NASIB ADA DI TANGAN KITA SENDIRI
Seni Pikir dan Tulis bersama Hery Shietra
Sang Buddha bersabda, “Pendangan keliru adalah tidak percaya pada adanya hukum karma maupun terhadap kelahiran kembali.” Karenanya, sebagian besar Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha, adalah membahas seputar hukum karma alias hukum mengenai konsekuensi sebab-akibat (hukum sebab-akibat, bukan “dogma”) yang dipetakan serta konsekuensi akibatnya (buah karma) ketika seseorang terlahirkan kembali oleh karena adanya sebab yang mendahului (berupa perbuatan) yang notabene mereka tanam sendiri.
Karma, atau “kamma”, bermakna “perbuatan”. Sehingga, “hukum
karma” bermakna “hukum tentang perbuatan dan konsekuensi dibaliknya”. Perihal
hukum karma maupun kelahiran kembali, bukanlah hal yang sepele ataupun
remeh-temeh, karenanya sebagian besar pembabaran Dhamma oleh Sang Buddha
selama 45 tahun masa hidup Beliau memutar roda Dhamma bagi umat manusia, ialah
seputar hukum karma dan kelahiran kembali, bekal pengetahuan berupa “peta
kehidupan” yang jauh lebih bermanfaat bagi umat manusia ketimbang segala macam
bentuk “dogma” yang menuntut kepatuhan.
Bila memang agama-agama samawi
meyakini adanya kelahiran kembali, maka pertanyaannya ialah, mengapa hanya
terdapat satu atau dua ayat dalam Kitab agama mereka, sementara ayat-ayat
lainnya membahas “dogma-dogma” semata, itu pun berupa ayat-ayat yang bersifat
anekdot bergaya sastra seperti “bagaikan burung phoenix yang akan terlahirkan
kembali setelah terbakar menjadi abu”. Bila ayat-ayat demikian memang merujuk
pada kelahiran kembali, maka mengapa hanya dibahas secara minim, serta tidak
dibarengi oleh pembabaran secara panjang-lebar mengenai hukum karma, alias
hukum sebab dan akibat? Faktanya, seluruh agama samawi mengajarkan sebaliknya,
segala umat manusia terlahirkan tanpa sebab yang mendahuluinya, segalanya
adalah pemberian, dan semuanya adalah “take
it for granted”, alias manusia sebagai objek bukan sebagai subjek penentu
atas hidup mereka sendiri.
Adalah tidak lazim dan tidak
logis, bilamana agama-agama samawi disebut mengakui dan mengenal kelahiran
kembali dalam ayat-ayat Kitab agama mereka, hanya berbekal satu atau dua ayat,
sementara ribuan ayat-ayat lainnya sama sekali tidak menyinggung perihal hukum
karma ataupun kelahiran kembali—seolah-olah kedua hal terakhir yang penulis
sebut tersebut tidak lebih penting daripada dogma-dogma penuh “omong kosong”
maupun arogansi pamer kekuasaan dan pemaksaan disertai dengan ancaman oleh
sosok yang bernama “waiting for Godot”.
Dogma-dogma perihal pemberian
Tuhan, cobaan Tuhan, penghapusan / pengampunan / penebusan dosa, kesemua itu
adalah bertolak-belakang dari konsepsi mengenai hukum karma maupun kelahiran
kembali—kedua konsep tersebut bahkan bersifat saling menegasikan satu sama
lainnya, sehingga tidak mungkin keduanya eksis secara bersamaan terlebih secara
sejalan. Pemahaman mengenai hukum karma dipadukan dengan pengetahuan atau
keyakinan mengenai kelahiran kembali, melahirkan apa yang disebut sebagai
“menjadi arsitek atas hidup kita sendiri”. Bekal modal berupa pengetahuan
atau keyakinan demikian, tidak bersifat meyakini yang pasif, namun secara aktif
mengaplikasikannya agar benar-benar berfaedah. Kita tahu resep “obat” untuk
mengatasi “derita”, namun tanpa menerapkan pengetahuan tersebut, menjadi sia-sia
adanya, tahu sekadar tahu, sekadar memuaskan intelektualitas diri.
Seperti yang disabdakan oleh Sang
Buddha, menyembah dan meyakini bulan sekalipun, tidak membuat bulan itu
mendekat pada kita ataupun sebaliknya. Bukanlah keyakinan yang mendekatkan kita
pada objek yang kita yakini, namun keyakinan kita terhadap pengetahuan yang
dapat membawa kita mendekat untuk direalisasi dan diaplikasikan. Dogma semacam
“pemberian dan permintaan”, Tuhan diposisikan / diwajibkan untuk aktif, dalam
artian “tidak boleh tidur”—itulah ketika, Tuhan tersandera dan terpenjara oleh
umat manusia, menjadi budak atas ciptaan-Nya sendiri.
Sebaliknya, ajaran mengenai
hukum karma sangatlah “scientific”,
mengingat sains modern pun memakai metoda serupa, dimana yang berlaku ialah
hukum (semacam hukum fisika, hukum kimia, dsb) sehingga Tuhan tidak perlu ikut
campur-tangan dengan menjadi “pengatur skor pertandingan sepak bola”, tidak
perlu untuk setiap harinya mengatur berapa helai daun yang akan meranggas jatuh
serta berguguran dari tidak terhitung banyaknya pohon yang tumbuh di atas muka
Bumi ini, tidak juga perlu untuk setiap harinya (secara kurang kerjaan) mengatur
berapa banyak telur ditelurkan oleh unggas-unggas yang juga tidak terhitung jumlahnya
di planet ini, dimana bahkan Tuhan dipersilahkan bebas untuk pensiun
(agnotisme).
Dimana bahkan juga Tuhan tidak
perlu patuh terhadap kehendak Adam Smith mengenai “tangan tidak terlihat” yang
terlibat dalam mekanisme pembentukan harga pasar. Karenanya, kepastian ditawarkan
oleh ajaran mengenai hukum karma, yang dalam bahasa saintifiknya ialah lebih
terukur dan lebih dapat diprediksi hasilnya, alih-alih berspekulasi
“untung-untungan”, dimana umat manusia dapat menentukan nasib atas hidupnya
sendiri (the right of self determination).
Dalam Buddhisme, tidak ada umat
manusia yang terlahir diistimewakan ataupun yang sebaliknya, terlahirkan untuk
dianaktirikan. Semua hanyalah serangkaian sebab dan akibat. Salah satu contoh
peta mengenai hukum sebab-akibat yang telah pernah dibabarkan oleh Sang
Buddha—guru bagi para dewa dan para manusia—ialah khotbah dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dimana seorang ratu bernama
Ratu Mallikā bertanya seputar hukum sebab-akibat mengapa seseorang bisa
terlahir buruk rupa ataukah rupawan, maupun yang makmur dan yang miskin, dengan
kutipan sebagai berikut:
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Ratu Mallikā mendatangi
Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada
Beliau:
“Bhante, mengapakah beberapa
perempuan di sini berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin,
papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah beberapa di antaranya berpenampilan
buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi kaya, dengan banyak kekayaan
dan harta; dan berpengaruh? Dan mengapakah beberapa perempuan di sini berpenampilan
baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi miskin, papa,
dan melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah beberapa di antaranya berpenampilan
baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak
kekayaan dan harta; dan berpengaruh?”
“Di sini, Mallikā, seorang
perempuan rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik
sedikit ia akan kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala;
ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Ia tidak memberikan
benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan
kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat
tinggal, dan penerangan. Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah
akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang
diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika
ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan
buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan melarat; dan tidak
berpengaruh.
“Perempuan lainnya rentan terhadap kemarahan
dan mudah gusar … Tetapi ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan
brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal,
atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan
yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu,
jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi ia akan
kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.
“Perempuan lainnya lagi tidak
rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak ia
tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan,
dan tidak keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan
kekesalan. Tetapi ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan
brahmana … Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan,
kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang
lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini,
maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan baik, menarik, dan
anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi ia akan miskin, papa, dan
melarat; dan tidak berpengaruh.
“Dan perempuan lainnya lagi
tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar … Dan ia memberikan benda-benda
kepada para petapa dan brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak
iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan,
pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal
dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia
terlahir kembali ia akan berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki
kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.
“Ini, Mallikā, adalah mengapa
beberapa perempuan di sini berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan
dilihat; miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa
beberapa di antaranya berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan
dilihat; tetapi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh. Ini
adalah mengapa beberapa perempuan di sini berpenampilan baik, menarik, dan anggun,
memiliki kecantikan luar biasa; tetapi miskin, papa, dan melarat; dan tidak
berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya berpenampilan baik,
menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak
kekayaan dan harta; dan berpengaruh.”
Ketika hal ini dikatakan, Ratu
Mallikā berkata kepada Sang Bhagavā:
“Aku menduga, Bhante, bahwa
dalam suatu kehidupan sebelumnya aku rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar;
bahkan jika dikritik sedikit aku menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi
jengkel, bersikap bermusuhan, dan keras kepala, dan memperlihatkan kemarahan,
kebencian, dan kekesalan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi berpenampilan
buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat.
“Tetapi aku menduga bahwa dalam
suatu kehidupan sebelumnya aku telah memberikan benda-benda kepada para petapa
dan brahmana … tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Oleh karena itu
aku sekarang menjadi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta.
“Dan aku menduga bahwa dalam
suatu kehidupan sebelumnya aku tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati,
bukan seorang yang iri, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan,
penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Oleh
karena itu aku sekarang memiliki pengaruh. Dalam kerajaan ini terdapat gadis-gadis
dari keluarga-keluarga khattiya, brahmana, dan perumah-tangga yang tunduk di
bawah perintahku.
“Mulai hari ini, Bhante, aku
tidak akan rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika
dikritik banyak aku tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak akan menjadi
jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; aku tidak akan memperlihatkan
kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Dan aku akan memberikan benda-benda kepada
para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga,
wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Dan aku
tidak akan menjadi iri, tidak menjadi seorang yang iri-hati, kesal, dan marah
akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan
kepada orang lain.
“Bagus sekali, Bhante! Bagus
sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara,
seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi,
menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam
kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk.
Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā
menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini
hingga seumur hidup.”
Karenanya, Sang Buddha
tidak mengajarkan kepada siswa-siswi-Nya untuk menjadi seorang pemimpi,
spekulan, ataupun pengemis, namun menjadi seorang “petani” yang secara aktif
menanam sebelum kemudian memetik buahnya ketika tiba saat buahnya ranum untuk
dipanen, baik buah yang pahit-getir maupun yang manis-suka. Dengan cara
demikianlah, para umat pengikut ajaran Sang Buddha menjadi berdaya,
mandiri, serta “self determination” terhadap hidup dan nasib mereka sendiri.
Tiada yang lebih membahagikan serta
melegakan hati daripada mengetahui bahwa nasib terletak di tangan kita sendiri masing-masing,
sehingga kita sendiri jugalah sebagai penanggung-jawab serta sebagai
penentunya, itulah berkah sebagai seorang Buddhistik. Karenanya pula, setiap
individu bukanlah korban dari keadaan, namun menjadi “arsitek” atas hidup mereka
masing-masing. Tiada faedahnya praktik ritual sembah-sujud sekalipun kening
kita menyentuh bumi seratus kali dalam sehari, menggetarkan “langit” hanyalah
dapat dilakukan dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia dan layak
mendapatkan simpati “langit”.
Entah saat kini kita tengah memetik
kebahagiaan ataupun penderitaan, tiada yang dapat kita persalahkan ataupun
syukuri selain atas perbuatan diri kita sendiri. Demikianlah hendaknya kerap
kali kita renungkan dan praktikkan dalam keseharian, sehingga hidup menjadi
penuh semangat dengan menyadari bahwa kesemua itu ditentukan oleh tangan kita
sendiri, bukan oleh sosok adikodrati diluar sana. Setidaknya, kita dapat mulai
memperbaiki nasib hidup kita untuk kedepannya, dengan dimulai dari langkah awal
menanam perbuatan bajik pada kehidupan saat kini juga.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.