Subjektivitas Penilai, Penilaian berdasarkan “Pesanan” (Sponsored), serta Benturan Kepentingan (Conflict of Interest) Penilaian oleh Profesi Jasa Penilai Publik
Pengabaian dan Penelantaran oleh Pemerintah dalam
Menetapkan “Jaring Pengaman” (Safety Nett)
terhadap Praktik Penilaian KJPP Swasta yang Rawan dan Penuh Kolusi
Question: Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “nilai pasar” maupun “nilai likuidasi”? Lalu apa yang menjadi parameternya, mereka yang (profesinya) mengaku sebagai seorang Penilai, dalam membuat penentuan berapa “nilai pasar” dan berapa “nilai likuidasi”-nya? Jika betul-betul terdapat ketidak-wajaran dalam laporan hasil penilaian KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) yang disewa dan ditunjuk oleh pihak kreditor (pemohon lelang eksekusi Hak Tanggungan atas agunan milik debitor / penjamin), mengapa praktik pengadilan terkesan tidak dapat mengganggu-gugat laporan hasil penilaian yang “fraud” demikian?
Brief Answer: Tidak benar bila disebutkan bahwa “betapa
saktinya, laporan penilaian KJPP swasta bila tidak dapat digugat dan dibatalkan
sekalipun disusun secara tidak akuntabel dan tidak transparan, menjelma
sewenang-wenang (as a tool of crime),
alibi sempurna?” Bila Surat Keputusan Tata Usaha Negara dapat dibatalkan lewat
gugatan, perjanjian dalam dibatalkan pengadilan karena bertentangan dengan
kepatutan dan kesusilaan (vide Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata),
dan undang-undang dapat dibatalkan oleh uji materiil, maka bagaimana mungkin
laporan penilaian KJPP swasta yang menyimpang tidak dapat dibatalkan dan
dinyatakan tidak sah, sekalipun jelas-jelas bertentangan dengan laporan hasil
penilaian KJPP independen lainnya maupun terhadap NJOP yang ditetapkan
pemerintah daerah yang lebih objektif?
Hingga saat ulasan ini disusun, tidak jelas apa
parameter bagi kalangan profesi Penilai pada berbagai Kantor Jasa Penilai
Publik (KJPP), dalam menentukan apa atau seberapa yang menjadi nilai nominal “Harga
Pasar” maupun “Nilai Likuidasi”, sekalipun telah terdapat Kode Etik Penilai
Publik (KEPI) maupun Standar Penilai Indonesia (SPI) ataupun jargon “KJPP
mendapat izin dari Kementerian Keuangan”—namun tidak jelas pengawasan,
pelaporan, maupun penindakannya—semata-mata karena pemerintah selaku regulator
absen dengan tidak membuat intervensi publik lewat regulasi yang dapat menjadi “safety nett” agar tidak membuka ruang
celah bermain bagi para pihak ‘kreditor nakal” dan sindikatnya untuk
menyalah-gunakan instrumen lelang eksekusi Hak Tanggungan, penilaian KJPP
sebagai dasar penentu “Nilai Pasar” dan “Nilai Likuidasi”, maupun penetapan “nilai
dasar lelang” (Nilai Limit).
Adapun definisi yang ambigu perihal “Nilai Pasar”
dan “Nilai Likuidasi” internal profesi Penilai pada berbagai KJPP di Indonesia,
dimana subjektivitas lebih mendominasi, secara terstandar pada berbagai laporan
kalangan profesi KJJP dimaknai sebagai berikut:
- Nilai Pasar (Market Value) didefinisikan sebagai
estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh dari hasil penukaran suatu aset
atau liabilitas pada tanggal penilaian, antara pembeli yang berminat membeli
dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya
dilakukan secara layak, di mana kedua pihak masing-masing bertindak atas
dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian dan tanpa paksaan (KEPI &
SPI Edisi VI - 2015, SPI 101 - 3.1).
- Nilai Likuidasi (Liquidation Value) didefinisikan sebagai
sejumlah uang yang mungkin diterima dari penjualan suatu aset dalam janga
waktu yang relatif pendek untuk dapat memenuhi jangka waktu pemasaran dalam
definisi Nilai Pasar. Pada beberapa situasi, Nilai Likuidasi dapat
melibatkan penjual yang tidak berminat menjual, dan pembeli yang membeli
dengan mengetahui situasi yang tidak menguntungkan penjual (KEPI & SPI
Edisi VI - 2015, SPI 102 - 3.7.1)
PEMBAHASAN:
Konsep teoretik perihal
terciptanya titik keseimbangan atau pertemuan (equilibrium) antara permintaan
dan penawaran (supply and demand)
sebagaimana dicetuskan oleh Bapak Ekonomi Pasar Bebas, Adam Smith, sejatinya
merupakan konsepsi yang ambigu, rancu, disamping delusif dan imajiner sifatnya.
Ironisnya, profesi Jasa Penilai Publik pada berbagai Kantor Jasa Penilai Publik
(KJPP) dibiarkan berpraktik secara “seliar-liarnya” dengan memakai asumsi serta
konsep fiktif ala Adam Smith demikian, sehingga dalam praktik di lapangan,
banyak korban berjatuhan terutama dari kalangan debitor yang agunan atau
jaminan pelunasan miliknya dilelang eksekusi ketika mengalami kondisi “kredit
macet”, insolvensi dalam kepailitan, maupun akibat satu hal atau lebih lainnya.
Ambiguitas pertama yang akan
diungkap dalam uraian ini ialah, perihal “harga / nilai pasar”. Ketika KJPP
membuat penetapan “nilai pasar” jauh di bawah nilai “Nilai Jual Objek Pajak” (NJOP),
maka itu adalah ketidakwajaran paling utama. Mengapa? Semata karena bilamana
objek agunan terkena atau termasuk dalam bidang peta lahan yang akan terkena kebijakan
pemerintah perihal pembebasan lahan untuk kepentingan umum, maka ganti-rugi
yang akan diberikan pemerintah / pemerintah daerah kepada pemelik hak atas
tanah ialah paling sedikit sama dengan nilai NJOP tanah maupun bangunan yang
ada di atasnya. Bagaimana mungkin, dijual-lelang dan pelelangan, justru sejak
awal penetapan “nilai dasar penjualan” menghasilkan harga terjual dibawah NJOP?
Lalu, bagaimana jika pihak “KJPP
nakal” yang telah berkolusi dengan kreditor pemohon lelang eksekusi Hak
Tanggungan, menetapkan nilai “Harga Pasar” yang tidak wajar dan terlampau
rendah (jauh dibawah nilai NJOP), dengan alasan “penilaian dilakukan dari luar,
karena tidak diberi izin masuk ke dalam gedung / bangunan” atau semacam alibi “tiada
akses masuk”? Biasanya, Surat Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan Tahunan akan merinci,
berapa nilai NJOP bangunan dan berapa nilai NJOP tanah. Katakanlah atau
asumsikan bahwa objek agunan memang tidak memiliki bangunan di atasnya, atau
diasumsikan terjadi amortasi sehingga tidak memiliki nilai jual, maka paling
sedikit “Nilai Pasar” ialah setara NJOP untuk tanah / lahannya saja—biasanya,
di kota-kota besar, harga dan nilai NJOP tanah jauh lebih tinggi melampaui NJOP
bangunan.
Ketika terjadi
ketidak-sinkronan antara hasil penilaian KJPP swasta (“sponsored” yang disewa dan dipakai sebagai dasar alibi oleh kreditor
pemohon lelang eksekusi agunan) dan hasil penilaian oleh Pemerintah Daerah sebagaimana
dalam NJOP, manakah yang berlaku dan lebih valid? Yang perlu dipahami kalangan
hakim penegak hukum di pengadilan ialah, NJOP itu sendiri juga merupakan hasil
penilaian oleh Penilai, dalam hal ini oleh otoritas Pemerintah Daerah setempat.
Fakta yuridis NJOP, antara lain:
1.) Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP
ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis.
2.)- Dasar Hukum NJOP ialah
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.07/2018 tentang
Pedoman Penilaian Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan, yang
mengatur:
- dasar pengenaan PBB-P2 adalah
NJOP dan NJOP tersebut diperoleh melalui proses penilaian, baik melalui
penilaian massal maupun penilaian individual. Penilaian massal maupun penilaian
individual dilakukan dengan membentuk Nilai Indikasi Rata-Rata (NIR) dalam
setiap Zona Nilai Tanah (ZNT).
- NIR adalah nilai pasar
rata-rata yang dapat mewakili nilai tanah dalam suatu ZNT yaitu zona geografis
yang terdiri atas satu atau lebih objek pajak yang mempunyai satu NIR yang
sama, dan dibatasi oleh batas penguasaan / pemilikan objek pajak dalam satuan
wilayah administrasi pemerintahan desa / kelurahan.
- proses penilaian harus
dilakukan oleh Penilai PBB-P2 dari ASN di lingkungan pemerintah daerah. Dalam
hal kriteria Penilai tidak dapat dipenuhi dari ASN di lingkungan pemerintah
daerah maka pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama dengan instansi teknis
terkait yang memiliki kompetensi dalam bidang penilaian.
- penetapan NJOP dilakukan
dengan beberapa pendekatan yaitu pendekatan data pasar atau perbandingan harga
(market data / sales comparison approach),
pendekatan biaya (cost approach) dan
pendekatan kapitalisasi pendapatan (income
approach).
Karenanya, penilaian dalam NJOP lebih komprehensif
dan lebih akuntabel ketimbang KJPP sipil swasta “sewaan”.
Karena tiadanya atau absen dan
lalainya pemerintah dalam menyusun kebijakan “safety nett” bagi kalangan debitor / pemilik agunan atas rawan /
potensi penyalah-gunaan instrumen hukum “parate
eksekusi” Hak Tanggungan oleh kalangan kreditor yang tidak
bertanggung-jawab—yang dalam beberapa kasus yang pernah penulis tangani ialah debitor
korban kreditor “mafia lelang”—maka Lembaga Yudikatif telah mengisinya dengan
membentuk “best practice” berupa preseden dengan kaedah yurisprudensi (secara “argumentum a contrario”) bahwa adalah
sebentuk perbuatan melawan hukum yang dapat digugat dengan ancaman pembatalan
lelang bilamana kreditor menetapkan harga dasar lelang barang agunan (Nilai
Limit) terbukti dibawah harga pasar, sebagaimana putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 485 K/Pdt/2013 tanggal 27 Agustus 2014:
“Menimbang, ... Penggugat tidak
dapat membuktikan dalil gugatannya, yaitu bahwa Tergugat I dan II tidak
melakukan perbuatan melawan hukum karena menetapkan harga dasar lelang
barang agunan tidak terbukti dibawah harga pasar, karena itu
tidak ada dasar untuk membatalkan pelelangan tersebut;”
Berlanjut pada isu yang lebih
sensitif dan lebih berpotensi membuka peluang “fraud” lewat aksi kolusi antara kreditor pemohon lelang eksekusi Hak
Tanggungan beserta “KJPP pesanan” (sponsored)
ialah, dibiarkannya atau ditelantarkannya nasib debitor / penjamin pemilik
agunan dipermainkan oleh “penilaian suka-suka” dengan hasil “nilai suka-suka”
secara sepihak oleh kalangan KJPP swasta. Sudah menjadi “rahasia umum”, hasil
penilaian antara KJPP yang satu saling berdisparitas atau saling bersenjang terhadap
hasil laporan KJPP independen lainnya, baik dari “Nilai Pasar” tidak terkecuali
“Nilai Likuidasi”—“Nilai Pasar” cenderung setara, hanya selisih tipis antara
satu atau lebih laporan KJPP swasta yang sama-sama independen. Namun khusus
untuk “Nilai Likuidasi”, berdasarkan pengalaman penulis, hampir selalu
dipastikan saling bersenjang dengan selisih yang dramatis dan diluar nalar
ataupun angka psikologis.
Sebagai gambaran, KJPP yang
satu membuat “Nilai Likuidasi” 70% dari “Nilai Pasar”, sementara itu KJPP kedua
menetapkan “Nilai Likuidasi” 50% dari “Nilai Pasar”, dimana bahkan antara kedua
kreditor—“kreditor asal” dan “kreditor pembeli piutang” (cessie / subrogasi)—dapat
saling berdisparitas, yang bahkan pernah terjadi di-“MARK DOWN” hingga hanya senilai 40% dari “Nilai Pasar”. Disitulah
tepatnya, letak pengabaian dan penelantaran oleh pemerintah, sehingga membuka lebar-lebar
ruang / celah bermain bagi kalangan “kreditor nakal” untuk bermain dan “memancing
di air keruh”. Seyogianya dan seharusnya, “Nilai Likuidasi” bukan menjadi
domain KJPP untuk menentukan dan menetapkan, namun harus secara “oleh hukum”
atau “demi hukum” (“by law”)
ditetapkan 60% dari “Nilai Pasar”, dimana “Nilai Pasar” minimum atau sama dengan
nilai NJOP objek agunan.
Penulis pernah memiliki Klien
yang notabene debitor korban eksploitasi praktik kalangan perbankan yang
menyerupai “mafia lelang” dengan sindikat kreditor pembeli piutang (pembeli
cessie) yang kemudian menagihkan bunga dan denda jauh melampaui ketentuan dalam
Akta Perjanjian Kredit, disamping biaya-biaya yang tidak jelas serta sepihak,
sehingga menyerupai “bunga terselubung” yang mencekik (rentenir perorangan
ataupun rentenir korporasi), sehingga pola modusnya ketika penulis petakan
ialah : melakukan “MARK UP” tagihan
dengan membuat seolah total hutang debitor membengkak hingga hampir menyentuh
100% per tahun, lalu untuk selanjutnya dilakukan praktik “MARK DOWN” Nilai Limit lelang dengan memakai alibi laporan KJPP “sponsored” yang menetapkan “Nilai Likuidasi”
hanya 40% dari “Nilai Pasar”, dimana kemudian yang membeli lelang (pemenang
lelang) ialah “nominee” dari sang kreditor
pemohon lelang sebagai “beneficial owner”-nya—sehingga
terjadi “conflict of interest” dimana
antara kreditor pemohon lelang eksekusi Hak Tanggungan serta penentu “Nilai
Limit lelang”, kreditor penyewa KJPP, dan pembeli lelang, ialah pihak yang
sama.
Jika dari sejak awal sang
debitor mengetahui bahwa kreditornya, perbankan swasta, akan menjual piutang /
hak tagihnya kepada “rentenir peorangan” yang tidak pernah mendapat persetujuan
dari debitor pemilik agunan, tentu saja tiada debitor manapun yang akan
berminat menjebloskan diri sebagai debitor dari lembaga keuangan “sindikat mafia
lelang” demikian. Dalam argumentasi gugat-menggugat antara debitor dan sang kreditor
“rentenir” tersebut, pihak kreditor “rentenir” menolak dan berkeberatan
dinyatakan menjual lelang objek agunan dengan nilai terlampau “murah”—meski “Nilai
Limit” seketika ditetapkan setara dengan “Nilai Likuidasi” dalam lelang perdana.
Penulis lalu membuat counter-argumen
bahwa “Nilai Likuidasi” bukanlah lagi “murah”, “kelewat murah”, ataupun “kemurahan”,
namun harga “OBRAL”. Bagaimana mungkin, mengharap dapat menjual dengan nilai
yang optimal, sebagaimana falsafah dibalik makna pelelangan yakni membuat nilai
harga terjual menjadi optimal, bilamana lelang perdana dibuka dengan “Nilai
Limit” atau nilai dasar penjualannya ialah di-“banting” pada angka harga “OBRAL”?
Jika “Nilai Likuidasi” berkeberatan disebut “murah” atau “kemurahan”, lantas yang
disebut sebagai “murah” itu nilai yang seperti apa dan sekecil apa nominalnya?
Kerancuan falsafah konsepsi “Nilai
Likuidasi” terletak pada kegajilan psikologis dengan skema berikut : “Nilai
Pasar” sebuah properti ialah 100 juta rupiah. Dijual dengan harga separuhnya,
50 juta rupiah, tentu akan mudah ditawarkan dan mudah pula untuk laku terjual
dalam waktu relatif singkat (ingat, properti ialah aset “non-liquid”, dalam artinya
tidak mudah menjualnya, terlebih harganya senilai puluhan miliar rupiah, segmen
pasarnya konsumennya kian sempit). Namun, apakah itu yang disebut dan dimaksud
dengan “Nilai Likuidasi”?
Faktanya, bila Anda jual dengan
“banting harga” ke angka 40 juta rupiah, juga akan laku—bahkan lebih cepat laku
dan “laris manis” bahkan cukup dalam satu kali iklan—yang mana bahkan juga dijual
pada angka 30 juta rupiah, atau pada harga “crazy
sale” 20 juta rupiah, siapa yang akan melewatkan kesempatan? Namun pertanyaan
utamanya ialah, jika seketika ditawarkan pada angka 20 juta rupiah dan terjual
pada angka tersebut, maka kita bisa bertanya-tanya : bisa saja dan mungkin
terjadi bahwa objek properti akan laku terjual pada harga 25 juta rupiah, atau
mungkin juga akan tetap laku terjual pada nominal 30 juta rupiah, 35 juta
rupiah, atau bahkan 40 juta rupiah. Mengapa “Nilai Likuidasi” harus ditetapkan
pada nilai 20 juta rupiah, meski tidak tertutup kemungkinan akan laku terjual
pada angka diatasnya?
Sebagai penutup, yang tidak
banyak disadari oleh masyarakat kita, akan penulis ungkap betapa praktik
kalangan perbankan “plat merah” terutama lembaga keuangan perbankan swasta
nasional maupun asing yang berpraktik di Indonesia, sejatinya ialah “rentenir
kerah putih”, merujuk pada anotasi yurisprudensi “bunga terselubung” (deem interest) sebagaimana putusan
Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986: [Sumber :
Majalah Hukum Varia Peradilan No. 18 Tahun II. Maret 1987 Hlm. 5.]
“Berdasar Akta Puchase
Agreement, Penggugat telah membeli dari Tergugat, suatu Debt
Instrument-promissory more dengan nilai nominal US dollar 225.000,- yang
ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat dengan janji Tergugat akan dibebani bunga,
denda serta ongkos lainnya, berupa biaya notaris, biaya penagihan, bila terjadi
keterlambatan pada hari jatuh tempo.
Pengadilan Negeri di dalam
putusannya tidak dapat menerima gugatan Penggugat.
Pengadilan Tinggi membatalkan
putusan Pengadilan Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang
menghukum Tergugat membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note
US dollar 225.000,- ditambah dengan bunga 6% per tahun.
Mahkamah Agung R.I. dalam
putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya
sebagai berikut:
Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta
ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut
Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya
terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG
TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat
dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda
tersebut harus ditolak.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.