Kiat menjadi Pembicara yang Baik dan Efektif

ARTIKEL HUKUM

Materi Pembicaraan dan Gaya Berbicara, Keduanya Sama Pentingnya, namun Manakah yang Terpenting?

Bukanlah soal apa yang kita sampaikan ataupun materi yang kita bicarakan, namun bagaimana cara dan pendekatan kita menyampaikannya, demikian para pakar komunikasi pernah menyampaikan. Sebagai salah seorang praktisi dan penyedia jasa seminar, pelatihan, konsultasi, hingga bimbingan bagi mahasiswa yang menempuh ujian akhir, penulis sedikit banyaknya bersentuhan dengan dunia komunikasi dan dialog. Disamping itu, penulis pun mencoba mengamati gaya berbicara banyak pembicara lainnya secara lisan baik di media massa seperti radio maupun pada berbagai kesempatan seperti seminar, lokakarya, dan sebagainya, telah ternyata tidak sedikit diantaranya yang bukanlah tergolong seorang pembicara yang efektif.

Banyak diantara para pembicara tersebut yang dapat kita sebut sebagai pembicara yang tidak efektif, semata karena banyak berbicara, mengumbar kalimat dan kata-kata, namun tidak efisien, yang karenanya banyak tidak tepat sasaran serta tidak tepat guna, menjadi blunder, hingga kontraproduktif sifatnya (hanya menghabiskan waktu audiens tanpa faedah bagi mereka, adalah “dosa” menurut teori utilitarianisme). Berbekal pengalaman pribadi, berdasarkan “trial and error”, untuk itu penulis merasakan adanya kebaikan bila pengetahuan dan pengalaman sebagai seorang pembicara untuk diilustrasikan sebagai sumber inspirasi dan keterampilan praktis yang dapat diterapkan langsung tanpa perlu berpanjang-lebar berteori.

Banyak diantara para trainer, dosen maupun para guru, terutama, kesalahan yang paling terutama dilakukan oleh kalangan profesi tersebut ialah sikap mereka terhadap audiens maupun peserta didik seolah-olah sedang melakukan propaganda agenda “cuci otak”, sifatnya semata linear “satu arah”, bukan dialog, serta tendensius, disamping tidak rasional sehingga reputasi atau wibawa sang pembicara menjadi rusak seketika itu juga pada telinga, pada mata, serta pada benak para pendengarnya, yang karenanya terdapat mekanisme “mental block” untuk mendengarkan lebih lanjut seluruh uraian lisan sang pembicara—bahkan tidak jarang timbul antipati.

Mereka adalah kalangan pengajar atau pembicara yang “minta dihormati”, dimana bahkan para peserta atau pendengar pun menjadi takut untuk sekadar minta izin keluar ruangan untuk ke toilet atau untuk sekadar menjawab telepon yang masuk, terpaku di tempat duduknya dan terbekukan oleh rasa ngeri dan takut yang dingin dan mencekam menyerupai ruang pemakaman. Karena tidak mendapatkan reputasi dan wibawa apapun di mata para pendengarnya selain sinisme, sebagai feedback nyata dari para audiens-nya, tidak mengherankan bila gaya para pembicara semacam itu adalah pendekatan “minta dihormati”.

Bagi kalangan mahasiswa maupun murid, keterpaksaan serta dirampasnya kemerdekaan mereka untuk keluar dari ruangan dan tidak lagi menjadi audiens, dapat menjelma suatu siksaan tersendiri, sehingga reputasi sang guru atau sang dosen menjelma sebagai “seorang diktator penyiksa telinga dan akal sehat”, disamping mematikan sel-sel otak para pendengarnya, seolah-olah mereka tidak mampu berpikir di atas kaki sendiri. Memang sungguh ironis dan disayangkan, kesempatan untuk proses belajar dan mengajar, waktu yang sangat berharga, maupun biaya yang telah dikeluarkan oleh para peserta didik, terutama fungsi “transfer of knowledge” yang menyimpang jauh menjelma panggung ajang “pamer kekuasaan” sang pembicara yang menyerupai orator-otoriter. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, mayoritas para guru dan dosen di Indonesia, masih menampilkan wujud proses pedagogi demikian.

Pembicara yang efektif memahami betul, proses belajar yang menjemukan tidak akan pernah tepat guna, tidak berfaedah bagi sang pembicara maupun para pendengarnya. Karenanya, seorang pembicara yang baik ialah pembicara yang demokratis, dengan menerapkan pendekatan penyampaian materi secara “dua arah”, alias komunikasi dialogis, terdapat input serta feedback. Pembicara yang merasa telah demikian sempurna, tanpa cacat cela dalam gaya dan cara penyampaian lisannya, adalah para pembicara yang hidup dalam “delusi” pribadinya sendiri yang tidak sehat—cerminan jiwa yang juga tidak sehat mentalitasnya, bahkan tidak layak untuk selama berpuluh-puluh tahun menjabat sebagai seorang edukator atau tenaga pendidik.

Bila mereka menjadi seorang penulis buku atau karya ilmiah tertulis, dapat dipastikan tiada pembaca yang bersedia membuang waktu barang sedetik pun untuk membaca “omong kosong” milik yang bersangkutan. Mereka eksis semata karena menyalah-gunakan status mereka sebagai dosen ataupun sebagai seorang guru, dimana para peserta didik dan mahasiswa tidak dapat memilih lain selain menyiksa diri dan tersiksa menempuh proses siksaan yang mengatas-namakan proses edukasi dan pembelajaran, sampai mereka lulus. Mengapa juga, bersikap seolah-olah tidak mampu secara kreatif menciptakan proses belajar-mengajar yang kreatif dan menyenangkan?

Bukankah proses belajar yang efektif ialah, ketika seluruh peserta didik merasa senang dan terpanggil untuk belajar dan termotivasi oleh guru teladan mereka? Mereka akan tersinggung, bila terdapat peserta atau pendengar ceramahnya yang meminta izin keluar ruangan ataupun bila terdapat pihak-pihak yang menyela dan menyatakan pandangan yang berbeda terlebih dikritisi—karena itu sama artinya “delusi” pribadi sang pembicara terancam runtuh.

Dialog, itulah kata kunci pertama kita. Dialog, bukanlah wujud kedangkalan pengetahuan akademik sang pembicara, justru sebaliknya, mampu membangun wibawa dan respek (atau penghormatan) dari para peserta yang menyimak, dimana artinya sang pembicara turut menghargai kemampuan berpikir para audiens-nya, bukan memandang dan memperlakukan para pendengarnya sebagai keledai yang bodoh yang hanya cukup perlu diberitahu dan diperintahkan untuk sekadar menyimak, mengingat, dan menyalin proses pendiktean (dikte-mendikte) layaknya cara Adolf Hitler melakukan propaganda. Guru bukan dewa, dan siswa bukanlah kerbau, demikian seorang intelektual bernama Soe Hok Gie pernah mengemukakan protesnya sebagai seorang siswa yang kritis terhadap gurunya yang dinilai “otoriter” serta “anti kritik”.

Tahap kedua, ialah pengetahuan perihal psikologi komunal audiens. Kita sebagai seorang pembicara, perlu memahami betul latar-belakang intelektual serta tingkat pencerapan yang beragam dari beragam peserta yang mendengarkan. Sebagai contoh, dalam media komunikasi tertulis, terdapat beragam kalangan pembaca terkait kemampuan membaca cepat, berapa ribu kata dalam sekian menit maupun yang mungkin hanya sanggup mencapai separuhnya bagi pembaca yang lain. Mungkin analogi berikut dapat cukup menggambarkan, yakni mengapa berbagai harian koran di Tanah Air dapat demikian beragam dan target pasar pembacanya pun ternyata beragam?

Terdapat satu harian nasional yang cukup terkenal di Indonesia, materi bahasannya menggunakan istilah-istilah yang intelek, padat, dan berbobot tinggi. Mulanya, penulis mengira surat kabar lain akan tersingkirkan dan tidak mampu eksis bersaing menghadapi surat kabar dengan nama besar yang populer demikian. Ternyata, terdapat beragam merek surat kabar lainnya yang pada kenyataan di lapangan cukup memiliki pelanggan pembaca tetap sesuai segmennya sendiri, yakni segmen masyarakat kelas menengah dan bawah yang tidak sanggup membaca materi tulisan dan ulasan berita yang berat, gaya pendekatan sajian yang ringan, disamping bahasa yang umum tanpa dicemarkan oleh istilah-istilah teknis yang tidak atau sukar dipahami oleh mereka.

Ternyata pula, masing-masing media massa semacam harian koran, memiliki segmen pasarnya sendiri, sekalipun ulasan beritanya relatif sama antar surat kabar, akan tetapi gaya penyajian menjadi faktor pembeda diantara masing-masing merek surat kabar. Ibarat frekuensi siaran radio, “connect” alias “terkoneksi” antara penyiar dan para pendengarnya, terjadi ketika frekuensi antara perangkat penerima siaran dan frekuensi pemancar stasiun radio adalah dalam satu gelombang frekuensi yang sama. Ketika kita selaku pembicara hendak terkoneksi dengan para target pendengar kita, maka kita pun perlu serta penting untuk “menyetel” (menyesuaikan) frekuensi gaya berbicara kita.

Konon, berdasarkan teori psikologi komunikasi, pembicara yang dianggap paling ideal ialah pembicara yang mampu menyesuaikan diri dan beradabtasi dengan gaya bicara lawan bicara. Ketika lawan bicara memiliki pola bicara yang cepat, kita pun turut berbicara secara cepat, dan berlaku pula cara kerja sebaliknya, lawan bicara berbicara secara lembut dan lambat maka kita pun bertutur-kata secara lembut dan lambat, sehingga kerekatan timbul dari suatu “kesamaan”, “sama rasa” serta “sama frekuensi”.

Karena itulah, pastikan betul untuk menyampaikan materi maupun gagasan dalam suatu kesempatan sebagai seorang pembicara, untuk tidak terlampau cepat ataupun terlampau lambat dalam bertutur-kata, semata agar yang lemah dalam daya tangkap dapat memproses informasi dalam setiap rangkaian maupun serentetan kata yang kita sampaikan secara utuh sesuai daya cerna yang bersangkutan dan disaat bersamaan tidak membuat bosan kalangan pendengar yang mampu menangkap serta memproses informasi lisan yang cepat dan seketika. Dengan demikian, kata kunci ketiganya ialah membuat komposisi cepat-lambatnya materi disajikan, disesuaikan latar belakang pendengarnya, atau setidaknya secara moderat, tidak terlampat cepat ataupun terlampau lamban.

Variasi lainnya ialah tidak bersikap monoton dalam intonasi dan gaya berbicara. Untuk suatu gagasan pemikiran yang cukup mendalam, perlu adanya penekanan dan penegasan, tinggi maupun rendahnya suara, panjang dan pendeknya suara, lewat bahasa tubuh maupun keras-ringannya desibel suara hingga memperlambatnya dari cara kita berbicara normal, atau sebaliknya, sesuai kebutuhan situasional dan perlu dilatih jauh sebelum kita melakukan persiapan maupun suatu bentuk latihan rutin bila sebagai pembicara adalah profesi kita dikeseharian.

Pembicara yang selalu tampil monoton, entah itu monoton berbicara cepat, monoton berbicara lemah, monoton berbicara lamban, monoton bicara keras, adalah pembicara yang tidak efektif dan tidak tepat guna. Kita dapat menyebutnya sebagai pembicara yang membosankan dan patut untuk kita tinggalkan. Kita tidak perlu menyiksa diri serta membuang-buang waktu duduk manis menyimak orasi satu arah yang monoton demikian, dan bukan salah kita sebagai pendengarnya bila jatuh tertidur.

Ketika kita tidak mengetahui latar-belakang pengetahuan para audiens, penting untuk memastikan hanya menggunakan istilah-istilah umum, dan disaat bersamaan menghindari istilah-istilah teknis yang terlampau membuat kening para audiens menjadi berkerut, sehingga pecahlah konsentrasi keutuhan kalimat dari sang pembicara karena otak para pendengarnya sibuk sendiri menerka, menerjemahkan, serta menafsirkan gagasan maupun materi yang disampaikan oleh sang pembicara. Jika apa yang kita sampaikan bukanlah sebuah teka-teki, maka hindari gaya berbicara menyerupai seorang pemain teka-teki yang multitafsir, karenanya pula hindari pula memperlakukan para pendengar kita sebagai anak-anak yang gemar bermain teka-teki. Tidak semua kalangan pendengar kita mampu secara cepat dan tepat menangkap makna implisit dari komunikasi verbal yang kita sampaikan, untuk itu pastikan mereka menangkapnya tanpa adanya mis-persepsi lewat feedback.

Bila para audiens kita ialah sesama kalangan profesi hukum, sebagai contoh, silahkan menggunakan istilah-istilah teknis, namun disesuaikan pula dengan tingkat pemahaman mereka masing-masing sesuai jenjang studi yang bersangkutan. Kalangan profesor, dikenal gemar melontarkan istilah-istilah rumit, semata agar tampak “intelek” di mata para siswanya, alias “kecentilan” atau “kegenitan” intelektual. Seorang dosen atau guru yang baik, adalah seseorang yang mampu memastikan setiap peserta didiknya paham dan menjadi mengerti, bukan menjadi ajang “pamer intelektual” namun minim faedah. Peserta didik yang meningkat pemahamannya, otomatis akan memberikan penghormatan (respek) bagi sang pengajar, sekalipun sang pengajar menggunakan istilah-istilah yang relatif umum saja selama proses belajar-mengajar.

Secara pribadi, penulis yang dalam beberapa kesempatan menyediakan jasa bimbingan bagi para mahasiswa hukum (pengguna jasa) yang hendak menyusun karya ilmiah sebagai ujian akhir penentu kelulusan, bahkan berusaha sebisa mungkin menghindari istilah-istilah hukum yang teknis, dan kalaupun tidak terhindarkan maka penulis akan menjelaskannya secara detail atau bertanya kepada yang bersangkutan apakah memahami istilah teknis tersebut, tanpa setitik pun nada menghakimi bila mereka tidak paham—adalah tugas pembimbing untuk membuat mereka paham, bukan menjadi seorang “hakim” yang menghakimi dan menjatuhkan mental mereka. Seorang pembimbing bertugas dan berperan dalam memberikan motivasi, pencerahan, dan dorongan, bukan sebagai petarung yang memukul jatuh mentalitas pihak yang dibimbing. Karena itulah, kata kunci keempatnya ialah, hindari istilah-istilah yang terlampau teknis, para audiens kita tidak pernah membutuhkan “kegenitan intelektual”, yang mereka butuhkan ialah “esensinya”, bukan kulitnya yang keras dan berduri.

Humor, terkadang menjadi selingan yang penting. Namun pastikan benar-benar, hanya humor yang cerdas yang akan mendapat penghargaan dari para peserta didik. Satu dekade yang lampau, ketika penulis masih seorang mahasiswa pada Fakultas Hukum pada suatu universitas swasta, terdapat banyak sekali kalangan dosen “narsistik-otoriter”, yang kerap membuat lelucon-lelucon “dangkal” agar mereka tampak humanis dan bersahabat, dimana tanpa mau menyadari delusinya, bahwanya senyatanya dan sejatinya para mahasiswa peserta kuliah memberi respons dengan tertawa sekadar untuk menyenangkan sang dosen, bukan sebaliknya sang mahasiwa yang disenangkan (menyenangkan sang dosen, artinya justru mahasiswa pembayar iuran untuk operasional kampus yang harus melayani sang dosen pengajar), adalah sebentuk siksaan sendiri disamping sebentuk “pemerkosaan secara intelektual”.

Untuk itu, kata kunci kelima yang dapat kita terapkan ialah, kreatiflah dalam membuat lelucon, penting namun disaat bersamaan menjadi bumerang bila kita tidak tulus dan tidak cerdik berhumor, terutama bila selama ini sang pengajar bersikap otoriter, sehingga tampak jelas kemunafikannya dibalik lontaran lelucon “tidak lucu” demikian. Terkadang, terdapat kalangan pengajar yang membuat lelucon “tidak lucu” sekadar untuk menjelek-jelekkan pihak lain atau menjadikan orang lain sebagai objek lelucon, agar dirinya tampak lebih hebat, lebih bermutu, lebih agung, dan “lebih” dalam segala hal lainnya—meski senyatanya itu membuat dirinya lebih tidak dihargai oleh para pendengarnya, alias “jebakan delusi” di kepala sang pembicara itu sendiri, patut dikasihani disamping memprihatinkan.

Reputasi seseorang terkait kompetensi dan penguasaan materi, tidak semata ditentukan oleh pengetahuan yang memadai milik sang pembicara. Terkadang, dan bahkan seringkali, berdasarkan pengalaman pribadi penulis dalam menyampaikan gagasan dan materi dalam forum seminar ataupun pelatihan serta bimbingan, kerendahan hati menjadi “bumbu penguat rasa” yang mampu meningkatkan reputasi kita selaku pembicara di mata dan di telinga para audiens. Meracik suatu acara seperti perkuliahan, proses belajar-mengajar, kursus, maupun seminar dan lain istilah sejenis, komponennya tidak hanya berupa “makanan” pokok seperti nasi (materi atau substansi pembicaraan), namun elemen penyusunnya bersifat multi-faset dan rumit, terkombinasi dan saling berkelindan.

Tiada pembicara yang lebih gagal dari yang menampakkan citra seolah tahu dan menguasai segalanya—itu sikap yang takabur. Pada era kontemporer sekarang ini, ketika ilmu pengetahuan demikian terspesifik, adalah mustahil menjelma “palugada” alias “apa yang elu mau, gua ada tahu”. Sebagai contoh, ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan telah menjelma “hutan rimba belantara hukum”, hanya memungkinkan kita untuk menjadi seorang “spesialis”, tidak bisa lagi menjadi seorang profesional hukum yang “generalis”.

Ketika kita tidak atau belum mengetahui, katakanlah secara jujur, apa adanya, transparan, dan secara terbuka. Reputasi dan wibawa kita tidak akan pernah runtuh karena bersikap jujur—justru sebaliknya, reputasi kita akan meningkat di mata dan di telinga para audiens. Seorang pembicara, juga adalah manusia yang manusiawi bila tidak mengetahui segala hal yang ditanyakan oleh pihak pembicara. Para pendengar kita akan memakluminya, dan mampu memberi toleransi.

Kita tetap memiliki kesempatan untuk membuat para pendengar kita takjub terhadap pengetahuan kita selaku pembicara yang mendalam untuk hal lainnya yang benar-benar kita kuasai. Adalah delusi, ketika seorang pembicara berpikir dan berasumsi bahwa dunia karirnya runtuh ketika menyatakan suatu kata tabu “tidak / belum tahu” kepada para pendengarnya. Menjadi pembicara yang akuntabel dan objektif, masih lebih dihormati ketimbang pembicara yang “sok tahu”. Karena itulah, penting sekali bagi seorang pembicara untuk mengambil jeda sejenak untuk berpikir dan merenungkan, sebelum menjawab pertanyaan pihak audiens. Untuk itu, dapat kita tetapkan bahwa kata kunci keenam ialah sikap kerendahan hati dan transparan serta “berpikir dahulu sebelum berbicara dan menjawab” (cerminan “kematangan”), tanpa perlu membuat fakta yang fiktif sifatnya perihal seberapa jauh tingkat pengetahuan kita.

Ketika para audiens “duduk manis” dan dengan sabar menyimak sebagai pendengar, maka hargai dan balaslah kesabaran serta sikap respek diri mereka dengan turut menjadi pembicara yang sabar dan ramah. Bukan zamannya lagi mengajar dengan gaya pendekatan militeristik. Proses belajar-mengajar bukanlah ajang tinju di atas ring tinju, selayaknya penuh permusuhan sehingga harus berbicara dengan nada dan intonasi yang keras tinggi bak seorang otoriter sedang menangkap basah serdadu lawan hendak mengusup. Kita tidak sedang “berperang” sengit terhadap para audiens kita, kita sedang melayani audiens kita. Jiwa melayani, adalah aspek yang sangat minim serta miskin kita jumpai pada sebagaian besar para pembicara maupun para tenaga pengajar kita di Tanah Air yang lebih kerap diwarnai sikap-sikap semacam “jiwa mendikte”, “jiwa minta dihormati”, dan segala bentuk pelecehan terhadap semangat intelektuil lainnya.

Tidak perlu-lah bagi kita untuk tampil sok kuasa, sok galak, sok keren, sok keras, sok intoleran, sok tidak kompromistis, sok sibuk, sok tidak sabaran, sok paling tahu dan paling benar, karena reputasi sebagai seorang pembicara bukan dibangun diatas landasan rapuh demikian yang sewaktu-waktu dapat runtuh, dan bila pun ada maka itu sejatinya hanyalah delusi fiktif dalam benak di kepala kita sendiri selaku pembicara yang gagal untuk bercermin diri. Layani pembicara kita dengan hati yang tulus, maka akan terlihat jelas dalam gaya bahasa kita dan pendekatan disamping cara kita dalam melayani mereka.

Ingatlah selalu, bila Anda tidak ingin ditinggalkan oleh para pendengar kita, bukanlah para pendengar kita yang sedang melayani kita, namun kita selaku pembicara yang sedang melayani para pendengar kita, itulah kata kunci ketujuh yang dapat penulis sampaikan. Ketulusan dan kesabaran, akan berbuah sikap respek dari para pendengar kita, dan layak untuk dikenang oleh mereka sepanjang masa, dimana nama kita pun akan harum untuk jangka waktu yang relatif lama di telinga dan di mata mereka, akibat kesan kejujuran yang mendalam menjadi ciri khas dari diri sang pembicara.

Pendekatan atau teknik itulah yang selalu penulis gunakan ketika melayani pengguna jasa bimbingan tugas akhir perkuliahan, dengan sabar penulis mengulang kembali pemaparan yang mereka minta, perlahan-lahan jika diperlukan, dan kembali mengulanginya ketika mereka memintanya atau ketika penulis mendapati mereka belum mencerapkan secara sempurna lewat proses tanya-jawab. Para pengguna jasa, peserta seminar kita, para murid dan mahasiswa kita, mereka semua ialah para klien kita, merekalah yang menjadi sumber nafkah kita, dimana kita yang berkewajiban melayani mereka sebagai seorang penyedia jasa, entah berstatus dosen, trainer, pembimbing, dan lain sebagainya.

Kata kunci kedelapan yang dapat penulis utarakan, meski bukan yang paling akhir, ialah keberanian untuk balik bertanya serta sikap menghargai pendengar kita atas pendapat mereka, tidak terkecuali membangkitkan keberanian serta kepercayaan diri mereka untuk berpikir serta turut terlibat dalam ruang diskusi yang dibuka lebar atau berpartisipasi untuk turut berpendapat sehingga tercipta iklim akademik yang sehat dan prospektif. Kesemua level atau tahapan pencapaian teknik di atas, sifatnya ialah gradual, dalam artian bila tahap keterampilan pertama dan kedua saja yang demikian mendasar, gagal ditampilkan oleh sang pembicara, maka dapat dipastikan level tingkat ketujuh tersebut tidak akan mampu disuguhkan oleh gaya berbicara sang pembicara.

Proses penguatan kepercayaan diri para pendengar kita maupun pihak yang kita bimbing, dapat dibangun dengan cara memberikan mereka kesempatan ataupun “umpan” untuk berpikir serta sebagai wadah bagi mereka untuk berani membuat “keberanian ber-opini” serta “otentikasi pendapat segar” yang perlu kita buka lebar, hargai, serta berikan martabat, menyerupai sebuah “diskusi (yang) interaktif”. Seorang pembicara yang efektif adalah pembicara yang demokratis. Berikan mereka stimulus untuk tidak takut mengutarakan pendapat, untuk bertanya, untuk mempertanyakan, dan bersikap kritis sebagaimana asas paling utama dalam ilmu pengetahuan ilmiah yang modern.

Atau, kita tanyakan pendapat para pendengar kita atau kepada pihak yang sedang kita bimbing, apa yang menjadi pendapat mereka atas satu isu yang sedang menjadi topik bahasan. Ketika mereka berani untuk mengutarakan pendapat dan opini mereka, maka dengarkan. Jangan pernah bertanya, namun tidak ingin mendengarkan dan seketika memotong ataupun menyela mereka, itu justru melukai harga diri mereka yang merasa dilecehkan, dipermainkan dan diperdaya. Tumbuhkan sikap percaya diri serta kreativitas para pendengar dan siswa kita untuk berpikir kritis, dengan cara memperlakukan mereka sebagai individu yang memiliki potensi serta sumber daya yang dapat kita bangkitkan serta pandu lewat bimbingan yang kita sediakan dan selenggarakan.

Para pendengar kita bukanlah orang-orang “bodoh”, karenanya jangan perlakukan kita sebagai orang-orang “bodoh”, bila kita tidak ingin dipandang sebagai orang bodoh oleh para pendengar kita (para audiens dapat melakukan pembalasan, sekalipun bukan seketika pada saat itu juga). Perlakukan mereka sebagai orang-orang yang potensial, karenanya kita pun akan termotivasi untuk mengajar dan berbicara dalam rangka “transfer of knowledge”. Bila para pendengar kita adalah orang-orang bodoh, untuk apa juga kita banyak berbicara di hadapan mereka, sehingga itu menjadi kebodohan sang pembicara itu sendiri karena terus saja “berbicara dan membuang waktu berbicara dengan orang-orang bodoh”.

Penulis bocorkan satu rahasia lainnya, kikis habis jiwa atau mentalitas “egois” maupun “narsistik” dalam diri seorang pembicara. Pembicara yang narsistik, cenderung bersikap egoistik, dimana sikap egoistik menjadi lawan kata dari sikap demokratis. Untuk mampu saling menghargai perbedaan pendapat serta ruang dialog untuk berdiskusi, bukanlah tabu sebagai seorang pembicara yang efektif untuk menyatakan “Anda benar!”, “Pandangan Anda cukup menarik untuk dikembangkan, patut kita dorong Anda untuk terus mengelaborasinya,” atau “Perkataan dan pendapat Anda sepertinya ada benarnya, harus kita akui,” atau bahkan secara lebih terbuka “Tampaknya ini saatnya saya melakukan evaluasi terhadap pandangan-pandangan saya dalam melihat objek telaah yang sedang kita bahas bersama.Hargai audiens Anda, maka audiens Anda pun akan menaruh penghargaan terhadap Anda.

Hargai kemajemukan pendapat, bersikap demokratis, buka ruang kebebasan beropini, serta menghindari sikap otoriter, adalah ciri khas seorang pembicara yang efektif. Sementara itu para pembicara yang egoistik dan narsistik, selalu gagal untuk melakukan introspeksi diri, tampil bak “selalu benar”, monopoli kebenaran, dan bersikap seolah-olah sudah sempurna (berkubang dalam kolam delusi diri), maka karir sang pembicara praktis akan “jalan di tempat”, stagnan, dan kurang saling menghargai antar pembicara dan para audiensnya.

Itulah sebabnya, penguasaan materi adalah penting, namun sikap atau “attitude” sang pembicara sebagai cara menyalurkan gagasan dan medium komunikasi, tidak kalah pentingnya. Kita tidak sedang menjalin peperangan ataupun pertempuran dan perkelahian terhadap para pembicara kita, karena itu hindarilah sikap-sikap permusuhan ataupun peperangan terhadap para audiens kita. Seorang pengajar ataupun pembicara, adalah seseorang yang berperan sebagai fasilitator, dimana tidak pada tempatnya mendudukan diri sebagai seorang “kompetitor” yang perlu menampilkan “taring berbisa” terhadap para audiensnya.

Bila terdapat diantara pembaca yang turut berprofesi sebagai seorang tenaga pengajar, pendidik, penyuluh yang bertugas men-sosialisasikan program pemerintah, pembimbing, edukator, pengamat, komentator, atau istilah lain sejenis, pastikan selalu diri kita menyisakan ruang bagi “kebenaran nisbi”, ruang mana bagi diri kita sendiri maupun bagi para pendengar kita. Hindari sikap-sikap seperti bahwa kita adalah representasi atau wakil yang menyuarakan serta mengumandangkan “kebenaran absolut” yang mutlak sifatnya. Ingatlah selalu, ilmu pengetahuan bersifat tentatif, yang karenanya nisbi sifat keberlakuan serta kebenarannya.

Kita, selaku tenaga pendidik dibidang ilmu pengetahuan, adalah sebatas memfasilitasi informasi seputar “kebenaran nisbi”, tidak terkecuali para guru dan penceramah agama, mengingat mereka meng-komunikasikan ayat-ayat Kitab Suci berdasarkan budaya, aliran, serta tafsirannya sendiri atas teks-teks tersebut, karenanya penafsiran adalah sebuah “kebenaran nisbi”, sekalipun mereka memandang bahwa dogma berupa wahyu dalam teks-teks pada “text book” yang ada adalah “kebenaran absolut”.

Tidak terkecuali ilmu hukum, senantiasa berubah demikian cairnya dan memang dikodratkan untuk terus berkembang, berdialektika (tesis, antitesis, menghasilkan sintesa yang menjadi tesis baru untuk diuji kembali), berevolusi dan berhadapan dengan tantangannya sendiri yang membuat ilmu hukum maupun norma-norma hukum yang ada menjadi bersifat rigid akan tetapi sekaligus juga dinamis adanya—dinamika hukum, sebagai sub-cabang dari ilmu sosial, bukan sub-cabang dari ilmu eksakta.

Menjadi dapat kita pahami, adalah keliru ketika para tenaga pengajar dibidang ilmu hukum maupun para pembicara ataupun para pengamat hukum yang berbicara demikian penuh percaya diri, akan tetapi disaat bersamaan menutup peluang bagi dirinya untuk “bisa jadi keliru”. Percaya diri adalah penting, namun “memutlakkan” diri akan membuat kita dipandang tidak rasional oleh para audiens.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.