KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

RAHASIA : Cara Menciptakan LUCK FACTOR, Jangan Pernah Sia-Siakan Kesempatan Menanam Benih Perbuatan Bajik

Si Dungu Meremehkan Peran Penting Perbuatan Baik, dan Memandang RITUAL SEBAGAI SUBSTITUSI PERBUATAN BAIK

Si Dungu Memandang Permata sebagai Sampah : Ciri-Ciri Orang Dungu, Nasibnya ialah Nasib Orang Dungu—Ciri-Ciri Menentukan Nasib

Baru-baru ini penulis menemui kenyataan yang membuka mata penulis perihal “Agama RITUAL Vs. Agama MERITOKRASI”, telah ternyata bisa tidak seiring sejalan dan tidak selalu relevan satu sama lainnya. Saat berkunjung ke suatu tempat yang masih asing bagi penulis, penulis mencoba mencari informasi dari warga sekitar, lalu mendapati adanya mobil yang terparkir di depan Masjid, dimana dari dalamnya keluar dua orang pria muda berpakaian seragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari dalam mobil. Penulis mendekati mereka untuk bertanya jalan (butuh pertolongan yang sangat sederhana dan tidak akan menyita banyak waktu), “Permisi, numpang tanya,” penulis berkata dengan sopan. Namun, alangkah terkejutnya, respon kedua pria berbaju PNS (civil servant) tersebut membuat tanggapan sebagai berikut : “Mohon maaf, saya mau solat.”, dan seketika masuk ke dalam Masjid seolah diri mereka perlu melakukan sesuatu yang lebih penting daripada berbuat baik.

Kesempatan untuk menanam benih-benih Karma Baik, selalu kita jumpai dikeseharian, namun telah ternyata banyak diantara kita yang memandang remeh pentingnya perbuatan baik, memandang sebelah mata dan menyia-nyiakannya. Bila selama ini Anda banyak membaca buku-buku bertema motivasi ataupun seminar-seminar terkait, namun merasa jenuh atas ulasan buku-buku tersebut, tanpa adanya kemajuan yang berarti dalam hidup, karir, maupun bisnis Anda, maka itu menjadi pertanda, bahwa ada yang luput dari ulasan buku-buku maupun para pembicara dalam seminar motivasi tersebut. Dalam Buddhisme, sebagai perbandingan, tidak ada yang lebih penting daripada kesempatan menciptakan “the LUCK FACTOR”—faktor keberuntungan yang tidak “jatuh begitu saja dari langit”, namun harus kita tanam barulah kemudian dapat kita tuai buah manisnya.

Itulah sebabnya, kami, para Buddhist, tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menanam benih-benih Karma Baik, sebagai kesempatan yang baik untuk memperbaiki nasib hidup. Banyak yang bertanya kepada penulis, seperti apakah ibadah kaum Buddhist? Berbuat kebajikan dan menghindari perbuatan buruk, adalah cara beribadah kaum Buddhist, sangat bertolak-belakang dengan cara beragama maupun beribadah kaum agama-agama samawi yang semata bertopang pada ritual sekalipun Sang Buddha telah lama berpesan bahwa “ritual tidak akan dapat mensucikan diri si pelaku ritual, seseorang disucikan maupun menjadi tercela karena perbuatannya sendiri”. Sebaliknya, para umat agama-agama samawi, terlampau pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri, dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan buruk mereka sendiri (para pecandu ideologi korup bernama “penghapusan dosa”, Agama DOSA dimana para umatnya ialah para pendosawan).

Semua orang dapat dengan mudahnya menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, apa pula hebatnya? Namun, tidak semua orang sanggup berkomitmen menjadi orang yang rajin menanam benih-benih Karma Baik terlebih menjadi seorang ksatriawan yang siap sedia berani bertanggung-jawab atas perbuatan buruknya sendiri, terlebih-lebih menjadi seorang suciwan yang penuh pengendalian diri (self control). Merit system, mensyaratkan prinsip egalitarian sebagai patokan utamanya. Bagaimana mungkin, alam surgawi dijejali oleh manusia-manusia “sampah” demikian? Tidak semua orang, sanggup menjalankan ibadah Buddhisme berikut:

Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,

senantiasa mengembangkan kebajikan

dan membersihkan batin;

inilah Ajaran Para Buddha.

Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi.

"Nibbana adalah tertinggi", begitulah sabda Para Buddha.

Dia yang masih menyakiti orang lain

sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

Tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,

memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di tempat yang sunyi

serta giat mengembangkan batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.”

[Sumber: Dhammapada 183-184-185. Label: Syair Gatha]

Tetap saja, para “pendosawan” pemeluk “Agama DOSA”—disebut demikian, semata-mata karena menjadikan ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins” sebagai “HALAL LIFESTYLE”—berdelusi merasa sebagai kaum yang paling superior, dan kerap menggunakan cara-cara kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah sebagai pola yang paling khas dari kaum mereka—pendek “sumbu”-nya—jauh dari sifat-sifat seorang petapa yang mampu mengendalikan serta mawas diri dan penuh kesabaran. Seakan, misi misionaris yang mereka usung memang ialah “kekerasan fisik”, sementara kedamaian sekadar dijadikan jargon. Bagaimana mungkin, ritual dipandang lebih penting daripada kesempatan berbuat baik? Di mata penulis, praktik ibadah demikian sungguh amat primitif dan terbelakang bila tidak dapat disebut sebagai “belum beradab” ataupun bila tidak dapat disebut sebagai menyesatkan.

Sepenting apakah, isi dogma-dogma agama samawi tersebut? Telah ternyata, isi doa serta ceramahnya setiap hari ialah memohon “penghapusan dosa”—“penghapusan dosa” dipromosikan tanpa rasa malu ataupun ditabukan alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa, sekalipun “AURAT TERBESAR IALAH BERBUAT DOSA”—ketika hari raya keagamaan terjadi pesta-pora “penghapusan dosa selama setahun penuh dengan cukup berpuasa selama satu bulan” sekalipun konsumsi justru meningkat drastis dan ajang pamer meminta dihormati (“kabar gembira” bagi pendosa menjadi “kabar buruk” bagi kalangan korban), dimana bahkan ketika sang pendosawan meninggal dunia maka sanak-keluarganya berdoa memohon “penghapusan dosa” bagi sang almarhum pendosawan, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pendosa ketimbang bersimpati kepada kalangan korban. Tidak pernah satu kali pun, para pendosawan tersebut mendoakan terlebih mengharapkan keadilan bagi kalangan korban-korban para pendosawan tersebut. Dibanggakan, alih-alih merasa malu, bahkan dipertontonkan dan dikumandangkan lewat pengeras suara, “mempertontonkan AURAT TERBESAR”. Oleh sebab itulah, penulis sampai pada suatu kesimpulan, bahwa SQ berkorelasi erat dengan tingkat IQ suatu bangsa : IQ tiarap melahirkan SQ melarat.

Penulis menjadi ingat kejadian beberapa tahun lampau, ketika gelombang suara speaker eksternal suatu Masjid menyeruak masuk ke dalam toilet kediaman penulis, sang penceramah mengumandangkan ceramah berikut secara berapi-api penuh semangat, dan masih sangat jelas pada memori penulis, dengan kutipan sebagai berikut yang membuat penulis merasa semakin prihatin dan apatis terhadap “standar moralitas” bangsa Indonesia yang memang sudah dikenal “bobrok”:

“Ada tokoh yang mengatakan, orang baik tetap bisa masuk surga, SAYA TIDAK SETUJU. Jika orang baik bisa masuk surga, untuk apa kita SOLAT LIMA KALI SEHARI?”

Dari berbagai peristiwa itulah, penulis menarik suatu hipotesis dan kian bermuara pada suatu konklusi : bagi umat agama samawi, ritual lebih penting daripada perbuatan baik, dimana ritual menjadi substitusi bagi para pemalas juga para pengecut tersebut yang menjadi umat pemeluknya. Maka, tidak heran yang mereka dahulukan dan prioritaskan ialah ritual, bertolak-belakang dengan ibadah kaum Buddhistik. Mereka, para pendosawan tersebut, merasa paling superior dan memandang rendah kaum lain. Sekalipun, sejatinya golongan mereka hanya masuk dalam kategori “Agama DOSA”, bukan “Agama KSATRIA” bagi kalangan ksatriawan yang berani bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka dan yang siap berkorban (altruistik) dari segi biaya, waktu, maupun tenaga, atau bahkan hidup mereka; terlebih “Agama SUCI” yang higienis dari dosa. HANYA SEORANG PENDOSA, YANG BUTUH “PENGHAPUSAN DOSA”. Mereka, para pendosawan tersebut, sejatinya merupakan “kasta terendah” alias yang “paling rendah” dan “paling hina” penuh cela.

Terlebih ironis umat Kristiani, kemana pun penulis berada, kerap penulis menyimak perbincangan para umat Kristiani, dengan kutipan khas sebagai berikut : “Umat Buddhist orangnya baik-baik, tapi mereka tidak percaya pada Kristus, maka mereka masuk neraka.” Apakah penulis kemudian mendebat mereka? Tidak sama sekali, orang jahat menyerupai orang buta, yang tidak dapat membedakan mana yang berharga dan mana yang tidak berharga, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat, mana yang tercela dan mana yang tidak tercela. Mereka, para “butawan”, ketika kemudian sesumbar jargon “berbuat baik”, ibarat “orang buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya”—demikian Sang Buddha pernah bersabda, seolah-olah sedang menyindir agama-agama yang lahir paska Sang Buddha mangkat. Bagaimana mungkin, pecandu “penghapusan dosa” berceramah perihal hidup suci dan mulia? Alam Neraka pun disebut sebagai “Surgawi”, buta.

Bila para pembaca merasa “sindiran” Sang Buddha belum cukup “sarkastik”, maka simaklah khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang menyebutkan bahwa mereka (para pendosawan tersebut) adalah “serupa dengan tanah pemakaman”, dengan kutipan sebagai berikut:

V. Perbuatan Buruk

241 (1) Perbuatan Buruk

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya. (3) Ia memperoleh reputasi buruk. (4) Ia meninggal dunia dalam kebingungan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak mencela diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya. (3) Ia memperoleh reputasi baik. (4) Ia meninggal dunia tanpa kebingungan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik itu.”

~0~

242 (2) Perbuatan Buruk Melalui Jasmani

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani itu.”

~0~

243 (3) Perbuatan Buruk Melalui Ucapan

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan itu.”

~0~

244 (4) Perbuatan Buruk Melalui Pikiran

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? [268] … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu.”

~0~

245 (5) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk

Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya. (3) Ia memperoleh reputasi buruk. (4) Ia menjauh dari Dhamma sejati. (5) Ia kokoh dalam Dhamma palsu. Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk itu.

Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya. (3) Ia memperoleh reputasi baik. (4) Ia menjauh dari Dhamma palsu. (5) Ia kokoh dalam Dhamma sejati. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik itu.”

~0~

246 (6) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Jasmani

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani itu.”

~0~

247 (7) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Ucapan

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan itu.”

~0~

248 (8) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Pikiran

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu.”

~0~

249 (9) Tanah Pemakaman

“Para bhikkhu, ada lima bahaya di tanah pemakaman. Apakah lima ini? Tidak murni, berbau busuk, berbahaya, menjadi alam makhluk-makhluk halus yang jahat, [sebuah tempat di mana] banyak orang menangis. Ini adalah lima bahaya di tanah pemakaman. Demikian pula, ada lima bahaya pada seseorang yang serupa dengan tanah pemakaman ini. Apakah lima ini? [269]

(1) “Di sini, seseorang melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia tidak murni, seperti halnya tanah pemakaman yang tidak murni, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

(2) “Karena ia melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka ia memperoleh reputasi buruk. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia berbau busuk. Seperti halnya tanah pemakaman yang berbau busuk, Aku katakan, orang ini serupa dengan itu.

(3) “Karena ia melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka teman-temannya para bhikkhu menghindarinya dari jauh. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia [dianggap sebagai] berbahaya. Seperti halnya tanah pemakaman [dianggap sebagai] berbahaya, Aku katakan, orang ini serupa dengan itu.

(4) “Dengan melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, ia berdiam bersama dengan orang-orang yang serupa dengan dirinya. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia menjadi alam bagi [orang-orang] jahat. Seperti halnya tanah pemakaman menjadi alam bagi makhluk-makhluk halus yang jahat, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

(5) “Setelah melihatnya melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, teman-temannya para bhikkhu yang berperilaku baik mengeluhkannya, dengan berkata: ‘Oh, betapa menderitanya kami menetap bersama orang-orang demikian!’ Ini, Aku katakan, adalah bagaimana mereka menangis karenanya. Seperti halnya tanah pemakaman adalah [sebuah tempat di mana] banyak orang menangis, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya itu yang serupa dengan tanah pemakaman.” [270]