LEGAL OPINION
Question: Apakah opsi hukum yang dapat ditempuh oleh Tergugat yang dalam tingkat pengadilan negeri dinyatakan kalah bahkan putusan serta-merta Penggugat dikabulkan, kemudian objek tanah dialihkan oleh Penggugat kepada pihak ketiga berdasarkan putusan serta-merta tersebut, namun kemudian dalam tingkat kasasi putusan pengadilan negeri telah dibatalkan. Nah, objek tanah tersebut adalah milik kami, dan hak kami untuk itu turut dipulihkan karena Mahkamah Agung telah menganulir putusan pengadilan negeri yang mengandung amar putusan serta-merta. Pertanyaannya, apakah jenis opsi gugatan seperti apa yang terbuka bagi kami untuk menuntut pemulihan hak kami sementara kami sadari bahwa objek tanah telah beralih kepada pihak ketiga? Bagaimana jika objek sengketa masih ada di tangan penggugat yang memenangkan putusan serta-merta, namun kemudian dibatalkan oleh tingkat pengadilan yang lebih tinggi, apakah tergugat harus mengajukan gugatan baru agar penggugat dapat dipaksa juru sita untuk mengembalikan objek sengketa tersebut?
Brief Answer: Pemulihan hak dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri agar dapat menjadi pemilik sah uang jaminan senilai objek sengketa yang menjadi objek putusan serta-merta. Karena objek sengketa telah beralih kepemilikan, maka telah tersangkut paut hak pihak ketiga (yang dalam Legal Opinion ini pihak pembeli akan kita asumsikan memiliki “itikad baik”), sehingga peralihan hak adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Sebab, ketika hakim mengabulkan putusan serta-merta, wajib bagi Penggugat untuk mendapat atau memenuhi prasyarat berikut: mendapat izin ketua Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi, disamping membayar uang jaminan bila seandainya putusan serta-merta dibatalkan dan objek sengketa tidak lagi dipulihkan dalam kondisi semula—uang jaminan inilah yang kemudian secara hukum menjadi milik sah dari Anda selaku Tergugat yang ternyata tidak dihukum atau tidak dikalahkan oleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Untuk meminta kembali objek sengketa yang masih berada di tangan penggugat yang kemudian dikalahkan oleh tingkat pengadilan yang lebih tinggi dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), tidak perlu mengajukan gugatan baru, cukup ajukan permohonan eksekusi putusan yang telah inkracht tersebut.
PEMBAHASAN :
Dalam Rakernas 2012 Mahkamah Agung RI dengan Pengadilan Tingkat Banding Seluruh Indonesia mengenai “Penggunaan Lembaga Putusan Serta Merta” (uitvoerbaar bij voorraad) sebagaimana dipaparkan oleh Ketua Muda Perdata H. Suwardi, S.H., M.H. tanggal 28 Oktober—1 November 2012 di Manado, telah dirumuskan hal-hal prinsipil sebagai berikut:
Istilah “putusan serta merta”, oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia diartikan sebagai suatu “statement” substansi bahwa hakim berwenang menjatuhkan putusan yang berisi amar: “memerintahkan supaya putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun putusan itu belum berkekuatan hukum tetap, bahkan meskipun terhadap putusan itu diajukan perlawanan atau banding.”
Adapun dasar hukum bagi pengadilan menjatuhkan putusan serta-merta (Uitvoerbaar bij voorraad), secara gaib hanya diatur dalam satu pasal yang minim pengaturan, yakni:
· Pasal 180 ayat (1) HIR untuk Jawa dan Madura, serta
· Pasal 191 ayat (1) RBg untuk luar Jawa dan Madura
Pasal 180 ayat (1) HIR :
“Biarpun orang membantah keputusan hakim atau meminta banding, pengadilan boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dijalankan dulu, jika ada suatu tanda alas hak yang otentik atau suatu surat yang menurut peraturan boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan keputusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, atau jika dikabulkan tuntutan sementara, pula dalam hal perselisihan tentang besit.”
Pasal 191 ayat (1) RBg :
“Pengadilan Negeri dapat memerintahkan pelaksanaan sementara keputusannya meskipun ada perlawanan atau banding jika ada bukti yang otentik atau ada surat yang ditulis dengan tangan yang menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku mempunyai kekuatan pembuktian, atau karena sebelumnya sudah ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, begitu juga jika ada suatu tuntutan sebagian yang dikabulkan atau juga mengenai sengketa tentang hak besit.”
Praktis, Mahkamah Agung RI kemudian menerbitkan “peraturan pelaksana” dari ketentuan dalam HIR tersebut, yakni Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001.
Pada prinsipnya putusan serta-merta adalah langka untuk dikabulkan, penuh resiko, oleh sebab secara asasnya, Putusan Pengadilan secara efektif dapat dilaksanakan bilamana putusan telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg memberikan sedikit perkecualian untuk itu, yakni menjatuhkan putusan dengan perintah putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun pihak yang kalah mengajukan upaya hukum seperti perlawanan (verzet), banding, kasasi, dsb. Konsepsi hukum kepailitan pun mengadopsi konsep putusan serta-merta, dimana penetapan pailit oleh Pengadilan Niaga bersifat seketika dapat dijalankan meski terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum kasasi.
Hal tersebut dapat diatur secara spesifik dimana undang-undang menyatakan tegas suatu produk pengadilan bersifat serta-merta, sebagaimana Penetapan Pengadilan Niaga akan perkara kepailitan. Pasal 8 Ayat (7) Undang-Undang Republik Indinesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:
“Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.”
Apakah pernah terjadi putusan pengadilan yang mengabulkan putusan serta-merta (dalam konteks non kepailitan)?
Pada praktiknya, amat langka dijumpai putusan Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung RI yang mengabulkan putusan serta-merta.
Namun berikut salah satu contoh putusan serta-merta yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung RI No. 840 K/Pdt/2005 dalam tingkat kasasi atas gugatan perdata sengketa kepemilikan tanah, yang bermula pada tingkat Pengadilan Negeri Lubuk Pakam telah mengambil putusan, yaitu putusannya No. 18/Pdt.G/2003/PN.Lp tanggal 6 Agustus 2003 yang amarnya sebagai berikut :
DALAM KONPENSI :
TENTANG EKSEPSI :
- Menolak eksepsi Tergugat seluruhnya
TENTANG POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan sita jaminan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dengan Penetapan No. 03/CB/2003/18/Pdt.G/2003/PN.LP tanggal 12 Maret 2003 dan telah dilaksanakan dengan Berita Acara Sita Penjagaan (Conservatoir Beslag) pada hari Jum’at, tanggal 14 Maret 2003 atas tanah sengketa tidak sah dan tidak berharga dan harus dianggap/dicabut.
3. Menghukum Penggugat untuk membayar ongkos-ongkos yang timbul dalam perkara ini, sampai saat ini dihitung sebesar Rp. 894.000,00 (delapan ratus sembilan puluh empat ribu rupiah)
DALAM REKONPENSI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi untuk sebagian.
2. Menyatakan bahwa perjanjian jual beli tanggal 11 Desember 1998 beserta kuasa tanggal 11 Desember 1998 adalah syah secara hukum.
3. Menyatakan bahwa Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi telah melakukan wanprestasi/ingkar janji.
4. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk menyerahkan Sertifikat H.G.B No. 417 untuk tanah seluas 1.589 m2 kepada Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi secara seketika, serta Akte Pengikatan Diri untuk melakukan jual beli No. 103 tanggal 28 Juli 1997 sebagai dasar Tergugat rekonpensi/Penggugat dalam konpensi melakukan jual beli kepada Penggugat rekonpensi/Tergugat dalam konpensi.
5. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk membayar ongkos-ongkos yang timbul dalam gugatan rekonpensi sebesar : NIHIL.
6. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari atas keengganan Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk melaksanakan putusan perkara ini.
7. Menyatakan putusan dapat dijalankan dengan serta merta meskipun adanya Banding, Kasasi maupun perlawanan/verzet (uitvoerbaar bij voorraad).
8. Menolak gugatan Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi selebihnya.
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dengan putusannya No. 343/Pdt/2003/PT.Mdn. tanggal 29 Januari 2004 yang amarnya sebagai berikut :
- Menerima permohonan banding dari Penggugat konpensi/Tergugat rekonpensi/Pembanding ;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, tanggal 6 Agustus 2003 Nomor : 18/Pdt.G/2003/PN-LP, yang dimohonkan banding tersebut ;
MENGADILI SENDIRI
DALAM KONPENSI :
Dalam Eksepsi :
- Menolak Eksepsi Tergugat/Terbanding;
Dalam Pokok Perkara :
- Mengabulkan gugatan Penggugat/Pembanding untuk sebahagian.
- Menyatakan Tergugat/Terbanding telah melakukan wanprestasi kepada Penggugat/Pembanding atas pembayaran secara mencicil yang harus dilakukan Tergugat/Terbanding sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian jual beli tertanggal 11 Desember 1998 yang dilegalisasi oleh Andreas Ngikut Meliala, SH. Notaris di Medan dengan daftar legalisasi Nomor 3.289/1998 (Mono);
- Menyatakan batal dan atau tidak sah dan tidak berkekuatan hukum, yaitu surat perjanjian jual beli antara Penggugat/Pembanding dengan Tergugat/Terbanding tanggal 11 Desember 1998, dengan daftar legalisasi Nomor : 3.289/1998.- (Mono) dan surat kuasa tanggal 11 Desember 1998, yang diperbuat oleh Andreas Ngikut Meliala, SH. Notaris di Medan dengan legalisasi No. 3.290/1998 (Mono);
- Menyatakan sita jaminan yang diletakkan dalam perkara ini sah dan berharga;
- Menghukum Tergugat/Terbanding agar menerima penyerahan uang miliknya dari Penggugat/Pembanding sebesar Rp. 84.512.811,- (delapan puluh empat juta lima ratus dua belas ribu delapan ratus sebelas rupiah);
- Menolak gugatan Penggugat/Pembanding selebihnya;
DALAM REKONPENSI :
- Menolak guagatan rekonpensi untuk seluruhnya;
DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI :
- Menghukum Tergugat konpensi/Penggugat rekonpensi/Terbanding, untuk membayar ongkos perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ini sebesar Rp. Rp.110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah);
Atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut, Tergugat mengajukan kasasi. Majelis Hakim Agung pada tanggal 26 April 2006, menjatuhkan amar putusan dengan bunyi sebagai berikut:
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : NGARIJAN SALIM tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 343/Pdt/2003PT.Mdn tanggal 29 Januari 2004 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 18/Pdt.G/2003/PN.LP tanggal 6 Agustus 2003 ;
MENGADILI SENDIRI :
DALAM KONPENSI :
TENTANG EKSEPSI :
- Menolak eksepsi Tergugat seluruhnya
TENTANG POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan sita jaminan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dengan Penetapan No. 03/CB/2003/18/Pdt.G/2003/PN.LP tanggal 12 Maret 2003 dan telah dilaksanakan dengan Berita Acara Sita Penjagaan (Conservatoir Beslag) pada hari Jum’at, tanggal 14 Maret 2003 atas tanah sengketa tidak sah dan tidak berharga dan harus dianggap/dicabut.
DALAM REKONPENSI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi untuk sebagian.
2. Menyatakan bahwa perjanjian jual beli tanggal 11 Desember 1998 beserta kuasa tanggal 11 Desember 1998 adalah syah secara hukum.
3. Menyatakan bahwa Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi telah melakukan wanprestasi/ingkar janji.
4. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk menyerahkan sertifikat H.G.B No. 417 untuk tanah seluas 1.589 m2 kepada Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi secara seketika, serta Akte Pengikatan Diri untuk melakukan jual beli No. 103 tanggal 28 Juli 1997 sebagai dasar Tergugat rekonpensi/Penggugat dalam konpensi melakukan jual beli kepada Penggugat rekonpensi/Tergugat dalam konpensi.
5. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk membayar ongkos-ongkos yang timbul dalam gugatan rekonpensi sebesar : NIHIL.
6. Menghukum Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat dalam rekonpensi /Tergugat dalam konpensi sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari atas keengganan Tergugat dalam rekonpensi/Penggugat dalam konpensi untuk melaksanakan putusan perkara ini.
7. Menyatakan putusan dapat dijalankan dengan serta merta meskipun adanya Banding, Kasasi maupun perlawanan/verzet (uitvoerbaar bij voorraad).
8. Menolak gugatan Penggugat dalam rekonpensi/Tergugat dalam konpensi selebihnya.
9. Menghukum Termohon Kasasi / Penggugat / Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Dengan demikian Mahkamah Agung RI telah membenarkan putusan serta-merta yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri.
Dalam Rakernas 2012, Mahkamah Agung menyatakan bahwa kewenangan hakim menjatuhkan putusan serta merta merupakan diskresioner, oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam menjatuhkan jenis putusan ini, sekalipun persyaratan yang ditentukan dalam hukum acara perdata secara formil telah terpenuhi, karena apabila putusan serta merta sudah dieksekusi barang sudah diserahkan kepada pemohon eksekusi putusan serta-merta atau bahkan telah dijual kembali kepada pihak ketiga, kemudian di tingkat banding atau kasasi putusan Pengadilan Negeri dibatalkan dan gugatan ditolak akan timbul masalah untuk mengembalikan dalam keadaan semula obyek eksekusi.
SEMA No. 3 Tahun 2000 merinci persyaratan untuk menjatuhkan putusan serta merta, yakni:
a. Gugatan didasarkan pada bukti autentik atau surat tulisan tangan (handscrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
b. Gugatan tentang hutang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah.
c. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad tidak baik.
d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.
e. Dikabulkannya gugatan provisonil, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv.
f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan.
g. Pokok sengketa mengenai bezitsreht.
Mahkamah Agung selanjutnya membuat pernyataan penting sebagai berikut:
“Didalam SEMA No. 3 Tahun 2000 Mahkamah Agung memerintahkan agar petunjuk dalam SEMA tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab dan bila ternyata ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaannya Mahkamah Agung akan mengambil tindakan-tindakan terhadap pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian dalam SEMA tersebut terdapat ancaman sanksi administratif bagi Ketua Pengadilan dan Hakim yang melakukan penyimpangan, dalam penerapan lembaga putusan serta merta.”
Disamping itu, SEMA No. 3 Tahun 2000 menegaskan, apabila majelis hakim akan mengabulkan permohonan putusan serta-merta harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan.
Mahkamah Agung kemudian menyatakan, berdasarkan ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg serta Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut di atas, yang berwenang menjatuhkan putusan serta merta adalah Pengadilan Negeri sehingga Pengadilan Tinggi tidak berwenang (meski dalam praktek masih ada Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan putusan serta-merta).
Selanjutnya Mahkamah Agung membuat sebuah pernyataan yang penuh akan nuansa falsafah hukum, sebagaimana tertuang dengan bunyi sebagai berikut:
“Pada asasnya pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat dijalanlan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam arti terhadap putusan yang bersangkutan sudah tertutup upaya hukum banding dan kasasi, akan tetapi asas umum selalu ada pengecualian (eksepsional) yaitu (termasuk juga) terhadap putusan serta merta.”
Jika perkara sudah sampai di tingkat kasasi sedangkan putusan serta merta belum dieksekusi, siapa yang berwenang untuk memberikan persetujuan, Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan Tinggi? Untuk itu Mahkamah Agung menguraikan:
“Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2000 tidak merinci perkara sampai dimana, akan tetapi menentukan yang pada pokoknya, untuk melaksanakan putusan serta merta dan putusan provisonil Ketua Pengadilan Negeri meminta persetujuan ke Pengadilan Tinggi. Dari ketentuan tersebut maka yang berwenang untuk memberikan persetujuan eksekusi putusan serta merta adalah Pengadilan Tinggi sekalipun pemeriksaan perkara sudah sampai di tingkat kasasi.”
Apabila Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, maka kepada Penggugat dibebani untuk memberikan jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi, dengan tujuan agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang menganulir putusan pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan putusan serta-merta.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2000 tidak dirinci jaminan tersebut dalam bentuk apa, akan tetapi dalam SEMA No. 6 Tahun 1975 ditentukan :
1. Bahwa benda-benda jaminan hendaknya yang mudah disimpan dan mudah digunakan untuk mengganti pelaksanaan jika putusan yang bersangkutan tidak dibenarkan nanti oleh hakim banding atau dalam kasasi.
2. Jangan menerima penjaminan orang (borg) untuk menghindarkan pemasukan pihak ketiha dalam proses.
3. Penentuan benda serta jumlahnya terserah Ketua Pengadilan Negeri. [Note SHIETRA & PARTNERS: ketentuan ini rawan penyalahgunaan.]
4. Benda-benda jaminan dicatat dalam daftar tersendiri seperti daftar benda-benda sitaan dalam perkara perdata.
Tentang pemberian jaminan tersebut dipertegas lagi dalam SEMA No. 4 Tahun 2001, bahwa tanpa jaminan tersebut, tidak boleh ada pelaksanaan putusan serta merta.
Merujuk kembali pada ketentuan SEMA No. 6 Tahun 1975 diatas, maka jenis jaminan dapat berbentuk uang maupun berbentuk benda/barang, yang mudah disimpan dan mudah untuk dijual misalnya emas, akan tetapi untuk mempermudah mengganti pelaksanaan jika putusan Pengadilan Negeri dibatalkan di tingkat banding atau kasasi sebaiknya jaminan dalam berbentuk uang, demikian disampaikan Mahkamah Agung.
Apabila putusan serta merta telah dieksekusi, obyek eksekusi telah diserahkan kepada pemohon eksekusi, kemudian putusan Pengadilan Negeri di tingkat banding dan kasasi dibatalkan dan gugatan Penggugat ditolak seluruhnya, maka harus dilakukan pemulihan dalam keadaan semula.
Jika obyek eksekusi masih utuh, obyek eksekusi tersebut harus diserahkan kembali kepada termohon eksekusi.
Permasalahannya, bagaimana kalau obyek eksekusi berupa objek gedung diatas tanah kemudian sudah dibongkar oleh penggugat, sehingga mengalami kesulitan untuk mengembalikan dalam keadaan semula?
Disinilah letak pentingnya lembaga penjaminan dalam eksekusi putusan serta merta, karena dengan adanya jaminan, maka apabila jaminan dalam bentuk uang pengadilan dapat langsung menyerahkan uang jaminan tersebut kepada termohon eksekusi. Akan tetapi kalau jaminan berbentuk barang, akan memakan waktu yang cukup lama karena barang tersebut harus dijual dulu.
Dalam praktek, Mahkamah Agung mengungkapkan, masih terdapat Ketua Pengadilan yang tidak memahami tentang eksekusi putusan serta merta dan pemulihan dalam keadaan semula sehingga dapat merugikan pencari keadilan.
Mahkamah Agung kemudian memberikan sebuah ilustrasi. Pernah terjadi di Pengadilan Negeri Majalengka, berdasarkan putusan serta merta telah diserahkan tanah terperkara kepada Penggugat. Pada tingkat kasasi putusan Pengadilan Negeri dibatalkan. Sudah 3 tahun sejak putusan Mahkamah Agung diberitahukan, tanah dan rumah belum dipulihkan dalam keadaan semula dengan jalan menyerahkan kembali kepada Tergugat. Berkali-kali Tergugat meminta pemulihan akan tetapi ditolak Pengadilan Negeri, dengan alasan untuk pemulihan kembali dalam keadaan semula eksekusi putusan serta merta harus melalui gugatan perdata, sedangkan menurut Tergugat pemulihan kembali dapat dilaksanakan tanpa gugatan, sebab pemulihan kembali dapat dilaksanakan tanpa gugatan, sebab pemulihan itu merupakan satu kesatuan yang melihat pada eksekusi putusan tersebut.
Untuk itu Mahkamah Agung kemudian membuat komentar:
Dalam kasus Pengadilan Negeri Majalengka tersebut di atas nampaknya Ketua Pengadilan Negeri pada saat itu belum memahami acara perdata mengenai eksekusi serta merta, akan tetapi sebaliknya justru termohon eksekusi/Tergugat lebih mengetahui.
Pendapat termohon eksekusi/Tergugat tersebut benar, pemulihan hak kepada Tergugat dalam putusan serta merta merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan eksekusi yang mendahuluinya.
Pada hakikatnya eksekusi yang dijalankan berdasarkan putusan serta merta, bukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (res judicata) oleh karena itu eksekusi yang dijalankan masih bersifat sementara, oleh karena itu harus segera dipulihkan dalam keadaan semula tanpa syarat apabila putusan serta merta dibatalkan di tingkat banding atau kasasi.
Pemulihan dalam keadaan semula dapat dilaksanakan :
1. Dilakukan secara suka rela oleh penggugat yang pada putusan akhirnya dinyatakan bahwa gugatannya ditolak atau tidak diterima; atau
2. Dieksekusi dengan paksa melalui Pengadilan apabila Penggugat tidak mau melaksanakan secara suka rela.
Apabila eksekusi serta merta telah dijalankan, obyek sengketa telah diserahkan kepada Penggugat, kemudian Penggugat menjual kepada pihak ketiga, kemudian putusan serta merta dibatalkan dalam tingkat banding dan kasasi dan Tergugat menghendaki agar obyek eksekusi dipulihkan kepadanya dalam bentuk fisik, maka pemulihannya tidak bisa langsung, harus melalui gugatan perdata, akan tetapi apabila terbukti bahwa pihak ketiga tersebut sebagai pembeli yang beritikad baik harus dilindungi. Mahkamah Agung dalam Rakernas 2012 kemudian menyatakan keberlakuan yurisprudensi tetap sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 323 K/Sip/1968 yang menyatakan :
“Pembeli dalam lelang eksekusi apabila telah terjadi execute bij voorraad, sedang putusan pengadilan yang bersangkutan kemudian dibatalkan, jalan yang dapat ditempuh untuk mengembalikan upaya semula adalah penuntutan terhadap barang-barang jaminan yang diserahkan oleh executans pada waktu mengajukan permohonan executie. “
Mahkamah Agung membuat kesimpulan sebagai berikut. Apabila putusan serta merta telah dilaksanakan kemudian putusan Pengadilan Negeri di tingkat banding atau kasasi dibatalkan maka harus dilakukan eksekusi pengembalian dalam keadaan semula.
- Jika obyek eksekusi masih ada di tangan pemohon eksekusi, pengembalian dalam keadaan semula dilaksanakan secara langsung.
- Jika obyek eksekusi telah dipindahtangankan kepada pihak ketiga misalnya dijual atau dihibahkan, maka pengembalian dalam keadaan semula harus dilakukan dengan mengajukan gugatan.
Apabila hakim akan menjatuhkan putusan serta merta harus mengkaji secara mendalam syarat utama menjatuhkan putusan serta merta, yaitu harus didukung dengan bukti-bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, bernilai kekuatan mengikat dan bernilai kekuatan pembuktian yang menentukan.
Sebagai penutup, Mahkamah Agung membuat peringatan tegas, bahwa berdasarkan SEMA No. 3 Tahun 2000 ditentukan apabila ternyata ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan SEMA tersebut, Mahkamah Agung akan mengambil tindakan-tindakan terhadap pejabat yang bersangkutan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.