Antara Jabatan dan Pejabat Direksi Perseroan

LEGAL OPINION
Question: Yang mewakili perusahaan (perseroan terbatas) kan, orang yang menjabat sebagai direktur. Nah, kapan, ketika seseorang dianggap melakukan perjanjian atas nama pribadi, dan kapan akan dianggap sebagai mewakili perusahaan sehingga tidak dimaknai sebagai subjek hukum orang pribadi yang melakukan tanda-tangan? Apakah kalau ada cap perusahaan, baru akan dianggap sebagai wakil perusahaan?
Brief Answer: Tidak ada sangkut paut dengan stempel basah cap perusahaan. Dalam bagian kepala surat, perjanjian, surat kuasa, keputusan, atau bentuk lainnya, perlu ditegaskan secara tersurat (eksplisit), bahwa penandatangan adalah “selaku pejabat direktur bertindak untuk dan atas nama badan hukum Perseroan Terbatas”.
Tanpa pencantuman klausa demikian, maka setiap perikatan perdata yang dilakukan oleh sang penanda-tangan, akan dimaknai sebagai melekat untuk dan bagi kepentingan serta tanggung jawab pribadi sang penandatangan.
PEMBAHASAN:
Konsep abstrak demikian mungkin tampak sukar dimengerti oleh orang awam. Untuk memudahkan pemahaman, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 529 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 19 September 2016, perkara antara:
- PT. SINAMARINDA LINTAS NUSANTARA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- HENGKI HARYANTO, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat adalah karyawan Tergugat yang telah bekerja sejak tahun 2008, kemudian di-PHK secara sepihak oleh Tergugat pada tanggal 8 Januari 2015. Permasalahan antara Penggugat dengan Tergugat timbul akibat adanya perbedaan berkaitan dengan jatah “off” karyawan dengan pimpinan yang baru. Selama Penggugat bekerja pada Penggugat, setiap karyawan Tergugat berhak atas 1 hari off per minggu (dapat diakumulasikan, dalam 6 bulan maka jatah off pekerja adalah 30 hari).
Penggugat menggunakan jatah “off” sebanyak 3 hari pada bulan Oktober 2014, 26 hari pada bulan November 2014 dan 19 hari pada bulan Desember 2014 (total 48 hari). Namun Tergugat melakukan pemotongan gaji Penggugat, untuk bulan November 2014 sebanyak 26 hari, dan untuk bulan Desember 2014 sebanyak 19 hari.
Atas kejadian tersebut, Penggugat merasa seharusnya gaji Penggugat pada bulan November 2014 tetap dibayar penuh oleh Tergugat. Tanggal 7 dan 8 Januari 2015, Penggugat mencoba mempertanyakan pemotongan tersebut kepada Pimpinan, namun justru perlakuan kasar yang diterima oleh Penggugat.
Penggugat diduga diancam oleh salah seorang pimpinan perusahaan. Selanjutnya Penggugat melaporkan perselisihan kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja Kabupaten Dhamasraya, yang kemudian dilimpahkan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Sumatera Barat.
Penggugat tidak bisa lagi menjalankan kewajiban di perusahaan karena tidak lagi diperbolehkan bekerja oleh Tergugat terhitung tanggal 8 Januari 2015, sedangkan Tergugat tidak lagi melaksanakan kewajibannya untuk membayar gaji Penggugat.
Karena Tergugat telah mengancam Penggugat dan/atau tidak membayar gaji tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, maka Penggugat mengajukan Permohonan Pemutusan Hubungan Kerja berlandaskan kebolehan yang dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf (a) dan/atau Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sesuai kaidah Pasal 169 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, maka Penggugat berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Padang kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 16/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Pdg, tanggal 7 Maret 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara;
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 7 Januari 2015 sah menurut hukum;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat berupa:
- Uang Pesangon = 2 x 8 x Rp 2.650.000,00= Rp 42.400.000,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja 3 x Rp 2.650.000 = Rp 7.950.000,00
- Uang Pengganti Perumahan serta pengobatan = Rp 50.350.000 x 15% = Rp 7.552.500,00
Jumlah = Rp 57.902.500,00
Terbilang (lima puluh tujuh juta sembilan ratus dua ribu lima ratus rupiah)
4. Memerintahkan Tergugat untuk mengeluarkan Surat Keterangan Pernah Bekerja kepada Penggugat;
5. Menolak gugatan Penggugat yang lain dan selebihnya.”
Pihak perusahaan mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Menimbang, bahwa dalam perkara ini yang mengajukan permohonan kasasi adalah PT. SINAMARINDA LINTAS NUSANTARA, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 043/SK/KHI/12-15, Tanggal 22 Maret 2016 yang dibuat oleh Pemohon Kasasi dahulu Tergugat di hadapan Panitera Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Padang, akan tetapi dalam Surat Kuasa Khusus tersebut tidak disebutkan bahwa: FINSA NOORCAHYO F, bertindak untuk dan atas nama PT. Sinamarinda Lintas Nusantara, namun tidak menegaskan selaku Direktur Perusahaan atau kuasanya, maka tidak sah mewakili perseroan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 92, 98 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, sehingga surat kuasa dari Pemohon Kasasi dalam pengajuan permohonan kasasi ini tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Oleh karena itu permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. SINAMARINDA LINTAS NUSANTARA tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
M E N G A D I L I :
Menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. SINAMARINDA LINTAS NUSANTARA, tersebut tidak dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.