Surat Kuasa Menjual Tanah maupun APHT, Uang Hasil Penjualan Tetap Milik Pemberi Kuasa

Penerima Surat Kuasa Menjual Tanah, Tidak Menyerahkan Uang Hasil Penjualan Tanah kepada Pemberi Kuasa, Dituntut PIDANA PENGGELAPAN terhadap Uang Hasil Penjualan Tanah

Question: Ada pandangan yang menyebutkan bahwa ketika seseorang diberikan Surat Kuasa Menjual Tanah, maka itu artinya uang hasil penjualan boleh dikuasai sendiri secara sepenuhnya oleh pihak penerima kuasa. Semisal penerima kuasa (untuk) menjual diberikan kepada salah seorang anak, artinya anak-anak lainnya tidak berhak menuntut untuk mendapat bagian dari hasil penjualan itu ketika ternyata secara kebetulan pihak pemberi kuasa meninggal dunia tidak lama setelah tanah berhasil dijual oleh penerima kuasa?

Brief Answer: Sebagaimana namanya, pemberian kuasa hanyalah memberikan kuasa kepada “penerima kuasa” untuk mewakili “pemberi kuasa” akan tetapi dalam rangka untuk kepentingan (for the best interest) pihak “pemberi kuasa”—tidak dapat dimaknai sebaliknya. Pemberian kuasa yang justru merugikan pihak “pemberi kuasa”, bukanlah pemberian kuasa, namun hibah yang bentuknya ialah Akta Hibah. Konsekuensi dibalik hibah kepada salah seorang ahli waris ialah, disaat bersamaan mengurangi hak waris dari penerima hibah, sehingga tidak merugikan ahli waris-ahli waris lainnya.

Dapat SHIETRA & PARTNERS pahami dan akui maraknya salah-kaprah yang terjadi di tengah masyarakat, tidak terkecuali praktik di lembaga-lembaga pemerintahan seperti di Kantor Lelang Negara. Sebagai contoh, ketika suatu bidang tanah diikat sebagai jaminan pelunasan utang (agunan) berupa Hak Tanggungan, maka dasar penerbitan Akta Hak tanggungan ialah Akta Pemberian / Pembebanan Hak tanggungan (APHT) yang salah satu klausul didalamnya ialah pihak pemilik jaminan memberikan kuasa kepada pihak kreditor untuk menjual lelang eksekusi Hak Tanggungan ketika terjadi wanprestasi atau “cidera janji” dari pihak debitor.

Perihal uang hasil penjualan secara lelang, tetap milik pemilik agunan. Ketika hasil lelang melampaui “nilai pertanggungan” dalam APHT, sekalipun nilai “piutang konkurennya” melampaui “nilai pertanggungan” dalam APHT, maka pihak kreditor berkewajiban menyerahkan sisa hasil lelang tersebut kepada pihak pemilik agunan—bila tidak, dapat didakwa dan dituntut telah melakukan tindak pidana “penggelapan” terhadap sebagian dana hasil penjualan lelang eksekusi Hak Tanggungan, atas dasar laporan pihak pemilik agunan.

PEMBAHASAN:

Apa yang menjadi pendirian SHIETRA & PARTNERS demikian, bukanlah suatu wacana, namun memang sudah terdapat preseden yang menjadi “best practice” peradilan di Indonesia—salah satunya dapat penulis ilustrasikan lewat contoh konkret putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “penggelapan dalam keluarga” register Nomor 179 K/Pid/2019 tanggal 13 Maret 2019, dimana Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa:

1. Menyatakan bahwa Terdakwa Babatang bin Kacco (Alm) terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHPidana Penuntut Umum;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Babatang bin Kacco dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan.

Terhadap dakwaan serta tuntutan pihak Penuntut Umum, yang kemudian menjadi Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong, Nomor 274/Pid.B/2018/PN Trg, tanggal 28 Agustus 2018, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa Babatang bin Kacco (Alm) tersebut di atas, terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana;

2. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum;

3. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;

4. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;

5. Menetapkan barang bukti berupa:

- 1 (satu) lembar foto copy kuitansi tanda terima uang a.n. Babatang Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 25 Januari 2017 yang sudah dilegalisir;

- 1 (satu) lembar foto copy kuitansi tanda terima uang a.n. Sdr. Babatang Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 1 April 2017 yang sudah dilegalisir;

- 1 (satu) lembar foto copy surat pernyataan penggarapan / penguasaan tanah a.n. Babatang tanggal 24 Oktober 2018 yang sudah dilegalisir;

Tetap terlampir dalam berkas perkara;

6. Membebankan biaya perkara kepada negara;”

Pihak Kejaksaan selaku Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa terhadap alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

- Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum dan keliru dalam mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang relevan secara yuridis sebagaimana yang terungkap di dalam persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan secara sah sesuai ketentuan hukum, yaitu Terdakwa melakuan perbuatan tanpa sepengetahuan dan izin dari saksi Nasi, ibu Terdakwa, sebagai pemilik tanah dalam perkara a quo yang terletak di Rt.05, Kelurahan Bukit Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, seluas + 2,2 ha, telah membuat surat kepemilikan atas tanah tersebut dengan mengatas-namakan Terdakwa, kemudian menjualnya kepada pihak lain dengan harga Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah), dan tidak menyerahkan sedikitpun uang penjualan tanah tersebut kepada ibunya yaitu saksi Nasi;

- Bahwa Terdakwa mengetahui jika ibunya (saksi Nasi), membeli tanah seluas 2,2 ha tersebut dari saksi Hamzah seharga Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) yang uang pembeliannya diperoleh dari harta milik ibunya di Sulawesi Selatan, dengan kata lain tanah yang dibeli dari saksi Hamzah tersebut terdapat didalamnya hak dari saksi Nasi (ibu Terdakwa), sehingga meskipun tanah yang dibeli dari saksi Hamzah tersebut diatas-namakan Terdakwa hanya karena ibu Terdakwa buta huruf, tidak mengetahui serta karena kepercayaan ibunya kepada Terdakwa, bukan berarti tanah hasil beli dari saksi Hamzah tersebut sebagai milik sah Terdakwa, karena uang pembelian tanah tersebut bersumber dari hasil jual beli tanah dan rumah kepunyaan ibunya di Sulawesi Selatan, dan setelah tanah tersebut dibeli, juga dikerjakan saksi Nasi bersama Terdakwa. Dengan demikian hak milik tanah yang dibeli dari saksi Hamzah tersebut masih merupakan hak milik saksi Nasi, jika kemudian tanah hasil beli dari saksi Hamzah seluas 2,2 ha tersebut dijual Terdakwa sebesar Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) dan uang tersebut dimiliki sendiri oleh Terdakwa tanpa membagi kepada ibunya sedikitpun, perbuatan Terdakwa memenuhi unsur penggelapan, meskipun kata Terdakwa tanah dan bangunan milik ibunya tersebut sudah diganti tanah milik Terdakwa di tempat yang sama di Sulawesi Selatan, akan tetapi tidak terdapat bukti yang menguatkan dalil Terdakwa tersebut;

- Bahwa dengan pertimbangan di atas, maka berdasarkan ketentuan hukum kasasi Penuntut Umum dapat dikabulkan dan membatalkan putusan Judex Facti / Pengadilan Negari tersebut, selanjutnya mengadili sendiri dengan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan”, melanggar Pasal 372 KUHPidana sesuai dakwaan tunggal Penuntut Umum;

- Bahwa dengan demikian Terdakwa harus dijatuhi pidana berupa pidana penjara dengan mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan Terdakwa, sebagaimana tercantum dalam amar putusan;

“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 372 KUHPidana, sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Tunggal, oleh karena itu Terdakwa tersebut telah terbukti bersalah dan dijatuhi pidana;

“Menimbang bahwa dengan demikian terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tersebut dan membatalkan putusan Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong, Nomor 274/Pid.B/2018/PN.Trg, tanggal 28 Agustus 2018 untuk kemudian Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

“Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan pidana, Mahkamah Agung akan mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi Terdakwa:

Keadaan yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa meresahkan dan merugikan orang lain secara materiil dan immaterial, dalam hal ini ibu Terdakwa sendiri, saksi Nasi;

Keadaan yang meringankan:

- Terdakwa menyesali perbuatannya;

- Terdakwa sopan dan berterus terang di persidangan;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara Kalimantan Timur tersebut;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong, Nomor 274/Pid.B/2018/PN Trg, tanggal 28 Agustus 2018, tersebut;

MENGADILI SENDIRI:

1. Menyatakan Terdakwa BABATANG bin KACCO (Alm) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;

3. Memerintahkan supaya Terdakwa ditahan;

4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

5. Menetapkan agar barang bukti:

- 1 (satu) lembar foto copy kuitansi tanda terima uang a.n. Sdr. Babatang Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 25 Januari 2017 yang sudah dilegalisir;

- 1 (satu) lembar foto copy kuitansi tanda terima uang a.n. Sdr. Babatang Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 1 April 2017 yang sudah dilegalisir;

- 1 (satu) lembar foto copy surat pernyataan penggarapan/penguasaan tanah a.n. Babatang tanggal 24 Oktober 2008 yang sudah dilegalisir; Tetap terlampir dalam berkas perkara;

6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.