Nakal Namun Tidak Jahat, Usil. Nakal Namun Jahat, Berbahaya, Hindari, Antisipasi, dan Jaga Jarak

ARTIKEL HUKUM

Hanya Berjodoh dengan Orang-Orang Baik, adalah “Berkah Utama”. Berjodoh dengan Orang Jahat, adalah “Petaka Utama”.

Modus Komplotan Penjahat Sukar untuk Dihindari. Seribu Satu Cara, Niat Jahat bagaikan Libido-Birahi, Sang Penjahat akan Menyasar Korbannya dengan Berbagai Cara Jahat Hingga Berhasil Memangsa Target

Hanya berjodoh dengan orang-orang baik, adalah “berkah utama”; demikian Sang Buddha pernah bersabda. Indonesia, negeri “agamais” dimana orang-orang baik dan para “Ahimsa” senantiasa menjadi “mangsa empuk”, sekaligus negeri dimana bangsanya kerap “menggunakan cara-cara kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah” akibat meneladani ajaran salah satu keyakinan keagamaan yang bahkan sama sekali tidak menjadikan “tabu” perilaku kekerasan fisik secara ekstrim seperti memenggal kepala ataupun membunuh individu lainnya—bahkan masih juga diberikan “hadiah” bernama “penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa”, membuat para korban mereka kian “gigit jari” di dunia maupun di akherat.

Diantara kita atau bahkan kita semua, pastilah pernah membaca berita atau bahkan menyaksikan langsung dengan mata kepala kita, aksi-aksi nakal sekaligus curang dan jahat, seperti aksi penganiayaan secara berkeroyokan (alih-alih secara jantan “satu lawan satu, tangan kosong”), aksi vandalisme, aksi membakar rumah seorang warga saat tengah malam, sabotase, modus penipuan, Aparatur Sipil Negara yang digaji dari uang rakyat namun memonopoli kekuasaan dan kewenangannya untuk memeras warga pembayar pajak (sumber gaji para Aparatur Sipil Negara tersebut) dalam mengurus dokumen, kriminalisasi, hingga bahkan “main belakang” seperti praktik “black magic” yang menyerang korbannya dalam senyap.

Pastilah juga pernah kita alami sendiri secara personal, dimana suatu pihak hendak merugikan ataupun menyakiti diri kita, namun kita yang sekadar melakukan bela diri atau membalas perbuatannya agar sang pelaku menyadari perbuatannya tersebut menimbulkan derita bagi orang lain, justru berbuntut pada kian anarkis-nya sang pelaku, tanpa mau menyadari bahwa segala sumber konflik bermula dari dirinya dan dirinya layak mendapat balasan setimpal sebagai pelajaran, dengan mengatas-namakan “balas dendam” sekalipun dirinya yang memulai konflik dan sengketa, seolah-olah korbannya tidak berhak melawan dan membalas serta hanya boleh diam membisu beku “seribu bahasa” layaknya sebongkah batu atau seonggok mayat “tidak bernyawa” (sehingga tidak mampu “merasa”, terlebih menjerit kesakitan) yang tidak akan membalas ataupun melakukan perlawanan ketika diperlakukan secara tidak patut, bahkan sang pelaku kian “menjadi-jadi” tatkala sang korban melakukan perlawanan sengit dan pembalasan. Tidak jarang pula, sang korban yang menjerit kesakitan, masih juga di-diskerdit sebagai “tidak sopan” atau “sudah gila”—alih-alih mengutuk dan mencela perilaku pelaku sang pelaku yang menyakiti sang korban.

Singkatnya, perbuatan-perbuatan nakal baik kenakalan anak remaja muda maupun kenakalan orang dewasa, yang sifatnya tidak “main fisik” (kekerasan fisik) dalam menyelesaikan setiap masalah dan tidak tanpa mau mengakui siapa yang sejatinya paling bersalah serta siapa yang berposisi sebagai korban, maka itulah yang disebut sebagai “nakal namun tidak jahat” alias sikap usil yang kadang dapat menjadi perekat dan pemersatu kohesi sosial-pertemanan. Kenakalan yang tidak berbahaya, tidaklah berbahaya sifatnya.

Sebaliknya, ketika perbuatan-perbuatan nakal demikian disertai ancaman kekerasan secara fisik atau bahkan bermuara, berbuntut, dan berwujud kekerasan fisik berupa melukai, menyakiti, menganiaya, mengintimidasi, upaya penekanan, hingga juga merugikan serta membuat derita korbannya, itulah yang disebut sebagai “nakal namun jahat”, dimana ciri khas pelakunya ialah orang-orang yang tidak malu berbuat jahat serta tidak takut berbuat jahat, yang karenanya patut diwaspadai dimana saran terbaik ialah untuk menjauhi dan menghindari calon pelaku-nya sebisa mungkin. Ironisnya, Indonesia yang bergelar “bangsa agamais”, ternyata rata-rata mayoritas penduduknya adalah tipe manusia nakal yang disertai sifat dan sikap jahat yang berbahaya dan membahayakan demikian—yang karenanya pula, hidup berdampingan dengan manusia-manusia berkarakter tidak toleran, mudah mengumbar kekerasan fisik, tidak takut ataupun malu menyakiti dan merugikan korbannya, bukanlah sebuah opsi, namun bahaya itu sendiri yang harus dihindari sebisa mungkin bila tidak ingin menyesal dikemudian hari.

Kenakalan tanpa disertai kejahatan, alias keusilan belaka, adalah sesuatu hal yang justru bisa jadi hangat dan jenaka, terdapat relasi yang justru mempererat semangat persaudaraan sesama anak bangsa. Biasanya, jenis kenakalan semacam ini ialah kenakalan yang tergolong “cerdas”, alias “kenakalan yang cerdas”. Sebaliknya, kenakalan yang tergolong tidak cerdas, akan cenderung mengandalkan “otot” untuk “kekerasan fisik” dalam menyalurkan hasrat kenakalannya. Itulah juga sebabnya, anak-anak serta remaja hingga orang dewasa yang tergolong cerdas, tinggi dalam segi “kecerdasan intelektual”, jarang bahkan sangat langka kita jumpai kasus kekerasan fisik yang mereka cetuskan. Sebaliknya, orang-orang dengan tingkat kecerdasan IQ yang tergolong dangkal, lebih cenderung untuk menyalurkan hasrat kenakalannya dengan kekerasan fisik, semata karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk menyalurkannya lewat cara-cara cerdas selain kekuatan otot mereka untuk melukai dan menyakiti individu lainnya.

Banyak kita jumpai kenakalan jenis “nakal namun tidak jahat” saat kita masih pada usia Sekolah Dasar, bermula dari saling ejek dan saling mengusili satu sama lain, berlanjut pada tali pertemanan yang erat. Karenanya, kenakalan tanpa disertai kejahatan alias “nakal namun tidak jahat” adalah semangat pertemanan, bukan permusuhan. Kenakalan jenis ini barulah berbahaya ketika tidak disertai kecerdasan, semisal secara usil meledakkan petasan di dekat orang yang sedang tertidur pulas, sehingga tetap saja membahayakan keselamatan orang lain sekalipun tidak dimaksudkan demikian jadinya, semisal akibat sekadar nakal berakibat terbakarnya sebuah gudang.

Mungkin untuk memudahkan pemahaman, ilustrasi lewat kisah sederhana di keseharian yang dekat dengan kehidupan kita, akan lebih relevan dan memiliki kedekatan dengan apapun latar-belakang kehidupan kita. Kita mulai dengan karakteristik “nakal namun tidak jahat”, ialah berupa seseorang atau sekawanan orang, baik anak kecil, remaja, ataupun orang dewasa, yang sifatnya semata “usil” sebatas verbal, akan tetapi tidak pernah sampai pada taraf kekerasan fisik ataupun merusak. Dengan kata lain, kenakalannya tidak merusak merugikan ataupun melukai properti maupun kesehatan dan keselamatan orang lain.

“kenakalan” semacam ini, yang sifatnya “tidak jahat”, dapat dikatakan sebagai sebatas candaan, senda-gurau, kenakalan itu sendiri (khas remaja), dimana sekalipun pada mulanya tampak seperti konflik dan sengketa yang hebat secara oral dan sebatas verbal semata, seperti adu kecerdikan dalam membuat kata-kata yang menyerang dan (sekalipun) terkadang melecehkan dan menjatuhkan mental satu sama lainnya, namun tidak pernah para pihak yang terlibat merasa takut bahwa lawannya akan membalas dengan kekerasan fisik, kerusakan, ataupun perbuatan yang merugikan apapun—yang mana kerap kali berujung pada terjalinnya persahabatan alih-alih menjadi “musuh abadi” penuh dendam dan amarah kebencian yang marasuk. Ikatan sosial dan kerekatan, kadang diselingi oleh candaan dan gurauan yang bersifat “nakal namun tidak jahat” demikian sebagai kohesinya.

Ketika kita memiliki teman sekolah ataupun seseorang pada komunitas kita, baik komunitas lingkungan tempat-tinggal, komunitas kerja, komunitas kampus, ataupun berbagai perkumpulan atau perkumpulan dalam wadah organisasi lainnya, yang sekalipun pada mulanya terdapat konflik yang penuh ketidak-cocokan, seperti saling ejek, saling “sikut-menyikut” sebatas verbal (tidak secara fisik) serta tidak merusak ataupun merugikan, dengan semangat saling tetap menghargai dan menghormati kesehatan, keselamatan, dan maupun properti milik sang “musuh” yang saling “bermusuhan” (tidak merugikan), maka kita tidak pernah perlu merasa dihantui oleh sikap-sikap yang diwarnai oleh kekerasan fisik ataupun ancaman kerugian apapun—baik di depan kita maupun di belakang kita.

Derajat kenakalan yang sama namun dengan gradasi yang sedikit “berbahaya”, ialah ketika seseorang anak maupun seseorang manusia dewasa, berperilaku buruk yang berupa kekerasan fisik ataupun tindakan yang membawa kerugian bagi pihak lainnya. Namun, yang membedakan jenis pribadi manusia dengan tipe “nakal namun sedikit berbahaya” terhadap mereka yang tergolong “nakal namun jahat” ialah, ketika si pembuat kenakalan menyakiti individu lainnya, dan mendapat pembalasan berupa perlakuan serupa dari pihak korbannya, sang pelaku menyadari bahwa dirinya telah terlebih dahulu melakukan kesalahan dan pihak lainnya ialah korban yang berhak untuk melakukan pembalasan serupa terhadap dirinya yang memulai segala kerusakan yang terjadi. Dengan kata lain, sang pelaku mampu memilah secara objektif, yang membutuhkan kesadaran priibadi dan kecerdasan tentunya, siapakah korban dan siapakah pelakunya, serta apa yang menjadi hak dari korban yakni melakukan pembalasan agar menjadi setara dan setimpal.

Ketika si “nakal namun sedikit berbahaya” mendapati pembalasan dari pihak korban, sang “nakal” mulai menyadari kesalahannya, mengakui bahwa perbuatan dirinya membawa kerugian, luka, serta derita baik bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri (sebagaimana ia rasakan ketika korban melakukan pembalasan terhadap dirinya), serta mulai menyadari serta bersedia secara adil dan sikap ksatria (itulah kata kuncinya) mengakui bahwa dirinyalah yang memulai segala sengketa dan konflik yang disertai kekerasan fisik, sehingga dirinya jugalah sudah selayaknya mendapatkan pembalasan oleh korbannya, tanpa terpicu dorongan untuk membalas perbuatan korban yang sekadar melakukan pembalasan.

Dengan demikian, sekalipun “nakal namun sedikit berbahaya”, sang pelakunya tetap memiliki jiwa “fairness”, dimana sang pelaku memahami betul bahwa dirinya-lah yang memulai pertama-kalinya melakukan kekerasan fisik atau tindakan merugikan lainnya seperti merusak barang milik korbannya, mampu dan mau menyadari bahwa dirinya adalah pelaku, serta pihak lainnya ialah korban, serta bersedia menerima ketika sang korban sekadar melakukan pemabalasan, sebelum kemudian melakukan introspeksi diri bahwa diperlakukan hal yang sama lewat pembalasan oleh sang korban adalah menyakitkan serta tidak terpuji, sudah selayaknya menjadi setimpal, yang karenanya menyadarkan pula sang pelaku bahwa perbuatannya yang pertama kali melakukan kekerasan fisik ataupun perbuatan merusak dan merugikan adalah tercela yang harus dihentikan cukup sampai disini saja, tidak sampai pada tahap selanjutnya yang berlarut-larut—yakni “impas” alias “setimpal” mendapatkan pembalasan.

Perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, serta jangan perlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin diperlakukan, itulah yang kemudian timbul dan lahir dalam jiwa para pelaku kenakalan yang sedikit berbahaya, yang tentunya, membutuhkan derajat minimum kesadaran diri serta tataran kecerdasan intelektual untuk membuat introspeksi intelektual demikian yang penuh falsafah kehidupan. Bisa kita sebutkan, itulah proses pendidikan “try and failure” ditengah-tengah masyarakat, yang dijalani oleh seorang “nakal namun sedikit berbahaya” dalam pendidikannya secara non-formal di lapangan.

Perkelahian yang bermuara menjadi persahabatan, dapat kita jumpai pada kasus-kasus dimana pelakunya tergolong “nakal namun sedikit berbahaya”. Wajah lainnya ialah seseorang yang bisa jadi pada mulanya menyakiti, melukai, dan merugikan warga lainnya, namun kemudian menyadari perbuatan buruknya dan bersedia bertanggung-jawab ketika dimintakan pertanggung-jawaban oleh korbannya ataupun berdasarkan kesadaran pribadi pelakunya, namun tidak sekadar “lip service” alias “gimmick” akan bertanggung-jawab, namun akan benar-benar melakukan “tanggung jawab” (to respond, akar kata “responsibility”). Kemauan untuk memperbaiki diri serta untuk memulihkan segala derita, luka, dan kerugian korbannya, adalah suatu bentuk sikap ksatria.

Sikap ksatria, dicirikan oleh karakter yang siap dan “berani berbuat maka berani untuk bertanggung-jawab”. Mereka, para pribadi berjiwa ksatria, tidak akan pernah memilih opsi curang seperti berkelit, “cuci-tangan” (baca : “cuci dosa” alias “sin laundry”), “lempar batu sembunyi tangan”, melarikan diri, maling teriak maling, “licin seperti belut”, jika tidak dituntut maka artinya tidak perlu melaksanakan kewajiban, korban yang tidak sadar diperdaya maka artinya yang bersalah ialah sang korban itu sendiri, yang kuat berhak memakan yang lemah, menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”, berhasil berbuat kejahatan dan merugikan korbannya ialah sebuah keberuntungan berdasarkan “izin dari Tuhan”, terlebih mengharap dan mengandalkan ideologi iming-iming “penghapusan dosa” (abolition of sin).

Para manusia berjiwa ksatria, hanya akan memilih untuk bertanggung-jawab, sebagai bagian dari harga dirinya yang paling utama dan terutama diatas segalanya. Bagi kalangan (berjiwa) ksatria, boleh dan bisa jadi ia berbuat keliru dengan menyakiti, melukai, dan merugikan orang lain. Namun, disaat bersamaan, tanggung-jawab menjadi “harga mati” yang oleh karenanya pihak korban tidak perlu diposisikan sebagai pihak yang meminta-minta maupun mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang pelaku. Seorang (berjiwa) ksatria, akan cenderung tersiksa batinnya ketika mendapati sang korban belum diberikan pertanggung-jawaban berupa dipulihkan, diberi ganti-kerugian, maupun segala bentuk pertanggung-jawaban lainnya secara layak dan patut.

Kini, kita beralih pada fase ketiga, yakni orang-orang dengan mental atau watak “nakal namun juga jahat dan berbahaya”. Tipe orang ketiga inilah, yang paling patut kita waspadai, mengingat sifatnya yang khas : menjahati dan merugikan korbannya, namun ketika sang korban melawan dan melakukan pembalasan, namun sang pelaku merasa dan mengklaim telah “di-zolimi” sehingga kemudian menjadi alibi baginya untuk kembali melakukan apa yang disebutnya sebagai “pembalasan dendam” secara lebih membabi-buta dan lebih tidak manusiawi, tanpa bersedia mengakui ataupun menyadari bahwa dirinyalah penyebab utama terjadinya segala tragedi kemanusiaan ini. Contoh mudah yang bisa jadi tidak jarang kita kita alami sendiri, sekelompok pencuri gagal mencuri, namun sang komplotan justru lebih galak daripada korbannya. Atau, ketika korban melawan, para perampok menjadi murka dan marah kepada sang korban, karena seolah-olah sang korban menghambat dan menghalangi rencana dan niat jahat mereka.

Ciri khas paling utama dari tipe pribadi ketiga ini ialah, sikap “mau menang sendiri”, tidak malu dan tidak takut berbuat jahat, serta kerap menyelesaikan segala masalah dengan kekerasan fisik, disamping gaya atau model “meng-halal-kan segala cara” (by all means), ke-tidak-adilan penuh kecurangan (jika perlu satu lawan sepuluh, bersenjatakan pula, atau sang korban yang kemudian dikriminalisasi “pencemaran nama baik”), hingga sikap-sikap yang pada pokoknya mencerminkan ketidak-mampuan “bercermin diri” terlebih perihal aspek keadilan dan “fairness” paling mendasar sebagai seorang manusia yang membedakan umat manusia dengan seekor hewan—siapa pun yang sebetulnya bersalah, sang pelakunya akan tetap menyalahkan korbannya sebagai yang bersalah serta mengganjarnya dengan kekerasan fisik, derita, ancaman ketakutan, intimidasi, ataupun pengrusakan. Tiada ada yang lebih tidak beruntung, daripada berjodoh dengan tipe pribadi tersebut.

Ciri utama lainnya yang menonjol dan “khas” dari tipe peribadi “nakal namun berbahaya” serta mereka yang tergolong “nakal namun jahat” ialah, rata-rata kecenderungan pelakunya memiliki tingkat intelejensi otak yang rendah, karenanya hanya dapat mengandalkan kekerasan fisik “otot” belaka terhadap korbannya. Itulah sebabnya, penulis senantiasa menyatakan, IQ (Intelligence Quotient) bukanlah sumber kejahatan, namun kekurangan IQ yang menjadikan seseorang sebagai sumber kejahatan.

Itulah juga sebabnya, terdapat kaitan erat tidak terpisahkan antara IQ, EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient). Penulis merupakan orang pertama yang menjadi pelopor hipotesis berikut yang selalu menemukan afirmasi kebenarannya dalam dunia nyata, bahwa : Orang-orang dengan IQ rendah, cenderung pula memiliki EQ dan SQ yang sama rendahnya. Sebaliknya, orang-orang dengan IQ yang tinggi, lebih cenderung memiliki pula EQ maupun SQ yang tinggi.

Kita tidak perlu dan tidak akan pernah merasa terancam hidup berdampingan bersama orang-orang yang tergolong ber-IQ tinggi, sebaliknya kita akan senantiasa penuh ancaman kekerasan fisik dan kebrutalan ketika hidup berdampingan atau berjumpa dengan mereka yang tergolong ber-IQ rendah—semata karena daya kapasitas otak mereka yang lemah, sehingga hanya dapat mengandalkan kekuatan otot tangan dan kaki untuk memukul dan menendang, dimana kita ketahui bahwa “otot tidak memiliki otak” sebagai sumber bahaya utama peradaban umat manusia dalam sejarah apapun dimasa lampau maupun dimasa yang akan datang.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.