HARTA BERSAMA = KEWAJIBAN BERSAMA. Hutang Suami merupakan / menjadi Hutang Istri Juga
Perkawinan Putus karena Perceraian, KEWAJIBAN BERSAMA
Tetap Mengikat Kedua Mantan Pasangan Suami Istri Atas Hutang yang Terbit Saat
Perkawinan Berlangsung
Question: Sebenarnya yang disebut dengan “harta bersama” atau yang juga kita kenal dengan istilah “harta gono-gini”, itu sifatnya renteng ataukah separuh-separuh antara si suami dan si istri? Jika semisal kami atau salah satu dari kami digugat orang lain, kewajiban masing-masing suami-istri ini bagaimana perhitungannya menurut hukum di Indonesia?
Brief Answer: Tampaknya terdapat ambiguitas atau dualisme
pandangan yuridis dalam praktik berhukum kita di Indonesia, terkait pemaknaan
“harta bersama” antara pasangan suami-istri. Ketika perkawinan putus akibat
perceraian, maka masing-masing mantan suami-istri mendapatkan separuh “harta
bersama” maupun separuh “kewajiban bersama” (termasuk di dalamnya “hutang
bersama” tanpa terkecuali). Akan tetapi, ketika perkawinan masih utuh tetap
berlangsung dan salah satu ataupun keduanya digugat oleh pihak ketiga, maka
tanggung-jawab pasangan suami-istri tersebut dibebani tanggung jawab secara
RENTENG, bukan secara “separuh” untuk beban masing-masing pasangan suami-istri.
Karena itulah, SHIETRA & PARTNERS merekomendasikan
agar warga Indonesia yang notabene calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan, saling bersepakat membuat Akta Pisah Harta, dalam rangka
menghindari kemelut rumah-tangga yang tidak pasti dikemudian hari, potensi mana
tetap terbuka untuk kita sadari, sebagai “sedia payung sebelum hujan”—terlebih
untuk menjaga “harga diri” atau martabat suami bilamana ternyata penghasilan
istri lebih besar daripada sang suami. Menyesal, selalu datang terlambat,
dimana preventif jauh lebih baik daripada kuratif, terlebih bagi kalangan istri
yang memiliki suami cukup “nakal” seperti suka berhutang (produktif berhutang)
tanpa sepengetahuan istri ataupun sebaliknya.
PEMBAHASAN:
Ambiguitas perihal “harta
bersama” yang notabene juga berupa “kewajiban bersama” pasangan suami-istri
(pasutri), dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Mahkamah
Agung RI sengketa perdata yang menyangkut hutang suami-istri sebagaimana
tertuang dalam register Nomor 1904 K/Pdt/2007 tanggal 16 September 2008,
perkara antara:
- HENDRO ROESTANTO, sebagai Pemohon
Kasasi I juga Termohon Kasasi II, semula selaku Tergugat I; melawan
1. EDY ROESTANTO; 2. TEGUH
HERTANTO; 3. TANTY ANGGRAINI, sebagai Termohon Kasasi I juga para Pemohon
Kasasi II, semula selaku Para Penggugat; dan
- LINDAWATI, selaku Turut
Termohon Kasasi juga Termohon Kasasi II, semula selaku Tergugat II.
Para Penggugat dan Tergugat I merupakan
saudara kandung, sementara itu Tergugat II merupakan saudara IPAR dari
Penggugat—alias isteri dari Tergugat I. Sesudah perkawinan Tergugat I dan
Tergugat II, antara Para Penggugat dengan Para Tergugat memiliki hubungan hukum
hutang-piutang, yakni Tergugat I meminjam uang kepada Para Penggugat yang
seluruhnya berjumlah Rp. 1.000.000.000,- untuk dijadikan modal usaha perusahaan
milik Tergugat I. Sekalipun kemudian perusahaan milik Tergugat I beroperasi, ternyata
hutang sebagaimana dimaksud di atas tidak kunjung dibayar ataupun dikembalikan seluruhnya,
karena Tergugat I baru melaksanakan pembayaran berjumlah Rp. 125.000.000,- sementara
itu sisanya sebesar Rp. 875.000.000,- oleh Tergugat dijanjikan akan dibayar
sesuai dengan surat pernyataan yang dibuat olehnya.
Akan tetapi setelah jatuh tempo
waktu pelunasan, ternyata Tergugat I “cidera janji” alias tidak melaksanakan kewajibannya,
sementara itu adapun Tergugat II merasa tidak memiliki kewajiban hukum berupa
pembayaran hutang, dengan alasan seluruh keuangan dipergunakan oleh Tergugat I.
Telah ternyata pula antara Tergugat I dengan Tergugat II terjadi permasalahan internal
rumah-tangga mereka, yakni perselisihan suami-istri, dimana Para Penggugat sudah
berupaya untuk mendamaikan mereka akan tetapi gagal yang berbuntut antara
Tergugat I dan Tergugat II bersengketa gugat-perceraian di Pengadilan Negeri
yang saat ini masih dalam proses persidangan.
Akibat terjadi perselisihan
pasutri yang terjadi dalam internal rumah-tangga Para Tergugat, Para Penggugat secara
langsung maupun tidak langsung menjadi dirugikan, mengingat uang pinjaman yang
seharusnya menjadi “kewajiban bersama” antara Tergugat I dan Tergugat II
untuk melunasi sisa hutang mereka sejumlah Rp. 875.000.000,- berakibat pada
sikap Tergugat I yang selalu menunda-nunda pembayaran dengan alasan masih terjadi
masalah keluarga, sementara itu Tergugat II beralasan bahwa uang tersebut
seluruhnya dipergunakan oleh Tergugat I. Dengan demikian Para Tergugat sudah
beriktikad tidak baik dengan wanprestasi, sementara itu Para Penggugat
merupakan “pihak ketiga” yang tidak semestinya menanggung rugi akibat sengketa
internal rumah-tangga Para Tergugat.
Mengingat iktikad tidak baik para
Tergugat sudah nyata yaitu sengaja tidak melaksanakan kewajibannya, menjadi
beralasan bilamana Para Penggugat khawatir terjadi peralihan hak atas harta
kekayaan milik Para Tergugat kepada Pihak lain tanpa sepengetahuan Para
Penggugat, sehingga Para Penggugat memiliki urgensi memohon kepada Majelis
Hakim untuk menetapkan “sita jaminan” (conservatoir
beslaag) terhadap harta milik Para Tergugat, baik berupa hak atas tanah
maupun harta bergerak.
Para Penggugat juga
mendalilkan, hutang pinjaman Tergugat I turut dinikmati oleh Tergugat II, maka
sekalipun antara Tergugat I dan Tergugat II dikemudian hari terjadi perceraian,
hubungan hukum antara Para Penggugat dan Tergugat I maupun mantan istrinya
tidak menjadi putus karena perceraian itu, karenanya hubungan hukum hutang-piutang
tetap melekat serta wajib dibayar oleh keduanya. Sekalipun Tergugat II tidak turut
membubuhkan tanda-tangan dalam Surat Pernyataan akan melunasi hutang yang
dibuat oleh Tergugat I, adalah tidak menyebabkan batalnya kewajiban pembayaran sisa
tunggakan “hutang rumah-tangga” mereka kepada para Penggugat.
Terhadap gugatan demikian,
Pengadilan Negeri dalam putusannya sebagaimana register No.
145/PDT.G/2005/PN.SMG. tanggal 27 Pebruari 2006, Majelis Hakim membuat
pertimbangan hukum yang penting sekaligus menarik untuk disimak, bahwa sekalipun
Tergugat II tidak pernah menyetujui Tergugat I berhutang pada Para Penggugat,
namun uangnya dipergunakan untuk keperluan rumah-tangga keduanya, dimana biaya
operasional perusahaan yang menjadi sumber penghasilan keluarga, maka patut
dipersangkakan Tergugat II secara diam-diam menyetujui pinjam-meminjam yang
dilakukan Tergugat I, dengan demikian keberatan Tergugat II harus ditolak dimana
Tergugat II dinyatakan turut bertanggung jawab atas hutang-hutang suaminya dan
juga harus dinyatakan wanprestasi, sebelum kemudian menjatuhkan amar
sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan menurut hukum bahwa Tergugat I dan II telah cidera
janji (wanprestatie);
- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar secara tanggung-renteng
sisa utang pokok sebesar Rp.787.500.000,- (tujuh ratus delapan puluh tujuh
juta lima ratus ribu rupiah) dan denda sebagai ganti kerugian atau bunga moratoir
sebesar 6% (enam persen) per tahun terhitung gugatan terdaftar sampai sisa
utang pokok dibayar lunas kepada para Penggugat secara tunai dan sekaligus;
- Menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah di letakkan
oleh Jurusita Pengadilan Negeri Semarang berdasarkan Penetapan No. 145/Pdt/G/2005/PN.Smg
berikut Berita Acara Sita Jaminan No. 145/Pdt/G/2005/PN.Smg adalah sah dan
berharga;
- Menolak gugatan para Penggugat untuk yang lain dan selebihnya.”
Dahwa dalam tingkat banding
atas permohonan Tergugat II, putusan Pengadilan Negeri di atas kemudian dibatalkan
oleh Pengadilan Tinggi Semarang lewat putusan No. 205/PDT/2006/PT.SMG. tanggal
22 Januari 2007, dengan amar sebagai berikut:
- Menerima permohonan banding dari Tergugat II / Pembanding;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 27 Pebruari 2006
No. 145/Pdt.G/2005/PN.Smg. yang dimohonkan banding tersebut;
MENGADILI
SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat / Para Terbanding untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa Tergugat I / Turut Terbanding telah melakukan wanprestasi
yang merugikan para Penggugat;
3. Menyatakan bahwa Tergugat I memiliki hutang yaitu kewajiban
membayar hutang pokok kepada para Penggugat sebesar Rp.875.000.000,- dan denda sebesar
Rp.78.750.000,- yang seluruhnya berjumlah Rp.953.750.000,- yang wajib dibayar
oleh Tergugat I kepada Para Penggugat secara tunai dan sekaligus;
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar kewajiban hutang pokok
sebesar Rp.875.000.000,- dan denda sebesar Rp.78.750.000,- secara tunai dan
sekaligus kepada Para Penggugat;
5. Menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) berdasarkan Penetapan
No. 145/Pdt.G/2005/PN.Smg. berikut berita acara sita jaminan No.
145/Pdt.G/2005/PN.Smg. adalah tidak sah dan berharga oleh karenanya
harus diangkat;
6. Menghukum Tergugat I / Turut Terbanding untuk membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat banding sebesar Rp.350.000,-;
7. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Baik Tergugat I maupun Para
Penggugat sama-sama mengajukan upaya hukum kasasi, dimana Tergugat I
berkeberatan terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang
menerangkan bahwa sekalipun Tergugat II tidak pernah menyetujui Tergugat I
berhutang pada Para Penggugat, namun uangnya dipergunakan untuk keperluan
keluarga dan biaya operasional perusahaan yang menjadi sumber penghasilan
keluarga maka patut dipersangkakan Tergugat II secara diam-diam menyetujui
pinjam-meminjam yang dilakukan Tergugat I, dengan demikian dalil Tergugat
II harus ditolak dan Tergugat II juga dinyatakan bertanggung-jawab atas
hutang-hutang tersebut dan juga harus dinyatakan wanprestasi (cidera janji). [Note
SHIETRA & PARTNERS : Dalil Tergugat I sama persis dengan dalil Para
Penggugat dalam Memori Kasasi yang mereka ajukan, terkesan “copy-paste”, indikasi satu “komplotan”,
yang tampaknya memang menyasar pada Tergugat II sebagai target mereka.]
Terhadap pertimbangan hukum
Majelis Hakim Pengadilan Negeri tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi tidak
menyetujuinya dengan alasan sejak terjadi kemelut rumah-tangga antara Tergugat
I dan Tergugat II tidak harmonis lagi, maka pengakuan Tergugat I atas
pinjaman-pinjaman tersebut tidaklah dapat mengikat pada Tergugat II melainkan
hanya mengikat diri dan menjadi tanggung jawab Tergugat I semata, dengan
demikian terhadap Tergugat II agar dihukum membayar sisa hutang pokok sebesar Rp.875.000.000,-
adalah tidak dapat dikabulkan dan secara hukum tidak turut bertanggung-jawab karena
tidak terbukti mengetahui atau menyetujui adanya pinjaman tersebut baik secara
diam-diam ataupun secara jelas dan terang, sehingga tuntutan Para Penggugat
hanya dapat dikabulkan terhadap diri Tergugat I saja sedangkan tentang denda 6 persen
per tahun haruslah dibebankan kepada Tergugat I seorang diri.
Didalilkan pula oleh Tergugat I
selaku suami dari Tergugat II, secara yuridis Undang-Undang Perkawinan sekalipun
hanya mengenal “harta bersama” alias “harta gono-gini”, sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 Ayat (1) dan Ayat (2) jo.
Pasal 36 Ayat (1) dan Ayat (2), yang mengatur bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi “harta bersama”, dalam hal ini dapat dimaknai bahwa
hutang Tergugat I sejumlah Rp.1.000.000.000,- tersebut secara legal-formil
merupakan hutang yang terbit selama dalam perkawinan berlangsung, hutang mana uangnya
digunakan membeli mobil dan modal operasional perusahaan milik sang suami sehingga
menjadi harta yang statusnya menjadi “harta bersama” pasutri.
Dengan demikian, konsekuensi
yuridisnya ialah modal usaha yang telah dipinjam oleh Tergugat I merupakan juga
sebagai “hutang bersama” yang disaat bersamaan menjadi “kewajiban bersama”
Tergugat II selaku istri dari peminjam, ikut bertanggung-jawab untuk membayar
dan melunasinya. Telah ternyata antara Tergugat I dan Tergugat II tidak memiliki
Perjanjian Pisah Harta selama perkawinan berlangsung, oleh karenanya dalam hal
ini baik perolehan harta dalam bentuk keuntungan maupun kerugian, secara hukum menjadi
“kewajiban bersama” pasutri, mengingat hutang-piutang terbit saat Tergugat I
dan Tergugat II masih sah sebagai pasangan SUAMI-ISTERI, sekalipun Pasal 37
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa bila
perkawinan putus karena perceraian maka “harta bersama” menjadi pupus dan
berakhir, namun tidak dapat dimaknai pupusnya “harta bersama” berlaku “secara
surut”, dengan demikian kewajiban membayar sisa hutang menjadi kewajiban
bersama antara Tergugat I dan Tergugat II.
Adapun keberatan Para Penggugat
terhadap putusan Pengadilan Tinggi, terutama ketika Pengadilan Tinggi menganulir
putusan Pengadilan Negeri dengan argumentasi bahwa sejak terjadi kemelut rumah-tangga
antara Tergugat I dan Tergugat II, sepasang pasutri tersebut telah tidak
harmonis lagi, maka pengakuan Tergugat I atas pinjam-meminjam hutang tidaklah
dapat mengikat Tergugat II, melainkan hanya mengikat diri dan menjadi tanggung
jawab pribadi Tergugat I seorang, dengan demikian Pengadilan Tinggi berpendirian
bahwa Tergugat II tidak dapat dihukum bertanggung-jawab membayar sisa hutang sebesar
Rp.875.000.000,- dimana Tergugat II tidak terbukti mengetahui terlebih
menyetujui adanya pinjaman demikian baik secara diam-diam ataupun secara tegas,
sehingga tuntutan Para Penggugat hanya dapat dikabulkan terhadap diri Tergugat
I.
Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 mengenal istilah “harta bersama” (gono-gini), sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 Ayat (1) dan Ayat (2) jo.
Pasal 36 Ayat (1) dan Ayat (2), yang pada pokoknya menegaskan bahwa harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi “harta bersama”. Namun apakah “harta
bersama” hanya dapat dimaknai “hak” atau “kepemilikan” minus “kewajiban” maupun
“hutang”? Fakta hukumnya ialah keberadaan hutang keluarga Tergugat sejumlah
Rp.1.000.000.000,- terjadi pada saat Tergugat I dan Tergugat II masih berstatus
sebagai suami-isteri.
Bila merujuk teori neraca
akutansi, hasil uang hutang demikian akan diperhitungkan sebagai perolehan
harta selama dalam masa perkawinan sehingga statusnya memang merupakan “harta
bersama” karena ada pinjaman yang masuk dalam percampuran harta diantara
keduanya, yang karenanya juga terbit “kewajiban bersama” berupa “hutang bersama”
untuk membayarnya, sementara itu modal hasil hutang digunakan untuk keperluan
bersama yaitu membeli mobil dan untuk operasional perusahaan yang menjadi sumber
penghasilan keluarga bersangkutan, setidaknya Tergugat II patut berprasangka
bahwa dana sebesar itu yang diperoleh oleh suaminya merupakan dana hasil
pinjaman milik pihak ketiga.
“Perolehan harta dari
pinjaman” berakibat terjadi suatu keuntungan maupun kerugian menjadi “resiko
bersama” dan menjadi “kewajiban bersama” pula untuk membayar hutang
keluarga pasutri demikian. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung dalam peradilan tingkat
kasasi membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut
dapat dibenarkan, karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah salah dalam
pertimbangan hukumnya, tentang tidak adanya tanggung jawab dari Tergugat II
atas adanya hutang Pemohon Kasasi yang hanya didasarkan pada bukti P.6 (Surat
Pernyataan) dengan menafsirkan sebagai suatu pengakuan adalah bukti sempurna;
“Berdasarkan fakta hukum /
fakta di persidangan:
1. Pemohon Kasasi kawin dengan Tergugat II (asal) pada tahun 1989, dan mengajukan
perceraian pada tanggal 27 Juli 2005 dan telah diputus pada tanggal 28
September 2005 No. 132/Pdt/G/2005/PN.Smg.;
2. Bahwa hutang-hutang Pemohon Kasasi yang dibuat / dipergunakan untuk usaha
telah terjadi sejak tahun 1999 sampai dengan 2003 (P.1 s/d P.5) yaitu pada
waktu perkawinan masih utuh;
3. Bukti P.1 s/d P.5 diterangkan dalam bukti P.6;
4. Bahwa berdasarkan bukti dan keterangan saksi hutang-hutang tersebut
terjadi pada saat perkawinan berlangsung;
“Bahwa berdasarkan Pasal 35
ayat 1 dan ayat 2 Jo. Pasal 36 ayat 1 dan ayat 2, dengan penafsiran a
contrario, maka semua hutang-hutang yang terjadi pada saat perkawinan / selama
perkawinan adalah tanggung jawab bersama;
“Bahwa Pengadilan Negeri telah
tepat dalam pertimbangan hukumnya, serta benar dalam penerapan hukumnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan
untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : HENDRO ROESTANTO,
dan Pemohon Kasasi II : 1. EDY ROESTANTO, 2. TEGUH HERTANTO, 3. TANTY ANGGRAINI,
dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 205/PDT/2006/PT.SMG.
tanggal 22 Januari 2007 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
145/PDT.G/2005/PN.SMG. tanggal 27 Pebruari 2006 serta Mahkamah Agung mengadili
sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan
dibawah ini;
“M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : HENDRO ROESTANTO,
dan Pemohon Kasasi II : 1. EDY ROESTANTO, 2. TEGUH HERTANTO, 3. TANTY ANGGRAINI
tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 205/PDT/2006/PT.SMG.
tanggal 22 Januari 2007 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
145/PDT.G/2005/PN.SMG. tanggal 27 Pebruari 2006;
“MENGADILI SENDIRI:
- Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan menurut hukum bahwa Tergugat I dan II telah cidera
janji (wanprestatie);
- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar secara
tanggung renteng sisa utang pokok sebesar Rp.787.500.000,- (tujuh ratus
delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan denda sebagai ganti
kerugian atau bunga moratoir sebesar 6% (enam persen) per tahun terhitung
gugatan terdaftar sampai sisa utang pokok dibayar lunas kepada para Penggugat
secara tunai dan sekaligus;
- Menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah diletakkan
oleh Jurusita Pengadilan Negeri Semarang berdasarkan Penetapan No. 145/Pdt/G/2005/PN.Smg
berikut Berita Acara Sita Jaminan No. 145/Pdt/G/2005/PN.Smg adalah sah dan
berharga;
- Menolak gugatan para Penggugat untuk yang lain dan selebihnya.”
Penutup dari SHIETRA & PARTNERS:
Kalangan istri dalam suatu
relasi rumah-tangga perlu belajar dari pengalaman sebagaimana ilustrasi konkret
di atas, bahwasannya hutang yang sepihak dibuat oleh suami, akan di-anggap oleh
lembaga peradilan sebagai “hutang rumah-tangga”, karena “diam-diam” dinikmati
oleh kalangan istri yang tidak sadar sumber pemasukan / pendapatan suaminya
adalah berdasarkan hasil dari pinjaman pihak ketiga. Terlebih, bilamana pendapatan
suami tidak sejalan dengan profil ekonomi suami yang penghasilannya tetap untuk
setiap bulannya—semisal selaku Pegawai Negeri Sipil ataupun pekerja swasta kantoran,
pendapatan tambahan darimanakah, bila bukan berlatar-belakang korupsi, kerja tambahan
/ lembur, ataupun hutang hasil pinjaman?
Tidak terkecuali ketika suami
adalah seorang pengusaha, adalah tidak wajar bilamana mampu membeli banyak aset
operasional usaha tanpa didahului pinjam-meminjam modal usaha—terkecuali suami Anda
memang transparan dalam hal keuangan terhadap istri, juga sebaliknya, perihal sumber
dana. Karenanya, kalangan istri patut menduga bahwa sang suami terlibat dalam
relasi hutang-piutang tanpa sepengetahuan maupun tanpa seizin / persetujuan
pihak istri. Terlebih juga bilamana hasil dari modal pinjaman tersebut dinikmati
oleh sang pasutri dalam rumah-tangga, maka akan menjelma “hutang rumah-tangga” yang
dari itu maka konsekuensi hukum berupa terbitnya “kewajiban bersama” maupun “hutang
bersama”—percampuran harta maupun kewajiban mana terbentuk dari konsensus
secara “diam-diam” ataupun “pembiaran” antara keduanya.
Solusinya, “sedia payung
sebelum hujan”, antisipasi dengan membekali diri kalangan istri lewat mekanisme
yang telah dibuka oleh hukum, yakni membuat Perjanjian Pisah Harta, maka
rumah-tangga dapat dibangun secara “ease
of mind” dan “peace of mind”,
cukup berfokus membangun dan membina rumah-tangga tanpa dicemaskan sengketa
hutang-piutang, gono-gini, dan sebagainya yang bisa mencemari dan mengeruhkan
relasi pasutri. Anggap saja, setiap harinya Anda sedang berkencan dengan istri maupun
suami Anda baik di rumah maupun saat berjalan-jalan di luar rumah, dengan tetap
jajan “bayar masing-masing” yang sesekali mentraktir atau memberi hadiah satu
sama lainnya tidak ada salahnya. Seperti kata pepatah, simple is beautiful.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.