibalas oleh negara” dengan tidak dibayarkan fee tender yang dikerjakan oleh sang koruptor. Luar biasanya, sang koruptor merasa keberatan telah “ditipu” oleh pemerintah, lalu sekonyong-konyong merasa berhak pula berulang-kali “memperkosa” profesi penulis atas masalah hukum yang dialami olehnya ini. Penipu tetap saja penipu, sampai kapan pun penyakit “tidak tahu malu” sukar untuk diubah kalangan semacam koruptor bernama Sony Yulianto yang juga merangkap sebagai “pemerkosa” profesi konsultan hukum.
Penjahat tetap saja penjahat, tiada istilah “mantan penjahat”—mengingat, peneliti genetik manusia menyebutkan bahwa faktor kriminal (kriminogen factor) ialah terkait genetik sang kriminal, berkat kromosom kriminalitas dalam kode genom yang bersangkutan, alias “born to be a criminal”, kriminal itu dilahirkan bukan ditumbuhkan. Namun juga, kode genetik kita dapat berubah, berkat mutasi (sumber lahirnya evolusi manusia), akan tetapi tampaknya mutasi tidak terjadi pada kode genetik Sony Yulianto, sang koruptor “pemerkosa” profesi konsultan, sekalipun yang bersangkutan telah pernah mencicipi menjadi napi penghuni “hotel prodeo”. Kode genetik “penjahat” dalam diri seorang “penjahat”, tidak dapat diubah / dimutasi semudah di-jebloskan ke dalam sel dibalik jeruji, itulah kegagalan terbesar sistem pemidanaan kita dalam menghadapi otak para “residivis”, dimana kode genetik “kriminal” dalam diri mereka yang paling bertanggung-jawab (crime genes).
Selalu ada harga yang harus kita bayarkan, dan tiada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini—itulah pesan yang selalu dikomunikasikan oleh “Hukum Karma”. Segala sesuatu, didahului oleh “sebab” terjadinya, tiada hal yang terjadi tanpa adanya suatu “sebab” yang mendahuluinya, terlebih suatu kebetulan belaka tanpa sebab (karenanya pula, doktrin perihal “hukum sebab-akibat” sangat ilmiah dan saintifik). Dengan kata lain, apa yang menjadi “akibat” hanyalah sebuah konsekuensi logis atau respons dari apa yang mendahuluinya, yakni “sebab” itu sendiri.
Memasuki bulan keempat masa pandemik global, jumlah penderita Corona Viruse Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia, tergolong paling tinggi dibanding jumlah penderita COVID-19 di negara-negara ASEAN, mungkin memang sudah sewarjarnya dan sudah sepatutnya—sekalipun Indonesia memiliki bonus geografi berupa negara kepulauan yang menjadi “lock down” alami, negara khatulistiwa dengan iklim tropis serta paparan sinar UV tertinggi di dunia, serta telah memiliki waktu untuk persiapan diri sejak pertama kalinya wabah ini menjangkiti daratan Tiongkok—mengingat demikian korupnya rakyat di Indonesia, baik pejabat negara maupun rakyat sipil setingkat “office boy” di perkantoran, berbagai kejahatan yang tidak tersentuh oleh akibat hukum yang “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”, hukum yang tebang pilih (bahkan aturan hukum yang dibentuk pemerintah kita itu sendiri yang meragukan, “law as a tool of crime”), praktik hukum yang dapat diperjual-belikan, kepolisian maupun aparatur penegak hukum lainnya yang lebih jahat daripada kriminil sipil, hingga aksi-aksi radikalisme serta intoleransi berbasis agama ataupun rasisme.
Berkat berbagai Lembaga Pemasyarakatan kita yang selalu overload-overcapacity sepanjang tahunnya, banyak diantara “masyarakat jahat” di republik ini yang tidak pernah ditindak secara hukum, disamping faktor masifnya pengabaian dan penelantaran oleh aparatur penegak hukum kita, sehingga para penjahat dan kriminal seolah dilestarikan dan dipelihara oleh negara. Akibatnya, rakyat sipil kerap merasa hanya bisa melindungi dirinya sendiri seorang diri, dari ancaman oleh sesama rakyat sipil maupun terhadap aparatur penegak hukum yang menyerupai “predator bagi sesamanya”, dimana negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat kecuali saat “menilang”, “pesta demokrasi”, serta saat melakukan “korupsi-berjemaah”. Belum lagi kita berbicara perihal masifnya modus penipuan dan premanisme di negeri ini, bahkan sekelas pedagang makanan dalam gerobak yang menjual makanan secara tidak jujur dan penuh tipu-muslihat kepada konsumennya sendiri yang membayar. Praktis, dari rakyat jelata kecil hingga para elit politik di “menara gading”, rusak secara mental dan moralitas di republik yang serba berbau “agamais” ini.
Wabah COVID-19 maupun SARS untuk pertama-kalinya menjadi pandemik di negara Tiongkok, yang demikian haus akan kekuasaan dan hegemoni wilayah “jajahan” memakai kebijakan tangan besi dan amunisi, dengan membungkam banyak suara vokal dari dalam negeri sendiri dengan “tank-tank yang siap menggilas” para mahasiswa yang hanya bersenjatakan “buku dan nurani”, adalah memang sudah sewajarnya dan sepatutnya terjadi. Meski demikian, “penjahat tetap saja penjahat”, kini seketika Tiongkok kembali berulah dengan membuat klaim-klaim sepihak atas teritori keulatannya yang hendak mengkooptasi lautan utara Indonesia (bahkan sejak Kerajaan Kediri, China mencoba menjajah lewat pengiriman Laksamana yang memimpin armada lautnya ke Bumi Pertiwi), Hongkong, maupun Taiwan—seolah merasa belum puas juga menjajah dari segi ekonomi dan swasembada pangan negeri-negeri mancanegara dengan merajai pangsa pasar global yang membuat “gerah” Amerika Serikat tanpa terkecuali negara-negara berkembang yang terkena imbasnya secara langsung maupun tidak langsung dari strategi perang dagang Tiongkok lewat aksi dumping (meski, dilematisnya, praktik demikian telah banyak menguntungkan kalangan konsumen di seluruh dunia, produk bervariasi serta berkualitas namun terjangkau). Bagi yang pernah berjumpa dengan orang-orang Barat maupun dari daratan China, akan tahu batul bahwa betapa manusia-manusia dari kedua negara tersebut sama sekali jauh dari sifat humanis terlebih untuk dapat kita sebut sebagai bangsa beradab (Amerika Serikat mengusung konsep Hak Asasi Manusia, tujuannya tidak lain untuk membuat bangsanya mampu sedikit lebih beradab, karena memang belum beradab). Namun janganlah berbangga diri dahulu, karena sementara itu, bagi yang pernah hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, akan tahu betul bahwa bangsa yang disebut terakhir ini jauh dari sifat-sifat Tuhanis meski agamais.
Selaku negara adidaya, siapa yang berani menghukum penjahat perang sekaliber Amerika Serikat? Mungkin memang sudah “karma” (penggunaan istilah “mungkin” hanyalah untuk memperhalus bahasa, karena dapat dipastikan demikian adanya), kini Amerika Serikat perlu mencicipi terjajah, namun kali ini terjajah oleh virus yang berukuran “mini”, musuh tidak kasat-mata. Amerima Serikat selama ini hidup dari industri senjata, menciptakan alat pembunuh dan menjualnya, menjadi alat pembunuh sekaligus mimpi buruk seperti bagi warga Yaman dimana tentara Arab Saudi yang membeli dan menggunakan senjata-senjata pasokan Amerika Serikat harus mencicipi timah panas produksi sang negara “Paman Sam” tersebut.
Selama ini, para kaum yang “pro” terhadap ekspansi industri senjata api dan teknologi perang di Amerika Serikat, membuat klaim dan dalil pembenaran diri (justifikasi diri), bahwasannya teknologi yang dirancang untuk keperluan peperangan, telah memajukan dunia medik. Buktinya, Amerika Serikat yang selama ini hidup dari menjual demokrasi (barang dagangan yang lebih “seksi” ketimbang komoditas apapun, sekalipun berbiaya sangat mahal), ternyata wabah merebak dimana kasus meninggalnya rakyat Amerika Serikat juga karena “demokrasi” jualan mereka sendiri, sehingga menjadi amat sulit diatur bangsanya (terlebih untuk diadakan “lock down”).
Kini, wabah COVID-19 yang menjangkiti bangsa Amerika Serikat, mencapai rekor sebagai penetrasi virus menular mematikan terbesar dari sang Virus Corona tipe baru, sehingga patutlah untuk kita ujarkan kalimat berikut : “Dimana itu kemajuan teknologi hasil perang untuk kesehatan Anda? Anda telah membunuh banyak nyawa oleh senjata produksi Anda, kini giliran Anda yang harus menanggung segala hutang darah dan hutang nyawa tersebut. Kemajuan dan perkembagnan teknologi bagi kesehatan hasil dari inovasi senjata perang, omong kosong.”
Sayangnya, masyarakat Amerika Serikat paling alergi melakukan introspeksi diri, hendak mengkambing-hitamkan negara lain sebagai penyebab wabah terjadi. Seolah “gajah di depan mata tidak tampak, namun semut di seberang lautan ditunjuk-tunjuk”. Itulah wajah Amerika Serikat, negeri “bebas’ yang membebaskan kebodohan, keserakahan, dan segala bentuk arogansi, sebebas-bebasnya. Para pengusung konsep “kebebasan” ala Amerika Serikat yang demikian dibangga-banggakan itu melupakan, lawan kata dari “bebas” bisa berarti kualitas yang lebih tinggi, yakni “tiada kemelekatan”, “tanggung-jawab”, serat “disiplin”. Setidaknya, yang positif hanyalah “bebas dari menyakiti”, “bebas dari keserakahan”, serta “bebas dari kebodohan”.
Jepang, dikenal atas aksi penjajahan yang sadistik dan tidak manusiawi, ditambah “jugun ianfu”, akibatnya kini anak-anak gadis di Jepang sangat amat buruk dari segi moralitas perilakunya, ditambah intensitas gempa teknonik yang setiap tahunnya menghantui mereka. Jepang, menciptakan teror dalam bentuk Perang Dunia II, baru menyerah dan “angkat tangan” lewat bom nuklir terhadap Hiroshima dan Nagasaki—jika tidak, Jepang mungkin kini telah menjadi Nazi-Hitler Kedua.
Namun, bukan artinya kesengsaraan banyak rakyat dunia dapat ditebus dengan akibat reaksi-berantai (chain reaction) dari limbah nuklir di kedua kota di Jepang tersebut. Kini, Jepang harus menghadapi kenyataan pahit, negara mereka bergantung pada reaktor nuklir untuk menggerakkan roda ekonomi mereka yang kini menguasai serta mendominasi pangsa pasar dan ekonomi berbagai negara berkembang seperti di Indonesia, namun ternyata harus Jepang bayar mahal dengan berbagai bocornya berbagai reaktor dan instalasi nuklir yang berdiri di berbagai wilayah di Negara Jepang, yang mana mengakibatkan Rakyat Jepang setiap harinya dihantui oleh kebocoran nuklir dan tercemarnya sumber daya alam mereka.
Tidak ada yang benar-benar dapat kita curangi terlebih sembunyikan dalam hidup ini, itu sudah merupakan pesan yang dikomunikasikan secara sedemikian eksplisit dan tersurat oleh “Hukum Karma”. Selalu ada harga yang harus kita bayarkan. Kita dapat lolos untuk sementara waktu, namun kita tidak dapat berkelit dari konsekuensi perbuatan kita sendiri. “Akibat” selalu mengiringi “sebab”, selayaknya bayangan mengikuti si pemilik tubuh, kemana dan dimanapun ia berada, ialah yang memikul tanggung-jawab untuk memetik buah dari perbuatannya sendiri, perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk, besar maupun kecil, tanpa terkecuali.
Ilustrasi dalam kisah berikut, penulis kira dapat cukup mewakili tentang apa itu “adil dan keadilan”, dikutip secara analogi dari seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, secara sangat inspiratif mengisahkan sebagai berikut:
MUNGKIN MEMANG (SUDAH) ADIL
Sering kali saat kita mengalami depresi, kita tergoda untuk mulai berpikir, “Ini tidak adil! Mengapa harus aku yang mengalaminya?” Akan tetapi melegakan jika hidup ini lebih adil.
Seorang narapidana paruh-baya di kelas meditasi yang saya ajarkan di penjara, minta bertemu dengan saya setelah sesi meditasi selesai. Dia telah mengikuti sesi sesi saya selama beberapa bulan dan saya telah cukup mengenal dirinya.
“Brahm,” katanya, “Saya ingin memberi tahu Anda bahwa saya tidak melakukan kejahatan yang membuat saya terkunci di penjara ini. Saya tidak bersalah. Saya tahu beberapa penjahat mungkin akan mengatakan hal yang sama dan berbohong bahwa mereka tidak bersalah atau tidak melakukan apa yang dituduhkan jaksa, tetapi saya mengatakan yang sebenarnya kepada Anda. Saya tidak akan berbohong kepada Anda, Brahm, tidak kepada Anda.”
Saya percaya kepadanya. Keadaan dan sikapnya membuat saya merasa yakin jikalau dia tidak mungkin berbohong. Saya mulai berpikir betapa tidak adilnya keadaan ini, dan bertanya-tanya bagaimana saya bisa memperbaiki ketidakadilan yang mengerikan ini. Namun tepat disaat itu, dia menyela pikiran saya.
Dengan tersenyum nakal, dia melanjutkan ceritanya, “Tetapi Brahm, ada banyak kejahatan lain yang saya perbuat, tetapi saya tak tertangkap. Jadi saya kira apa yang terjadi sekarang ini memang adil.”
Saya tertawa terbahak-bahak. Rupanya si ‘tua bangka’ satu ini sedikit-banyak telah memahami betul tentang hukum karma, bahkan lebih baik daripada beberapa biksu yang saya kenal.
Berapa seringkah kita melakukan ‘kejahatan’, yang begitu melukai, tindakan yang penuh kedengkian, tetapi kita tidak dibuat menderita olehnya? Apakah kita pernah berkata, “ini tidak adil! Mengapa aku tidak ditangkap?”
Ketika kita dibuat menderita oleh suatu alasan yang tidak jelas, belum-belum kita sudah menjerit sejadi-jadinya, “Ini tidak adil! Mengapa aku?”
Barangkali itu sebenarnya adil. Seperti napi yang tadi saya ceritakan, barangkali ada banyak ‘kejahatan’ lain yang kita perbuat, tetapi kita tidak tertangkap, inilah yang menjadikan hidup ini sebenarnya adil.
“Tuhan” bersikap adil, tepatnya “Hukum Karma” bersikap adil, mengadili terhadap pelaku kejahatan dengan cara memberi keadilan kepada para korban para pelaku kajahatan. Dengan bersikap tidak adil terhadap korban kejahatan, sama artinya semesta (yang sering disebut sebagai personifikasi “Tuhan”) sedang mengingkari segala perbuatan buruk dan kejahatan oleh para pelaku kejahatan, melestarikannya dan memelihara para penjahat tersebut dan sifat jahatnya, sama seperti negara kita menelantarkan dan mengabaikan warga korban pelapor, sama artinya negara sedang memelihara dan melestarikan para pelaku kejahatan lengkap dengan sikap jahat dalam diri mereka. Bersikap jahat ataupun buruk tanpa bertanggung-jawab serta tanpa dapat dimintai pertanggung-jawaban, bukanlah sebuah keuntungan terlebih sebagai keberuntungan bagi pelakunya, namun hanyalah sebuah pergeseran waktu kapan segala hutang kajahatan itu harus dibayar oleh pelakunya, bersenang-senang dahulu bersakit-sakit kemudian. Tiada yang betul-betul dapat kita curangi dalam hidup ini, terlebih untuk dapat berkelit dari tanggung-jawab.
Sekali lagi, ada atau tidaknya sosok personifikasi seperti “Tuhan”, Hukum Karma adalah bagian dari Hukum Alam itu sendiri yang tidak terpisahkan—sementara itu, tiada satu pun dari kita yang lolos dari jeratan Hukum Alam, tiada seorang pun yang terkecuali dan dikecualikan, setidaknya kita semua pastilah akan mengalami usia tua, sakit, dan meninggal, dengan membawa serta segala perbuatan kita, baik yang baik maupun yang buruk, tentunya, untuk kita warisi sendiri sebagai bekal kita dikehidupan selanjutnya. Kita sendirilah, yang paling bertanggung-jawab atas hidup kita sendiri, bukan “Tuhan” yang mungkin saja tidak ikut-campur tangan atas hidup makhluk hidup di Bumi dengan adanya “otopilot” bernama “Hukum Karma”. Sebagian masyarakat Indonesia meremahkan ancaman virus menular mematikan, maka keadaan seperti sekarang ini MEMANG SUDAH SELAYAKNYA TERJADI, dan akan menjadi aneh bila tidak terjadi seperti sekarang ini (konsekuensi logis). Mungkin hanya terjadi di Indonesia, dana bantuan sosial untuk korban terdampak wabah COVID-19, dikorupsi secaa masif oleh pejabat hingga sekelas Ketua RT, dimana nasi di atas piring orang yang lebih miskin masih juga dirampok dan dirampas demi memuaskan keserakahan pelakunya. Tragis, sekaligus miris, terjadi di dalam negara yang mengaku agamais, lengkap dengan segala atribut keagamaan dan slogan-slogan kesucian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.