Disparitas Vonis Amar Hukuman, Disparitas Ancaman Hukuman, Disparitas Persepsi Hakim dan Pembentuk Undang-undang, serta Deregulasi Pemidanaan

ARTIKEL HUKUM
Dalam ulasan pada kesempatan kali ini, kita akan mengulas sebuah topik ringan namun cukup sensitif serta jarang sekali disinggung dalam berbagai publikasi hukum lainnya, yakni perihal “legal gap sentencing” alias kesenjangan pemidanaan, akan tetapi bukan dalam konteks disparitas vonis pemidanaan antar putusan pengadilan, akan tetapi disparitas antara ancaman hukuman maksimum maupun minimum terhadap perbuatan / delik pidana yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim di pengadilan berupa vonis pidana penjara terhadap seorang Terdakwa.
Semisal, saat kini, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal pidana “Penggelapan” maupun “Penipuan”, mengandung ancaman maksimum pemidanaan bagi pelaku pelanggarnya, yakni dapat didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum maupun untuk dijadikan vonis putusan oleh Majelis Hakim dengan maksimum pidana penjara selama empat tahun, baik sebagai ancaman hukuman maksimum bagi pelaku “Penipuan” maupun “Penggelapan”. Ancaman pemidanaan demikian, sering diistilahkan sebagai “sentencing policy by law” alias norma ancaman pemidanaan sebagai kebijakan negara.
Namun, dalam praktik peradilan berdasarkan “hukum kebiasaan” (konvensi) yang tumbuh dan dilestarikan oleh praktik di peradilan internal kalangan kehakiman itu sendiri, terhadap pelaku “Penipuan”, diberikan ganjaran berupa vonis amar putusan berupa pidana penjara rata-rata selama tiga tahun penjara. Akan tetapi, terhadap Terdakwa kasus pidana “Penggelapan”, kerap kali hanya terhadap pelakunya hanya dijatuhkan vonis amar putusan berupa pidana penjara rata-rata selama beberapa bulan (kurang dari dari tahun, bahkan tidak jarang kurang dari setengah tahun) penjara.
Lantas, semisal, ketika negara lewat Lembaga Legislatif selaku regulator penyusun serta pembentuk kebijakan hukum bernama produk peraturan perundang-undangan (tepatnya Undang-Undang), merasa praktik demikian di Lembaga Yudikatif-Kehakiman kurang ideal, dimana sudah sepatutnya terhadap seorang kriminil pelaku pidana “Penggelapan” dijatuhkan vonis pidana penjara selama bertahun-tahun lamanya sebagai hukuman, agar menimbulkan efek penjeraan (detterent effect).
Mengingat, kerap kali Jaksa Penuntut Umum membuat rumusan rekuisitur (surat dakwaan) dengan pasal dakwaan “alternatif” antara delik pasal “Penipuan” maupun pasal “Penggelapan” terhadap pihak Terdakwa sekalipun atas perbuatan yang sama, terutama terhadap kasus-kasus penipuan berkedok investasi, pinjam-meminjam, dan alasan lain sebagianya, namun yang kemudian dipilih oleh Majelis Hakim berdasarkan model surat gugatan dengan dakwaan “alternatif” demikian, ialah secara seketika menyatakan sang Terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana “Penggelapan” berupa uang (“menggelapkan” barang berupa uang pinjam-meminjam) yang ternyata dipakai untuk kepentingan pribadi sang Terdakwa terhadap uang milik investor-nya yang menjadi korban pelapor, alih-alih digunakan untuk modal usaha, sehingga merugikan pihak korban pelapor.
Karenanya, dirasakan penting untuk membuat suatu perubahan keadaan (mengkondisikan) agar amar putusan Majelis Hakim di pengadilan terhadap Terdakwa yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana “Penggelapan”, tidak demikian terdisparitas terhadap vonis bagi pelaku yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Penipuan”. Disparitas vonisnya, antara Terdakwa “Penipuan” dan Terdakwa “Penggelapan”, bisa mencapai dua tahun pidana penjara, alias tidak mencapai separuh vonis yang harus di-“nikmati” seorang Terdakwa “Penipuan”.
Menimbang pula, tidak mungkin kedua pasal pemidanaan tersebut di-kumulatifkan dalam rumusan surat dakwaan, karena tindak pidana “Penipuan” selalu dianggap sebagai “kejahatan yang lebih jahat dan lebih berat karakteristik pelanggarannya” karena juga sudah mengandung unsur “menggelapkan” (dana yang dikembalikan secara sukarela kepada kreditornya, maka tidak akan dikenakan pasal “Penipuan”, dimana dengan logika berpikir demikian, maka terhadap pelaku “Penipuan” sudah dipastikan include sifat kejahatan “menggelapkan” pula).
Lantas, terbit ide atau gagasan dari para elit politik kita di parlemen, menghendaki revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terutama ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana “Penggelapan”, agar hakim dipaksa untuk secara langsung atau secara tidak langsung meningkatkan beratnya vonis amar putusan berupa pemenjaraan terhadap sang Terdakwa. Pada satu sisi, membuat kebijakan (legal policy) berupa ancaman pemidanaan minimum, dapat menjadi “blunder” karena akan terbit “moral hazard” dikarenakan bila ancaman pidana penjara minimum satu tahun bagi pelakunya, maka terhadap Terdakwa yang didakwa karena “menggelapkan” satu helai pakaian, apakah juga harus divonis pidana penjara selama satu tahun penjara terhadap sang Terdakwa yang resmi menjelma narapidana?
Karenanya, timbul niat merekayasa praktik peradilan lewat merubah kebijakan ancaman maksimum pidana penjara bagi pelaku tindak pidana “Penggelapan” dari yang semula berupa ancaman pidana penjara selama empat tahun, dirubah atau direvisi pengaturan dalam “undang-undang (yang) baru”, menjadi ancaman maksimum pidana penjara selama enam tahun. Apakah langkah demikian, merupakan solusi yang ideal?
Itulah tepatnya, yang terjadi pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait “pencemaran nama baik” via media online / daring, yang kini telah terdapat perubahan terhadap beberapa pasal dalam UU ITE, salah satunya ancaman pidana penjara bagi pelaku “pencemaran nama baik” via daring dengan ancaman hukuman maksimum yang ditingkatkan hingga hampir dua kali lipat dari pasal pemidanaan dalam UU ITE sebelum perubahan.
Kini, mari kita memasuki perspektif seorang hakim di pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara-perkara pemidanaan, dimana sang hakim pastilah telah dan kerap memutus berbagai perkara tindak pidana “Penipuan” maupun “Penggelapan”. Berdasarkan alam batin (psikologi) seorang hakim yang selama ini telah banyak menjatuhkan vonis hukuman pidana “Penggelapan” terhadap Terdakwa berupa rata-rata pidana penjara selama tiga bulan hingga enam bulan, lantas ketika dikemudian hari terbit Undang-Undang baru yang merubah ancaman hukuman maksimum terhadap pelaku tindak pidana “Penggelapan”, dari semula ancaman pidana penjara maksimum selama empat tahun menjadi ancaman pidana penjara maksimum selama enam tahun, dapat dipastikan tetap saja sang hakim akan menjatuhkan vonis putusan berupa pidana penjara antara tiga bulan hingga enam bulan.
Penjelasan dari sisi psikologis seorang hakim, amatlah sederhana, mengingat dirinya memiliki “beban moril” ketika terhadap perbuatan yang sama, antara para Terdakwa yang selama ini dijatuhkan vonis oleh sang hakim dan Terdakwa dihadapkan ke persidangan dengan dakwakan pidana “Penggelapan” berdasarkan Undang-Undang pemidanaan yang baru beserta ancaman pidana penjara yang ditingkatan menjadi maksimum enam tahun penjara, mengapa kemudian harus diputus lebih berat dari yang sebelum-sebelumnya alias merubah konvensi yang selama ini telah menjadi kebiasaan praktik peradilan?
Apakah artinya sang hakim kini harus menjatuhkan vonis berupa amar putusan penghukuman lima tahun penjara terhadap Terdakwa pelaku tindak pidana “Penggelapan”? Jika demikian halnya, sama artinya sang hakim dipaksa untuk berperilaku “tidak adil”, mengingat akan tercipta disparitas antar hukuman itu sendiri yang pastinya akan mengundang penolakan oleh para Terdakwa yang saat kini baru akan didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Memang mengherankan ketika para pembentuk hukum kita di parlemen, hendak merubah substansi pasal pemidanaan terutama terkait ancaman maksimum pidana penjara, mengingat selama ini hakim di pengadilan kerap dan telah memiliki konvensi memutus jauh di bawah ancaman hukuman maksimum pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang. Sehingga, menjadi tampak ambigu ketika parlemen hendak membentuk Undang-Undang baru yang merubah keberlakuan pasal ancaman pemidanaan dalam Undang-Undang sebelumnya, terutama terkait ancaman maksimum pidana penjara bagi pelaku / pelanggarnya.
Karenanya, selalu terdapat “disparitas perspektif” (perspective disparity / gap) antara cara berpikir seorang Legislator dan cara berpikir seorang hakim di pengadilan. Lagi dan lagi, kita akan selalu terbentur pada praktik peradilan yang telah menjelma sebentuk konvensi, dimana menurut teori ilmu hukum, “konvensi” berupa praktik peradilan merupakan salah satu norma hukum itu sendiri, yang lebih populer oleh masyarakat kita dikenal dengan sebutan sebagai “preseden” alias “yurisprudensi”.
Merubah praktik peradilan, tidak semudah mengotak-atik pasal-pasal pemidanaan. Karena itu jugalah, para pembentuk kebijakan hukum perlu amat berhati-hati ketika pertama kali membuat peraturan baru terutama terkait ancaman sanksi pemidanaan, oleh sebab sekali dibentuk Undang-Undang-nya, dan ketika telah diterapkan oleh Majelis Hakim di pengadilan, maka seketika itu juga terbentuklah praktik kebiasaan peradilan alias preseden itu sendiri. Sekali telah terbentuk preseden yang menjadi praktik peradilan (kebiasaan), maka dapat dipastikan ganjalan tembok “tidak terlihat” yang paling sukar dirobohkan ialah kebiasaan alias praktik peradilan yang selama ini telah terkristalisasi.
Terkecuali, norma-norma pemidanaan terkait “delik situasional”. Sebagai contoh, bagi pelaku penimbunan masker medik sebelum terjadinya wabah pandemik virus menular mematikan, tiada kasus-kasus demikian yang berujung pada dakwaan hingga vonis pemidanaan di ruang peradilan kita di Tanah Air. Namun, ketika negara kita mulai terjadi kepanikan akibat wabah yang menyerang, merebak “panic buying” serta praktik-praktik penimbunan masker medis yang kian langka di pasaran disertai penggelembungan harga-jual, maka akan dapat mulai kita jumpai para pelaku penimbunnya yang diseret dan diberi ganjaran vonis berupa pidana penjara. Kemudian, ketika wabah telah mereda dan segala sesuatu telah kembali normal (tanpa lagi adanya serangan wabah), maka pemidanaan terhadap pelaku penimbunan masker medik tiada akan kita jumpai lagi pada praktik di persidangan.
Baik “Penipuan” maupun “Penggelapan”, sejatinya adalah kejahatan “klasik” (bahkan tergolong jenis kejahatan yang paling “primitif”), alias kejahatan sepanjang masa, yang kerap terjadi sejak saat dahulu kala, saat kini, maupun dimasa mendatang. Begitupula terhadap pelaku kartel dan penimbunan komoditas barang kebutuhan pokok seperti bawang merah, bawang putih, serta berbagai bahan kebutuhan pokok lainnya, akan tetap dapat terjadi di masa mendatang, karena sifatnya yang merupakan barang-barang strategis sepanjang masa.
Yang berbahaya, ialah ketika niat parlemen kita ialah berkebalikan dari niat sebagaimana pada mulanya dibahas pada awal ulasan ini, yakni ketika para elit politik kita hendak mengurangi ancaman maksimum pidana hukuman penjara bagi para pelaku tindak pidana korupsi, semisal hingga hanya mengancam separuh dari ancaman tindak pidana korupsi yang hendak diubah undang-undangnya dengan Undang-Undang pidana terkait korupsi yang baru diterbitkan—dimana dengan “law a tool of crime” demikian, hakim yang “korup” memiliki legitimasi berupa dasar hukum (sebagai pembenaran diri) untuk memberikan vonis hukuman yang lebih ringan ter-baru para Terdakwa korupsi (koruptor) ter-baru ketimbang para koruptor lama yang sebelumnya pernah divonis atas perkara serupa.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.