Kode Etik PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)

LEGAL REVIEW
KEPUTUSAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG / KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 112/KEP-4.1/IV/2017
TENTANG
PENGESAHAN KODE ETIK IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
Menimbang :
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, perlu adanya pengesahan Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah;
b. bahwa berdasarkan hasil Kongres Keempat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah tanggal 31 Agustus 2007 di Surabaya telah disetujui Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
c. bahwa berdasarkan permohonan dari Pengurus Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Nomor 12/PP-IPPAT/1/2017 tanggal 18 Januari 2017 tentang permohonan pengesahan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana dalam huruf b;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pengesahan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5893);
3. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
4. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-0000183.AH.01.08. Tahun 2017 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG PENGESAHAN KODE ETIK IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH.
KESATU : Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang telah disusun berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah berlaku secara nasional untuk ditaati semua anggota Organisasi Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
KEDUA : Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU disahkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai pedoman bersama Organisasi IPPAT, dalam rangka menetapkan sanksi terhadap anggota Organisasi IPPAT yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan sesuai dengan ketentuan dalam Kode Etik.
KETIGA : Penetapan sanksi oleh Organisasi IPPAT sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA, dapat ditindaklanjuti oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk menetapkan sanksi terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan berdasarkan rekomendasi dari Organisasi IPPAT, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KEEMPAT : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila lampiran dari Keputusan ini ada perubahan di kemudian hari, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 April 2017
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
Ttd.
SOFYAN A. DJALIL

KODE ETIK
IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Kode Etik ini yang dimaksud dengan:
1. Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah disingkat IPPAT adalah perkumpulan/organisasi bagi para PPAT, berdiri semenjak tanggal 24 September 1987, diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon) berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 13 April 1989 Nomor C2-3281.HT.01.03.Th.89, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatannya selaku PPAT yang menjalankan fungsi pejabat umum, sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tersebut di atas dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 11 Juli 1989 Nomor 55 Tambahan Nomor 32.
2. Kode Etik PPAT yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh anggota perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
4. Pembina PPAT adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional beserta jajarannya.
5. Pengurus Pusat adalah Pengurus Perkumpulan/Organisasi IPPAT pada tingkat Nasional yang mempunyai tugas, kewajiban serta kewenangan untuk mewakili dan bertindak atas nama perkumpulan, baik di luar maupun di muka Pengadilan.
6. Pengurus Daerah adalah Pengurus Perkumpulan IPPAT pada tingkat Daerah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota perkumpulan IPPAT.
7. Pengurus Wilayah adalah Pengurus Perkumpulan IPPAT pada tingkat Wilayah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota perkumpulan IPPAT.
8. Majelis Kehormatan adalah suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam perkumpulan IPPAT yang mempunyai tugas dan/atau kewajiban untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan penertiban maupun pembenahan, serta mempunyai kewenangan untuk memanggil, memeriksa dan menjatuhkan putusan, sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik;
9. Majelis Kehormatan Pusat adalah Majelis Kehormatan pada tingkat nasional dari perkumpulan IPPAT yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, penertiban dan pembenahan, demikian pula untuk memeriksa, memutus dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan IPPAT pada tingkat banding dan terakhir serta bersifat final;
10. Majelis Kehormatan Daerah adalah Majelis Kehormatan pada tingkat Daerah dari perkumpulan IPPAT yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, penertiban dan pembenahan, demikian pula untuk memeriksa, memutus dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan IPPAT pada tingkat pertama.
11. Pelanggaran adalah semua jenis perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT yang dapat menurunkan keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Kode Etik.
12. Kewajiban adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan berupa apapun oleh anggota perkumpulan IPPAT untuk menjaga dan memelihara citra serta wibawa dan menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT.
13. Larangan adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan berupa apapun yang harus ditinggalkan (tidak boleh dilakukan) oleh anggota perkumpulan IPPAT yang dapat atau setidak-tidaknya dikhawatirkan dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga PPAT ataupun keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT.
14. Sanksi adalah suatu hukuman sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota perkumpulan IPPAT dalam menegakkan Kode Etik ini.
15. Eksekusi adalah pelaksanaan atas sanksi atau hukuman yang dijatuhkan oleh dan berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Daerah maupun Majelis Kehormatan Pusat, yang telah mempunyai kekuatan tetap dan pasti untuk dijalankan.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KODE ETIK
Pasal 2
Kode Etik ini berlaku bagi seluruh PPAT dan bagi para PPAT Pengganti, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (khusus bagi yang melaksanakan tugas jabatan PPAT) ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
BAB III KEWAJIBAN, LARANGAN DAN HAL-HAL YANG DIKECUALIKAN
Bagian Pertama Kewajiban
Pasal 3
Dalam rangka melaksanakan tugas jabatan para PPAT serta PPAT Pengganti ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap PPAT diwajibkan untuk:
a. berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan PPAT;
b. menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan kode etik;
c. berbahasa Indonesia secara baik dan benar;
d. mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
e. memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang hukum;
f. bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak;
g. memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya;
h. memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat;
i. memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma;
j. bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat;
k. menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps PPAT atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif;
l. bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas jabatannya;
m. menetapkan suatu kantor, dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari;
n. melakukan registrasi, memperbaharui profil PPAT, dan melakukan pemutakhiran data PPAT lainnya di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahaan Nasional;
o. dalam hal seorang PPAT menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka PPAT tersebut wajib:
1) memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut;
2) segera setelah berhubungan dengan rekan sejawat yang membuat akta tersebut, maka kepada klien yang bersangkutan sedapat mungkin dijelaskan mengenai hal-hal yang salah dan cara memperbaikinya;
p. melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain:
1) Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Jabatan PPAT;
2) Isi Sumpah Jabatan;
3) Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh Perkumpulan IPPAT, antara lain:
a) membayar iuran,
b) membayar uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan PPAT meninggal dunia,
c) mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat oleh dan mengikat setiap anggota perkumpulan IPPAT.
4) ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan kewajiban PPAT.
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 4
Setiap PPAT, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari, dilarang:
a. membuka/mempunyai kantor cabang atau kantor perwakilan;
b. secara langsung mengikutsertakan atau menggunakan perantara-perantara dengan mendasarkan pada kondisi-kondisi tertentu;
c. mempergunakan media massa yang bersifat promosi;
d. melakukan tindakan-tindakan yang pada hakikatnya mengiklankan diri antara lain:
1) memasang iklan dalam surat kabar, majalah berkala atau terbitan perdana suatu kantor, perusahaan, biro jasa, biro iklan, baik berupa pemuatan nama, alamat, nomor telepon, maupun berupa ucapan-ucapan selamat, dukungan, sumbangan;
2) uang atau apapun, pensponsoran kegiatan apapun, baik sosial, kemanusiaan, olah raga dan dalam bentuk apapun, pemuatan dalam buku-buku yang disediakan untuk pemasangan iklan dan/atau promosi pemasaran;
3) mengirim karangan bunga atas kejadian apapun dan kepada siapapun yang dengan itu nama anggota perkumpulan IPPAT terpampang kepada umum, baik umum terbatas maupun umum tak terbatas;
4) mengirim orang-orang selaku “salesman” ke berbagai tempat/lokasi untuk mengumpulkan klien dalam rangka pembuatan akta; dan
5) tindakan berupa pemasangan iklan untuk keperluan pemasaran atau propaganda lainnya.
e. memasang papan nama dengan cara dan/atau bentuk di luar batas-batas kewajaran dan/atau memasang papan nama di beberapa tempat di luar lingkungan kantor PPAT yang bersangkutan;
f. mengadakan usaha-usaha yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan PPAT, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk antara lain pada penetapan jumlah biaya pembuatan akta;
g. melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama rekan PPAT, baik moral maupun material ataupun melakukan usaha-usaha untuk mencari keuntungan bagi dirinya semata-mata;
h. mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada instansi, perusahaan, lembaga ataupun perseorangan untuk ditetapkan sebagai PPAT dari instansi, perusahaan atau lembaga tersebut, dengan atau tanpa disertai pemberian insentif tertentu, termasuk antara lain pada penurunan tarif yang jumlahnya/besarnya lebih rendah dari tarif yang dibayar oleh instansi, perusahaan, lembaga ataupun perseorangan kepada PPAT tersebut;
i. menerima/memenuhi permintaan dari seseorang untuk membuat akta yang rancangannya telah disiapkan oleh PPAT lain, kecuali telah mendapat izin dari PPAT pembuat rancangan. [Note SHIETRA & PARTNERS: Suatu rumusan redaksional yang rancu, dimana kalimat majemuk awal berafirmasi positif, dilekatkan kata penghubung “kecuali”, namun disertai frasa pendamping “telah”, menjadi rumusan yang tidak lazim dan tidak wajar karena menjadi ambigu.]
j. berusaha atau berupaya agar seseorang berpindah dari PPAT lain kepadanya dengan jalan apapun, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain;
k. menempatkan pegawai atau asisten PPAT di satu atau beberapa tempat di luar kantor PPAT yang bersangkutan, baik di kantor cabang yang sengaja dan khusus dibuka untuk keperluan itu maupun di dalam kantor instansi atau lembaga/klien PPAT yang bersangkutan, di mana pegawai/asisten tersebut bertugas untuk menerima klien-klien yang akan membuat akta, baik klien itu dari dalam dan/atau dari luar instansi/lembaga itu, kemudian pegawai/asisten tersebut membuat akta-akta itu, membacakannya atau tidak membacakannya kepada klien dan menyuruh klien yang bersangkutan menandatanganinya di tempat pegawai/asisten itu berkantor di instansi atau lembaga tersebut, untuk kemudian akta-akta tersebut dikumpulkan untuk ditandatangani PPAT yang bersangkutan di kantor atau di rumahnya;
l. mengirim minuta kepada klien-klien untuk ditandatangani oleh klien-klien tersebut;
m. menjelek-jelekkan dan/atau mempersalahkan rekan PPAT dan/atau akta yang dibuat olehnya;
n. menahan berkas seseorang dengan maksud untuk “memaksa” orang itu agar membuat akta pada PPAT yang menahan berkas tersebut;
o. menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata menandatangani akta buatan orang lain sebagai akta yang dibuat oleh/di hadapan PPAT yang bersangkutan;
p. membujuk dan/atau memaksa klien dengan cara atau dalam bentuk apapun untuk membuat akta padanya ataupun untuk pindah dari PPAT lain;
q. membentuk kelompok di dalam tubuh IPPAT (tidak merupakan salah satu seksi dari Perkumpulan IPPAT) dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus/eksklusif, apalagi menutup kemungkinan bagi PPAT lain untuk memberikan pelayanan;
r. melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, antara lain pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:
1) ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan tugas pokok PPAT;
2) isi Sumpah Jabatan;
3) hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi IPPAT tidak boleh dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT.
Bagian Ketiga
Hal-hal yang Dikecualikan
Pasal 5
Kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, maka hal-hal tersebut di bawah ini merupakan pengecualian yang tidak termasuk pelanggaran, yaitu:
a. pengiriman kartu pribadi dari anggota perkumpulan IPPAT yang berisi ucapan selamat pada kesempatan-kesempatan ulang tahun, kelahiran anak, keagamaan, adat atau ucapan ikut berduka cita dan lain sebagainya yang bersifat pribadi;
b. pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT oleh perusahaan telekomunikasi atau badan yang ditugasinya dalam lembaran kuning dari buku telepon yang disusun menurut kelompok-kelompok jenis usaha, tanpa pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT dalam box-box iklan lembaran kuning buku telepon itu;
c. pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT dalam buku petunjuk faksimili dan/atau teleks;
d. menggunakan kalimat, pasal, rumusan-rumusan yang terdapat dalam akta yang dibuat oleh atau di hadapan anggota perkumpulan IPPAT lain, dengan syarat (turunan dari) akta tersebut sudah selesai dibuat dan telah menjadi milik klien;
e. memperbincangkan pelaksanaan tugasnya dengan rekan sejawat bilamana dianggap perlu.
BAB IV
SANKSI-SANKSI
Pasal 6
(1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT;
d. onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT; dan
e. pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan IPPAT.
(2) Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik disesuaikan dengan frekuensi dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota perkumpulan IPPAT tersebut.
(3) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) akan berakibat pada penjatuhan sanksi yang akan diberikan kemudian oleh Pembina PPAT.
BAB V
TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK
Bagian Pertama Pengawasan
Pasal 7
Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah IPPAT dan Majelis Kehormatan Daerah bersama-sama dengan Pengurus Wilayah dan seluruh anggota perkumpulan IPPAT;
b. pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat IPPAT dan Majelis Kehormatan Pusat.
Bagian Kedua
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi
Paragraf 1
Alat Kelengkapan Perkumpulan Yang Berwenang
Pasal 8
Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis Kehormatan Pusat merupakan alat kelengkapan organisasi yang berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangan masing-masing. [Note SHIETRA & PARTNERS: terdapat kecerobohan dari kalangan profesi PPAT ketika menyusun kode etik profesi mereka. Dalam terminologi hukum, “dan” bermakna “kolegial”, dimana sifatnya bukanlah fakultatif seperti frasa “atau”, “maupun”, “ataupun”. Alhasil, PPAT yang “nakal” dapat menyatakan bahwa hasil keputusan Majelis Kehormatan Daerah, adalah tidak sah karena tidak diputuskan bersama Majelis Kehormatan Pusat.]
Paragraf 2
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Pertama
Pasal 9
(1) Apabila ada anggota perkumpulan IPPAT yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Majelis Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Wilayah ataupun pihak lain kepada Majelis Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari Majelis Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Majelis Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.
(2) Apabila menurut hasil pembicaraan dalam sidang Majelis Kehormatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal sidang tersebut, Majelis Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota perkumpulan IPPAT yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
(3) Majelis Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran Kode Etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila terbukti) setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri dari anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan dalam sidang Majelis Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan perkecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) pasal ini.
(4) Penentuan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh Majelis Kehormatan Daerah baik dalam sidang itu, maupun dalam sidang lainnya dari Majelis Kehormatan Daerah, asal saja penentuan keputusan melanggar atau tidak, dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah tanggal dari sidang Majelis Kehormatan Daerah itu, di mana PPAT tersebut telah didengar.
(5) Dalam putusan sidang Majelis Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap Kode Etik, maka sidang itu sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya.
(6) Dalam hal anggota perkumpulan IPPAT yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dipanggil Majelis Kehormatan Daerah, maka Majelis Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak 2 (dua) kali lagi dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari untuk setiap panggilan.
 (7) a. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah panggilan ke 3 (tiga) ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar, maka Majelis Kehormatan Daerah akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT yang dipanggil tersebut dan menentukan putusannya.
b. Selanjutnya mutatis mutandis berlaku bagi yang ditetapkan pada ayat (5), ayat (6) dan ayat (9).
(8) Terhadap sanksi schorsing (pemberhentian sementara) atau onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT, maka sebelum sanksi itu diputuskan, Majelis Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya.
(9) Putusan sidang Majelis Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Majelis Kehormatan Daerah kepada anggota perkumpulan IPPAT yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Pusat, Majelis Kehormatan Pusat, dan Pembina PPAT, semuanya itu dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Majelis Kehormatan Daerah.
(10) a. Apabila pada tingkat kepengurusan Pengurus Daerah belum dibentuk Majelis Kehormatan Daerah, maka Majelis Kehormatan Pusat berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan Majelis Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan Majelis Kehormatan Daerah tersebut kepada Kewenangan Majelis Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota perkumpulan IPPAT yang melanggar Kode Etik tersebut.
b. Hal tersebut berlaku pula apabila Majelis Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya.
c. Ketidaksanggupan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b tersebut karena antara lain:
i. Ketiadaan sumber daya manusia;
ii. Adanya benturan kepentingan dengan anggota perkumpulan IPPAT yang diduga melakukan pelanggaran;
iii. Menolak dengan alasan lain yang dapat diterima oleh MKP.
Paragraf 3
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Banding
Pasal 10
(1) Putusan yang berisi penjatuhan sanksi schorsing (pemecatan sementara) atau onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT dapat diajukan/dimohonkan banding kepada Majelis Kehormatan Pusat.
(2) Permohonan untuk banding wajib dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Majelis Kehormatan Daerah.
(3) a. Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat oleh anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan kepada Majelis Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Majelis Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah.
b. Majelis Kehormatan Daerah dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/fotokopi berkas pemeriksaan kepada Majelis Kehormatan Pusat.
(4) a. Setelah menerima permohonan banding, maka Majelis Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota perkumpulan IPPAT yang mengajukan banding selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima permohonan naik banding dengan surat tercatat.
b. Anggota perkumpulan IPPAT yang mengajukan banding dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Majelis Kehormatan Pusat.
(5) Majelis Kehormatan Pusat wajib memberi putusan dalam tingkat banding melalui sidangnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
(6) Dalam hal anggota perkumpulan IPPAT yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar dengan surat tercatat, maka sidang Majelis Kehormatan Pusat tetap akan memberi putusannya dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas.
(7) Majelis Kehormatan Pusat wajib mengirim putusannya kepada PPAT yang mengajukan banding dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Majelis Kehormatan Daerah, Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Pusat IPPAT dan Pembina PPAT, semuanya itu dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah sidang Majelis Kehormatan Pusat menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut.
(8) Dalam hal belum terbentuknya Majelis Kehormatan Daerah, maka pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam tingkat pertama yang telah dilakukan oleh Majelis Kehormatan Pusat tersebut merupakan keputusan tingkat pertama sekaligus terakhir.
Bagian Ketiga
Eksekusi atas Sanksi-sanksi dalam Pelanggaran Kode Etik
Pasal 11
(1) Putusan yang ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Daerah maupun yang ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Pengurus daerah.
(2) a. Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota perkumpulan IPPAT yang ada pada Pengurus Daerah atas setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Daerah dan/atau oleh Majelis Kehormatan Pusat mengenai kasus Kode Etik berikut nama anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan.
b. Selanjutnya nama anggota perkumpulan IPPAT tersebut, kasusnya dan keputusan dari Majelis Kehormatan Daerah/Majelis Kehormatan Pusat diumumkan dalam Media Perkumpulan berikutnya yang terbit setelah pencatatan dalam buku anggota perkumpulan IPPAT tersebut.
(3) Putusan tersebut selanjutkan dilaporkan kepada Pembina PPAT yang akan dimasukan ke dalam basis data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
BAB VI
PEMECATAN SEMENTARA (SCHORSING) ANGGOTA PERKUMPULAN IPPAT
Pasal 12
Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi-sanksi secara bertingkat yang berupa peringatan dan teguran, maka pelanggaran-pelanggaran yang oleh Pengurus Pusat secara mutlak harus dikenakan sanksi pemecatan sementara sebagai anggota perkumpulan IPPAT disertai usul Pengurus Pusat kepada Kongres untuk memecat anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan sebagai anggota perkumpulan IPPAT ialah pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam:
a. Pasal 4 huruf k, l, n, o, dan p tersebut di atas;
b. Peraturan Jabatan PPAT yang berakibat terhadap anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB VII
KEWAJIBAN PENGURUS PUSAT
Pasal 13
Pengenaan sanksi schorsing (pemecatan sementara), demikian juga sanksi onzetting (pemecatan) maupun pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota perkumpulan IPPAT terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Menteri/instansi yang berwenang dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
(1) Semua PPAT diwajibkan menyesuaikan praktiknya maupun perilaku dalam menjalankan jabatannya dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan dan/atau Kode Etik ini.
(2) Hanya Pengurus Pusat dan/atau Majelis Kehormatan Pusat atau alat perlengkapan yang lain dari Perkumpulan IPPAT atau anggota perkumpulan IPPAT yang ditunjuk olehnya dengan cara yang dipandang baik oleh organisasi tersebut berhak dan berwenang untuk memberikan sosialisasi seperlunya kepada masyarakat tentang seluk-beluk dan hal-ikhwal Kode Etik PPAT dan/atau Majelis Kehormatan IPPAT dengan maksud dan tujuan agar dengan penerangan itu masyarakat memperoleh perlindungan hukum yang diakibatkan oleh anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.