Kiat Cerdas Menyelamatkan Diri di Tengah Era Krisis Ekonomi Global dan Lokal
Orang Dungu Memakai Cara-Cara Bodoh, sementara Orang
Cerdas Memakai Cara-Cara Bijak
Question: Ketika ekonomi rumah-tangga dan keluarga dijerat oleh kemiskinan, maka apa relevansinya merepotkan diri berbuat kebaikan? Lebih relevan sibuk mencari uang sebagai solusinya. Apakah salah secara moralitas maupun secara logika, orang-orang yang terjerat kemiskinan, lalu mencuri atau menipu atau bahkan merampas hak orang lain agar bisa bertahan hidup?
Brief Answer: Ciri-ciri seseorang, menentukan nasib hidupnya. Hal
kedua yang juga perlu dipahami, seringkali masalah bukan terletak pada objek
pengamatan, namun “cara kita memandang” alias sudut pandang kita itu sendiri,
yang kerap disebut sebagai “perspektif”. Kedua hal tersebut, memegang peranan
penting dalam menentukan nasib hidup seseorang sekaligus yang membedakan “takdir”
orang yang satu dan nasib orang-orang lainnya. “Takdir”, karenanya, sejatinya
merupakan “result” atau hasil dari
pilihan hidup kita sendiri. Sebagai contoh, kerap orang-orang yang berpikiran
dangkal menyatakan : “Lihatlah itu tukang
pengangkut sampah, tidak pernah mencuci tangan sebelum makan, ternyata tetap
hidup!”—namun, lihatlah nasib hidup dari sang tugas pengangkut sampah.
Sama halnya, ketika kita berada di “ujung tanduk”,
yang kita butuhkan ialah “THE LUCK
FACTOR” alias pertolongan dari orang lain, mengingat kita adalah
makhluk “interdependen” (senantiasa berupaya mengandalkan diri sendiri dan
disaat bersamaan mengakui pula bahwa kita sesekali bergantung dari pihak
eksternal diri). Ketika kita sedang berada di “ujung tanduk” namun perbuatan kita
dalam menyikapinya ialah berbuat kejahatan yang dapat dicela oleh para
bijaksanawan, seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain, maka itu
sama artinya “menanam Karma Buruk, maka akan memetik / menuai Karma Buruk”. Mereka
akan terbenam dalam “lingkaran setan” kemiskinan maupun kemelaratan, ketika
menyikapi jeratan kemiskinan dengan berbuat tidak manusiawi terhadap manusia
lainnya. Antara “niat” dan “cara”, harus sejalan. Bila niat hendak memperbaiki
nasib, namun caranya keliru, alhasil hasilnya justru menjadi bumerang alias
kontraproduktif.
Ketika kita sedang berada di “titik nadir”,
membutuhkan uluran tangan orang lain, maka satu-satunya cara yang dapat kita lakukan
ialah sebanyak mungkin menanam benih-benih Karma Baik—sekalipun, sebagaimana pepatah
pernah berpesan, “janganlah kita baru belajar berenang saat tercebur dan akan
tenggelam di dalam air.” Siapkan diri kita sejak sedini mungkin, dengan rajin
menanam benih-benih Karma Baik dan disaat bersamaan menghindari perbuatan-perbuatan
buruk. Ketika saat tiba buahnya berbuah, disaat kita benar-benar membutuhkan
pertolongan dewa maupun sesama manusia lainnya, maka kita akan tertolong berkat
Karma Baik yang kita tanam sendiri. Itulah yang disebut sebagai “self determination” dalam perspektif Buddhisme.
Banyak cara untuk berbuat baik, tidak harus
selalu berupa materi maupun uang, namun bisa berupa pertolongan dan uluran
tangan yang sederhana dalam setiap kesempatan yang ada di keseharian, salah satunya
ialah bersikap sabar dengan memberikan kesempatan bagi pengguna jalan lainnya
untuk lewat terlebih dahulu—sedikit demi sedikit, menjadi “gunung”. Prinsip yang
sama berlaku sebaliknya, ketika Anda termakan oleh ideologi korup berupa iming-iming
delusif bernama “penghapusan / pengampunan dosa” ataupun “penebusan dosa” (abolition of sins, too good to be true),
maka sikap-sikap tidak bertanggung-jawab alias dosa-dosa Anda akibatnya
terakumulasi sepanjang hari dan sepanjang tahunnya menjelma “segunung dosa”
yang “too big to fall”.
PEMBAHASAN:
Buddhisme dapat juga disebut
sebagai ilmu atau seni arsitek untuk merancang dan membangun nasib hidup kita sendiri—tidak
heran bila salah satu julukan bagi Sang Buddha ialah “guru agung bagi
para dewa dan para manusia”—sebagaimana salah satunya dapat kita jumpai dalam khotbah
Sang Buddha yang sangat memotivasi dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
IV. Sumanā
31 (1) Sumanā [Kitab Komentar mengidentifikasi
Sumanā sebagai putri Raja Pasenadi dari Kosala.]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā,
disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā,
bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata
kepada Sang Bhagavā:
“Di sini, Bhante, mungkin ada
dua orang siswa Sang Bhagavā yang setara dalam hal keyakinan, perilaku
bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya
tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir
kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi
deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya
dalam lima hal: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan
surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah
menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah
masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan
mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan manusia, kecantikan
manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia.
Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang
lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan
tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli
yang lainnya dalam lima hal.
(1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus
dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus
dipersembahkan kepadanya.
(2) Ia biasanya memakan makanan yang telah secara khusus
dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus
dipersembahkan kepadanya.
(3) Ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah
secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang
tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.
(4) Ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan
bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang
menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus
dipersembahkan kepadanya.
(5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia
menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan.
Mereka biasanya memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan
[34] apa yang tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan
keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika keduanya
mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara
mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?”
“Dalam hal ini, Sumanā, Aku
nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang
lainnya].”
“Menakjubkan dan
mengagumkan, Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk
memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena
perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi]
menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”
“Demikianlah, Sumanā!,
demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus
untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan
itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia,
atau meninggalkan keduniawian.”
Itu adalah apa yang dikatakan
oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna Menempuh Sang
Jalan, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:
“Seperti halnya rembulan
tanpa noda bergerak di sepanjang lintasan di angkasa cahayanya lebih cemerlang
daripada semua bintang di dunia, demikian pula seseorang yang sempurna dalam
perilaku bermoral, seorang yang memiliki keyakinan, lebih cemerlang karena
kedermawanan daripada semua orang kikir di dunia.
“Seperti halnya awan hujan
berpuncak-seratus, bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar, menurunkan hujan
ke bumi membanjiri dataran-dataran dan tanah rendah, demikian pula siswa
Yang Tercerahkan Sempurna, yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan, melampaui
orang kikir dalam lima aspek: umur kehidupan dan keagungan, kecantikan dan
kebahagiaan. Memiliki kekayaan, setelah kematian ia bergembira di alam surga.”
[35]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.