Bangsa Agamais, Semakin Agamais maka Makin Tidak Takut Berbuat Dosa
BERBUAT DOSA, SIAPA TAKUT, ADA “PENGHAPUSAN DOSA”!
Question: Mengapa dari sejak dahulu kala, orang kita di Indonesia, justru lebih galak yang ditagih daripada yang menagih hutang, bahkan yang berhutang hidupnya justru tidak jarang lebih enak daripada yang memberi hutang?
Brief Answer: Akibat memakan dan termakan ideologi korup
bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, jadilah bangsa
“agamais” tersebut menjadi tidak lagi memiliki rasa takut maupun malu, termasuk
merasa malu menghadapi korban-korban mereka. Mereka berbicara besar (bermulut
besar) mengenai Tuhan dan ayat-ayat kitab agama, namun perihal tanggung-jawab
atas perbuatan buruk mereka yang telah merugikan, melukai, ataupun menyakiti
orang lain, sangat miskin. Hanya seorang pendosa, yang butuh “penghapusan dosa”
(abolition of sins) atau istilah
sejenis lainnya. Mereka terlampau pemalas untuk menanam benih-benih perbuatan baik,
dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan
buruk mereka sendiri.
Perhatikanlah cara mereka, bangsa “agamais” ini
beribadah. Setiap harinya, yang mereka ceramahkan serta doakan, ialah seputar permohonan
“penghapusan dosa”. Setiap hari raya keagamaan, mereka pesta-pora “penghapusan
dosa” (“kabar gembira” bagi kalangan pendosawan, merupakan “kabar buruk” bagi
kalangan pendosa. Konsumsi justru meningkat selama satu bulan berpuasa, dosa-dosa
selama setahun penuh terhapuskan. Bahkan, saat sang pendosawan meninggal dunia,
sanak keluarga sang pendosawan berdoa memohon “penghapusan dosa” bagi sang
almarhum pendosawan. Kesemua itu, bahkan dikampanyekan dan dikumandangkan lewat
speaker pengeras suara, alias tanpa rasa malu ataupun merasa tabu. Seluruh tubuh
mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, ditutupi busana, sekalipun “aurat
tertinggi ialah berbuat dosa itu sendiri”.
Makanan yang masuk ke dalam mulut para “agamais”
tersebut, halal. Namun perihal ucapan yang keluar dari mulut mereka, penuh
kebusukan, setajam pisau, dan mengandung racun perusak. Ini dan itu disebut
dosa / maksiat dan haram, namun “penghapusan dosa” justru mereka junjung
sebagai “halal lifestyle”, seolah-olah
Tuhan lebih PRO kepada para pendosawan ketimbang kalangan korban yang sama
sekali tidak pernah mereka doakan ataupun perhatikan. Terhadap ideologi korup
bernama “penghapusan dosa”, mereka kampanyekan dengan penuh kebanggaan, bahkan
lewat pengeras suara, alih-alih mempromosikan gaya hidup higienis dari dosa. “Suci”,
sekadar menjadi jargon untuk menutupi kebusukan, sekalipun antara “suci” dan “dosa”
ibarat api dan air yang tidak saling bersenyawa. Semua orang sanggup dan mampu
menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup
menjalani cara hidup seorang ksatriawan yang berani dan siap sedia bertanggung
jawab terhadap korban-korban yang telah pernah mereka rugikan ataupun sakiti.
Pendosawan yang mempromosikan gaya hidup “penghapusan
dosa”, lalu hendak berceramah perihal hidup mulia, suci, dan luhur? Itu ibarat
orang buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya, dimana neraka pun mereka
pandang sebagai alam surgawi. Jangankan urusan hutang-piutang, selama ini
penulis mengalami sendiri lewat pengalaman pribadi secara langsung betapa
ketika kacamata yang penulis kenakan dirusak oleh para “agamais” tersebut,
tidak ada satupun yang berani bertanggung-jawab mengganti kerugian yang penulis
derita. Dapat Anda bayangkan, bila penulis tidak mengenakan kacamata, bisa jadi
bola mata penulis yang akan rusak, dan tanggung-jawab apakah yang akan mereka
berikan selain “gimmick” akan bertanggung-jawab
namun nihil realisasi atau bahkan gaya khas klise bangsa “agamais” kita : lebih
galak pelaku daripada korban.
PEMBAHASAN:
Korban, bahkan tidak jarang
harus mengemis-ngemis tanggung-jawab dari sang pelaku, sekalipun sejatinya
tanggung-jawab adalah kepentingan sang pelaku. Pernah terjadi, pada suatu area
pemukiman, sang warga ditabrak oleh seorang ibu penjual sayur yang melajukan
motornya secara kencang di daerah jalan pemukiman, mengakibatkan sang warga
pejalan kaki tertabrak dan mengalami patah kaki. Sang korban sekadar meminta
tanggung-jawab berupa biaya berobat, namun sang suami dari sang pelaku, justru memaki-maki
dan memarahi (lebih galak) daripada sang korban. Sekalipun, bila sang korban
diganti penuh biaya berobatnya, tetap saja sang korban merugi waktu, tenaga,
ongkos, pikiran, dan tidak bisa pulih utuh sepenuhnya seperti kondisi semula. Yang
selama ini disebut-sebut sebagai “merugi bila tidak menjadi pemeluk ‘Agama
DOSA’”—dijuluki demikian, semata karena mengkampanyekan gaya hidup “penghapusan
dosa” alih-alih higienis dari dosa—ialah bahwa adalah merugi tidak memproduksi
segudang dosa, berkubang dalam dosa, menimbun diri dengan dosa, agar tidak mubazir
iming-iming “too good to be true”
bernama ideologi korup “penghapusan dosa”. Sekali lagi, hanya seorang
pendosa yang butuh penghapusan dosa. Ketika dosa-dosanya telah menggunung,
maka mereka akan membuta membela “Agama DOSA”, semata-mata karena dosa-dosa mereka
telah “too big to fall”.
Para “agamais” tersebut,
berpikir (secara delusional dan irasional) bahwa korban yang tidak mampu atau
gagal menagih tanggung-jawab dari sang pelaku (pendosawan), artinya adalah “keberuntungan”.
Itu seperti hendak berkata, penjahat yang berhasil melakukan kejahatannya,
adalah penjahat yang beruntung. Pandangan agama-agama samawi sungguh
bertolak-belakang dengan Buddhisme, yang memandang bahwa “penjahat yang gagal
berbuat jahat adalah penjahat yang paling beruntung”. Sebaliknya, “penjahat
yang paling tidak beruntung ialah penjahat yang selalu berhasil berbuat
kejahatan”. Berhutang tanpa membayar, adalah “dosa”. Namun di mata kalangan
pendosawan pemeluk ideologi “penghapusan dosa” (“Agama DOSA”), membayar hutang
sama artinya “merugi”—rugi, tidak bisa menikmati dan mencandu iming-iming korup
“penghapusan dosa”. Jiwa mereka begitu kekanak-kanakan, namun berdelusi sebagai
bangsa yang paling superior untuk urusan SQ (kecerdasan spiritual).
Hal tersebut tidak berbeda dengan
ideologi yang sama korupnya, yakni “penebusan dosa”—alias minta maaf terlebih dahulu
sebelum kemudian berbuat doa—dimana berhutang tanpa membayar sama artinya “dosa”,
akan tetapi kemudian para umat pemeluk ideologi “penebusan dosa” tersebut
meminta sang nabi / Tuhan yang mereka kultuskan dan sembah untuk membayar hutang-hutang
sang pendosawan, dimana sang pendosawan semata melakukan semudah “lip service” berupa nyanyian puja-puji,
koor paduan suara, serta hanya duduk manis beberapa jam satu kali dalam
seminggu. Alhasil, para pendosawan berbondong-bondong menjadi pemeluk dan
pencandu ideologi korup “penebusan dosa”, cara menghibur diri yang sungguh
tidak sehat alias “toxic”. Bila dahulu
kala, sebelum agama-agama samawi diperkenalkan di dunia ini oleh para
misionaris yang mengkampanyekan gaya hidup korup demikian, tiada pendosa yang
yakin akan masuk ke alam surgawi setelah kematian menjemput mereka. Kini, para
pendosawan yakin seyakin-yakinnya bahkan merasa terjamin masuk surga, semudah
menjadi seorang “penjilat”—seolah-olah Tuhan adalah raja yang lalim, akan
senang ketika dipuja-puji dan disembah-sujud.
Pendosawan pemeluk “Agama
DOSA”, merupakan kasta terendah, namun kerap berdelusi sebagai kaum yang
paling superior, bahkan hendak menjadi “polisi moral” sekalipun “standar
moralitas” mereka ialah standar “pendosawan” yang “buta” karena tidak mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang
tercela, mana yang bersih dan mana yang kotor. Kasta menengah ialah kasta
ksatriawan pemeluk “Agama KSATRIA”, yang siap-sedia dan berani
bertanggung-jawab terhadap kalangan korban yang telah pernah mereka sakiti,
lukai, maupun rugikan. Yang tertinggi, ialah “Agama SUCI”, yang mana
penuh latihan ketat bernama disiplin diri “self-control”,
mawas diri, serta tidak kompromistik terhadap perbuatan berdosa yang dapat
dicela oleh para bijaksanawan. Sebaliknya, kalangan pendosawan, begitu
kompromistik terhadap dosa dan maksiat, dan disaat bersamaan begitu intoleran
terhadap kaum yang berbeda keyakinan.
Hukum “tabur dan tuai”
(meritokrasi egalitarian), hanya dikenal dalam Buddhisme dan hanya konsisten
kita jumpai dalam Buddhisme, salah satunya dapat kita jumpai dalam khotbah Sang
Buddha yang sangat memotivasi dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan inspirasional sebagai berikut:
IV. Sumanā
31 (1) Sumanā [Kitab Komentar mengidentifikasi
Sumanā sebagai putri Raja Pasenadi dari Kosala.]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā,
disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā,
bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata
kepada Sang Bhagavā:
“Di sini, Bhante, mungkin ada
dua orang siswa Sang Bhagavā yang setara dalam hal keyakinan, perilaku
bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya
tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir
kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi
deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya
dalam lima hal: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan
surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah
menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah
masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan
mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan manusia, kecantikan
manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia.
Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang
lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan
tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli
yang lainnya dalam lima hal. (1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara
khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara
khusus dipersembahkan kepadanya. (2) Ia biasanya memakan makanan yang telah
secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak
secara khusus dipersembahkan kepadanya. (3) Ia biasanya menempati tempat tinggal
yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat
tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (4) Ia biasanya
menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara
khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan
perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.
(5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya
memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan,
dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Mereka biasanya
memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan [34] apa yang
tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan
mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika keduanya
mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara
mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?”
“Dalam hal ini, Sumanā, Aku
nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang
lainnya].”
“Menakjubkan dan
mengagumkan, Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk
memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena
perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi]
menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”
“Demikianlah, Sumanā!,
demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus
untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan
itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia,
atau meninggalkan keduniawian.”
Itu adalah apa yang dikatakan
oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna Menempuh Sang
Jalan, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:
“Seperti halnya rembulan
tanpa noda bergerak di sepanjang lintasan di angkasa cahayanya lebih cemerlang
daripada semua bintang di dunia, demikian pula seseorang yang sempurna dalam
perilaku bermoral, seorang yang memiliki keyakinan, lebih cemerlang karena
kedermawanan daripada semua orang kikir di dunia.
“Seperti halnya awan hujan
berpuncak-seratus, bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar, menurunkan hujan
ke bumi membanjiri dataran-dataran dan tanah rendah, demikian pula siswa
Yang Tercerahkan Sempurna, yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan, melampaui
orang kikir dalam lima aspek: umur kehidupan dan keagungan, kecantikan dan
kebahagiaan. Memiliki kekayaan, setelah kematian ia bergembira di alam surga.”
[35]