Uji Materiil yang menjadi Bumerang oleh Lembaga Politis Bernama Mahkamah Konstitusi RI
Question: Apakah resiko terburuk, mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi? Bukankah potensi resiko terburuknya hanyalah berupa permohonan uji materiil ditolak kesembilan hakim konstitusi itu?
Brief Answer: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bukanlah Lembaga
Yudikatif yang murni memeriksa dan memutus perkara secara yuridis, namun
sedikit atau banyaknya lebih cenderung memutus secara politis—dalam artian,
menyerupai permainan bandul, ada kalanya digeser ke arah yuridis namun ada
kalanya bila terdapat kepentingan-kepentingan tertentu maka bandul akan digeser
ke arah sebaliknya sesuai “selera” dan kepentingan satu atau lebih Hakim
Konstitusi. Bahkan pernah terjadi, permohonan uji materiil dimohon oleh
kalangan buruh / pekerja, dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, namun
putusan Mahkamah Konstitusi RI justru menguntungkan pihak pemberi kerja /
pengusaha.
Jamak kita jumpai putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi RI yang inkonsisten antar putusan lembaganya sendiri, sebagai contoh
paling ekstrem ialah putusan uji materiil Mahkamah Konstitusi RI terkait
Undang-Undang importasi hewan dan ternak, dimana semula diputus “maximum security”, kemudian oleh Hakim
Konstitusi bernama Patrialis Akbar yang memperjual-belikan putusan pada uji
materiil berikutnya menjelma diputus “relative
security” (“karet” penafsirannya)—dimana kedelapan Hakim Konstitusi lainnya
tidak mengajukan “dissenting opinion”,
alias mendukung dengan suara bulat, namun hanya Patrialis Akbar seorang diri
yang dipidana dengan kualifikasi “kolusi” (penyalah-gunaan wewenang). Tanpa
tanggung-jawab moral atas tanda-tangan yang mereka bubuhkan pada putusan
“korup” demikian, kedelapan Hakim Konstitusi lainnya masih terus menjabat
sebagai Hakim Konstitusi hingga saat kini.
Banyak juga kita jumpai putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi RI yang memutus secara “sumir” akibat inkompetensi para Hakim
Konstitusi yang rata-rata hanya menguasai Hukum Tata Negara—namun kemudian
memutus uji materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, Pasar Modal,
Pertambangan, Ketenagakerjaan, Pertanahan, Perpajakan, Perikanan, Perairan dan
Kelautan, Pidana maupun Perdata yang sangat luas yang saat kini tidak lagi
memungkinkan seseorang Sarjana Hukum menguasai seluruh bidang disiplin ilmu
hukum tanpa terspesialsiasi—dengan semata-mata memutus bahwa permohonan uji
materiil “ditolak” atau “tidak dapat diterima” dengan alasan “masalah yang dipermasalahkan oleh Pemohon
Uji Materiil adalah masalah implementasi norma” ataupun dengan alasan “open legal policy”.
Yang semestinya dikabulkan, namun ditolak, dan
sebaliknya. Ketika para Hakim Konstitusi tersebut berlindung dibalik alibi
“masalah implementasi norma”, maka sejatinya seburuk apapun peraturan
perundang-undangan, bila dalam implementasinya oleh aparatur penegak hukum
maupun penyelenggara negara secara baik dan progresif, maka tidak ada masalah
konstitusional yang dialami warga negara. Karenanya, masalah hukum, secara
fasafahnya ialah kesemuanya adalah “masalah implementasi norma”. Kemudian
perihal “open legal policy”, putusan
dengan pernyataan demikian sama artinya menegasikan fungsi dan eksistensi
ataupun peran lembaga bernama Mahkamah Konstitusi itu sendiri, mengingat
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi selama ini memiliki pola : menghapus,
menambahkan, membatasi lingkup, menafsirkan norma pasal-pasal dari
undang-undang, bahkan memutus secara “ultra
petitum” (memutus melebihi dari apa yang dituntut) sebagaimana putusan
Mahkamah Konstitusi RI yang mengamputasi wewenang Komisi Yudisial dalam
mengawasi hakim di peradilan umum menjadi juga tidak dapat berwenang mengawasi
Hakim Konstitusi—alias adanya unsur kepentingan pribadi sang Hakim Konstitusi
itu sendiri.
Belum lagi kita berbicara fakta faktual terdapat
seorang Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang memutus secara “konflik kepentingan”,
mengingat adanya hubungan kekeluargaan antara pihak penguasa dan sang Hakim
Konstitusi (lihat putusan uji materiil MK RI terkait usia calon wakil presiden
yang notabene adalah ipar dari sang Hakim Konstitusi, dimana Ketua Mahkamah
Konstitusi RI saat itu, Anwar Usman, dinyatakan terbukti bersalah berat secara
etik sehingga diberhentikan dari posisi jabatannya sebagai Ketua MK RI). Sang
Hakim Konstitusi, alih-alih mengakui kesalahannya yang memutus secara “conflict of interest”, kemudian
menggugat putusan Majelis Etik ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana kemudian
setelah saat itulah bergulir beragam kekacauan ketatanegeraan yang tidak perlu
terjadi sebagai buntutnya atau “efek domino”-nya. Menyerahkan nasib jutaan
warga ke tangan Hakim Konstitusi yang “kotor”, akibatnya fatal.
PEMBAHASAN:
Bila seorang warganegara
menggugat ke Pengadilan Negeri, maka amar putusannya tidak akan menjadi
bumerang bagi pihak sang warga selaku Penggugat, paling jauh ialah “menolak
gugatan” atau menyatakan “gugatan tidak dapat diterima”, kecuali pihak Tergugat
mengajukan “gugatan balik” (rekonpensi). Begitupula dalam sengketa di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang mengandung falsafah bahwa negara /
pemerintah tidak dibenarkan menggugat balik warganegaranya sendiri, karenanya
dalam perkara tata usaha negara tidak ada istilah “gugatan balik”, sehingga
dalam berperkara di Pengadilan Negeri maupun di PTUN (peradilan umum) berlaku
prinsip “hakim tidak dapat membuat putusan yang merugikan kepentingan pihak
Penggugat”.
Akan tetapi, wajah putusan
lembaga Mahkamah Konstitusi RI bisa begitu kontraproduktif terhadap kepentingan
warga yang mengajukan uji materiil. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi RI
yang tergolong paling ekstrem sepanjang sejarah, dapat kita jumpai dalam
putusan uji materiil register Nomor 94/PUU-XXI/2023 tanggal 29 Februari 2024,
yang dimohonkan oleh pihak berlatar-belakang “buruh” bernama Muhammad Hafidz,
yang mempermasalahkan ketentuan norma Undang-Undang terkait masa kadaluarsa
menggugat bagi kalangan “buruh / pekerja”. Para Hakim Konstitusi yang selama
ini hanya mendalami dan menguasai Hukum Tata Negara, tahu apakah perihal Hukum
Ketenagakerjaan serta seluk-beliknya di lapangan, namun masih juga berani
memutus perkara terkait Ketenagakerjaan yang tergolong menyangkut “hajat hidup
orang banyak”? Mungkinkah tercipta putusan yang adil dan benar, bila sang hakim
pemutus tidaklah seorang “expert”
dibidang hukum spesifik tersebut?
Sekalipun peraturan
perundang-undangan di Indonesia saat kini sudah menyerupai “rimba hukum
belantara”, yang tidak memungkinkan seorang praktisi hukum menguasai seluruh
disiplin ilmu hukum tanpa terspesialisasi, dimana terhadapnya, Mahkamah
Konstitusi RI justru membuat putusan yang menguntungkan pihak “pelaku usaha”
alias “pengusaha”—sekalipun tidak ada pihak Tergugat ataupun semacam “gugatan
balik” dalam permohonan uji materiil—dengan pertimbangan serta amar putusan yang
“mengabulkan permohonan namun merugikan kepentingan pihak Pemohon Uji
Materiil” (mengabulkan permohonan namun merugikan kepentingan Pemohon Uji
Materiil), sebagai berikut:
[3.14.6] Bahwa dalam kaitan
dengan daluarsa 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya
keputusan PHK dari pihak pengusaha telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-VIII/2010 yang ditegaskan kembali dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya
menyatakan:
“…Mahkamah menilai, batasan
jangka waktu paling lama satu tahun dalam Pasal 171 merupakan jangka waktu yang
proporsional untuk menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja / buruh dan
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Batasan demikian malah
penting demi kepastian hukum yang adil agar permasalahan tidak berlarut-larut
dan dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama;” [vide Sub
Paragraf [3.14.6] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-VIII/2010 yang
ditegaskan Paragraf [3.14] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2015]
Berdasarkan kutipan
pertimbangan hukum di atas, Mahkamah masih tetap dalam pendiriannya bahwa
daluarsa pengajuan gugatan tetap diperlukan agar dapat menyeimbangkan
kepentingan pengusaha dan pekerja / buruh. Batasan waktu untuk mengajukan
gugatan tersebut, penting artinya demi kepastian hukum yang adil agar permasalahan
antara pengusaha dan pekerja / buruh tidak berlarut-larut karena dapat
diselesaikan dalam jangka waktu yang jelas dan pasti.
Dengan demikian, untuk menjamin
kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, keberlakuan
Pasal 82 UU 2/2004 serta dengan mengingat tidak adanya ketentuan lain yang
mengatur mengenai batas waktu daluarsa mengajukan gugatan PHK ke Pengadilan
Hubungan Industrial, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan dalam amar
putusan a quo bahwa norma Pasal 82 UU 2/2004 yang menyatakan “Gugatan oleh
pekerja / buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak
diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”, bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh pekerja / buruh atas
pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1
(satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak
pengusaha”. Oleh karena permohonan a quo dikabulkan tidak sebagaimana yang
dimohonkan oleh Pemohon maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum
untuk sebagian.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
2. Menyatakan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh
pekerja / buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan
dari pihak pengusaha”.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.