Salah Satu Budaya / Karakter Khas Orang Indonesia : TIDAK MAU BERTANGGUNG-JAWAB BAYAR GANTI-RUGI—Watak Tidak Bertanggung-Jawab dapat menjadi Bumerang, Berbuntut Pidana Pengrusakan
Question: BIla ada orang yang sudah kami kenal sebelumnya
maupun yang belum pernah kami kenal, tanpa diduga telah mengrusak salah satu
bagian rumah kami, apakah bisa dilapor pidana? Pelakunya sesudah mengrusak,
tidak meminta maaf, tidak juga menyatakan bersedia bertanggung-jawab
mengganti-rugi apa yang sudah ia rusak, sengaja ataupun tidak disengaja
(merusak).
Atau ada pula yang sekadar semudah “meminta maaf”, lalu pergi begitu saja tanpa rasa bersalah. Atau “gimmick” akan bertanggung-jawab, namun sukar ditagih realisasinya. Begitu mudahnya mereka berkelit, “Tidak sengaja!” Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pengecut, begitu penakutnya mereka untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri, namun masih pula mengharap masuk surga dan berbicara besar perihal Tuhan, surga, dan neraka.
Brief Answer: Bila motif atau niat batin si pelaku (mens rea) ialah sengaja melakukan
pengerusakan terhadap sebagian ataupun seluruh properti milik orang lain,
sehingga menimbulkan kerugian bagi pemilik properti, maka telah diatur larangan
serta ancaman hukumannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sementara itu bilamana terjadinya kerusakan tanpa dilandasi adanya “niat jahat”
si pelaku, maka dapat digugat secara perdata dengan kriteria “perbuatan melawan
hukum”, karena telah terbit kewajiban membayar sejumlah ganti-kerugian bagi
pihak penggugat sejak kerugian diderita korban (Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).
Harus kita akui, watak dasariah masyarakat kita
di Indonesia, baik itu kaum muda maupun kaum dewasa, sekalipun dikenal
“agamais”—berbusana agamais, rajib beribadah, serta mengaku ber-Tuhan. Mereka
mengaku yakin adanya “alam neraka”, namun kemudian berlindung dibalik dogma
“penghapusan dosa”—ialah seolah paling pantang untuk bertanggung-jawab terhadap
akibat perbuatannya sendiri, sekalipun jelas-jelas menimbulkan kerugian bagi
warga lainnya.
Namun adakalanya, sikap tidak bertanggung-jawab
demikian justru menjadi bumerang bagi si pelaku itu sendiri, karena akibat atau
konsekuensinya ialah berbuntut pemidanaan. Tidak disengaja, bukanlah alasan
pemaaf (penghapus kesalahan pidana) juga bukanlah alasan yang dapat diterima
untuk berkelit dari tanggung-jawab membayar ganti-kerugian secara perdata dalam
bangsa yang mengaku sudah beradab.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk untuk memudahkan
pemahaman, yakni putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “pengrusakan” register
Nomor 245 K/PID/2014 tanggal 2 April 2014, dimana Terdakwa didakwa karena dengan
sengaja dan melawan hukum telah menghancurkan atau merusak membikin tidak
dapat dipakai sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP.
Bermula ketika Terdakwa menagih
hutang kepada ALAI, selanjutnya Terdakwa mendapat informasi bahwa ALAI sudah
tidak tinggal lagi di daerah semula. Selanjutnya Terdakwa bersama dengan temannya
pergi ke suatu tempat yang diyakini menjadi kediaman baru ALAI. Setelah tiba,
saksi FAISAL menunjukkan rumahnya kepada Terdakwa. Selanjutnya Terdakwa bersama
dengan rekannya sampai di dekat depan pintu rumah RUSDI, kemudian Terdakwa
menabrak pintu rumah tersebut. Pada saat itu korban RUSDI sedang tidur di dalam
rumahnya dan terbangun, selanjutnya korban RUSDI keluar rumah lalu membuka
pintu dan melihat keberadaan Terdakwa bersama dengan rekannya.
Terdakwa lalu berkata kepada
korban RUSDI “mana abangmu, mana adikmu (dengan nada kasar)”. Korban RUSDI
melihat pintu rumahnya sudah rusak, lalu berkata, “kok arogan kali kau datang
ke rumah orang, sampai pintu rumah aku rusak”. Dijawab Terdakwa : “aku tidak
sengaja.” Selanjutnya Terdakwa bersama dengan rekannya pergi meninggalkan
korban RUSDI dengan menggunakan sepeda motor Yamaha Jupiter MX warna merah
BK-3534-YAO (hit and run). Akibat
perbuatan Terdakwa, saksi Rusdi mengalami kerugian sebesar Rp2.000.000,00.
Yang menjadi tuntutan pihak Jaksa
/ Penuntut Umum, ialah menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara
selama 8 (delapan) bulan. Yang unik, dalam tuntutannya pihak Penuntut Umum
meminta agar barang bukti berupa sepeda motor Yamaha warna Merah Maron Nomor
Polisi BK-3534-YAQ, dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak yaitu Terdakwa—sekalipun
kendaraan tersebut yang digunakan oleh Terdakwa sebagai alat untuk melakukan
delik pidana pengrusakan.
Yang kemudian putusan
Pengadilan Negeri Rantau Prapat, sebagaimana register Nomor 859/Pid.B/2012/PN.RAP
tanggal 29 Mei 2013, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa STEVEN HIE WIJAYA alias AHl, telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pengrusakan”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) bulan;
3. Memerintahkan Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara;
4. Menetapkan agar barang bukti berupa:
- 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha warna merah Maron Nomor Polisi BK
3534 YAQ Nomor Rangka: MH355S001BK039806, Nomor Mesin 55S-040752, dikembalikan
kepada pemiliknya yang berhak yaitu Terdakwa;”
Dalam tingkat banding, yang
menjadi putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 359/PID/2013/PT-MDN. tanggal 29
Agustus 2013, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Jaksa / Penuntut Umum dan Penasehat
Hukum Terdakwa tersebut;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat tanggal 29 Mei 2013,
Nomor: 859/Pid.B/2012/PN-Rap, yang dimintakan banding tersebut;”
Pihak Terdakwa mengajukan upaya
hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa pengadilan tidak mempertimbangkan
dengan baik unsur “dengan sengaja” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 406 ayat
(1) KUHP, tetapi menyimpulkan lewat asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh
Terdakwa telah memenuhi unsur “dengan sengaja” sebagaimana diatur Pasal 406
Ayat (1) KUHP.
Unsur sengaja sebagaimana yang
dijelaskan oleh Jan Remmelink dalam bukunya “HUKUM PIDANA : Komentar atas
pasal-pasal penting dari KUHP Belanda dan pandangannya dalam KUHP Indonesia”
menyebutkan dalam kesengajaan (dolus)
terkandung elemen “diketahui dan dikehendaki” akibat dari suatu perbuatan
pidana, dimana dijelaskan lebih lanjut tindakan dengan sengaja selalu
dikehendaki dan disadari akibatnya. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Rantau Prapat ada pula menyinggung perihal teori “dengan
sengaja”, bahwa harus diartikan salah satu bentuk dari:
a. sengaja sebagai
tujuan/maksud;
b. sengaja sebagai tujuan yang
pasti sebagai keharusan; atau
c. sengaja sebagai kemungkinan
akan timbul akibatnya.
Ketiga bentuk “sengaja” di atas
di dalam praktek pengadilan dapat bersifat alternatif, dimana penerapannya
kasuistik sesuai karakter suatu perkara. Akan tetapi, masalahnya, Majelis Hakim
tidak merinci dengan jelas apakah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh
Terdakwa telah memenuhi kehendak dan pengetahuan dari unsur “dengan sengaja”
ini. Majelis Hakim bersikap sumir, tidak merinci dari fakta hukum yang mana
elemen kehendak dan pengetahuan tersebut telah terpenuhi dari perbuatan
Terdakwa.
Majelis Hakim juga dinilai tidak
menyebutkan bentuk sengaja yang mana dari ketiga bentuk “dengan sengaja” yang
disebutkan diatas, yang terpenuhi dari tindakan yang dilakukan Terdakwa sehingga
dapat dikatakan Terdakwa telah sengaja melakukan pengerusakan terhadap barang
milik korban pelapor. Pihak Terdakwa mendalilkan, Terdakwa mendatangi rumah korban karena
Terdakwa hendak menagih hutang adik dari korban yang berada di rumah korban. Kondisi
jalan menuju rumah korban kontrunya menurun dan licin oleh karena baru turun
hujan, menjadi pemicu Terdakwa secara “tidak sengaja” menabrak pintu garasi
rumah saksi korban oleh karena Terdakwa terpeleset saat hendak memasuki halaman
rumah korban, sehingga Terdakwa terjatuh dan sepeda motor Terdakwa mengenai
pintu garasi rumah korban.
Terdakwa mendalilkan pula, saat
kejadian, Terdakwa juga telah “meminta maaf” kepada pihak korban, akan tetapi saksi
korban tidak mengindahkannya—yang dibutuhkan korban ialah sikap
bertanggung-jawab pelaku, yakni membayar ganti-kerugian, bukan “maaf”.
Sebagaimana namanya, “MEMINTA maaf”. Maka bila “maaf” tidak diberikan, itu
adalah hak prerogatif pihak yang diminta “maaf”. “Meminta maaf” bukanlah alasan
pemaaf, baik secara pidana maupun secara perdata.
Terdakwa menambahkan, tindakan
yang dilakukan Terdakwa bukanlah dengan sebab sengaja serta merta akan tetapi
di luar kemampuan Terdakwa. Dengan adanya faktor kondisi jalan yang licin dan
menurun menuju rumah korban, mengakibatkan pintu garasi rumah saksi korban
mengalami sedikit penyok akibat Terdakwa terjatuh sewaktu menjalani jalan
menuju rumah korban. Tidak terbukti adanya kesengajaan, maka Pasal 406 Ayat (1)
KUHPidana menjadi tidak dapat diberlakukan terhadap Terdakwa.
Terdakwa mendalilkan pula, dalam
hukum pidana dikenal dengan “teori kausalitas” yang menunjukkan hubungan sebab
akibat dalam mewujudkan delik, namun pengadilan telah tidak mempertimbangkan
bahwa tindakan yang dilakukan Terdakwa merupakan tindakan yang tidak sengaja, diluar
kemampuan Terdakwa, oleh karena kondisi jalan yang menuju rumah korban yang
licin akibat turun hujan, mengakibatkan Terdakwa tergelincir dan sepeda motor
Terdakwa mengenai pintu garasi rumah korban. Pengadilan tidak mempertimbangkan serangkaian
peristiwa yang melatar-belakangi kejadian tersebut. Pengadilan mengambil
keputusan atas suatu perkara atas potongan-potongan suatu kejadian, tanpa
melihat keseluruhan rangkaian peristiwa. terutama yang melatar-belakangi sekaligus
menjadi sebab terjadinya suatu peristiwa.
Secara panjang-lebar Terdakwa
membuat dalil dan berteori, namun tidak satupun baik eksplisit maupun implisit
hendak bertanggung-jawab saat maupun sesudah kejadian. Dimana terhadapnya,
Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi
dari Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena
putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi yang menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri untuk keseluruhannya merupakan putusan yang mempertimbangkan secara
tepat dan benar seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan dan relevan
secara yuridis, sesuai dengan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan
yaitu Terdakwa melakukan perbuatan menabrak dengan sepeda motornya terhadap
pintu garasi rumah milik saksi korban Rusdi alias Apeng sehingga rusak,
yang mana perbuatan tersebut termasuk lingkup tindak pidana “pengrusakan”,
melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHPidana, sesuai dakwaan Jaksa / Penuntut Umum,
yang demikian pula secara cukup mempertimbangkan dasar alasan-alasan penjatuhan
pidana berupa keadaan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa
sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;
“Bahwa lagi pula alasan-alasan
kasasi tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, ...;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini
tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa: STEVEN HIE
WIJAYA alias AHI tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.