Kewajiban Melekatkan Materai Bersifat per Dokumen, Bukan per Lembar / Halaman Dokumen
Question: Apa benar, ada yang bilang bahwa sanksi denda kekurangan atau tiadanya materai, ialah bahwa seluruh halaman pada dokumen harus diberi materai sebagai sanksi dendanya saat dokumen tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan?
Brief Answer: Itu paradigma yang salah-kaprah, mengingat norma
hukum Undang-Undang Meterai perihal kewajiban pembubuhan bea meterai hanya
bersifat per dokumen, bukan per setiap atau masing-masing halaman pada suatu
dokumen, termasuk ketentuan perihal sanksi denda kurang meterai. Sebagai contoh,
dokumen berupa surat perjanjian terdiri dari puluhan halaman, namun pembubuhan
meterai biasanya cukup pada akhir halaman yang berisi tanda-tangan para pihak
yang membuat perjanjian, yakni 1 (satu) buah meterai tempel atau meterai
elektronik, bukan pada setiap halaman akta tersebut, dimana ketentuan
perihal sanksi denda meterai-nya pun berlaku prinsip serupa.
Bilamana akta berupa surat
perjanjian tersebut cukup dibubuhi 1 (satu) buah meterai, namun telah ternyata tidak
dilekatkan atau tidak dibubuhi meterai, maka sanksi denda meterainya ialah sebesar
100% bea meterai terutang—dalam hal ini berarti menjadi 2 (dua) buah meterai
yang mana cukup dilakukan “pemeteraian kemudian” pada akhir halaman surat
perjanjian dimaksud—yakni meterai terutang lalu disertai denda meterai,
totalnya menjadi 2 (dua) buah meterai per dokumen.
Bila pihak petugas loket “leges
/ nasehelen / nasegel / nazegelen”—kesemuanya merujuk pada arti yang sama,
yakni pelunasan bea meterai yang dilakukan belakangan atas suatu dokumen alias “pemeteraian
kemudian”—pada “Kantor Pos (besar)” yang Anda datangi tersebut tidak juga
kooperatif dan bersikukuh memberi denda bea meterai pada setiap halaman dokumen,
meski undang-undang yang mengatur perihal meterai telah demikian tegas dan
jelas, maka sebaiknya tidak perlu membuang waktu untuk berdebat, cukup mencari
dan pindah ke “Kantor Pos (besar)” lain yang dapat melakukan “pemeteraian
kemudian”.
Selengkapnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, mengatur secara tegas : “Bea
Meterai dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen.” Diatur pula pada UU Meterai, Bea
Meterai terutang pada saat Dokumen
diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen
yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Pembayaran Bea Meterai yang terutang
pada Dokumen dilakukan dengan
menggunakan: a.
Meterai; atau b.
surat setoran pajak. Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk: a. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau
kurang dibayar; dan/atau b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Bea
Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian ditentukan sebesar : Bea Meterai yang
terutang atas Dokumen ditambah
dengan sanksi administratif. Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang
terutang. Bea Meterai yang
terutang menjadi kedaluwarsa setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat
terutang. Seluruh norma hukum di atas
tegas menggunakan istilah “dokumen”, bukan per halaman ataupun lembar dokumen,
sehingga tidak dapat ditafsirkan atau dimaknai lain daripada “per dokumen”.
Kini, terdapat ketentuan yang membedakan praktik semula
ketika pencari keadilan hendak mengajukan alat bukti ke hadapan pengadilan
dalam gugat-menggugat, yakni diatur ulang dalam norma Pasal 3 Ayat (1) huruf
(b) Undang-Undang Meterai mengatur secara eksplisit: “Bea Meterai dikenakan atas: Dokumen
yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.” Penjelasan Resmi : “Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea
Meterai atas Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan,
yaitu:
1. Dokumen yang terutang Bea Meterai yang
belum dibayar lunas, termasuk Dokumen
yang Bea Meterainya belum dibayar lunas tetapi telah kedaluwarsa; dan
2. Dokumen yang sebelumnya tidak dikenai
Bea Meterai karena tidak termasuk dalam pengertian objek Bea Meterai
berdasarkan ketentuan dalam pasal ini.
Dokumen tersebut terlebih dahulu harus dilakukan Pemeteraian
Kemudian pada saat akan dijadikan sebagai alat buktr di pengadilan. Ketentuan
ini menegaskan bahwa jenis Dokumen dapat berubah menjadi jenis Dokumen alat
bukti di pengadilan karena digunakan untuk maksud yang berbeda dengan maksud
saat Dokumen tersebut dibuat.
Dokumen yang merupakan objek Bea Meterai yang telah dibayar Bea Meterainya sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, saat digunakan sebagai Dokumen alat
bukti di pengadilan, tidak wajib lagi
dilakukan Pemeteraian Kemudian.”
PEMBAHASAN:
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2020
TENTANG
BEA METERAI
Pasal
1
Dalam Undang-Undang
ini yang dimaksud dengan
1.
Bea Meterai adalah pajak atas
Dokumen.
2.
Dokumen adalah sesuatu yang ditulis
atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat
dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
4.
Meterai adalah label atau carik
dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan
mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia,
yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen.
5.
Pihak Yang Terutang adalah pihak
yang dikenai Bea Meterai dan wajib membayar Bea Meterai yang terutang.
6.
Pemeteraian Kemudian adalah
pemeteraian yang memerlukan pengesahan dari pejabat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Objek
Bea Meterai
Pasal
3
(1)
Bea Meterai dikenakan atas:
a.
Dokumen yang dibuat sebagai alat
untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata; dan
[Penjelasan : Yang dimaksud dengan “kejadian yang
bersifat perdata” adalah kejadian yang masuk dalam ruang lingkup hukum perdata
mengenai orang, barang, perikatan, pembuktian, dan kedaluwarsa.]
b.
Dokumen yang digunakan sebagai alat
bukti di pengadilan.
[Penjelasan : Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea
Meterai atas Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan,
yaitu:
1. Dokumen yang terutang Bea Meterai yang belum dibayar
lunas, termasuk Dokumen yang Bea Meterainya belum dibayar lunas, tetapi telah
kedaluwarsa; dan
2. Dokumen yang sebelumnya tidak dikenai Bea Meterai
karena tidak termasuk dalam pengertian objek Bea Meterai berdasarkan ketentuan
dalam pasal ini.
Dokumen tersebut terlebih dahulu harus dilakukan
Pemeteraian Kemudian pada saat akan dijadikan sebagai alat buktr di pengadilan.
Ketentuan ini menegaskan bahwa jenis Dokumen dapat berubah menjadi jenis
Dokumen alat bukti di pengadilan karena digunakan untuk maksud yang berbeda
dengan maksud saat Dokumen tersebut dibuat.
Dokumen yang merupakan objek Bea Meterai yang telah
dibayar Bea Meterainya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, saat
digunakan sebagai Dokumen alat bukti di pengadilan, tidak wajib lagi dilakukan
Pemeteraian Kemudian.]
(2)
Dokumen yang bersifat perdata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a.
surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang
sejenis, beserta rangkapnya;
[Penjelasan : Yang dimaksud dengan “surat lainnya yang
sejenis” adalah surat yang sejenis dengan surat pernyataan, antara lain surat
kuasa, surat hibah, dan surat wasiat.]
b.
akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
[Penjelasan : Pada prinsipnya, Bea Meterai sebagai
pajak atas Dokumen hanya dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen. Hal ini mengandung arti
bahwa grosse, salinan, dan kutipan akta notaris dikenai Bea Meterai yang sama
dengan aslinya.]
c.
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
d.
surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
[Penjelasan : Yang dimaksud dengan “surat berharga”
antara lain saham, obligasi, cek, bilyet giro, aksep, wesel, sukuk, surat
utang, warrant, option, deposito, dan sejenisnya, termasuk surat kolektif saham
atau sekumpulan surat berharga lainnya. Sebagai contoh, penerbitan 100
(seratus) lembar saham yang dituangkan dalam 1 (satu) surat kolektif saham,
maka Bea Meterai hanya terutang atas surat kolektif sahamnya saja.]
e.
Dokumen transaksi surat berharga,
termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun;
f.
Dokumen lelang yang berupa kutipan
risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse
risalah lelang;
g.
Dokumen yang menyatakan jumlah uang
dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:
1.
menyebutkan penerimaan uang; atau
2.
berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau
diperhitungkan; dan
[Penjelasan : Jumlah uang ataupun nilai nominal ini juga
dimaksudkan jumlah uang ataupun nilai nominal yang dinyatakan dalam mata uang
asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau nilai nominal
tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku
pada saat Dokumen itu dibuat sehingga dapat diketahui apakah Dokumen tersebut
dikenai atau tidak dikenai Bea Meterai.]
h.
Dokumen lain yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
4
Bea
Meterai dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Tarif
Bea Meterai
Pasal
5
Dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap
sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Pasal
7
Bea Meterai tidak
dikenakan atas Dokumen yang berupa:
a.
Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
1.
surat penyimpanan barang;
2.
konosemen;
[Penjelasan : Konosemen adalah surat muatan kapal atau
surat keterangan (pengantar) barang yang diangkut dengan kapal.]
3.
surat angkutan penumpang dan barang;
4.
bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
5.
surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; dan
6.
surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada
angka 1 sampai dengan angka 5;
[Penjelasan : Yang dimaksud dengan “surat lainnya” adalah
surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 5. Namun, karena isi
dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat dimaksud, maka surat yang demikian
ini tidak dikenai Bea Meterai. Misalnya, surat titipan barang, ceel gudang, dan
manifes penumpang.]
b.
segala bentuk ljazah;
c.
tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang
diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
d.
tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah,
bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e.
kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah,
bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
f.
tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g.
Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang
simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang
menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh
kustodian kepada nasabah;
[Penjelasan : Dokumen yang menyebutkan simpanan uang
mencakup Dokumen yang berisi pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
simpanan nasabah di rekening di bank, koperasi, dan badan lainnya yang
menyelenggarakan penyimpanan uang dan/atau berisi pemberitahuan saldo atas
simpanan tersebut.
Dokumen yang menyebutkan simpanan surat berharga mencakup
pula Dokumen yang berisi pembukuan, penyimpanan, kepemilikan, atau
pemberitahuan saldo surat berharga nasabah di kustodian.
Contoh Dokumen simpanan uang di bank antara lain berupa
tabungan dan giro. Contoh Dokumen simpanan surat berharga di kustodian antara
lain statement of account.]
h.
surat gadai;
i.
tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun; dan
j.
Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan kebijakan moneter.
Saat
Terutang Bea Meterai
Pasal
8
(1)
Bea Meterai terutang pada saat:
a.
Dokumen dibubuhi Tanda Tangan, untuk:
1.
surat perjanjian beserta rangkapnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a;
2.
akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf b; dan
3.
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c.
[Penjelasan : Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen yang
dibubuhi Tanda Tangan dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen itu telah
selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan Tanda Tangan dari yang
bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli, Bea Meterai terutang
pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.]
b.
Dokumen selesai dibuat, untuk:
1.
surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (21huruf d; dan
2.
Dokumen transaksi surat berharga,
termasuk Dokumen transaksi kontrak
berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf e.
[Penjelasan : Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen dibuat oleh
pihak yang menerbitkan Dokumen. Dokumen dalam ketentuan ini tidak melibatkan
atau membutuhkan Tanda Tangan sehingga saat terutang atas jenis Dokumen dalam
ketentuan ini terjadi pada saat Dokumen selesai dibuat. Penentuan selesai
dibuatnya suatu Dokumen biasanya diketahui dari tanggal Dokumen, tetapi dapat
juga diketahui dari tanda lainnya yang dapat menunjukkan saat Dokumen selesai
dibuat. Sebagai contoh adalah trade confirmation pembelian surat berharga saham
di bursa efek yang berupa Dokumen elektronik, Bea Meterai terutang pada saat
trade confirmation dibuat secara sistem oleh perusahaan.]
c.
Dokumen diserahkan kepada pihak
untuk siapa Dokumen tersebut dibuat,
untuk:
1.
surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta
rangkapnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a;
2.
Dokumen lelang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f; dan
3.
Dokumen yang menyatakan jumlah uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g.
[Penjelasan : Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen diserahkan
kepada pihak untuk siapa Dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani,
misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya. Saat terutang untuk Dokumen dalam
ketentuan ini terkait dengan manfaat atas Dokumen yang baru terjadi saat
diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen dibuat.]
d.
Dokumen diajukan ke pengadilan,
untuk Dokumen yang digunakan sebagai
alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b.
e.
Dokumen digunakan di Indonesia,
untuk Dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) yang dibuat di luar negeri.
[Penjelasan : Yang dimaksud dengan “saat digunakan di
Indonesia” adalah saat Dokumen dimaksud dimanfaatkan atau difungsikan sebagai
pelengkap atau penyerta untuk suatu urusan dalam yurisdiksi Indonesia.
Sebagai contoh, Dokumen perjanjian utang piutang yang
dibuat di luar negeri, digunakan di Indonesia pada saat Dokumen tersebut
dijadikan sebagai dasar untuk penagihan utang piutang, dasar untuk pencatatan
atau pembukuan, atau lampiran dalam suatu laporan.]
(2)
Menteri dapat menentukan saat lain terutangnya Bea Meterai.
[Penjelasan : Apabila dalam pelaksanaan di lapangan
terdapat kesulitan mengenai penetapan saat terutangnya Bea Meterai, maka
Menteri dapat menetapkan saat lain selain yang ditentukan dalam Undang-Undang
ini.
Sebagai contoh, dalam hai pembuatan Dokumen berupa bukti
pengalihan surat berharga tidak dapat diketahui saat selesainya, maka dapat
ditetapkan saat lain untuk menentukan saat terutangnya Bea Meterai, misalnya
saat kontrak ditandatangani atau saat dicatat dalam pembukuan.]
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan saat lain terutangnya Bea Meterai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pihak
Yang Terutang Bea Meterai
Pasal
9
(1)
Dokumen yang dibuat sepihak, Bea
Meterai terutang oleh pihak yang menerima Dokumen.
(2)
Dokumen yang dibuat oleh 2 (dua)
pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh masing-masing pihak atas Dokumen yang diterimanya.
(3)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Dokumen berupa surat berharga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, Bea Meterai terutang oleh
pihak yang menerbitkan surat berharga.
(4)
Dokumen yang digunakan sebagai alat
bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Bea
Meterai terutang oleh pihak yang mengajukan Dokumen.
(5)
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, Bea Meterai
terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas Dokumen.
(6)
Ketentuan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk
bersepakat atau menentukan mengenai pihak yang membayar Bea Meterai.
Pasal
11
(1)
Pemungut Bea Meterai wajib:
a.
memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen
tertentu dari Pihak Yang Terutang;
b.
menyetorkan Bea Meterai ke kas negara; dan
c.
melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal
Pajak.
(2)
Pemungut Bea Meterai yang tidak melaksanakan kewajiban pemungutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b, diterbitkan surat ketetapan
pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan.
(3)
Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebesar Bea Meterai yang tidak atau
kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor, ditambah sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea
Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor.
[Penjelasan : Contoh pengenaan sanksi administratif Bea
Meterai:
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan pemungutan Bea
Meterai, ditemukan 15 (lima belas) Dokumen
objek pemungutan Bea Meterai dengan rincian sebagai berikut:
a. 1 (satu) Dokumen telah dipungut dan disetorkan ke kas
negara;
b. 2 (dua) Dokumen tidak dipungut dan tidak disetorkan ke
kas negara;
c. 7 (tujuh) Dokumen telah dipungut, tetapi tidak
disetorkan ke kas negara; dan
d. 5 (lima) Dokumen tidak dipungut, tetapi disetorkan ke
kas negara.
Berdasarkan data tersebut, pengenaan sanksi administratif
adalah sebesar 100% (seratus persen) atas:
a. 2 (dua) Dokumen yang tidak dipungut dan tidak
disetorkan ke kas negara; dan
b. 7 (tujuh) Dokumen yang telah dipungut, tetapi tidak
disetorkan ke kas negara.
Sedangkan atas 1 (satu) Dokumen yang telah dipungut dan
disetorkan ke kas negara dan 5 (lima) Dokumen yang tidak dipungut, tetapi
disetorkan ke kas negara, tidak dikenai sanksi administratif.
Dengan demikian, perhitungan dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) adalah sebagai berikut.
Bea Meterai terutang Rp150.000,00.
Bea Meterai telah disetor = (1 X Rp10.000,00 = Rp.
10.000,00) + (5 X Rp10.000,00 = Rp.50.000,00) = Rp60.000,00.
Bea Meterai kurang disetor = Bea Meterai terutang - Bea
Meterai telah disetor = Rp90.000.
Sanksi Pasal 11 ayat (3) : 100% x 9 x Rp10.000,00 = Rp
90.000.00.
Bea Meterai yang masih harus dibayar = Bea Meterai kurang
disetor + Sanksi = Rp180.000,00.
(4) Pemungut Bea Meterai
yang:
a.
terlambat menyetorkan Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;
dan/atau
b.
tidak atau terlambat melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diterbitkan surat tagihan pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum
dan tata cara perpajakan.
[Penjelasan :
Pembayaran Bea Meterai juga dapat dilakukan dengan
menggunakan surat setoran pajak dalam hal mekanisme pembayaran Bea Meterai
dengan menggunakan Meterai dianggap tidak elisien atau bahkan tidak
dimungkinkan. Misalnya, untuk Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di
pengadilan dalam jumlah besar, yang pembayarannya melalui Pemeteraian Kemudian
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pemberian alternatif dalam pembayaran Bea Meterai ini
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pembayaran Bea Meterai.]
(5)
Ketentuan mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Bea Meterai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
PEMBAYARAN
BEA METERAI YANG TERUTANG
Pasal
12
(1)
Pembayaran Bea Meterai yang terutang pada Dokumen
dilakukan dengan menggunakan:
a.
Meterai; atau
b.
surat setoran pajak.
(2) Meterai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
a.
Meterai tempel;
b.
Meterai elektronik; atau
c.
Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri.
PEMETERAIAN
KEMUDIAN
Pasal
17
(1)
Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:
a.
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar; dan/atau
b.
Dokumen yang digunakan sebagai alat
bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b.
(2)
Pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
[Penjelasan : Pada prinsipnya, pihak yang wajib membayar
Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian adalah Pihak Yang Terutang. Namun
dalam pelaksanaannya, pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian dapat
dilakukan oleh pemegang Dokumen baik sebagai Pihak Yang Terutang maupun bukan
Pihak Yang Terutang.]
Pasal
18
(1)
Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ditentukan sebesar:
a.
Bea Meterai yang terutang atas Dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi
administratif; dan
b.
Bea Meterai yang terutang atas Dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang
terutang.
Pasal
19
(1)
Pihak Yang Terutang yang tidak atau kurang membayar Bea Meterai yang terutang,
diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(2)
Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebesar Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar ditambah
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).
Pasal
23
Bea
Meterai yang terutang menjadi kedaluwarsa setelah jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak saat terutang.
[Penjelasan : Ditinjau dari segi kepastian hukum, kedaluwarsa 5 (lima)
tahun yang dihitung sejak saat terutang Bea Meterai, berlaku untuk semua
Dokumen.]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.